28 July 2009

Buat Ibu (mumpung nyawa masih menggantung)

Akh.. Ibu,
Kau pernah bermimpi melahirkan aku?
Kupastikan tidak!
Kau hanya akan membayangkan bayi mungil
Yang imut, lucu, cantik menurut versimu
Lantas,
Kau pun berangan-angan cemas segala yang baik perihalku,
Doa menurut tuturmu,
Meski kau sadar betul,
Tidak ada manusia sempurna, sesempurna doa

Akh.. Ibu,
Kau pernah berharap melahirkan aku?
Mungkin tidak!
Kau hanya akan membayangkan bayi mungil
Yang keluar dari jalur rahimmu melewati bukaan vagina
Yang hanya akan senantiasa mengajakmu tertawa
Lantas,
Kau pun berdebar-debar bimbang membesarkan dengan membatasi gerakku
Menjagaku, dalihmu
Meski kau sadar betul,
Aku manusia berubah, berkembang, berproses

Akh.. Ibu,
Adakah kau pernah menyesal melahirkan aku?
(tak bisa kujawab)
Mungkin kau yang harus menjawabnya sendiri, Bu..

25 July 2009

Buat Bapak (mumpung kita masih hidup)

Pak..
Haruskah hidup ini terus menerus mencari diri?
Haruskah aku lahir dan hidup terjejali dengan sesak pembuktian yang tiada akan tuntas?
Haruskah aku menyirami benih dendam berkat nilai-nilaimu padaku?
Haruskah aku senantiasa ketakutan dan enggan hanya karena amarahmu?

Pak..
Tahukah kau?
Mungkin engkau satu-satunya, yang begitu aku banggakan sekaligus aku sayangkan!
Tahukah kau?
Engkau pemicuku sekaligus engkau detonator yang meledakkanku
Tahukah kau?
Aku lelah.. aku lelah!

Pak..
Aku ingin kau peluk saja, seperti ku kanak-kanak
Aku benci menjadi dewasa
Dan harus merasakan panasnya tamparanmu
Kuatnya hajaranmu, aku lelah..

Pak..
Aku ingin kau nyanyikan timang-timang saja,
Biar aku terpejam, terlelap dalam kanakku yang tak sua beranjak
Aku enggan jadi dewasa,
Aku takut kau mengecamnya

Pak..
Kini, setelah kau tak lagi menghajarku..
Kumohon..
Tutup saja mulutmu,
Sstt...
Jangan bersuara,
Kata-katamu lebih menyakitkan,
Telingaku mungkin sanggup mendengar,
Tapi hatiku, Pak..
Otakku, Pak..
Perasaanku, Pak...

Cukup. Cukup!

22 July 2009

..simply..

...ketika aku bakar aral ini,
akankah kau buka pintu itu juga?
setelah aku melangkah,
akankah keberanian itu menuntunmu untuk melangkah juga?...

20 July 2009

pada yang terbatas

Doaku mungkin terbatas,
Hanya berakhir pada keping-keping kancing bajumu
Tetapi aku ingin merintis yang tak seberapa itu
Aku ingin merapalnya..
Setiap pagi kala kau hendak berangkat
Dan pulang saat kau hendak melepas penat

Doaku mungkin terbatas,
Hanya berhenti pada keping kancing terakhir bajumu
Tetapi aku ingin mengulanginya, lagi.. lagi..
Aku ingin menggumamkannya..
Agar kau senantiasa tahu
Di sana ada pinta dan harap

Maka berdoalah aku sepanjang yang terbatas itu,
Kemudian mematutmu, kita: di hadap cermin.

16 July 2009

Buat Ning

“kau tidak akan pernah mengerti ini, Ning.. kau tidak akan pernah mengerti”
“bagaimana aku bisa mengerti jika kau tak pernah mengatakan”
“apa yang perlu kukatakan?”
“katakan seluruhnya, sepenuhnya”
“akh, kata-kata tak penting Ning, bahkan aku sudah tak punya lagi bahasa, untuk rasa”
“apapun itu!”

Begitulah Ning.. begitulah obrolan kita yang tak pernah tuntas. Begitulah percakapan kita yang selalu terkatung. Begitulah, bincang kita yang selalu mengapung.

Katakan, Ning..
Katakan apa yang harus aku lakukan dalam waktu dekat.. katakan, apa yang bisa kuperbuat? Katakan.. bagaimana menghadapi malam ini? Katakan, Ning..

Sudah tidak merah lagi, pernah kau tulis itu dulu. Tapi apa itu?



Permukaan air di danau ini masih sejuk. Sama seperti berpenggal silam kita celupkan kaki-kaki kita. Dimana kita duduk berjejer rupa, mengadap riak-riak yang tak lagi sempurna memantulkan kita.

Permukaan air di danau ini masih saja hijau. Ganggang di dalamnya menjalar memenuhi dasar dan berenang menggapai permukaan. Pantulan mentari membias warna perak emas yang luar biasa. Mata kita tidak terpedaya.

Ning, itu senja terakhir kebersamaan kita. Kau ingat Ning.. burung-burung dara terbang demikian rendah. Kadang mereka berjalan mendekati kita, tetapi terburu-buru pergi begitu kita bereaksi sedikit saja.

Kau masih ingat Ning, kala kau rebah dipangkuanku dan kau bersungut-sungut kesal kau begitu membenci anak kecil. Bagimu mereka seperti monster bertopeng wajah polos, yang seringkali melukai hati. Entahlah, Ning.. aku tidak mengerti. Sementara aku sangat menyenangi anak kecil. Gemar menggenggam jemari mereka yang mungil, senang mendengar celoteh mereka yang sederhana, aku suka itu.
“menikah saja, kalau begitu..,” itu ucapmu kesal.

Akh, Ning.. bukan begitu.. bukan begitu, Sayang..

Lihat Ning, kerikil ini akan kulempar. Akan kubuktika lemparanku lebih jauh dari lemparanmu kala itu. lihat Ning!

Dan kerikilku melesat jauh, hilang dibalik warna hijau danau. Yang tersisa hanya bunyi ‘plung’.

Ning, nelangsa.. kau mengerti arti kata nelangsa? Sudah.. tak perlu kau mengerti. Rasa, yah.. ini hanya masalah rasa, yang kusara. Seperti itulah saat ini.



Pelaminan ini masih akan bertahan beberapa hari. Wangi melati dan semerbak kuntum-kuntum mawar masih akan terus menghiasi. Senyum masih lagi harus kutabur dalam perih luka hati, hingga sore ini. Dan nanti malam Ning, kau tahu.. tangisku akan pecah. Kau tahu itu Ning..

Kau memang patut marah padaku, kau memang patut kesal, kau patut membenciku. Aku mengkhianatimu, Ning..

Aku yang salah Ning, aku.. tapi kumohon jangan hukum aku. Aku ingin kau tahu, betapa tak berdayanya aku, Ning.. dan kau semestinya tahu aku akan sangat tersiksa dengan pilihan hidup ini. Aku memilih untuk berdusta seumur hidup, Ning. Kau tahu bagaimana rasanya berpura-pura sepanjang hayat? Kau tahu rasanya menjadi seorang munafik? Kau tahu Ning?

Ning..
Katakan, bagaimana menghadapi malam ini?


Perempuanmu, yang akan selamanya mencintai perempuan.

Ayumi.

01 July 2009

LUH TRE

“bukan yang itu, Luh..”
Luh seketika menarik tangannya. Ia menoleh pada suara yang menegurnya. Bibirnya sedikit maju, lalu dengan bantuan menjejak ranting di tangan kanan, ia bangkit.
“salah terus..,” rajuknya.
“kau harus benar Luh, kau harus lebih jeli! Berbahaya jika kau salah sedikit saja”. Begitu penjelasan yang ia terima.
Luh menyeret kaki, enggan. Masih merajuk kiranya. Ranting yang dipakai membantunya berdiri tadi dikibas-kibaskan pada udara, sabetannya mengeluarkan suara yang cukup untuk menunjukkan kekesalan. Arah sabetan itu tak menentu, dari kanan di tarik ke kiri, lantas bergegas ke atas, terjun ke bawah, lantas ke kiri lagi, dan begitu terus menerus tanpa ada gerak terarah.

“kau kan hanya bocah juga! Tau apa kau?,” sungutnya kemudian. Bibirnya masih mecucu. Gumamannya yang masih terdengar itu disambut dengan gelak tawa. Dia Ranggas. Ranggas melemparkan sebuah umbi ginseng dan tepat mengenai bahu Luh. “rasakan! Untuk anak yang aleman,” Ranggas masih tergelak. Wajah Luh memerah. Ia berdiri dan segera berkacak pinggang, tetapi bingung mau berkata apa. Akhirnya, ia menampar tanah dengan hentakan kaki, lantas melengos meninggalkan Ranggas.

Luh berjalan cepat-cepat, melintasi pinus-pinus. Sesekali menarik dedaun cajuput (kayuputih), tak sempat membaui, segera saja dihempasnya kembali. Padahal biasanya ia sangat senang mencium-cium daun-daun cajuput itu. ia pun tampak seperti tidak peduli pada batang yang mulai terkelupas itu, padahal biasanya ia akan berhenti lama di sebuah pohon, hanya untuk mengamati kelupasan itu dan bercakap-cakap ringan dengan semut-semut yang berjalan cepat di antaranya.

Luh berhenti di sebuah batu agak besar nyaris di tengah Kali. Luh melompat-lompat kecil dari batu ke batu untuk sampai ke sana. Memang sudah menengah, dengan deras air yang lebih dibanding sisi lain. Segera ia mencelupkan wajahnya pada air yang dingin karena bersumber dari jatuhan Gunung Merapi. Air dingin membuat otaknya sedikit dingin, tetapi terlalu dingin, membuat isi kepalanya itu semakin kram. Maka ia tak berlama membiarkan wajahnya di dalam. Ia menyibak sebagian rambut yang ikut basah.

Tak sengaja ia menatap langit. Seisi langit yang tampak di matanya seakan tertawa geli. Akh! Kalian memang sering menertawakan aku! Aku yang anak kecil ini.. padahal kalian sendiri juga lucu begitu kok, coba saja bercermin, nih.. tunggu riak air ini tenang sedikit, tadi baru ku kacau. Kalau sudah tenang, berkacalah kalian seisi langit, kalian lebih kocak! Begitulah monolog hati Luh.

Tapi ia masih kesal dengan Ranggas. Ranggas, bocah laki yang sok tau itu. yang selalu merasa betul. Yang selalu saja menganggapnya lebih kecil, kendati dari usia memang Luh beberapa bilangan lebih muda. Tapi ia kesal dengan bocah menyebalkan itu! bocah yang menyebalkan!! Ya.. julukan itu memang pantas untuknya.

Luh teringat Romo. Romo tak pernah menyalahkannya, Romo selalu menunjukkan kebenaran dengan tepat. Romo selalu bijak di mata Luh. Room adalah laki-laki yang selalu menyenangkan, berbeda dengan Ranggas. Laki-laki kedua yang pernah dilihat sepanjang usianya.

Luh membayangkan, jika tadi ia memilih pergi bersama Romo untuk menembus bukit itu, mencari kayu bakar, mungkin itu akan lebih menyenangkan. Tetapi, ajakan Ranggas mencari tanaman obat, terdengar lebih menjanjikan awalnya sebagai pengalaman baru. Ia belum pernah melakukan itu sebelumnya. Romo tak pernah mengajak jika bepergian mencari tanam obat. Dan pengetahuan Romo terbatas untuk itu, hanya seperlu kebutuhan mereka saja.

“kau memikirkan aku, he?” suara itu membuyarkan lamunan Luh dalam sekejap. Ia menoleh cepat walau sudah menduga itu Ranggas. Siapa lagi? Tapi buru-buru membuang muka lagi.
“naiklah.. kemari Luh! Ada yang ingin kutunjukkan..”
Luh masih mengemoh pada ajakan ranggas yang terdengar lunak itu.
“anak perempuan memang selalu aleman. Betul kata Ibuku” ternyata kalimat Ranggas yang sembarangan itu yang menggugah Luh. Luh berjalan mendekat dengan nafas terburu.
“siapa bilang aku manja?,” tantangnya.
Ranggas tertawa kecil, mungkin sudah hapal betul gelagat anak perempuan yang menjadi satu-satunya sahabat itu.

“duduk di sini, Luh..,” kali ini Ranggas bergaya seolah ia seorang kakak yang mengemong adiknya. Ranggas menarik lengan Luh. Dan untuk pertama kalinya, Luh menurut.
“kau lihat ini..” Ranggas menunjukkan beberapa rimpang.
“ini serupa, mirip. Tapi berbeda. Kau mungkin sudah kenal jahe, laos, kunir dan yang biasa Ibumu pakai memasak. Tetapi ini berbeda. Coba kau perhatikan. Warna mereka hamper sama, begitupun bentuk mereka, tetapi manfaat mereka berbeda”
Lalu Ranggas mengeluarkan lagi beberapa teki dan tetumbuh hijau dari keranjang kecil bambu yang tersampir selalu di pundaknya.
“nah, ini beberapa ginseng, yang terpenting adalah akarnya. Tapi kau pun harus teliti, banyak tanaman serupa, tetapi sama sekali berbeda manfaat, bahkan mengandung racun. Kau harus pintar Luh, karena kau sudah pintar”
Ranggas tersenyum demi melihat Luh sedikit tersipu dalam ambeknya.

Lantas Ranggas berbaring di rerumput yang kering terkena pantulan sinar matahari. Ia bercerita pada Luh seperti ia berbicara dengan diri sendiri.

Aku memang masih bocah, Luh. Sama sepertimu. Tetapi, sejak aku lahir dan Ibu sudah mampu berjalan, Ibu selalu membawaku menyusuri bukit demi bukit untuk mencari tanam-tanaman obat. Kami tak pernah tinggal dalam waktu yang lama di suatu tempat. Kami selalu saja berpindah-pindah. Akupun tidak mengerti mengapa Ibu memilih demikian, awalnya. Aku hanya hidup berdua dengannya.

Ibuku cantik, Luh.. andai kau pernah melihatnya. Aku melihat banyak perempuan saat berkelana bersama Ibu dari kampung ke kampung, dari pemukiman demi pemukiman, dari hutan ke hutan. Tetapi, rasanya.. Ibuku paling cantik.

Sementara itu, Luh mengumpat di dalam hati, bagaimana mungkin ia bisa membayangkan sosok perempuan cantik. Yang ia tahu hanya Ibu dan dirinya sendiri, jadi baginya, yang tercantik, tetap dia dan Ibu. Tak ada yang lain.

Ada yang mengatakan kalau Ibuku adalah seorang tabib. Tapi, entah apa itu pantas untuknya atau tidak. Tetapi, ia selalu berkelana menemukan orang sakit dan kemudian membantunya. Sedapat mungkin ia mengajari penduduk yang ia temui mengenai obat-obatan dan mengenali berbagai penyakit. Sebetulnya, nama Ibu sudah masyur. Orang-orang memanggilnya Jingga. Yah, Jingga. Tanpa mereka tahu siapa sebetulnya Ibu.

Dinamai Jingga karena Ibu biasa mencari tanaman obat di pagi begitu matahari terbit, dan hanya dapat ditemui orang-orang sebelum matahari tergelincir. Begitulah kemudian mereka menamai Ibu, Jingga.

Ibu yang selalu mengingatkan aku harus teliti dalam memilih dan memilah tanaman-tanaman itu. dan begitupula maksudku mengingatkanmu tadi. Adalah hal wajar, Luh.. kau melakukan kesalahan, tetapi kau harus memperbaikinya. Ini baru hari pertama bukan? Kau pasti akan bisa. aku yakin itu! karena kau anak cerdas dan bersemangat.

Seketika hati Luh seperti meleleh. Ia tidak pernah merasakan colekat yang lumer di lidahnya, atau merasakan es krim yang mencair begitu ia menyentuh bibir. Tetapi ia pernah merasakan garam yang sangat jarang dimakannya. Hanya beberapa kali, jika Romo melakukan perjalanan jauh ke desa seberang. Ya.. butir garam yang pernah menyentuh ujung lidah hingga pangkal ia rasakan begitu nyamannya. Rasanya yang tak biasa mengingatkannya akan rasa keringat yang seringkali tanpa sengaja ia jilat.

Luh tersenyum. kali ini hatinya persis seperti sejumput kecil garam yang melewati mulut untuk diteruskan ke kerongkongan. Ya.. ya.. seperti garam.

“iya.. tapi kau berlaku kasar padaku,” masih dengan nada merajuk meminta dibujuk.
“kasar? Aku? Padamu?,” Ranggas seakan tak percaya.
Luh mengangguk. Kali ini Ranggas menjadi kesal. Ia bangun dari baringnya, dan duduk dengan gerak tubuh jengkel.
“iya.. tadi kau memarahiku.. padahal Romo tak pernah sekalipun”
Kali ini Ranggas betul-betul bangkit berdiri. Wajahnya tampak emosi betul.

“Romo.. Romo.. Romo terus!! Kau tidak tau seperti apa Romo-mu itu! kau tak pernah tau apa yang diperbuat Romo-mu itu!! kau tidak pernah tahu itu, Luh!!,” suara Ranggas tiba-tiba seperti guntur, memekakkan telinga Luh. Dan membuat Luh terjengap, terperanga.
Luh diam, ia seperti tersihir entah oleh apa.
Ranggas kemudian mengemasi keranjang bambunya, menyisir tanaman-tanaman yang ia keluarkan tadi dan bergegas pergi meninggalkan Luh. Luh masih tercekat. Dalam berapa langkah, Ranggas membalik badan. Ia berkata dengan mata menyala.
“hiduplah terus dalam bayang-bayang Romo-mu itu! bagimu, aku tetap seperti tanaman meranggas, kan?,” terdengar begitu penuh amarah, dendam juga getir.
Ranggas pergi cepat meninggalkan Luh yang terpasak dalam diam. Tubuhnya mulai menghilang di balik rerimbunan. Luh terkesiap, baru mulai menguasai diri. Ia dilanda rasa bersalah demikian menggunung.

“Ranggas… tunggu..!!”.


Jogjakarta, 1 Juli 2009
05:05

NB: ada baiknya membaca terlebih dahulu puzzle sebelum:
http://soerjahrhezra.blogspot.com/2008/12/luh.html
dan
http://soerjahrhezra.blogspot.com/2008/12/luh-bertemu-jingga-di-mata-romo.html