14 November 2009

...merepih...

Sayang...
bangunan-bangunan bertingkat ini, kulihat serupa kecambah
semacam biji yang menggoyang-goyang muka bumi untuk menumbuhkannya
sebagaimana pohon-pohon kacang polong raksasa
jangan kau bangga, jika kelak dewasa...

duh, Sayang...
datang lagi ke ibukota, seperti menggulat angin saja...
dimana angin bergegas menderu, menggilas pepohonan yang menentang,
membangkang dalam kelam langit malam
kesiur suaranya, duh... terdengar perih
jangan terlalu sedih jika kau harus tetap tinggal di lubuk desa

dan kau tau anakku sayang...
benderang surya tetap ada, mengusir halus kabut subuh,
tapi tetap tak bisa menembusi dinding kamar kita
kau menguning di balik ranjang dan aku harus menelanjangimu setiap hari,
membakarmu dengan matahari pagi
dan itu bukn di sini!
di rumah sakit-rumah sakit yang mengandalkan infra merah ketimbang matahari

mereka boleh bicara tentang hebatnya Jakarta!
terserah...
tapi Ibu pasrah,
manakala kecambah-kecambah itu terus saja beretiolasi,
manakala udara menampung lebih banyak sianida,
manakala matahari harus terganti sinar merah...

terserah saja,
tapi kau anakku...
boleh-boleh aku berharap padamu,
jangan sekali-kali kau bangga dengan perubahan semu,
merepihlah...

Pontianak, 14 Nop 2009
11.23 PM

11 November 2009

... anak waktu ...

Seandainya kau tahu yang sebenarnya terjadi.

anak waktu menggelosot, menari dalam tikung jalan pikirku
lantas mempertanyakan, mengulas masa demi masa terlewat
anak waktu tenggelam, menelantarkan kenangan pada ceruk sempit amygdala
lantas menggugat, adakah masa depan memang berkesempatan datang?

kupayungi kepala dari rintik hujan, berharap tak membasahi wajah
tapi keringatku kadung berlendir
tubuh ini tak lagi kering, bahkan tak pernah.

Seandainya kau tahu yang sebenarnya terjadi.

Pontianak,
Langit Lebam Membiru
11 Nop 2009
17:34 WIB

06 November 2009

...mbalela...

sebuah mimpi mencegatku dari perjalanan panjang alam bawah sadar
sesuatu berseru lekat betul di batas gendang telinga
"siapa kau?!"
siang ini aku tercekat.

tersandar di sebilah dipan tua,
merenungkan cabaran dua kata itu. menanyakan kembali,
"siapa aku?"

mungkin ini yang patut aku curigai

sepenggal waktu silam...

berlagaklah si aku ini,
seolah sekokoh langit yang tak punya kesempatan rubuh
tanpa sadar, langit hanya semata batas pandang

berlagaklah si aku ini,
seolah setegar samudera yang tak gentar hantaman ombak
tanpa nyana, masih ada laut mati berombak soliton yang tak beriak, tak bergelombang

"siapa aku?"

yang dengan pongah menganggap diri seolah berdiri atas satu gravitasi
sementara yang lain melayang menjadi anti gravitan
yang dengan konyol meyakini diri selalu mampu berpijak di atas kaki sendiri
sementara yang lain mengambang seperti buih parit di sela apu-apu

...

tak ada parigi yang dengan sempurna memantulkan aku.
kupinjam silica, genangan air, atau mata kalian untuk mengembalikan bayangku

...

bertahun-tahun lalu,
gadis kecil berlari atas jarak lebih 15 kilometer
airmata terus mengalir tergerus angin
di depan Kapuas ia tertambat seperti sampan-sampan parkir
sudah ia tekadkan untuk mencebur, mati saja!
namun rasa takut menyelamatkannya
hingga ia terduduk, sesenggukan di antara bakung-bakung kering tepi sungai
"aku tidak mau sedih!
aku hanya akan bahagia!
dan untuk itu aku perlu hidup"

gadis kecil itu menantang langit,
dan sejak itu ia lupa rasa takut,
bahwa rasa takut pernah menyelamatkan nyawanya.

...

mungkin ini yang patut kucurigai,
saat rasa takut itu jatuh kuasa,
lantas ada satu yang mbalela:

KESOMBONGAN!


Pontianak,
Jum'at, 6 nopember 2009
20.20 WIB
(bersama Cranberries: Free to decided)

* Mbalela=memberontak

02 November 2009

Bukan Karpet Turki

Lantas aku katakan bahwa aku bukan manusia.

Pelita-pelita dari batang bambu beruas tiga sepanjang satu depa, tertancap dengan deret perspektif sepanjang mata memandang. Jalan ini jalan berbatu yang belum lagi mengenal aspal. Masih kurasa runcing tumpulnya batu-batu cokelat merah yang tidak rata, ada juga yang sudah mulai tergerus beberapa sepeda motor yang melalui serta beberapa kali gerobak sapi hulu hilir membawa rumput melewati surau itu.

Dua tiga anak berlarian diantara bedug yang terduduk di pojok selasar surau. Beberapa lelaki bersarung berdatangan dengan sebilah obor yang kemudian mereka matikan dan parkir di tepian para-para, berdekatan dengan penyimpanan alas kaki. Mereka mengantre wudhu di pancuran yang memang hanya satu-satunya sembari mendecak langit malam itu.

sesungguhnya setiap waktu adalah sama.
batasan, hanyalah ulah manusia.
ada akhir dan ada mula.
hanya untuk membuatnya tak bosan berkelana di dunia
(jam dua belas lebih sedikit)
.

Langit itu cerah, membiru di pekatnya hitam. Warna yang beranjak mengakhiri kesudahan hari untuk melabuhkannya pada masa berjudul malam. Ada bulan yang meminjam paksa energi matahari untuk dipamerkannya, guna merajai bintang-bintang yang memang berdikari.

...

Sementara aku tetap di sini..

Sementara aku tetap di sini, tak bergerak tak beranjak. Sejauh yang kuingat sudah puluhan purnama aku termaktub di sini. Hanya beberapa penggal waktu aku bisa mencecap udara segar luar dan mencumbui matahari yang memang membakar. Tapi tak pernah lama, barangkali sebulan sekali saja sudah termasuk beruntung aku.

Keberuntungan itu yang aku tunggu, tentu saja. Saat aku bisa melihat wajah-wajah tanpa teka-teki. Saat aku bisa menyapa semilir angin, saat aku dibentangkan di para-para sisi surau, bersebelahan dengan jejeran sabut kelapa sisa produksi kopra Mak Jenab. Saat debu-debuku dikebas-kebas olehnya, sementara sudah 31 purnama ia yang mengurusi surau sejak ditinggal suami. Termasuklah mengurusi aku, si karpet yang terbentang sepanjang masa. Selama masih bisa berjaga.

Siang ini aku baru selesai di jemurnya. Dikebas-kebas, menggusur debu yang mulai menempel lagi. Daki di selip-selip uliran tubuhku memang sudah demikian dekil. Dan sekarang aku lebih cemerlang, penuh percaya diri untuk diciumi wajah-wajah dengan rapalan yang terdengar bisik-bisik Aha.. hari ini hari jum’at di paruh purnama Ramadhan.

Malam Ramadhan dan siang jum’at nyaris seragam. Surau penuh, surau padat. Hanya siang ini tak ada perempuan, kecuali Mak Jaenab yang sibuk memilah buah kelapa.

Aku terbiasa mendengar suara-suara, bahkan yang tak terdengar sekalipun. Hai.. betapa suara itu begitu indah.. suara itu tengah bercakap dengan dirinya. Sebentar.. aku masih lamat, menyimaknya.. ya..ya.. itu dia..aku dengar.. demikian ia berucap:

siang itu,
aku datang
ke rumah tuhan
bedug berdentam,
dada terhantam
hanya menengok, aku
suasana di sana masih sama
penuh gumam dan bisik-bisik doa
ah, itu bukan urusanku
aku datang, hanya ingin menengok tuhan
sekedar memastikan, apakah dia baik-baik saja
soalnya, sudah beberapa waktu kukirim pesan
tapi belum juga dijawab
apakah dia sedang sibuk ?
entahlah
hari itu, saat kutengok
ternyata dia sedang tak di rumah

(Menengok Tuhan)

Akhh.. ada sesiapa di situ, apakah ia mencariNya? Rasanya semua yang absen hari ini juga hanya mencari Tuhan. Atau sekedar mengisi daftar hadir, menandatanganinya. Tapi, tak ada yang hendak bertemu aku. Tak ada yang berniat ke sini, karena rindu hendak menciumku, hendak memberiku tetesan bening untuk dahagaku. Tidak ada yang memperdulikan. Padahal, jika tak ada aku, tentu lantai dingin ini tak lah nyaman untuk di sujudi.

Kuamat-amat di atas permukaanku yang terhampar. Yah, aku memang bukan karpet buatan Negara Timur-Tengah sana yang konon harganya sangat mahal. Menjadi mahal karena sebuah filosifi dalam pembuatannya dimana tiap-tiap orang akan melafalkan dendang suci Al-Quran dalam pengerjaannya dan dalam rapalan itu tersisip doa untuk si pemakai kelak. Aih, tetapi, bukankah setiap pekerjaan apapun sebetulnya juga adalah sebuah ikhtiar?

Aku masih ingat saat seorang pemuda membawaku ke sini kira-kira 3 tahun yang lalu, sebelum aku terpajang menjadi kebanggaan surau ini. Pemuda itu adalah seorang pengurus masjid dari sebuah masjid agung di kota besar. Belum cukup lama aku tergelar di sana sebetulnya, baru beberapa bilangan tahun. Hanya saja, tak pernah sekalipun aku diangin-anginkan seperti di surau ini. Jangankan menatap sinar matahari, mencium bau udara saja tidak sempat. Hanya sebuah sedotan debu berjudul vacuum cleaner yang senantiasa menggosok-gosokku.

Alat itu memang membuatku bersih, tak berdebu. Hanya saja, aku terus menjadi kumal, aku terus menjadi apek lantaran tak pernah bersua matahari. Angin yang kuhirup juga ala kadarnya, hanya sebatas jika ada yang tersampir dari pintu yang terbuka lebar.

Di masjid agung itu, aku mendapat kehidupan yang jauh berbeda dengan di surau. Di surau, tiap-tiap orang datang untuk bertemu-Nya, sama sebetulnya. Hanya aktifitas saja yang membeda. Di surau, bapak-bapak tua lebih dominan, ibu-ibu dan perempuan hanya datang saat jamaah maghrib dan subuh demi keseharian. Sementara pemuda, betul-betul hanya datang kesana untuk mempersiapkan segala keperluan sholat jamaah dan kegiatan hari raya.

Berbeda betul dengan kegiatan di mesjid agung. Setiap hari ada saja musafir yang entah dari mana. Bisa lokal, bisa juga dari luar kota bahkan negeri. Mereka datang tidak hanya untuk sholat berjama’ah di lima waktu. Mereka sering melakukannya sendiri-sendiri, kendati sebetulnya jika dikumpul bisa untuk berjamaah. Lantas, seusai itu, laki-laki akan menepikan dirinya di pinggir, di bawah desau-desau kipas yang berputar dari dinding atas, demi menghilangkan hawa panas, barulah kemudian berleyeh-leyeh di salah sebuah pilar. Ada pula yang langsung terlelap dan menangkupkan koran ke wajahnya. Ada juga yang sibuk dengan telepon genggam, dan lain lagi.

Di sudut belakang, perempuan-perempuan lebih beragam lagi aksinya. Ada yang berdandan, mulai dari memasang alis yang sedikit pudar karena wudhu, hingga sapuan bedak, dan terakhir lipstick. Ada pula yang sibuk bertelpon sambil cekikik kecil, mungkin mengatur volume suara, agar tidak mengganggu yang masih sholat. Ada juga yang mengobrol sembari melipat-lipat mukena yang telah mereka pergunakan. Tetapi, pun ada yang lamat-lamat menggumamkan ayat suci.

Sementara aku lebih sibuk mengatur hidungku. Ada aroma wewangi dari dalam masjid, juga godaan bebau makanan dari luar. Kibasan sate di bara api, terbawa angin masuk ke dalam mesjid dan mengalihkan khusyukku atas suara hati orang-orang yang masih bergerak-gerak dalam ritme antara berdiri rukuk, sujud. Akhh, ada pula aroma bolu pandan yang, hemm.. andai aku memiliki liur, maka meneteslah telah.

Kiranya di pelataran mesjid agung ini tentu banyak sekali penjual-penjual makanan, dan apakah hanya makanan? Sebentar, aku perlu mengintip sedikit dari celah kaca di kotak bedak perempuan ini. Waww… ternyata ramai sekali di luar. Ada pedagang sepatu. Ya! Sepatu.. pedagang buku, pedagang VCD yang kemungkinan besar bajakan, ada pula pedagang pakaian anak berbandrol Rp. 7.000,-. Pedagang makanan berderet-deret lebih ke pinggir mendekati pepohonan. Di sebelah utara itu, lebih banyak pedagang pernik-pernik segala rupa. Pin, bros dan aksesoris remaja lain. Ada pula aneka kalung gelang monel, titanium, perak dan besi tempa.

Tapi aku lebih tergelitik dengan cakap-cakap seorang lelaki bercelana kain hitam dengan kemeja batik bunga kenanga menjuntai-juntai sebagai coraknya. Bercakap ia barangkali dengan Nya, barangkali dengan dirinya sendiri.

apa kabar hari ini, Tuhan ?
kuharap Engkau masih tersenyum
dan menunda waktu kiamat
sekedar memberiku kesempatan
untuk berdoa lebih banyak
dan membuktikan kesungguhan

saat ini,
kabarku di bumi baik-baik saja
masih menapaki jalan dan takdir
berbekal segenggam janjiku dan janjiMu
: tertulis itu di nadi

hari ini, aku masih berdoa yang sama
semoga Kau masih mau menambahkan
dan menulis di buku nasibku, kata bahagia
dan menyisihkan sedikit ruang di rumahMu

apa kabarMu, Tuhan ?

hari ini, kumulai dengan sebatang rokok dan secangkir kopi
dan senandung di tengah pelukan kabut yang Kau kirim
dinginnya sungguh menentramkan, terima kasih
itu akan menjadi lukisan terindah sepanjang hari
menjadi kenangan di balik senyuman matahari

Tentu jauh berbeda dengan di surau. Dimana-mana yang kutemui saat aku dijemur di luar tak lain adalah tumpukan kelapa. Lantas, aroma yang kucium ya aroma kopra. Apalagi?
Di surau ini banyak jendela dipasang. Sebetulnya aku tak kekurangan sinar. Hanya saja, halaman yang masih bertanah lempung ini, jika siang maka debunya kerap masuk ke dalam. Untung aku bukan manusia, jadi tak perlu kuatir alergi debu dan bersin-bersin.

Pernah sebetulnya dulu, sang Pemuda yang membawaku ke surau ini, mengajakku ke sebuah mushola kecil di suatu pusat pertokoan di Ibu Kota. Waw... bukan main besarnya toko itu, Mal orang banyak menyebutnya. Semua serba gemerlap. Siang dan malam selalu berlampu. Tak pernah rasanya tak memakai energi di tempat itu.

Dari mulai pertama sang Pemuda mengajakku masuk, aku sudah tertakjub-takjub. Waktu itu, aku baru digulungnya dari masjid agung. Aku memang lebih ramping dibanding teman-teman, jadi, jika dilipat maka besarku hanya seperti sebungkus bad cover. Dibawanya aku masuk, dan kemudian ia berbincang dengan seorang perempuan berdandan rapi dengan rambut terangkat. Tidak hanya rambut ternyata, roknya juga terangkat sedikit di atas lutut. Sang Pemuda ternyata menawarkan menjualku, sebagai karpet yang tak lagi dipakai di mesjid agung untuk moshola di pertokoan ini.

Sudah bisa terbayang olehku, jika pertokoan ini begini besar dan megahnya, sudah barang tentu mosholanya pun akan begitu. Asri, besar, megah, bersih dan wangi. Alam khayalku sudah membayangkan tempat seperti itu. tawar menawar berlangsung, tak lama aku dibawa ke mushola.

Tetapi betapa terperanjatnya aku, mendapati sebuah ruangan yang nyaris kutuduh kumuh. Ruangan itu berada di sudut parkiran kendaraan bermotor. Tempat wudhu berlumut, sebuah cermin bertulis “Sudah rapikah anda?” terpajang dengan noda-noda yang sepertinya sulit hilang. Sementara ruangan mushola sendiri, tidak lebih besar dari sepertiga lapangan basket. Tidak ada pembatas untuk jemaah lelaki dan perempuan. Tempat ini sempit, sangat berbanding terbalik dengan kemegahan sebuah pertokoan. Hatiku ciut.

Syukurlah, aku terhibur dengan kebutuhan orang-orang yang datang kemari. Walau untuk sholat berjamaah mereka harus membuat beberapa sesi, mereka tetap tak surut semangat. Mereka yang datang adalah para pekerja pertokoan dan beberapa pengunjung yang tak lena dengan lampu-lampu pijar di pertokoan.

Menghadap-Nya memang sebuah ritual. Aku mendengar bisik-bisik hati. Dari yang termiris hingga yang terkocak. Sebetulnya sama saja dimanapun aku berada. Dimanapun aku tergelar.

pintu langit tetap buka
duapuluh empat jam sehari penuh
sampai akhir jaman
kau bisa mengeluh
atau berdoa sampai kau bosan
sambil kau tulis permohonanmu
di setiap lembar kertas
sampai di ujung sobekan terakhir di bumi
(Mari Berdoa)

Mau surau, mau mesjid agung, mau mushola sebuah mal, intinya aku hanya pelengkap kenyamanan para pendoa. Ada atau tidak ada aku, mereka masih memiliki sajadah. Akh, entah juga sampai kapan aku akan tetap di surau ini, dan di asuh Mak Jenab? Sang pemuda pembawaku sudah tak pernah tampak lagi. Memang waktu aku dibawa kemari, sebagian tubuhku sudah sobek. Lapuk termakan waktu. Yah, aku memang bukan karpet Turki, yang semakin tua semakin yahud. Kulongok melihat judulku, tertera di situ, made in China.


Jogjakarta,
May 2009
(Sajak dalam Prosa ini adalah milik Mas Goenoeng Moelyo)

Panas Mentari Terjebak di Kepala

Panas Mentari Terjebak di Kepala

Begitulah kemudian aku menelantarkanmu. Aku melumat habis janji-janji yang pernah kita susuri bersama. Begitulah kemudian aku menikammu dengan ketidakpastian yang belum lagi ada kesudahannya. Ini bukan masalah mau atau menjadi kehendakku, aku hanya pencabul janji yang belum lagi bisa kutepati, tapi ini bukan lagi masalah ingin atau kehendakku. Sesuatu bergerak berarak seperti awan-awan yang selalu saja mengikuti kita, setiap langkah. Ini bukan masalah mau atau hendakku. Ada yang memaksakan hal dusta ini.

Sayang, jika kita berkehendak, selalukah itu menjadi janji? Jika kita berkeinginan selalukah itu wajib tertepati?

maafkan
aku tak dapat memberimu
puisi di atas bantal
atau kecupan kecil
untuk membangunkanmu dari mimpi
pun satu pelukan
hangatkan hatimu dari dinginnya sunyi
saat bulan mulai bersembunyi di ufuk pagi

maafkan
bila hanya larik kata ini
yang bisa menemuimu

sekedar kau tahu
dirimu, buatku adalah nadi
(maafkan, semoga kau mengerti)

Begitulah, kemudian aku menemukan diriku. Begitulah kemudian aku menemukan dirimu untukku. Begitulah kemudian aku bercakap-cakap dalam diamku yang terlalu lama untukmu.

Masih kuingat saat bibirmu bergerak-gerak menyuarakan pertanyaan-pertanyaan kecil.
“Apakah kita tidak bisa lebih bahagia dari ini?”
Duhh, pertanyaannmu sangat mengusikku, menyiksaku berulang kali. Haruskah aku mengeluarkan kata-kata surga lagi, menyabarkan hatimu, hingga suatu saat kita tak lagi terbelit perihal-perihal hidup?

“Kita masih punya mimpi,” gumamku seraya menggenggam jemarinya. “Mimpi itu yang harus kita raih, Sayang..,” lanjutku. Dia tak menoleh padaku sejenakpun. Hanya kepalanya saja seketika bersandar di pundak. Beratnya beban di pundakku terasa tak seberat saat kepalamu bernaung di situ. Kau tahu, Rien.. aku letih sebetulnya memperjuangkan ini. Aku belum lagi mengerti arah hubungan kita. Betulkah memang bisa diperjuangkan? Sementara kau… akh Rien….

Matahari terlampau garang, hingga aku sulit menatap dengan mataku secara jernih. Kepalaku seperti menjaring sarang-sarang jutaan cahaya. Aku menggeliat di tengah teriknya. Aku bergumam seperti melagu pada Rien yang matanya mulai terpejam. “Rien..,” panggilku lalu bergumam;

seperti ranting kering, di sepokok pohon kering
di padang rumput gersang tandus berdebu berbatu
alunan angin, malah membuatnya meranggas
tak setitik airpun enggan mampir, di daunnya
yang menghitam, mengering

sesosok lelaki berlindung,
di balik bayangannya, yang ternyata panas
telapak kakinya terbakar tanah tandus yang membara
kepalanya mendidih, terpanggang panas matahari
berkeringatlah dia, menetes, di kepala, di dada, dan di matanya
diseka, dengan ujung baju yang nyaris tak berwarna

menunggu terik pergi, adalah sungguh membosankan
apalagi, dicaci oleh langunya tubuh yang telah hilang hati

terik yang ditentang, kemudian menghilang
pohon masih mengeluh, daunnya tak tumbuh
rantingnya malah semakin mengering
pokoknya mengeras, tertular tandus tanah
tubuh lelaki itupun membeku
keringatnya membeku, air matanya membeku
lidahnya kelu, hatinya kelu
tersapu angin kering menggigilkan nadi

ah, namun matanya masih membara
sepertinya garang matahari masih tersisa,
terjebak di balik kepalanya
(garang matahari, terjebak di kepalanya)

“Sementara aku Rien.. apa bedanya aku dengan lelaki tua itu? aku hanya menunggumu yang di mata semua orang adalah ketidakpastian. Apakah engkau sebuah muara? Apakah engkau sebuah muara, Rien?,” tanyaku bimbang, cemas menuntut kau tak merajuk.

Lenganmu memelukku erat. Begitulah setiap saat kutanyakan itu. kau hanya mampu memelukku, lantas bibirmu menyentuh kulit pipi dan pertanyaanku hanya berakhir di sebuah ciuman bibir yang panjang. Tapi kali ini aku meminta jawabanmu. Bukan sebuah cumbuan. Aku ingin jawaban. Aku ingin kepastian.

“berkatalah Rien, aku ingin mendengarnya”.
Kau langsung menegakkan dudukmu. Matamu terlihat serius dibalik softlense cokelat minus 2 itu. Tapi kau tetap tidak bersuara. Kau tetap tidak mau berucap sepatahpun. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu tadi itu Rien? Aku ingin tahu dulu, seperti apa posisiku.

Rien memang senantiasa begitu. Ia masih diam, lalu mengeluarkan secarik kertas dari tasnya yang berbahan katun. Dari kantong linen bagian dalam, ia mengeluarkan sebuah pena. Lantas ia menulisi kertas itu lamat-lamat. Akh, Rien betapa cantiknya kau begitu. Rambutmu yang setengah terurai, profil wajahmu yang terbias matahari, anak rambut yang berkejaran ditiup angin. Akh Rien, siapa tak mencintaimu begini rupa? Tapi siapa aku?

Namun tiba-tiba ia menyodorkan selembar kertas itu. Tak biasa. Karena biasanya ia lebih senang membuat sketsa-sketsa, atau angka-angka. Narasi bilangan. Tetapi kali ini ia mengguratkan aksara-aksara. Lembar itu diserahkan padaku, wajahnya menatapku lembut, tapi terasa seperti menusuk ke ulu hati. Kubaca;

yang kesekian tentang cinta

madah telah kupujikan, kasih
mengapa engkau masih tampak luyu ?
telah kutembangkan asmarandana setiap waktu
apakah itu tidak cukup untukmu ?
mengapa masih bertanya
apakah aku cinta sejatimu ?

apakah cinta harus dibekap ?
ataukah juga mesti diucap ?

biarlah dia merdeka
mengungkap apa yang perlu dirasa
mewarna seperti yang dia suka

cinta sejati tak cukup di ujung waktu, kasih
dia ada di setiap napas dan setelahnya
dan tak akan pernah mengakui
bahwa dia adalah cinta

Setelah membacai aku menghela nafas.
“Aku ingin kita menikah, Rien..”

Dan lagi-lagi ia tidak menjawab. Hanya seliwer-seliwer rambutnya yang menampar-nampar wajahku. Ia diam dan akupun tak lagi mampu memjawab pertanyaan tentang kebahagiaannya tadi. Ia diam, begitupun aku sebetulnya. Bibirku mungkin masih bisa bersuara, tetapi hatiku dibekap bayang-bayang wajah suami dan anakmu, Rien.

Jogjakarta,
Juni 2009
(Cerita Pendek ini saya buat dengan mengolaborasikan prosa dan sajak milik Mas Goe/ www.goenoeng.com)

01 November 2009

Pulang

Demi kata rindu, aku ingin pulang. Kembali pada sebuah rumah yang menyejukkan. Sudah cukup lama kutinggalkan rumah ini, menjelajah kekosongan yang hanya membawa diri jalan di tempat. Ternyata tidak ada yang berarti selama pencarian.

Kususuri, mencari alasan untuk apa aku menulis di blog ini? buat apa? merajuk. Diri yang merajuk yang membuatku berhenti menulis dengan intens. Perkara hidup yang serupa percik bunga api itu, turut memelintir jemariku, hingga aku enggan menulis.

Untuk apa aku menulis? Berpuluh, beratus, berkali-kali aku menanyakan ulang, mengapa aku menulisi blog ini? untuk apa aku mengisinya? Aku pernah mengatakan bahwa menulisi blog ini semata sebuah catarsist, sebuah penyaluran akan apa yang ada di benak.

Kusempatkan isi kepalaku berlari dengan liar ke sana kemari, untuk menemukan apa yang kucari. Semua mencelat ingin bebas, seperti ngengat yang terlepas dari sarang. Kubebaskan ia pergi, menjelajahi apa saja ruang keingintahuan. Kubebaskan juga jari jemari untuk tidak menulis lagi, aku sempat capek, lelah menulis, merajuk.

Aku sempat muak dengan blog ini, entah apa yang bisa membuat demikian.

Tapi lantas, aku bercermin. Aku memang bukan penulis, aku memang bukan seseorang yang bisa menciptakan tulisan yang mampu mengundang decak bahkan loyalitas pembacanya. Aku bukan penulis yang mampu meramu kata demi kata, menjadi kalimat-kalimat sakti yang bisa menggerakkan pembacanya.

Tetapi, di awal menulisi blog ini, apa aku peduli hal itu? apa aku mengharapkan ada yang membacanya? tidak!!

Aku menulis karena aku memang butuh menulis. Aku butuh pengejawantahan dalam bentuk tulisan. Betul memang, tulisanku aneh, terbaca tidak jelas. Tetapi aku tetap menulis, apapun itu, itu adalah aku! keakuan yang sangat egois.

Pernah dan sempat aku berpikir, untuk bisa menyenangkan oranglain melalui tulisan. Sempat kutimbang-timbang untuk meramu tulisan yang bermanfaat, yang ber-isi, yang tidak sekedar hanya untuk diri sendiri. Tapi, apa tulisan itu akan benar-benar menjadi 'aku'? menjadi seorang diriku? Surya HR Hesra? ataukah tulisan itu menjadi semacam topeng belaka? pupur dan lipstik, untuk memoles si hesra itu?

Aku rindu menulis dengan liar, aku rindu membuka borgol untuk imajinasiku yang berkelana. Aku ingin pulang! aku ingin kembali menjadi diriku sendiri.

Aku tidak akan peduli blog ini akan tetap didatangi, dibaca, atau bahkan dicemooh. Ini aku! aku sudah pulang.

Aku ingin mengisi blog ini, menulisinya dengan hati. tak peduli akan terbaca aneh, tak dimengerti, aku hanya akan menulis dengan hati, dengan rasa.

Dan sungguh sangat terima kasih untuk yang masih sudi mendatangi blog ini, apalagi meninggalkan komentar, sungguh... aku tak punya kata-kata yang indah untuk mengucap terima kasih.

Tapi, percayalah...
Aku pulang, juga karena kalian.


Salam, dengan penuh hormat:
Surya HR Hesra

Pontianak,
1 nopember 2009
21.09 WIB

30 October 2009

This Is It

aku rindu alegro...

untuk menenangkan hati.


2114421147

28 October 2009

Titik Balik

hari ini, sejumlah pertanyaan retorik terlontar kembali
padamu negeri, aku kembali...
mempertanyakan gelora yang nyaris mati!

hari ini, kami tak jadi apa-apa kecuali bilangan
angka-angka pengisi kolom-kolom statistik
suri, sekarat dalam distorsi

hari ini, wujud kami bertentang silang
persenyawaan nisbi menggugat, mendobrak.

sungguhkah kami peduli hari ini?
sungguhkah kami peduli negeri ini?
dan sungguhkah kami peduli nasib kami sendiri?

---

gemetar kubalik halaman-halaman masa lalu
dan kita menyepakati itu bernama sejarah!
nomenklatur.

adakah sejarah mengantarkan kita pada titik berarti, hai anak muda?
adakah gejolak menjadi matang, tanpa pikir panjang, hai putra putri...

gemetar kutatap bumi yang demikian asing
lantas kita menyepakati itu modernisasi!
neoliberalisme.

pada sebuah titik balik,
aku memulai pada bayang sendiri dalam cermin
menjelajah nilai, senoyong, menggeledah identitas diri
dimana yang disebut satu tak pernah menjadi satu!

apa itu, bahasa, bangsa, tanah air?
satu yang menjadi haram atas nama nusantara.

aku berdiri menantang di atas langit kemerdekaan
adakah bumi yang kupijak ini, masih perlu diperjuangkan?

Pontianak,
28 Oktober 2009