09 October 2008

CHANDRA

Bulan memudar, hujan melunturkan malam. Langit selatan lebih muda, lebih putih seperti sediakala. Manakala mendung beranjak pergi menjauh dari sisi senja, semesta berubah membiru serentak tiba-tiba. Hujan, dan alam tak lagi bersuara.

Tetes-tetes, lebih tepat gericik terdengar jelas. Ada lagu, yang berlomba tanpa notasi. Ada kidung yang bersuara tanpa melodi, bunyi alam. Bunyi malam dibasmi hujan, bulan memudar.

Di siluet malam aku coba bayangkan. Tiada bulan, tiada cahaya, hanya beberapa sinar lampu membantu pupil mata. Di siluet malam aku menggambar sketsa. Sebuah wajah yang sangat dekat, tapi tak sua berwujud. Namanya atau bayangnya senantiasa terpatri, dalam bilangan entah.

Entah ialah nisbi. Saat aku bicara entah, saat itulah sesuatu terjujur dalam aksara. Entah menjadi sesuatu yang absolut, yang nyata dalam fatamorgana. Entah ialah tanpa. Tanpa awalan, tanpa akhiran hanya berupa garis tanpa titik.

Entah ialah berbicara tentang dia. Aku gambar kembali sketsanya. Nah, begitulah semestinya ia.

Bulan memudar, dihabisi hujan pertama.

Dalam tiap tetesnya, membawakan gelembung-gelembung kenangan masa lalu, sejarah-sejarah kecil yang mencipta nilai ku untuk saat ini. Yang membentuk diriku untuk saat ini.

Keberadaannya...

Pada tiap gelembung kosong itu berisi penuh sketsa-sketsa cerita, seperti sebuah lembar film yang harus dipotong dan disatukan lagi. Atau seperti lagu analog yang dengan manual dipadukan, potong, sambung.

Sambungan cerita yang tidak ingin kutuntaskan.

Tuntas...

Tuhan, kuharap aku tak mengenalnya. Tak mengenal kata tuntas.

Aku ingin menulisnya di sini, aku ingin mengabarkan sesuatu untuknya, karena aku tak bisa membisikkan lekat di telinganya. Hanya berpesan lirih pada angin supaya sudi kiranya menjadi menyandang wahyu, tolong.. sampaikanlah padanya;

'hanya dia yang tersisa dari sekian banyak cerita'

...

Setelah hujan ini usai, aku ingin lebih mengenalnya. Lebih merasakan keberadaannya. Lebih bersyukur memilikinya. Lebih sadar kebaikannya.

Terlalu jauh aku pergi menjelajah mencari sosok sahabat, padahal ia begitu lekat. Padahal ia sudah cukup dekat, tak semestinya aku melompat, karena dengan berjinjit saja sudah dapat.

Chandra di usung malam, di sudut selatan sana ombak berdesir riang, di sudut selatan sana, kupastikan langit tak diam. Mereka bercengkrama, mereka bertepuk tangan, mereka mengucap syukur. 'untunglah, kautemukan segera'.

Mungkin begitu.

Okt, 8 2008
20:49
rinai hujan di tepi jendela



(untuk salah seorang sahabatku C.Warga Negara Republik Indonesia, terima kasih untuk keberadaanmu, terima kasih Uda)

5 comments:

Haris said...

Ada 2 kata yang sering digunakan, entah dan tuntas.

Chandra diusung malam... apa ya maksudnya?

Anonymous said...

Hmm,pastinya sinar rembulan tak lebih terang dari sang Surya ya,yang bisa menampilkan pelangi yang indah dari hujan yang merintangi cahayanya.Karena putihnya dibentuk dari banyak warna.
Atau energi yang diberikannya ke semua yang mau menerimanya,yang memberi semangat di pagi hari.
Sang bulan butuh sang surya,karena ia tak punya cahaya untuk menampilkan dirinya sendiri..
:)

Anonymous said...

salut deh

Anonymous said...

terkagum-kagum saat baca postingan yang ini....

goresan pena said...

erik : karena entah itu adalah absolut, mas..
sedang tuntas, adalah jeda antara awal dan akhir. tak ada yang benar2 tuntas sebetulnya.
chandra itu bulan pak..semoga membantu.

rakha; terima kasih...selalu lah 'menjadi'. thx Uda..

bung totok; duh...apanya yang di salut in?saya malah merasa malu..

dhie; ya ampun, saya jadi malu..
rasanya biasa saja...anw, terima kasih yah...