23 October 2008

Teriakan Ahmad Dhani feat 4 Sen Buruh Celana GAP

“…Nasionalisme untuk negara ini, adalah pertanyaan…”

Sepenggal lirik Kenyataan dalam Dunia Fantasi, hits single The Rock featuring Koil. Pertama mendengarnya sudah jatuh cinta. Bukan pada Dhani, tapi kepada vokalis Koil yang setiap melihatnya mengingatkan saya akan vokalis, Wintersun. Tidak mirip, tapi entahlah.. saat mendengar dan melihat klip Battle of Sword, saya menjadi teringat dengan band Indonesia yang gahar itu.

“…nasionalisme untuk Negara ini adalah pertanyaan…”
Kembali alunan itu terngiang-ngiang terus menerus dalam beberapa hari terakhir ini. Yang mengusik saya sebenarnya ialah… hm, banyak sih. Yang pertama, rasanya harus diakui dengan kelapangan hati kalau rasa nasionalisme kita (siapapun anda, teman..) mulai memudar. Tapi apa sih, nasionalisme itu?

Sedikit mengulas mengenai Ahmad Dhani, kita flashback ke beberapa tahun lalu, masih ingat dengan project album di luar Dewa? Yang hanya mencatut Andra sebagai ‘pembantu’nya. Album itu berjudul Ideologi, Sikap, Otak.

Aku Cinta Kau dan Dia, Bidadari di Kesunyian, dan Sudah adalah hits yang cukup dikenal. Tapi di samping itu, ada yang lebih menarik untuk saya, dua lagu lainnya berjudul Interupsi dan Distorsi.

Dua sindiran yang cukup keras saya rasa. Coba simak sedikit penggalan lirik pada lagu Distorsi

Maunya selalu memberantas kemiskinan
Tapi ada yang selalu kuras uang rakyat
Mau selalu..maunya selalu
Ada yang sok aksi buka mulut
Protas protes..
Tapi sayang mulutnya selalu beraroma alcohol
Yang muda mabok, yang tua korup..
Mabok terus, korup terus
Jayalah negeri ini..jayalah negeri ini (merdeka!)

Maunya selalu menegakkan keadilan
Tapi masih saja ada sisa hokum rimba
Ada yang coba-coba sadarkan penguasa
Tapi sayang yang coba sadarkan
Sadar aja nggak pernah
Setiap hari mabok
Ngoceh soal politik
Setiap hari korup
Ngoceh soal krisis ekonomi


Pernahkah mendapati yang demikian? Saya pernah, walau tidak fair jika suatu kesamaan kecil yang saya temui dikatakan dapat menggambarkan.



Beberapa waktu lalu, tepatnya 16 September 2008, saya mengikuti ‘sowan’ ke DPRD-DIY, dalam rangka penolakan KAUKUS –Komunitas yang terdiri dari forum LSM Jogja yang peduli dengan Anak dan Pekerja Jalanan— terhadap penolakan Raperda Gepeng.

Masih Ramadhan kala itu, jalan Malioboro selalu ramai seperti biasa, di seberang Edward Forrer, tepatnya lebih ke timur dari mesjid Malioboro itu kami berkumpul. Selain KAUKUS, teman-teman pekerja jalanan pun bertandang.

Setelah selesai diskusi dan dicapai kesepakatan bahwa untuk perumusan draft Raperda, Pekerja jalanan juga dilibatkan, kami berkumpul sambil menikmati nasi kotak seraya berbuka.

Saya memperhatikan, Gondrong, salah satu seniman jalanan, memetik gitar, jaraknya agak jauh dari kami, lebih 5 meter. Begitu gitar dipetik, intro dimainkan, bagai sebuah komando, teman-teman lain serentak menyanyikan lagu Darah Juang.
Agak special bagi saya, karena keterlibatan saya tidak cukup intens dengan mereka, tetapi saya sangat familiar dengan lagu itu.

Di sini negeri kami, tempat padi terhampar
samuderanya kaya raya, tanah kami subur, tuan..
di negeri permai ini, berjuta rakyat bersimbah rugah
anak buruh tak sekolah, pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar
bunda relakan darah juang kami
tuk membebaskan rakyat
Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar
bunda relakan darah juang kami
padamu kami berjanji


Saya harus berterima kasih banyak untuk sahabat saya Wiwid, yang banyak mencecoki dengan ‘racun’ lagu-lagu bergenre metal, lagu-lagu “tua” yang saya pikir dulu hanya sebatas Rapshody, Sepultura dan teman-temannya.

Nah, lagu Darah Juang ini, saya dengar ialah yang dibawakan Innerbeauty, dengan vokalis cewek yang wewww…

Tapi di Gedung DPRD-DIY itu saya mendengar dinyanyikan dalam versi berbeda, lebih smooth.

Lagu Darah Juang sebenarnya bukan lagu asing. Cukup dikenal terutama bagi para aktifis penggulingan rezim Soeharto. Lagu yang mengungkit kembali gelora yang membara di saat demo besar-besaran Se-Indonesia raya. Sedikit kenangan juga, lagu inilah yang juga dinyanyikan saat penguburan sastrawan yang sangat saya banggakan, bahkan hanya sebagai pembaca bukunya saja sudah membuat bangga, bangga Indonesia memiliki penulis seperti beliau, yang karya-karyanya dirujuk sebagai literature untuk siswa-siswa di Australi sana, ironis yah…justru di negeri tercinta ini, karyanya malah di’bungkam’. Beliau, Pramoedya Ananta Toer.

Lagu Darah Juang sendiri, dikarang oleh John Sonny Tobing, mantan mahasiswa UGM pada tahun 90an. Dan dipopulerkan oleh Band LONTAR, dengan latar belakang personilnya pernah diculik di rezim yang sudah KO itu. Dituding makar atau dianggap membahayakan keberlangsungan bangsa. Ooo really?? :)

……………….

Yang juga terkenal garang dalam lirik, kita kenal bersama, Bung Iwan Fals. Memori saya tersangkut lagi nih.. pada saat saya pertama kenalan dengan lagu-lagu Om Iwan. Saat itu masih SD, berseragam putih merah, dan saya harus mendengar Sugali, Oemar Bakri, Hatta (lupa judulnya apa) sambil mendekatkan kuping lekat-lekat pada speaker. Biasalah, Ibu selalu tak sefaham dengan musik. Sehingga saya harus sembunyi-sembunyi menikmatinya.

Juga, Slank..

Tak perlu dibahas rasanya, hanya mengabsen saja.
…....

Yang mengusik saya, ialah lajunya band-band pendatang baru yang hanya menawarkan lagu-lagu patah hati (walau ada juga yang saya suka), dan banyak yang kurang memperhatikan sisi musikalitas.

Kemana yah..perginya band-band seperti Innerbeauty? Mengapa mereka selalu saja dibayang-bayangi dengan major label? Mengapa sedikit dari mereka yang bisa menembusnya? Apakah idealisme yang mebuat mereka tetap tak bergeming di ranah Indie?

....

Dulu, beberapa tahun lalu saat masih di kampung halaman, beberapa kali pernah lah menonton teman konser underground. Tempat yang dipakai kala itu terbatas, paling banter audit RRI.

Satu band yang saya saluti, ialah BERHALA yang juga melagukan nilai-nilai nasionalisme, perjuangan dan umpatan pada pemerintah. Banyak hal yang membuat saya menyukai mereka, personality maupun musikalitas. Sebenarnya, saya sangat menikmati musik mereka, walaupun untuk penampilan, saya merasa kecut, seringkali keluar aturan dresscode. Bayangkan saja, saya berbaju pink sementara yang lain, termasuk wanita, berpakaian serba hitam dengan dandanan gothic. Hehehe…

Kembali, sebenarnya saya sangat menyukai musik mereka, seandainya penontonnya juga mendukung. Tempat konser yang berbau alcohol… aaaaggggghhhh.....

Saya jadi membandingkan sendiri saat menonton konser Haggard, tentu hanya dari cakram VCD. Haggard, dengan 16 orang di atas panggung, menawarkan sensasi berbeda menikmati musik metal. Setiap penonton yang datang, mereka diperiksa satu persatu, tak diperkenankan membawa alcohol, senjata, dan lain yang membahayakan. Dan mereka menonton dengan tertib, dasyat bukan main…

...

Balik ke masalah nasionalisme. Sebenarnya apa sih yang kurang? Apa sih yang salah? Seringkali saya bertanya-tanya mengenai hal ini pada diri sendiri.

Bapak-bapak di balik jeruji pemerintah berkoar-koar “ayo, cintai produk dalam negeri..” aduh, saya makin bingung. Sebenarnya yang dimaksud dengan produk dalam negeri itu yang mana sih?

Untuk diketahui juga, banyak sekali manufactur yang bertaraf internasional, tetapi memiliki pabrik di sini. Di Jakarta saja, Sebutlah Merek perlengkapan olahraga Nike, Reebok, Adidas, Old Navy, GAP diproduksi di sini. Pabrik itu milik kontraktor Taiwan dan Korea yang mempekerjakan buruh dengan upah sangat rendah.

Para buruh bekerja 24 jam, dan tidak ada etika perusahaan yang sebenarnya telah dikeluarkan oleh pihak produsen. Para buruh dibungkam suaranya, tak ada konpensasi overtime, longshift. Yang ada ialah kerja dan kerja.

Buruh tersebut bahkan bekerja dari jam 08.00 sampai jam 12.00 malam dalam kondisi berdiri. Bukan main!! Tidak ada kode etik, jangan kan kode etik, bahkan peraturan perusahaan saja tidak pernah diberikan. Dan dalam satu hari, minimum mereka membuat 3000 helai celana pendek GAP, yang jika dibeli di London, seharga 8 Poundsterling, setara dengan 100 ribu Rupiah. Dan dari harga itu, buruh Indonesia mendapat kurang dari 4 sen (Rp. 500).

Atau sama juga dengan sepatu olahraga seharga 100 poundsterling (1,2juta Rupiah), dari situ buruh Indonesia hanya mendapatkan 40 sen atau 5000 perak rupiah!! Yang bahkan ironisnya tidak cukup hanya untuk membeli tali sepatunya saja.

Pada tahun 2000, pimpinan perusahaan GAP digaji lebih dari 5,5 juta dolar setara dengan 44 Milyar Rupiah setahun. Sementara keuntungan perusahaan GAP mencapai 1, 38 Milyar dolar (Rp. 11 Triliun). Dan ini adalah angka biasa untuk perusahaan multinasional.

Apa ini?

Jadi sebenarnya apa yang harus kita singkirkan? Produknya? Atau justru branded nya? Atau lagi, justru perusahaan asing itu?

Bagaimana nasib buruh-buruhnya jika tempat kerja mereka dilangsir?

Itulah kerja pemerintah!!! Bukan berkoar-koar, “ayo, cintai produk dalam negeri!!!!”.
Bung, produk branded itu juga dibuat oleh tangan-tangan pribumi. Bukan itu! Bukan karya mereka yang kebetulan saja di wadah ‘para bule’. Bukan itu!!!

Tapi tempatnya! Rumahnya yang harus disingkirkan. Atau dikosongkan dulu dan ganti dengan penghuni baru! Penghuni itu adalah pengusaha-pengusaha local dengan produk barang yang mencirikan negeri.

Bawa corak-corak batik yang bikin ‘nyinyir’ seantero dunia sana! Jangan hanya ‘latah’ ketakutan batik dicuri paten oleh Negara lain. Ketahuilah, tidak hanya Indonesia saja yang memiliki seni m’batik. Tapi Cina juga. Kalau mau di buat hak cipta, usung motif dan corak, bukan siapa yang menemukan.

Jangan lupa, ada INAICTA (Indonesia ICT Award) yang menghasilkan Software JBatik yang mampu menghasilkan corak batik secara unik. Sebuah terobosan anak negeri dengan memanfaatkan logaritma fractal pada piranti lunak open source.

Apa yang kurang?
……

Bicara nasionalisme, kita harus bercermin pada Bung Karno. Beliau dengan lantang menjauhkan perusahaan-perusahaan raksasa dari bumi Indonesia, juga mendepak perantara mereka. Bank Dunia dan IMF. Berbeda dengan Soeharto yang menjadikan keduanya sebagai sekutunya.

Dan berbicara mengenai Bung Karno, tidak bisa memisahkan dari orang-orang besar yang menyokongnya.

Sebuah baleho besar di belakang UPN Seturan yang saya temui kemaren siang cukup mengetuk pintu penyadaran. Baleho itu berinformasi akan adanya haul besar mendoakan almarhum Panglima Soedirman.

Rencana acara besar ini sebenarnya sudah saya ketahui sejak sebulan lalu dari Iwan Piliang, Presstalk saat bertemu di Jogja. Saat beliau datang atas undangan Bugiakso, Ketua Umum Soedirman Center, yang juga merupakan ipar dari cucu Soedirman. Ganang Tidarwono Soedirman, pemerena tokoh Panglima Soedirman dalam film.

Ketika menuju bilangan Ngaglik, Iwan Piliang bercerita banya hal, diantaranya rencana besar acara di tanggal 2 Nopember itu. Nantinya, lahan pertanian di depan rumah Bugiakso akan disulap menjadi venue haul. Dan akan melibatkan banyak penduduk setempat.

Semangat perjuangan Panglima Soedirman masih diteruskan oleh Bugiakso. terbukti dengan peluncuran buku, lagu dan situs internet (websites); Setia Indonesia; Meneruskan Perjuangan Bangsa. Bolehlah kita lihat di www.setiaindonesia.com. Lagu Kelayung-layung, dan buku dapat di download gratis. Yang terpenting lagi, bisalah kita menyatakan dukungan kesetiaan terhadap negara kita tercinta ini.

Buku itu juga memuat fragmen penjajahan negeri yang dibuat oleh rezim Soeharto, yang telah menggadaikan negeri ini pada IMF.

Lagi-lagi kan.....
........

Tapi sudahlah kawan…. Tak usahlah kita risaukan benar mengenai Soeharto yang tak ujung-berujung mendecakkannya. Maksud saya, tak perlu pula lah kita ikut-ikutan latah berteriak-teriak pada pemeerintah.

Bagaimana kalau kita mulai berpijak pada kaki sendiri? Mandiri? Atau kita buat sebuah kesepakatan kecil yang bisa merubah banyak hal.

Beberapa hari lalu saya ngobrol santai dengan seorang sahabat melalui ponsel, untunglah tarifnya sudah bersahabat sekarang. Dalam obrolan itu, dia mengemukakan rencana-rencana hidupnya. Tidak muluk-muluk, hanya hal sederhana, seperti bangun lebih awal, misalnya.

Sangat menarik bagi saya. Banyak dari kita terlalu memikirkan hal yang besar-besar, cita-cita yang menggunung, tetapi kita mengabaikan hal-hal yang terlihat remeh dan kecil. Padahal yang besar itu juga tercipta dari yang kecil.

Perubahan besar suatu bangsa, tidak bisa dimulai hanya dari perintah. Tapi dari masing-masing individu. Individu yang mau berubah, atau menggeser sedikit pola hidupnya. Tentu ke arah yang lebih baik.

Membuat perubahan kecil pada diri sendiri, itu lebih berarti ketimbang hanya sekedar memikirkan bentuk perubahan apa yang cocok untuk Indonesia. Bertindak dan bertindak! Itu saja.

Permasalahannya, adalah respon kita! Respon otak dan tubuh. Bagaimana kita merespon setiap perubahan kecil yang direncakanan itu? Butuh sebuah komitmen. Butuh sebuah kerja keras. Tapi yakinlah…(seperti juga sahabat saya itu meyakinkan), perubahan kecil itu akan membawa dampak yang besar di hari-hari mendatang. (suatu saat, di tulisan lain saya ingin bicara panjang tentang respon ini).

Bangun tidur lebih awal, baca buku lebih banyak, makan teratur dan bergizi dan tidak terlalu kenyang, menabung rutin, bersedekah , temui banyak orang dan dengan rendah hati mendengarkan.. apa saja!. Hal ini terdengar remeh dan jauh dari kata nasionalisme. Tapi kawan, untuk membuat perubahan besar pada negeri ini, kita mulailah dari merevisi diri sendiri.

Jangan lupa (ini terlebih untuk mengingatkan diri sendiri!), tingkatkan ibadah. Menjadi penting, karena seseorang yang dekat dengan Tuhan cenderung takut melakukan yang tidak benar.

Bagaimana menurutmu, kawan?

Oleh Surya HR Hesra
Jogja, 23 Oktober 2008
00:23

11 comments:

Arief Firhanusa said...

Tulisan yang berapi-api, honey, tapi jujur saya sependapat tentang satu hal: NASIONALISME ITU OMONG KOSONG, karena propaganda cuma di bibir belaka!

O iya, setiap upacara bendera 17 Agustus, saya menyempatkan berdiam diri selama setengah jam, terutama saat ditayangkan di TV, langsung dari Istana Negara.

Seperti biasa, sejak kira-kira kelas 3 SMA, saya terisak tatkala Sang Saka dikerek ke atas oleh Paskibaraka ...

goresan pena said...

hehe, iya yah...jadi ngomel2...kebawa emosi saat menuliskannya tadi malam mas...

saya pun melakukan hal yang sama saat 17 agustus mas.. ada bagian yang hilang saat upacara tidak lagi menjadi ritual di senin pagi.

saya masih ingat saat upacara terakhir kelas 3 dulu...
suasananya, udaranya seperti masih bisa saya kecap..

terimakasih mampir mas...

MUJAHIDIN Kaliwungu Kendal said...

Yang namanya Nasionalisme itu bukan sekedar ucapan itu hes.... Tapi ya gimana iya ...Orang itu menjadi komoditas para pemuka, pencari nama dan para politisi atau para penjanji yang Bul sit. kalau sudah terlampui cita citanya. lupa janjinya.

Hesra...salam kenal yah...Jogjanya mana sih

goresan pena said...

sepakat pak.. nasionalisme adalah sesuatu yang perlu diresapi, walaupun meresapannya tentu lah berakar dari sebuah pengucapan juga..

salam kenal juga..senang sekali disinggahi...
jogja...hm, daerah condong catur pak..entahlah, apa masih bisa dibilang jogja...sleman lebih tepatnya...

salam.

Anonymous said...

Bagus sekali ulasannya...

Saya sangat setuju bahwa perubahan besar bisa dimulai dari perubahan yang kecil-kecil.

Perubahan rasa nasionalisme inipun dimulai dari hal-hal yang kecil, perubahan yang sangat halus namun bisa memutuskan rantai generasi, dari tahun ke tahun dan setelah bilangan puluhan tahun, akhirnya kita terperangah, ternyata telah begitu banyak perubahan terjadi.

Karena kita tidak punya power untuk mengubah bangsa ini secara revolusioner,
maka yang dapat kita lakukan adalah memulai dar diri kita, mulai dari hal-hal kecil ke arah yang lebih baik.
(jadi inget ceramah AA Gym)

Marilah kita lakukan pada diri sendiri dulu, anak dan keluarga kita. Akumulasi perubahan pada tiap individu, akhirnya akan menghasilkan perubahan yang besar pada bangsa ini.

Semoga kita bisa menjadi pionir perubahan bangsa ini.
Kalau tidak dimulai dari sekarang... kapan lagi???

Anonymous said...

dulu Ahmad Dani anti blog dan blogger.. sekarang kabarnya bikin blog... haiyyah...
*rasanya saya tidak punya nasionalisme, mungkin karena saya sedang tidak percaya pada nation ya???

Bambang Saswanda Harahap said...

saya percaya dengan nasionalisme.. sampai hari ini nasionalisme itu hidup dan berakar, tapi ntah dimana.. saya yakin negara ini masih ada sampai detik ini adalah buah karya nasionalisme.. tidak hanya orientasi kepentingan dan materi.. masih ada.. masih ada dan masih ada,, percayalah.. idealisme nasionalisme sering muncul, tapi mungkin kita yang terlalu pesimis dan skeptis tentang itu.. saya sepakat "mulai lah dengan hal kecil" paling tidak dari tulisan ini sudah menegur kita, apa yang kita punya? adakah nasionalisme bangkit karenanya?. mulailah,,

Lia Marpaung said...

setuju dengan pendapat bung eric...untuk mengubah cara pandang dan sikap suatu negara / masyarakat, mari dimulai dari diri kita sendiri...karena terkadang justru lebih susah merubah diri sendiri daripada merubah budaya suatu masyarakat ... :)

Anonymous said...

Kalo pernah nonton The Last Samurai nya Tom Cruise ada satu dialog yang cukup menggelitik mengenai budaya orang Jepang: "...mereka selalu melakukan yang terbaik untuk mencapai kesempurnaan dari setiap pekerjaan yang dilakukan". Even cara meracik teh untuk dihidangkan...Harusnya kita juga bisa seperti orang Jepang ya..

MUJAHIDIN Kaliwungu Kendal said...

Makasih motivasi untuk saya mengelola dan mendidik anak.
moga dapet sabar iya

goresan pena said...

* mas erik; yup...tepat sekali. persis seperti konklusi yang saya tulis di akhir tulisan kan? hehe...sepakat n damai deh...

*mas andy; anda tidak sendiri bung, banyak yang mengaku tidak memiliki nasionalisme lagi, walaupun sesungguhnya nasionalisme itu ada, tak muncul di permukaan, tapi ada...di diri kita, sekecil apapun

*bambang; betul dan sepakat! nasionalisme itu tetap ada. hanya saja, pengekspresiap tiap orang selalu berbeda. dukung setia pada indonesia di www.setiaindonesia.com

* Lia: hm...memang begitu yah...berubah atau berkomitmen dengan perubahan kecil dalam hidup kita tuh tidak mudah..perlu komitmen..

*Rakha; tadi malam saya juga nonton film bagus, man on fire..
terkutip kalo tak salah begini bunyinya...
"tiap orang bisa menjadi seniman di tiap bidang yang dikuasainya..apapun itu"
hehe, kok ngomongin film yah?

*pak jahid; wah...terima kasih pak...hanya sharing aja kok...