14 November 2009

...merepih...

Sayang...
bangunan-bangunan bertingkat ini, kulihat serupa kecambah
semacam biji yang menggoyang-goyang muka bumi untuk menumbuhkannya
sebagaimana pohon-pohon kacang polong raksasa
jangan kau bangga, jika kelak dewasa...

duh, Sayang...
datang lagi ke ibukota, seperti menggulat angin saja...
dimana angin bergegas menderu, menggilas pepohonan yang menentang,
membangkang dalam kelam langit malam
kesiur suaranya, duh... terdengar perih
jangan terlalu sedih jika kau harus tetap tinggal di lubuk desa

dan kau tau anakku sayang...
benderang surya tetap ada, mengusir halus kabut subuh,
tapi tetap tak bisa menembusi dinding kamar kita
kau menguning di balik ranjang dan aku harus menelanjangimu setiap hari,
membakarmu dengan matahari pagi
dan itu bukn di sini!
di rumah sakit-rumah sakit yang mengandalkan infra merah ketimbang matahari

mereka boleh bicara tentang hebatnya Jakarta!
terserah...
tapi Ibu pasrah,
manakala kecambah-kecambah itu terus saja beretiolasi,
manakala udara menampung lebih banyak sianida,
manakala matahari harus terganti sinar merah...

terserah saja,
tapi kau anakku...
boleh-boleh aku berharap padamu,
jangan sekali-kali kau bangga dengan perubahan semu,
merepihlah...

Pontianak, 14 Nop 2009
11.23 PM

11 November 2009

... anak waktu ...

Seandainya kau tahu yang sebenarnya terjadi.

anak waktu menggelosot, menari dalam tikung jalan pikirku
lantas mempertanyakan, mengulas masa demi masa terlewat
anak waktu tenggelam, menelantarkan kenangan pada ceruk sempit amygdala
lantas menggugat, adakah masa depan memang berkesempatan datang?

kupayungi kepala dari rintik hujan, berharap tak membasahi wajah
tapi keringatku kadung berlendir
tubuh ini tak lagi kering, bahkan tak pernah.

Seandainya kau tahu yang sebenarnya terjadi.

Pontianak,
Langit Lebam Membiru
11 Nop 2009
17:34 WIB

06 November 2009

...mbalela...

sebuah mimpi mencegatku dari perjalanan panjang alam bawah sadar
sesuatu berseru lekat betul di batas gendang telinga
"siapa kau?!"
siang ini aku tercekat.

tersandar di sebilah dipan tua,
merenungkan cabaran dua kata itu. menanyakan kembali,
"siapa aku?"

mungkin ini yang patut aku curigai

sepenggal waktu silam...

berlagaklah si aku ini,
seolah sekokoh langit yang tak punya kesempatan rubuh
tanpa sadar, langit hanya semata batas pandang

berlagaklah si aku ini,
seolah setegar samudera yang tak gentar hantaman ombak
tanpa nyana, masih ada laut mati berombak soliton yang tak beriak, tak bergelombang

"siapa aku?"

yang dengan pongah menganggap diri seolah berdiri atas satu gravitasi
sementara yang lain melayang menjadi anti gravitan
yang dengan konyol meyakini diri selalu mampu berpijak di atas kaki sendiri
sementara yang lain mengambang seperti buih parit di sela apu-apu

...

tak ada parigi yang dengan sempurna memantulkan aku.
kupinjam silica, genangan air, atau mata kalian untuk mengembalikan bayangku

...

bertahun-tahun lalu,
gadis kecil berlari atas jarak lebih 15 kilometer
airmata terus mengalir tergerus angin
di depan Kapuas ia tertambat seperti sampan-sampan parkir
sudah ia tekadkan untuk mencebur, mati saja!
namun rasa takut menyelamatkannya
hingga ia terduduk, sesenggukan di antara bakung-bakung kering tepi sungai
"aku tidak mau sedih!
aku hanya akan bahagia!
dan untuk itu aku perlu hidup"

gadis kecil itu menantang langit,
dan sejak itu ia lupa rasa takut,
bahwa rasa takut pernah menyelamatkan nyawanya.

...

mungkin ini yang patut kucurigai,
saat rasa takut itu jatuh kuasa,
lantas ada satu yang mbalela:

KESOMBONGAN!


Pontianak,
Jum'at, 6 nopember 2009
20.20 WIB
(bersama Cranberries: Free to decided)

* Mbalela=memberontak

02 November 2009

Bukan Karpet Turki

Lantas aku katakan bahwa aku bukan manusia.

Pelita-pelita dari batang bambu beruas tiga sepanjang satu depa, tertancap dengan deret perspektif sepanjang mata memandang. Jalan ini jalan berbatu yang belum lagi mengenal aspal. Masih kurasa runcing tumpulnya batu-batu cokelat merah yang tidak rata, ada juga yang sudah mulai tergerus beberapa sepeda motor yang melalui serta beberapa kali gerobak sapi hulu hilir membawa rumput melewati surau itu.

Dua tiga anak berlarian diantara bedug yang terduduk di pojok selasar surau. Beberapa lelaki bersarung berdatangan dengan sebilah obor yang kemudian mereka matikan dan parkir di tepian para-para, berdekatan dengan penyimpanan alas kaki. Mereka mengantre wudhu di pancuran yang memang hanya satu-satunya sembari mendecak langit malam itu.

sesungguhnya setiap waktu adalah sama.
batasan, hanyalah ulah manusia.
ada akhir dan ada mula.
hanya untuk membuatnya tak bosan berkelana di dunia
(jam dua belas lebih sedikit)
.

Langit itu cerah, membiru di pekatnya hitam. Warna yang beranjak mengakhiri kesudahan hari untuk melabuhkannya pada masa berjudul malam. Ada bulan yang meminjam paksa energi matahari untuk dipamerkannya, guna merajai bintang-bintang yang memang berdikari.

...

Sementara aku tetap di sini..

Sementara aku tetap di sini, tak bergerak tak beranjak. Sejauh yang kuingat sudah puluhan purnama aku termaktub di sini. Hanya beberapa penggal waktu aku bisa mencecap udara segar luar dan mencumbui matahari yang memang membakar. Tapi tak pernah lama, barangkali sebulan sekali saja sudah termasuk beruntung aku.

Keberuntungan itu yang aku tunggu, tentu saja. Saat aku bisa melihat wajah-wajah tanpa teka-teki. Saat aku bisa menyapa semilir angin, saat aku dibentangkan di para-para sisi surau, bersebelahan dengan jejeran sabut kelapa sisa produksi kopra Mak Jenab. Saat debu-debuku dikebas-kebas olehnya, sementara sudah 31 purnama ia yang mengurusi surau sejak ditinggal suami. Termasuklah mengurusi aku, si karpet yang terbentang sepanjang masa. Selama masih bisa berjaga.

Siang ini aku baru selesai di jemurnya. Dikebas-kebas, menggusur debu yang mulai menempel lagi. Daki di selip-selip uliran tubuhku memang sudah demikian dekil. Dan sekarang aku lebih cemerlang, penuh percaya diri untuk diciumi wajah-wajah dengan rapalan yang terdengar bisik-bisik Aha.. hari ini hari jum’at di paruh purnama Ramadhan.

Malam Ramadhan dan siang jum’at nyaris seragam. Surau penuh, surau padat. Hanya siang ini tak ada perempuan, kecuali Mak Jaenab yang sibuk memilah buah kelapa.

Aku terbiasa mendengar suara-suara, bahkan yang tak terdengar sekalipun. Hai.. betapa suara itu begitu indah.. suara itu tengah bercakap dengan dirinya. Sebentar.. aku masih lamat, menyimaknya.. ya..ya.. itu dia..aku dengar.. demikian ia berucap:

siang itu,
aku datang
ke rumah tuhan
bedug berdentam,
dada terhantam
hanya menengok, aku
suasana di sana masih sama
penuh gumam dan bisik-bisik doa
ah, itu bukan urusanku
aku datang, hanya ingin menengok tuhan
sekedar memastikan, apakah dia baik-baik saja
soalnya, sudah beberapa waktu kukirim pesan
tapi belum juga dijawab
apakah dia sedang sibuk ?
entahlah
hari itu, saat kutengok
ternyata dia sedang tak di rumah

(Menengok Tuhan)

Akhh.. ada sesiapa di situ, apakah ia mencariNya? Rasanya semua yang absen hari ini juga hanya mencari Tuhan. Atau sekedar mengisi daftar hadir, menandatanganinya. Tapi, tak ada yang hendak bertemu aku. Tak ada yang berniat ke sini, karena rindu hendak menciumku, hendak memberiku tetesan bening untuk dahagaku. Tidak ada yang memperdulikan. Padahal, jika tak ada aku, tentu lantai dingin ini tak lah nyaman untuk di sujudi.

Kuamat-amat di atas permukaanku yang terhampar. Yah, aku memang bukan karpet buatan Negara Timur-Tengah sana yang konon harganya sangat mahal. Menjadi mahal karena sebuah filosifi dalam pembuatannya dimana tiap-tiap orang akan melafalkan dendang suci Al-Quran dalam pengerjaannya dan dalam rapalan itu tersisip doa untuk si pemakai kelak. Aih, tetapi, bukankah setiap pekerjaan apapun sebetulnya juga adalah sebuah ikhtiar?

Aku masih ingat saat seorang pemuda membawaku ke sini kira-kira 3 tahun yang lalu, sebelum aku terpajang menjadi kebanggaan surau ini. Pemuda itu adalah seorang pengurus masjid dari sebuah masjid agung di kota besar. Belum cukup lama aku tergelar di sana sebetulnya, baru beberapa bilangan tahun. Hanya saja, tak pernah sekalipun aku diangin-anginkan seperti di surau ini. Jangankan menatap sinar matahari, mencium bau udara saja tidak sempat. Hanya sebuah sedotan debu berjudul vacuum cleaner yang senantiasa menggosok-gosokku.

Alat itu memang membuatku bersih, tak berdebu. Hanya saja, aku terus menjadi kumal, aku terus menjadi apek lantaran tak pernah bersua matahari. Angin yang kuhirup juga ala kadarnya, hanya sebatas jika ada yang tersampir dari pintu yang terbuka lebar.

Di masjid agung itu, aku mendapat kehidupan yang jauh berbeda dengan di surau. Di surau, tiap-tiap orang datang untuk bertemu-Nya, sama sebetulnya. Hanya aktifitas saja yang membeda. Di surau, bapak-bapak tua lebih dominan, ibu-ibu dan perempuan hanya datang saat jamaah maghrib dan subuh demi keseharian. Sementara pemuda, betul-betul hanya datang kesana untuk mempersiapkan segala keperluan sholat jamaah dan kegiatan hari raya.

Berbeda betul dengan kegiatan di mesjid agung. Setiap hari ada saja musafir yang entah dari mana. Bisa lokal, bisa juga dari luar kota bahkan negeri. Mereka datang tidak hanya untuk sholat berjama’ah di lima waktu. Mereka sering melakukannya sendiri-sendiri, kendati sebetulnya jika dikumpul bisa untuk berjamaah. Lantas, seusai itu, laki-laki akan menepikan dirinya di pinggir, di bawah desau-desau kipas yang berputar dari dinding atas, demi menghilangkan hawa panas, barulah kemudian berleyeh-leyeh di salah sebuah pilar. Ada pula yang langsung terlelap dan menangkupkan koran ke wajahnya. Ada juga yang sibuk dengan telepon genggam, dan lain lagi.

Di sudut belakang, perempuan-perempuan lebih beragam lagi aksinya. Ada yang berdandan, mulai dari memasang alis yang sedikit pudar karena wudhu, hingga sapuan bedak, dan terakhir lipstick. Ada pula yang sibuk bertelpon sambil cekikik kecil, mungkin mengatur volume suara, agar tidak mengganggu yang masih sholat. Ada juga yang mengobrol sembari melipat-lipat mukena yang telah mereka pergunakan. Tetapi, pun ada yang lamat-lamat menggumamkan ayat suci.

Sementara aku lebih sibuk mengatur hidungku. Ada aroma wewangi dari dalam masjid, juga godaan bebau makanan dari luar. Kibasan sate di bara api, terbawa angin masuk ke dalam mesjid dan mengalihkan khusyukku atas suara hati orang-orang yang masih bergerak-gerak dalam ritme antara berdiri rukuk, sujud. Akhh, ada pula aroma bolu pandan yang, hemm.. andai aku memiliki liur, maka meneteslah telah.

Kiranya di pelataran mesjid agung ini tentu banyak sekali penjual-penjual makanan, dan apakah hanya makanan? Sebentar, aku perlu mengintip sedikit dari celah kaca di kotak bedak perempuan ini. Waww… ternyata ramai sekali di luar. Ada pedagang sepatu. Ya! Sepatu.. pedagang buku, pedagang VCD yang kemungkinan besar bajakan, ada pula pedagang pakaian anak berbandrol Rp. 7.000,-. Pedagang makanan berderet-deret lebih ke pinggir mendekati pepohonan. Di sebelah utara itu, lebih banyak pedagang pernik-pernik segala rupa. Pin, bros dan aksesoris remaja lain. Ada pula aneka kalung gelang monel, titanium, perak dan besi tempa.

Tapi aku lebih tergelitik dengan cakap-cakap seorang lelaki bercelana kain hitam dengan kemeja batik bunga kenanga menjuntai-juntai sebagai coraknya. Bercakap ia barangkali dengan Nya, barangkali dengan dirinya sendiri.

apa kabar hari ini, Tuhan ?
kuharap Engkau masih tersenyum
dan menunda waktu kiamat
sekedar memberiku kesempatan
untuk berdoa lebih banyak
dan membuktikan kesungguhan

saat ini,
kabarku di bumi baik-baik saja
masih menapaki jalan dan takdir
berbekal segenggam janjiku dan janjiMu
: tertulis itu di nadi

hari ini, aku masih berdoa yang sama
semoga Kau masih mau menambahkan
dan menulis di buku nasibku, kata bahagia
dan menyisihkan sedikit ruang di rumahMu

apa kabarMu, Tuhan ?

hari ini, kumulai dengan sebatang rokok dan secangkir kopi
dan senandung di tengah pelukan kabut yang Kau kirim
dinginnya sungguh menentramkan, terima kasih
itu akan menjadi lukisan terindah sepanjang hari
menjadi kenangan di balik senyuman matahari

Tentu jauh berbeda dengan di surau. Dimana-mana yang kutemui saat aku dijemur di luar tak lain adalah tumpukan kelapa. Lantas, aroma yang kucium ya aroma kopra. Apalagi?
Di surau ini banyak jendela dipasang. Sebetulnya aku tak kekurangan sinar. Hanya saja, halaman yang masih bertanah lempung ini, jika siang maka debunya kerap masuk ke dalam. Untung aku bukan manusia, jadi tak perlu kuatir alergi debu dan bersin-bersin.

Pernah sebetulnya dulu, sang Pemuda yang membawaku ke surau ini, mengajakku ke sebuah mushola kecil di suatu pusat pertokoan di Ibu Kota. Waw... bukan main besarnya toko itu, Mal orang banyak menyebutnya. Semua serba gemerlap. Siang dan malam selalu berlampu. Tak pernah rasanya tak memakai energi di tempat itu.

Dari mulai pertama sang Pemuda mengajakku masuk, aku sudah tertakjub-takjub. Waktu itu, aku baru digulungnya dari masjid agung. Aku memang lebih ramping dibanding teman-teman, jadi, jika dilipat maka besarku hanya seperti sebungkus bad cover. Dibawanya aku masuk, dan kemudian ia berbincang dengan seorang perempuan berdandan rapi dengan rambut terangkat. Tidak hanya rambut ternyata, roknya juga terangkat sedikit di atas lutut. Sang Pemuda ternyata menawarkan menjualku, sebagai karpet yang tak lagi dipakai di mesjid agung untuk moshola di pertokoan ini.

Sudah bisa terbayang olehku, jika pertokoan ini begini besar dan megahnya, sudah barang tentu mosholanya pun akan begitu. Asri, besar, megah, bersih dan wangi. Alam khayalku sudah membayangkan tempat seperti itu. tawar menawar berlangsung, tak lama aku dibawa ke mushola.

Tetapi betapa terperanjatnya aku, mendapati sebuah ruangan yang nyaris kutuduh kumuh. Ruangan itu berada di sudut parkiran kendaraan bermotor. Tempat wudhu berlumut, sebuah cermin bertulis “Sudah rapikah anda?” terpajang dengan noda-noda yang sepertinya sulit hilang. Sementara ruangan mushola sendiri, tidak lebih besar dari sepertiga lapangan basket. Tidak ada pembatas untuk jemaah lelaki dan perempuan. Tempat ini sempit, sangat berbanding terbalik dengan kemegahan sebuah pertokoan. Hatiku ciut.

Syukurlah, aku terhibur dengan kebutuhan orang-orang yang datang kemari. Walau untuk sholat berjamaah mereka harus membuat beberapa sesi, mereka tetap tak surut semangat. Mereka yang datang adalah para pekerja pertokoan dan beberapa pengunjung yang tak lena dengan lampu-lampu pijar di pertokoan.

Menghadap-Nya memang sebuah ritual. Aku mendengar bisik-bisik hati. Dari yang termiris hingga yang terkocak. Sebetulnya sama saja dimanapun aku berada. Dimanapun aku tergelar.

pintu langit tetap buka
duapuluh empat jam sehari penuh
sampai akhir jaman
kau bisa mengeluh
atau berdoa sampai kau bosan
sambil kau tulis permohonanmu
di setiap lembar kertas
sampai di ujung sobekan terakhir di bumi
(Mari Berdoa)

Mau surau, mau mesjid agung, mau mushola sebuah mal, intinya aku hanya pelengkap kenyamanan para pendoa. Ada atau tidak ada aku, mereka masih memiliki sajadah. Akh, entah juga sampai kapan aku akan tetap di surau ini, dan di asuh Mak Jenab? Sang pemuda pembawaku sudah tak pernah tampak lagi. Memang waktu aku dibawa kemari, sebagian tubuhku sudah sobek. Lapuk termakan waktu. Yah, aku memang bukan karpet Turki, yang semakin tua semakin yahud. Kulongok melihat judulku, tertera di situ, made in China.


Jogjakarta,
May 2009
(Sajak dalam Prosa ini adalah milik Mas Goenoeng Moelyo)

Panas Mentari Terjebak di Kepala

Panas Mentari Terjebak di Kepala

Begitulah kemudian aku menelantarkanmu. Aku melumat habis janji-janji yang pernah kita susuri bersama. Begitulah kemudian aku menikammu dengan ketidakpastian yang belum lagi ada kesudahannya. Ini bukan masalah mau atau menjadi kehendakku, aku hanya pencabul janji yang belum lagi bisa kutepati, tapi ini bukan lagi masalah ingin atau kehendakku. Sesuatu bergerak berarak seperti awan-awan yang selalu saja mengikuti kita, setiap langkah. Ini bukan masalah mau atau hendakku. Ada yang memaksakan hal dusta ini.

Sayang, jika kita berkehendak, selalukah itu menjadi janji? Jika kita berkeinginan selalukah itu wajib tertepati?

maafkan
aku tak dapat memberimu
puisi di atas bantal
atau kecupan kecil
untuk membangunkanmu dari mimpi
pun satu pelukan
hangatkan hatimu dari dinginnya sunyi
saat bulan mulai bersembunyi di ufuk pagi

maafkan
bila hanya larik kata ini
yang bisa menemuimu

sekedar kau tahu
dirimu, buatku adalah nadi
(maafkan, semoga kau mengerti)

Begitulah, kemudian aku menemukan diriku. Begitulah kemudian aku menemukan dirimu untukku. Begitulah kemudian aku bercakap-cakap dalam diamku yang terlalu lama untukmu.

Masih kuingat saat bibirmu bergerak-gerak menyuarakan pertanyaan-pertanyaan kecil.
“Apakah kita tidak bisa lebih bahagia dari ini?”
Duhh, pertanyaannmu sangat mengusikku, menyiksaku berulang kali. Haruskah aku mengeluarkan kata-kata surga lagi, menyabarkan hatimu, hingga suatu saat kita tak lagi terbelit perihal-perihal hidup?

“Kita masih punya mimpi,” gumamku seraya menggenggam jemarinya. “Mimpi itu yang harus kita raih, Sayang..,” lanjutku. Dia tak menoleh padaku sejenakpun. Hanya kepalanya saja seketika bersandar di pundak. Beratnya beban di pundakku terasa tak seberat saat kepalamu bernaung di situ. Kau tahu, Rien.. aku letih sebetulnya memperjuangkan ini. Aku belum lagi mengerti arah hubungan kita. Betulkah memang bisa diperjuangkan? Sementara kau… akh Rien….

Matahari terlampau garang, hingga aku sulit menatap dengan mataku secara jernih. Kepalaku seperti menjaring sarang-sarang jutaan cahaya. Aku menggeliat di tengah teriknya. Aku bergumam seperti melagu pada Rien yang matanya mulai terpejam. “Rien..,” panggilku lalu bergumam;

seperti ranting kering, di sepokok pohon kering
di padang rumput gersang tandus berdebu berbatu
alunan angin, malah membuatnya meranggas
tak setitik airpun enggan mampir, di daunnya
yang menghitam, mengering

sesosok lelaki berlindung,
di balik bayangannya, yang ternyata panas
telapak kakinya terbakar tanah tandus yang membara
kepalanya mendidih, terpanggang panas matahari
berkeringatlah dia, menetes, di kepala, di dada, dan di matanya
diseka, dengan ujung baju yang nyaris tak berwarna

menunggu terik pergi, adalah sungguh membosankan
apalagi, dicaci oleh langunya tubuh yang telah hilang hati

terik yang ditentang, kemudian menghilang
pohon masih mengeluh, daunnya tak tumbuh
rantingnya malah semakin mengering
pokoknya mengeras, tertular tandus tanah
tubuh lelaki itupun membeku
keringatnya membeku, air matanya membeku
lidahnya kelu, hatinya kelu
tersapu angin kering menggigilkan nadi

ah, namun matanya masih membara
sepertinya garang matahari masih tersisa,
terjebak di balik kepalanya
(garang matahari, terjebak di kepalanya)

“Sementara aku Rien.. apa bedanya aku dengan lelaki tua itu? aku hanya menunggumu yang di mata semua orang adalah ketidakpastian. Apakah engkau sebuah muara? Apakah engkau sebuah muara, Rien?,” tanyaku bimbang, cemas menuntut kau tak merajuk.

Lenganmu memelukku erat. Begitulah setiap saat kutanyakan itu. kau hanya mampu memelukku, lantas bibirmu menyentuh kulit pipi dan pertanyaanku hanya berakhir di sebuah ciuman bibir yang panjang. Tapi kali ini aku meminta jawabanmu. Bukan sebuah cumbuan. Aku ingin jawaban. Aku ingin kepastian.

“berkatalah Rien, aku ingin mendengarnya”.
Kau langsung menegakkan dudukmu. Matamu terlihat serius dibalik softlense cokelat minus 2 itu. Tapi kau tetap tidak bersuara. Kau tetap tidak mau berucap sepatahpun. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu tadi itu Rien? Aku ingin tahu dulu, seperti apa posisiku.

Rien memang senantiasa begitu. Ia masih diam, lalu mengeluarkan secarik kertas dari tasnya yang berbahan katun. Dari kantong linen bagian dalam, ia mengeluarkan sebuah pena. Lantas ia menulisi kertas itu lamat-lamat. Akh, Rien betapa cantiknya kau begitu. Rambutmu yang setengah terurai, profil wajahmu yang terbias matahari, anak rambut yang berkejaran ditiup angin. Akh Rien, siapa tak mencintaimu begini rupa? Tapi siapa aku?

Namun tiba-tiba ia menyodorkan selembar kertas itu. Tak biasa. Karena biasanya ia lebih senang membuat sketsa-sketsa, atau angka-angka. Narasi bilangan. Tetapi kali ini ia mengguratkan aksara-aksara. Lembar itu diserahkan padaku, wajahnya menatapku lembut, tapi terasa seperti menusuk ke ulu hati. Kubaca;

yang kesekian tentang cinta

madah telah kupujikan, kasih
mengapa engkau masih tampak luyu ?
telah kutembangkan asmarandana setiap waktu
apakah itu tidak cukup untukmu ?
mengapa masih bertanya
apakah aku cinta sejatimu ?

apakah cinta harus dibekap ?
ataukah juga mesti diucap ?

biarlah dia merdeka
mengungkap apa yang perlu dirasa
mewarna seperti yang dia suka

cinta sejati tak cukup di ujung waktu, kasih
dia ada di setiap napas dan setelahnya
dan tak akan pernah mengakui
bahwa dia adalah cinta

Setelah membacai aku menghela nafas.
“Aku ingin kita menikah, Rien..”

Dan lagi-lagi ia tidak menjawab. Hanya seliwer-seliwer rambutnya yang menampar-nampar wajahku. Ia diam dan akupun tak lagi mampu memjawab pertanyaan tentang kebahagiaannya tadi. Ia diam, begitupun aku sebetulnya. Bibirku mungkin masih bisa bersuara, tetapi hatiku dibekap bayang-bayang wajah suami dan anakmu, Rien.

Jogjakarta,
Juni 2009
(Cerita Pendek ini saya buat dengan mengolaborasikan prosa dan sajak milik Mas Goe/ www.goenoeng.com)

01 November 2009

Pulang

Demi kata rindu, aku ingin pulang. Kembali pada sebuah rumah yang menyejukkan. Sudah cukup lama kutinggalkan rumah ini, menjelajah kekosongan yang hanya membawa diri jalan di tempat. Ternyata tidak ada yang berarti selama pencarian.

Kususuri, mencari alasan untuk apa aku menulis di blog ini? buat apa? merajuk. Diri yang merajuk yang membuatku berhenti menulis dengan intens. Perkara hidup yang serupa percik bunga api itu, turut memelintir jemariku, hingga aku enggan menulis.

Untuk apa aku menulis? Berpuluh, beratus, berkali-kali aku menanyakan ulang, mengapa aku menulisi blog ini? untuk apa aku mengisinya? Aku pernah mengatakan bahwa menulisi blog ini semata sebuah catarsist, sebuah penyaluran akan apa yang ada di benak.

Kusempatkan isi kepalaku berlari dengan liar ke sana kemari, untuk menemukan apa yang kucari. Semua mencelat ingin bebas, seperti ngengat yang terlepas dari sarang. Kubebaskan ia pergi, menjelajahi apa saja ruang keingintahuan. Kubebaskan juga jari jemari untuk tidak menulis lagi, aku sempat capek, lelah menulis, merajuk.

Aku sempat muak dengan blog ini, entah apa yang bisa membuat demikian.

Tapi lantas, aku bercermin. Aku memang bukan penulis, aku memang bukan seseorang yang bisa menciptakan tulisan yang mampu mengundang decak bahkan loyalitas pembacanya. Aku bukan penulis yang mampu meramu kata demi kata, menjadi kalimat-kalimat sakti yang bisa menggerakkan pembacanya.

Tetapi, di awal menulisi blog ini, apa aku peduli hal itu? apa aku mengharapkan ada yang membacanya? tidak!!

Aku menulis karena aku memang butuh menulis. Aku butuh pengejawantahan dalam bentuk tulisan. Betul memang, tulisanku aneh, terbaca tidak jelas. Tetapi aku tetap menulis, apapun itu, itu adalah aku! keakuan yang sangat egois.

Pernah dan sempat aku berpikir, untuk bisa menyenangkan oranglain melalui tulisan. Sempat kutimbang-timbang untuk meramu tulisan yang bermanfaat, yang ber-isi, yang tidak sekedar hanya untuk diri sendiri. Tapi, apa tulisan itu akan benar-benar menjadi 'aku'? menjadi seorang diriku? Surya HR Hesra? ataukah tulisan itu menjadi semacam topeng belaka? pupur dan lipstik, untuk memoles si hesra itu?

Aku rindu menulis dengan liar, aku rindu membuka borgol untuk imajinasiku yang berkelana. Aku ingin pulang! aku ingin kembali menjadi diriku sendiri.

Aku tidak akan peduli blog ini akan tetap didatangi, dibaca, atau bahkan dicemooh. Ini aku! aku sudah pulang.

Aku ingin mengisi blog ini, menulisinya dengan hati. tak peduli akan terbaca aneh, tak dimengerti, aku hanya akan menulis dengan hati, dengan rasa.

Dan sungguh sangat terima kasih untuk yang masih sudi mendatangi blog ini, apalagi meninggalkan komentar, sungguh... aku tak punya kata-kata yang indah untuk mengucap terima kasih.

Tapi, percayalah...
Aku pulang, juga karena kalian.


Salam, dengan penuh hormat:
Surya HR Hesra

Pontianak,
1 nopember 2009
21.09 WIB

30 October 2009

This Is It

aku rindu alegro...

untuk menenangkan hati.


2114421147

28 October 2009

Titik Balik

hari ini, sejumlah pertanyaan retorik terlontar kembali
padamu negeri, aku kembali...
mempertanyakan gelora yang nyaris mati!

hari ini, kami tak jadi apa-apa kecuali bilangan
angka-angka pengisi kolom-kolom statistik
suri, sekarat dalam distorsi

hari ini, wujud kami bertentang silang
persenyawaan nisbi menggugat, mendobrak.

sungguhkah kami peduli hari ini?
sungguhkah kami peduli negeri ini?
dan sungguhkah kami peduli nasib kami sendiri?

---

gemetar kubalik halaman-halaman masa lalu
dan kita menyepakati itu bernama sejarah!
nomenklatur.

adakah sejarah mengantarkan kita pada titik berarti, hai anak muda?
adakah gejolak menjadi matang, tanpa pikir panjang, hai putra putri...

gemetar kutatap bumi yang demikian asing
lantas kita menyepakati itu modernisasi!
neoliberalisme.

pada sebuah titik balik,
aku memulai pada bayang sendiri dalam cermin
menjelajah nilai, senoyong, menggeledah identitas diri
dimana yang disebut satu tak pernah menjadi satu!

apa itu, bahasa, bangsa, tanah air?
satu yang menjadi haram atas nama nusantara.

aku berdiri menantang di atas langit kemerdekaan
adakah bumi yang kupijak ini, masih perlu diperjuangkan?

Pontianak,
28 Oktober 2009

13 October 2009

...lelatu...

apa yang kubanggakan dari rasa sedih yang melangut?
seperti malam yang bergeser pelan-pelan,
seperti udara yang menyimpan air

sedih selalu saja mampu mengamankan keluh,
dan keluh belaka selalu melahirkan anakan-anakan kesedihan baru

apa yang kubanggakan dari rasa marah yang membelenggu?
ia seperti kutu partenogenetik di pokok jeruk sambal,
parasit hati, jiwa, yang berbiak membentuk penyakit dalam hitungan detik

bukankah rasa adalah ketunggalan yang independen?
lantas kuasa?
tak lebih semata bentukan, karsa!

Akh, dzat...
perkara hidup serupa percik bunga api.

06 October 2009

Mel...

bibirmu terus saja mengoceh,
aku mengalah, diam.
menyimak katamu.

sumpah, Mel...
hanya kau yang sanggup membuatku iri begini

ingat kau 7, 8 tahun lalu?
kau tanyakan tentang mimpi...

kukatakan dengan jelas dan tanpa ragu,
sejak kulihat anak-anak babi berjalan tenang di ruas-ruas jalan utama,
sejak kulihat sekolah misionaris yang mengalungkan gambar Tri Sutrisno di era millenium
sejak pamanku bercerita tak ada lagi siluk sisik emas di kampung istrinya
sejak aku tahu beragam species anggrek hutan sekarung goni hanya dihargakan seratus ribu oleh tauke Malaysia

sejak itu, kukatakan dengan jelas...
aku akan jadi guru, Mel...
guru di dusun-dusun Dayak terpencil.

tapi hari itu tak juga datang, karena perkara pilihan hidup

dan kemarin kau datang dengan celoteh tak berkesudahan,
tanganmu berkali-kali menyeka wajah,
hitam betul rupamu sekarang, Mel
tapi kau tetap manis, Sayang...

ini yang meluncur dari mulutmu.

"kau tahu, Ya...
betapa hebatnya menjadi guru. Bukan aku meremehkan, tapi tak perlu kau lihat guru di kota-kota yang banyak liburnya itu. Suatu saat, kau ikutlah bersamaku. berangkat kita pukul 4 subuh, pakai motor saja, setelah itu, kita titip hingga Batulayang. Kita lanjutkan dengan bis, dan kita masih memerlukan sampan untuk menyeberang, sekitar 20 menit, habis itu kita susuri tanah merah tak kurang dua kilo, sampai di sana, sudah ada ojek yang akan mengantar kita ke atas, mengitari pokok-pokok sawit. Barulah kau akan bertemu dengan 14 murid-muridku! haha... kau masih takut ular? tenang, ular akan tunduk padamu, Ya... karena ia tahu ada pekerjaan hebat ditanggungmu. Kau tahu, ada dua pekerjaan yang sangat dihormati di sini, seorang mantri dan tentu saja guru"

akh, kaukah itu, Mel...
perempuan yang menangis saat KKN karena harus mandi berkemban di parit sempit,
perempuan yang sungguh dekat dengan dunia malam,
perempuan yang tak pernah luput dari make-up dan belanja
perempuan yang enggan berjalan kaki dan enggan bersapa panas matahari?

hei, angin apa yang membawamu ke selatan, Puan?

kau seperti mengejekku, Mel...
mempertanyakan dengan dagelan, apa yang kubuat selama ini?
masihkah mimpi sekedar bercokol jadi bunga tidur?

dan kau menutup dengan sempurna lelucon itu,
"he, Dewa Matahari alias Ra... ataukah Surya, sama saja! masih ingin kau menjadi guru?"

Pontianak,
4 Oktober 2009
01.58 AM

27 September 2009

Manusa Diarcapada (Bag.1)

Maka pagi tidak lagi terlalu dingin. Kabut atau halimun mengelilingi pemandangan sekitar. Bulir-bulir uap mengepul di atas Ranu Kumbolo. Lelaki itu melepas penutup kepala rajutnya. Ia hempaskan, persis seperti tubuh yang sudah terlebih dulu tertambat di bebatu.

Berpeluh dan sarat emosi yang di bawanya dalam tubuh lelah. Tidak sekedar tubuh sebetulnya, jiwa! Kelelahan jiwa betul-betul seperti penyakit mematikan yang siap mengganjar nyawa. Belum lagi kalau sudah berkonspirasi dengan putus asa, lengkap sudah!

Matanya belum lagi terpejam sejak berjam-jam lalu setelah sampai, seperti tak rela dihajar kantuk. Tetapi telinganya tetap awas, dan tangannya bekerja tak henti. Terus saja menggaruk kepala. Lupa ia sudah berapa lama tak berkeramas, alhasil luka-luka kecil mengerak di kepala dan membuatnya asyik mengutili.

Lelaki itu tak sempat berpikir apa-apa, saat aktifitasnya demikian masyuk mengutili kulit kepala. Seperti seorang yang tengah ekstase, nikmat dalam dunianya sendiri.

Sementara kabut beranjak menipis, hembusan matahari pagi mampu mencipta tembusan sinar yang luar biasa di permukaan danau. Lelaki itu tersadar, faham di mana diri serta tubuhnya berada. Ia berdiri, menantang landscape di hadapannya, meneropong matahari dengan kedua mata terpicing tanpa alat bantu, lalu melepas tangan dari kepala. Lelaki itu, Manusa Diarcapada.

---

"ini hanya masalah kebiasaan, seharusnya kau bisa faham!"
"apa yang harus difahami dari sebuah kebiasaan buruk?"
"buruk di matamu, tapi tidak di mata orang lain, Tyan!"
"kukatakan sekarang, kau yang harus faham, mengerti membedakan mana buruk mana benar"
"aku bukan anak kecil!!"
"kau memang bukan anak kecil, Diar! kau anak lelaki satu-satunya, pengganti Bapak"
"lantas apa? kenapa kau sebut-sebut itu?"
"kau harus sadar Diar, kami butuh kau! Ibu juga aku"
"tapi aku butuh diriku sendiri juga"
"di situ masalahnya, kebiasaanmu bepergian tak berkabar membuat kami cemas"
"akhhh... hanya persoal sepele, kau dan Ibupun kuyakin faham. Aku perlu bebas"
"kau egois Diar.. kau egois! lupa kau dengan janjimu pada Almarhum Bapak"
"ckk!!"

dan berakhir dengan Diar meninggalkan Tyan.

Hidup memang seperti permainan. Kadang seperti memancing ikan berjam-jam tanpa hasil, kadang pula seperti menjaringnya dengan jala besar sehingga ikan-ikan kecil akan lolos darinya. Banyak dari kesempatan hidup terbuang sia-sia. Dia memahami itu. Setelah Bapak mangkat, mutlak ia menjadi kepala rumah tangga di usianya yang relatif mudah, belum lagi 20.

Kakaknya Tyan hanya berselisih tak sampai 20 purnama. Tyan kuliah di semester akhir pendidikan guru ketika Bapak meninggal. Sementara Ibu sehari-hari hanya beraktifitas di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurusi bunga-bunga angrek yang tertanam rapi di halaman samping rumah.

Bapak seorang pekerja di sebuah percetakan, bergaji tak seberapa tetapi selalu pintar menyisihkan untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Bapak dulu pernah bercita-cita menjadi wartawan, seorang jurnalis, tetapi menamatkan SMA saja saat itu Bapak kepayahan, sehingga Bapak urung dan memilih menjadi buruh sebelum akhirnya menikah dengan Ibu.

Tetapi diam-diam Bapak selalu menulis, mengetik di waktu-waktu yang terjadwal rapi. Ibu sangat mengetahui itu, menjadi sesuatu yang sangat dikagumi Ibu manakala Bapak terlihat begitu tekun di atas mesin tik-nya yang dibeli di emper barang bekas di bilangan Malioboro beberapa waktu lalu.

Bapak senang betul bekerja di percetakan. Pekerjaannya tidak berhubungan dengan cetak mencetak atau tulis menulis. Bapak bertugas membersihkan kantor, menyediakan kopi dan siap di suruh ini itu. Office Boy, nama tenar pekerjaan itu sekarang. tapi rasanya Bapak tak pantas dipanggil Boy.

Yang membuatnya senang ialah ia dapat membawa pulang kertas-kertas bekas yang salah satu sisinya masih kosong belum tercoret tinta. Berharga betul bagi Bapak sehelai kertas saja. Karena dengan itu, maka ia akan memiliki modal menulis di rumah. Dan ia bisa menenggelamkan diri mewujud apa saja, tanpa ia harus mengingat siapa dirinya. Maka ia akan kemasukan jin tinta dan hanyut dalam tak tuk irama mesin tik yang selalu bergeser antara minor dan mayor.

---

Dua tahun setelah kepulangan Bapak ke Rahmatullah, Tyan mampu menyelesaikan studi strata satunya, tetapi masih lagi belum mendapat pekerjaan. Ibu lagi-lagi hanya mampu mengurusi angrek-angrek yang lambat laun mulai ia lupa nama dan jenis. kehilangan Bapak, membuat ia merasa kehilangan sebagian anggota tubuhnya. Punya kaki, tangan, mata, telinga, lubang hidung, tetapi hanya satu. Ibu seperti lumpuh dan lebih banyak melamun. Kehilangan daya untuk bangkit.

Berulangkali Tyan membujuk Ibu untuk berwirausaha. Tetapi selalu saja gagal. Sudah berkali-kali dicoba, dari membuat jajan pasar yang dititipkan ke warung-warung, membuat opak dari ketela, membuat kerajinan tangan dari wol hingga berjualan tanaman, khususnya angrek yang sangat lihai digarap Ibu, semuanya gagal.

Selalu mentok pada pengaturan keuangan. Selalu akan lebih besar pasak dari tiang. Ibu tidak bisa mengelola, dan menjalankan usahapun seperti setengah hati. Kadang Tyan menyesal terhadap Bapak yang sedari dulu tidak pernah membiarkan Ibu bekerja selain mengurusi rumah. Inilah salah satu efek resiko kehidupan dimana Ibu tidak siap menghadapinya, tetapi Tyan menyadari.

Satu-satunya yang bisa menyelamatkan keluarga mereka adalah Tyan harus bekerja. Apapun itu, Tyan bertekad untuk bisa menghasilkan rupiah demi rupiah. Berapapun jumlahnya, akan ia kejar.

---

Di tanah Kalimantan.

Escavator seri terbaru seharga milyaran rupiah melenggang sombong. Sebentar lagi ia akan bekerja untuk mengeruk tanah di sini. Mesin senso yang terlebih dahulu didayakan. Diar mengamati dari pojok, dimana bangunan temporer dari papan kasar dibangun untuk keperluan developer.

Baru beberapa jam ia datang, menumpang kapal Lawit yang membutuhkan waktu lebih dua hari dari Semarang. Sebuah pertemuan tak terduga dengan seorang Bapak di pelabuhan yang kemudian mendamparkannya ke sini.

Sang Bapak, Rusdi nama beliau, mencangkleng cangkir kopi dengan jari manisnya. Asap mengepul dari rokok kretek yang membuat bibirnya membiru. Warung tegal itu menyediakan kopi panas yang sudah butir kopinya sudah bercampur jagung, tentu tak sedap, kecuali bagi mereka yang tak pernah membandingkan rerasa kopi lain. Warung tegal ini tak pernah terlihat berjejal pembeli, semua yang datang, lantas buru-buru pergi. Pemilik warung tidak menyediakan piring, tetapi ia menyediakan pincuk daun pisang, kadangpula daun jati. Ia hanya mau menyiapkan beberapa cangkir saja, itupun terbuat dari seng setinggi ibu jari.

Diar datang tergopoh, memesan sepincuk rames seharga seribulimaratus. Untuk membayarpun ia memerlukan diri merogoh sejadi-jadinya semua saku di celana panjang dekilnya. Cepat ia menghabiskan isi pincuk.

Rupanya ini menarik perhatian Pak Rusdi yang sedari tadi terlampau santai menikmati kopi.

"hai anak muda, kenapa kau buru-buru?" dialegnya sangat kental Melayu.
Merasa tidak kenal, maka Diar menunjuk dadanya dulu sebelum menjawab, hampir tersedak.
Dengan mulut masih penuh nasi dan sambal teri pedas, ia memaksakan menjawab.
"mencari orang, Pak.."
tentu suara yang keluar sangat tidak jelas. Pedanya sambal teri membuat Diar spontan memuntahkan apa yang dikunyahnya. Ia tersedak. Roman wajahnya tersirat bingung. Pemilik warung menyodorkan secangkir air putih, ditambahi dengan satu kata, "gratis". Ada semburat senyum di wajah Diar.

Pak Rusdi tergelak tertawa.
"untuk minum air putih pun kau takut bayar?" katanya tanpa bermaksud meleceh.
Diar merasakan wajahnya memanas, merah, sebuah kutukan atas rasa malu.
"duduk sini, anak muda.. hebat betul kau, dari mana kau segopoh ini?" tanya Pak Rusdi ramah, ditepuk-tepuknya bangku panjang di sisi duduknya.
"Saya dari Jogja, Pak... saya mengantar motor dan saya harus memasukkan ke dalam, akan di kirim ke Kalimantan" Diar mencoba menjelaskan.
"kau yang mengurus ekspedisinya?" Pak Rusdi tertarik.
"oh, bukan.. bukan saya, Pak.. saya hanya buruh. Sayang hanya mengantar saja, nanti saja harus bertemu Pak Rusdi yang katanya akan menerima motor ini. Katanya, ini milik kemenakan Pak Rusdi itu" Pak Rusdi lantas tertawa tergelak mendengar pemaparan Diar.
"jadi kau yang membawa motor si Luki?" Pak Rusdi seperti baru menemukan mentimun emas, sumringah dan terus menepuk-nepuk punggung Diar. Sakit sebetulnya, tapi Diar tentu tak punya nyali berterus terang.

Dari situ, Diar tahu kalau Pak Rusdi ialah seorang pemegang proyek pembangunan sebuah Rumah Sakit di sebuah daerah di Kalimantan. Seperti kebanyakan Melayu, Pak Rusdi berbicara panjang lebar mengenai perang tender yang akhirnya ia menangkan.

Mungkin karena senang sejak awal pembawaan Diar, maka Pak Rusdi tanpa basa-basi mengajak Diar turut bersamanya. Tentu setelah mendengar penjelasan Diar, bahwa kuliahnya terkatung-katung sejak Bapak meninggal dan ia kerja serabutan, apa saja dikerjakannya demi memperoleh uang, menyambung hidup.

Pengalaman pahit Diar, membuat Pak Rusdi mau tak mau berkaca pada masa mudanya yang juga jauh dari kata nyaman.

"kau butuh kerja?ikut aku! kau akan belajar bekerja, mulailah menjadi kuli, buruh, sambil amat-amati pekerjaan yang lain. Jangan mengeluh" tembak Pak Rusdi.
"saya sangat butuh kerja, Pak" Diar menjawab polos.
"kau ikut aku, kugaji kau empatpuluhribu perhari, tapi itu tergantung usahamu, kalau kau kulihat bekerja keras, aku tak segan menambah. Kalau kau mau, segera kucarikan tiket dan kau berangkat bersamaku, beberapa jam lagi"
Diar tak sempat berpikir apalagi menimbang. Yang ada di pikirannya ialah sumber penghasilan. Ia tak sempat juga memikirkan bagaimana hidup sebelum serta setelahnya. Kebutuhan akan uang menjadikannya silaf dengan hal lain. Ia ingin berpenghasilan. dan ada pintu ke arah sana.
"baik, Pak" jawabnya mantap.

---

Suara escavator yang baru di uji coba membangunkannya dari lamunan. Belum dua jam ia berada di area itu, tapi masih sempat ia dan beberapa pekerja memakan buah bernama langsat dan rambai, serta berebutan memakan manggis dari pohonnya, sekarang, pohon-pohon itu sudah rebah di tanah.

Diar menjadi sadar sesadar-sadarnya di mana ia kini berada. Jauh dari rumah, jauh dari orang-orang yang dikenalnya. Ia benar-benar terdampar. Tapi terik matahari Khatulistiwa seperti mengingatkannya kembali bahwa inilah pintu yang akan membawanya pada rupiah.

(Bersambung)

19 September 2009

surat

telah kutulis sebuah surat, yang sebisanya terbaca lugas. surat yang sebetulnya enggan untuk aku tunjukkan pada siapapun. surat pengakuan.

tapi kali ini, aku ingin menuliskan surat lain, surat yang mungkin takkan terbaca jelas. apa yang aku tulis di sini, hanya rasa demi-rasa yang timbul tenggelam selama masa itu.

berbahagiakah aku? semestinya iya, nak...
mungkin aku kurang bersyukur, atau mungkin tidak bersyukur.
aku tidak meminta pengertianmu kelak, nak...
aku hanya ingin kau bisa merasa, manusia berproses, menjalani, meraih apa yang berkesesuaian dengan hatinya.

aku tidak lagi berdaya untuk meneruskan jalan ini. biar kupilih jalan lain. sayang kau belum punya pilihan, maka kau kupaksa ikut bersamaku.
apapun yang kelak terjadi, nak...
kuharap semata kebahagiaan untukmu.

cintaku,
Mama.

06 September 2009

kalau

kalau saja tidak ada hari itu,
dimana kita bertemu atau dipertemukan

kalau saja aku mengerti,
seperti apa dan bagaimana jika

aku mencintaimu,
itu saja.

22 August 2009

Rembulan Mematut Cermin

menitipkan rembulan pada malam
di garis bayang-bayang kelam
ada kesepakatan di kedua sisi hitam
lantas menggelambir, meliuk timbul tenggelam

ini patut ku kisahkan,
sedikit di kala sabit merah menjadi sisa ataukah dimulainya sebuah pertanda

riuh angin bersiweran mencuri pesan-pesan lewat
diantara gelombang suara yang berjejal-jejal

---

kala bermentari:

mata ialah inderaku yang paling tak sua mengantuk di bilangan siang
ia terjaga dari silau atau khilaf pandang
telingaku tak urung tidur kala itu jua
ia senantiasa bermawas diri akan desing-desing bising
pernah kukatakan suatu masa,
bahwa tiada yang bisa kita pertaruhkan selain pertaruhan itu sendiri
pernah juga kubisikkan lekas-lekas menutup diri pada masa depan
sebelum keburu menjadi hari ini..
bukankah kita tidak perlu terlalu lama berbincang tentang esok
sementara itu jiwa raga dan segenap kita hanya diam, bercakap
kapan hendak bertindak?

aku, kau dan juga sesiapa yang nyana..
mungkin pernah menikmati sepoi-sepoi di bawah angsana rimbun
atau kejatuhan butir-butir kuning akasia
atau memainkan gelembung-gelembung batang jarak
atau menggesek-gesek biji karet untuk menikmati sekejap sensasi panas di kulit

aku kau atau siapa saja,
mungkin pernah berangan-angan melompati pelangi yang melengkung
pernah kau melihat pelangi tak melengkung?
hanya di bibir kaca..
begitulah.

aku kau hingga kemudian disebut kita adalah sebuah senyawa
aku kau hingga kemudian menamai kami adalah sebuah molekul
aku kau hingga kemudian berpadu adalah sesuatu yang rekat, tanpa perlu diikat

---

kala bersenja:

mentari mulai menitipkan salam..
ruhnya ia sumbangkan untuk mencahayai malam
dipugarnya bumi dengan ketemaraman rembulan

ada sisa dan jejak yang tak mau diungguli
dengan arogan senantiasa mengisi letik hari
matahari, maha sang hari

pada senja ia pulang,
pada rumah tak beralamat

aku memunggungimu, mendengar dengus nafasmu yang lambat
"sentuh aku," pintamu

aku kau mungkin hanya dua orang tak bertanggungjawab
aku kau mungkin hanya dua manusia tanpa amanat
aku kau mungkin hanya dua, hanya dua.. hanya dua

tapi aku menghendaki menjadi aku.
aku menghendaki tidak ada kau.
aku ingin hanya aku.
senja ini boleh semakin memerah atau jingga atau apalah..
tapi aku ingin sebagai aku, sebagai aku dan hanya aku.

kesendirian senantiasa mengesalkan, bujukmu
ayo bersama, karena aku cukup setia

---

kala bermalam:

ada selembar selimut yang kau usung pada tubuhku
bukan aku pelit,
tapi aku tak lagi bisa berselimut bersama..

jam dinding berdentang malam begini
kau terlelap di negeri dongeng
sementara perutku lapar keroncongan
ulu hati masih menusuk-nusuk

lantas secangkir larutan gula
kubawa mengganjal perut yang menggelinjang, menggila..
kau masih masyuk dalam sangkar dongengmu
kubawa diri bergulung dalam selimut,
apa kau peduli, he?

jadi untuk apa aku berbagi?

sendiri.. sendiri.. sendiri.

---

saat ber...

jangan bawa-bawa utara selatan timur barat dan semua mata angin
aku hanya menembus bumi,
tak kenal arah..
tak sua berlayar..
bintang-bintang hanya kupandang-pandang
tak sua kupatok jadi pedoman.

03 August 2009

dari Pagina Kosong

IZINKAN AKU MENULIS ... !

Banyak teralis yang tidak sanggup memenjarakanku.

Aku adalah anak panah yang melesat, bergayut dengan udara.
Disunting pelangi yang terjilat rintik hujan.

Aku adalah lucarsa yang beranjak perlahan dari dahan satu ke lainnya.
Berjingkat, bersahabat dengan savana.

Aku adalah gelombang yang beriak pada banyu yang kesepian.

Aku adalah hembusan yang melalui-mu, merasai-mu, sekejap... tanpa sempat kau sadar.
kemudian bergegas kembali.

Maka, tak sebuah pun penjara mampu meneralisku.
Penjara itu ialah rumpang-rumpang kosong milik para manusa.
Tak sanggup membingkai ku tepat pada kelopak pariginya.

Karna aku...
adalah siluet yang menjaga lembayung agar tetap jingga.

Entah rahim siapa yang beruntung... melahirkanku.
Akankah kutemui, saat berpantulan dengan diri sendiri di hadapan parigi ?

Siapa Aku ??

Aku adalah DOSA dan BUDI yang dicipta si empunya.

Siapa Si Empunya ???
Siapa Dia ?!
Bisakah kusebut dia, Bunda ?!

1 Jan 2004
16.31

( Rasanya tidak cukup adil !!
tidak cukup mencipta janin hanya bermodal vagina !! )

28 July 2009

Buat Ibu (mumpung nyawa masih menggantung)

Akh.. Ibu,
Kau pernah bermimpi melahirkan aku?
Kupastikan tidak!
Kau hanya akan membayangkan bayi mungil
Yang imut, lucu, cantik menurut versimu
Lantas,
Kau pun berangan-angan cemas segala yang baik perihalku,
Doa menurut tuturmu,
Meski kau sadar betul,
Tidak ada manusia sempurna, sesempurna doa

Akh.. Ibu,
Kau pernah berharap melahirkan aku?
Mungkin tidak!
Kau hanya akan membayangkan bayi mungil
Yang keluar dari jalur rahimmu melewati bukaan vagina
Yang hanya akan senantiasa mengajakmu tertawa
Lantas,
Kau pun berdebar-debar bimbang membesarkan dengan membatasi gerakku
Menjagaku, dalihmu
Meski kau sadar betul,
Aku manusia berubah, berkembang, berproses

Akh.. Ibu,
Adakah kau pernah menyesal melahirkan aku?
(tak bisa kujawab)
Mungkin kau yang harus menjawabnya sendiri, Bu..

25 July 2009

Buat Bapak (mumpung kita masih hidup)

Pak..
Haruskah hidup ini terus menerus mencari diri?
Haruskah aku lahir dan hidup terjejali dengan sesak pembuktian yang tiada akan tuntas?
Haruskah aku menyirami benih dendam berkat nilai-nilaimu padaku?
Haruskah aku senantiasa ketakutan dan enggan hanya karena amarahmu?

Pak..
Tahukah kau?
Mungkin engkau satu-satunya, yang begitu aku banggakan sekaligus aku sayangkan!
Tahukah kau?
Engkau pemicuku sekaligus engkau detonator yang meledakkanku
Tahukah kau?
Aku lelah.. aku lelah!

Pak..
Aku ingin kau peluk saja, seperti ku kanak-kanak
Aku benci menjadi dewasa
Dan harus merasakan panasnya tamparanmu
Kuatnya hajaranmu, aku lelah..

Pak..
Aku ingin kau nyanyikan timang-timang saja,
Biar aku terpejam, terlelap dalam kanakku yang tak sua beranjak
Aku enggan jadi dewasa,
Aku takut kau mengecamnya

Pak..
Kini, setelah kau tak lagi menghajarku..
Kumohon..
Tutup saja mulutmu,
Sstt...
Jangan bersuara,
Kata-katamu lebih menyakitkan,
Telingaku mungkin sanggup mendengar,
Tapi hatiku, Pak..
Otakku, Pak..
Perasaanku, Pak...

Cukup. Cukup!

22 July 2009

..simply..

...ketika aku bakar aral ini,
akankah kau buka pintu itu juga?
setelah aku melangkah,
akankah keberanian itu menuntunmu untuk melangkah juga?...

20 July 2009

pada yang terbatas

Doaku mungkin terbatas,
Hanya berakhir pada keping-keping kancing bajumu
Tetapi aku ingin merintis yang tak seberapa itu
Aku ingin merapalnya..
Setiap pagi kala kau hendak berangkat
Dan pulang saat kau hendak melepas penat

Doaku mungkin terbatas,
Hanya berhenti pada keping kancing terakhir bajumu
Tetapi aku ingin mengulanginya, lagi.. lagi..
Aku ingin menggumamkannya..
Agar kau senantiasa tahu
Di sana ada pinta dan harap

Maka berdoalah aku sepanjang yang terbatas itu,
Kemudian mematutmu, kita: di hadap cermin.

16 July 2009

Buat Ning

“kau tidak akan pernah mengerti ini, Ning.. kau tidak akan pernah mengerti”
“bagaimana aku bisa mengerti jika kau tak pernah mengatakan”
“apa yang perlu kukatakan?”
“katakan seluruhnya, sepenuhnya”
“akh, kata-kata tak penting Ning, bahkan aku sudah tak punya lagi bahasa, untuk rasa”
“apapun itu!”

Begitulah Ning.. begitulah obrolan kita yang tak pernah tuntas. Begitulah percakapan kita yang selalu terkatung. Begitulah, bincang kita yang selalu mengapung.

Katakan, Ning..
Katakan apa yang harus aku lakukan dalam waktu dekat.. katakan, apa yang bisa kuperbuat? Katakan.. bagaimana menghadapi malam ini? Katakan, Ning..

Sudah tidak merah lagi, pernah kau tulis itu dulu. Tapi apa itu?



Permukaan air di danau ini masih sejuk. Sama seperti berpenggal silam kita celupkan kaki-kaki kita. Dimana kita duduk berjejer rupa, mengadap riak-riak yang tak lagi sempurna memantulkan kita.

Permukaan air di danau ini masih saja hijau. Ganggang di dalamnya menjalar memenuhi dasar dan berenang menggapai permukaan. Pantulan mentari membias warna perak emas yang luar biasa. Mata kita tidak terpedaya.

Ning, itu senja terakhir kebersamaan kita. Kau ingat Ning.. burung-burung dara terbang demikian rendah. Kadang mereka berjalan mendekati kita, tetapi terburu-buru pergi begitu kita bereaksi sedikit saja.

Kau masih ingat Ning, kala kau rebah dipangkuanku dan kau bersungut-sungut kesal kau begitu membenci anak kecil. Bagimu mereka seperti monster bertopeng wajah polos, yang seringkali melukai hati. Entahlah, Ning.. aku tidak mengerti. Sementara aku sangat menyenangi anak kecil. Gemar menggenggam jemari mereka yang mungil, senang mendengar celoteh mereka yang sederhana, aku suka itu.
“menikah saja, kalau begitu..,” itu ucapmu kesal.

Akh, Ning.. bukan begitu.. bukan begitu, Sayang..

Lihat Ning, kerikil ini akan kulempar. Akan kubuktika lemparanku lebih jauh dari lemparanmu kala itu. lihat Ning!

Dan kerikilku melesat jauh, hilang dibalik warna hijau danau. Yang tersisa hanya bunyi ‘plung’.

Ning, nelangsa.. kau mengerti arti kata nelangsa? Sudah.. tak perlu kau mengerti. Rasa, yah.. ini hanya masalah rasa, yang kusara. Seperti itulah saat ini.



Pelaminan ini masih akan bertahan beberapa hari. Wangi melati dan semerbak kuntum-kuntum mawar masih akan terus menghiasi. Senyum masih lagi harus kutabur dalam perih luka hati, hingga sore ini. Dan nanti malam Ning, kau tahu.. tangisku akan pecah. Kau tahu itu Ning..

Kau memang patut marah padaku, kau memang patut kesal, kau patut membenciku. Aku mengkhianatimu, Ning..

Aku yang salah Ning, aku.. tapi kumohon jangan hukum aku. Aku ingin kau tahu, betapa tak berdayanya aku, Ning.. dan kau semestinya tahu aku akan sangat tersiksa dengan pilihan hidup ini. Aku memilih untuk berdusta seumur hidup, Ning. Kau tahu bagaimana rasanya berpura-pura sepanjang hayat? Kau tahu rasanya menjadi seorang munafik? Kau tahu Ning?

Ning..
Katakan, bagaimana menghadapi malam ini?


Perempuanmu, yang akan selamanya mencintai perempuan.

Ayumi.

01 July 2009

LUH TRE

“bukan yang itu, Luh..”
Luh seketika menarik tangannya. Ia menoleh pada suara yang menegurnya. Bibirnya sedikit maju, lalu dengan bantuan menjejak ranting di tangan kanan, ia bangkit.
“salah terus..,” rajuknya.
“kau harus benar Luh, kau harus lebih jeli! Berbahaya jika kau salah sedikit saja”. Begitu penjelasan yang ia terima.
Luh menyeret kaki, enggan. Masih merajuk kiranya. Ranting yang dipakai membantunya berdiri tadi dikibas-kibaskan pada udara, sabetannya mengeluarkan suara yang cukup untuk menunjukkan kekesalan. Arah sabetan itu tak menentu, dari kanan di tarik ke kiri, lantas bergegas ke atas, terjun ke bawah, lantas ke kiri lagi, dan begitu terus menerus tanpa ada gerak terarah.

“kau kan hanya bocah juga! Tau apa kau?,” sungutnya kemudian. Bibirnya masih mecucu. Gumamannya yang masih terdengar itu disambut dengan gelak tawa. Dia Ranggas. Ranggas melemparkan sebuah umbi ginseng dan tepat mengenai bahu Luh. “rasakan! Untuk anak yang aleman,” Ranggas masih tergelak. Wajah Luh memerah. Ia berdiri dan segera berkacak pinggang, tetapi bingung mau berkata apa. Akhirnya, ia menampar tanah dengan hentakan kaki, lantas melengos meninggalkan Ranggas.

Luh berjalan cepat-cepat, melintasi pinus-pinus. Sesekali menarik dedaun cajuput (kayuputih), tak sempat membaui, segera saja dihempasnya kembali. Padahal biasanya ia sangat senang mencium-cium daun-daun cajuput itu. ia pun tampak seperti tidak peduli pada batang yang mulai terkelupas itu, padahal biasanya ia akan berhenti lama di sebuah pohon, hanya untuk mengamati kelupasan itu dan bercakap-cakap ringan dengan semut-semut yang berjalan cepat di antaranya.

Luh berhenti di sebuah batu agak besar nyaris di tengah Kali. Luh melompat-lompat kecil dari batu ke batu untuk sampai ke sana. Memang sudah menengah, dengan deras air yang lebih dibanding sisi lain. Segera ia mencelupkan wajahnya pada air yang dingin karena bersumber dari jatuhan Gunung Merapi. Air dingin membuat otaknya sedikit dingin, tetapi terlalu dingin, membuat isi kepalanya itu semakin kram. Maka ia tak berlama membiarkan wajahnya di dalam. Ia menyibak sebagian rambut yang ikut basah.

Tak sengaja ia menatap langit. Seisi langit yang tampak di matanya seakan tertawa geli. Akh! Kalian memang sering menertawakan aku! Aku yang anak kecil ini.. padahal kalian sendiri juga lucu begitu kok, coba saja bercermin, nih.. tunggu riak air ini tenang sedikit, tadi baru ku kacau. Kalau sudah tenang, berkacalah kalian seisi langit, kalian lebih kocak! Begitulah monolog hati Luh.

Tapi ia masih kesal dengan Ranggas. Ranggas, bocah laki yang sok tau itu. yang selalu merasa betul. Yang selalu saja menganggapnya lebih kecil, kendati dari usia memang Luh beberapa bilangan lebih muda. Tapi ia kesal dengan bocah menyebalkan itu! bocah yang menyebalkan!! Ya.. julukan itu memang pantas untuknya.

Luh teringat Romo. Romo tak pernah menyalahkannya, Romo selalu menunjukkan kebenaran dengan tepat. Romo selalu bijak di mata Luh. Room adalah laki-laki yang selalu menyenangkan, berbeda dengan Ranggas. Laki-laki kedua yang pernah dilihat sepanjang usianya.

Luh membayangkan, jika tadi ia memilih pergi bersama Romo untuk menembus bukit itu, mencari kayu bakar, mungkin itu akan lebih menyenangkan. Tetapi, ajakan Ranggas mencari tanaman obat, terdengar lebih menjanjikan awalnya sebagai pengalaman baru. Ia belum pernah melakukan itu sebelumnya. Romo tak pernah mengajak jika bepergian mencari tanam obat. Dan pengetahuan Romo terbatas untuk itu, hanya seperlu kebutuhan mereka saja.

“kau memikirkan aku, he?” suara itu membuyarkan lamunan Luh dalam sekejap. Ia menoleh cepat walau sudah menduga itu Ranggas. Siapa lagi? Tapi buru-buru membuang muka lagi.
“naiklah.. kemari Luh! Ada yang ingin kutunjukkan..”
Luh masih mengemoh pada ajakan ranggas yang terdengar lunak itu.
“anak perempuan memang selalu aleman. Betul kata Ibuku” ternyata kalimat Ranggas yang sembarangan itu yang menggugah Luh. Luh berjalan mendekat dengan nafas terburu.
“siapa bilang aku manja?,” tantangnya.
Ranggas tertawa kecil, mungkin sudah hapal betul gelagat anak perempuan yang menjadi satu-satunya sahabat itu.

“duduk di sini, Luh..,” kali ini Ranggas bergaya seolah ia seorang kakak yang mengemong adiknya. Ranggas menarik lengan Luh. Dan untuk pertama kalinya, Luh menurut.
“kau lihat ini..” Ranggas menunjukkan beberapa rimpang.
“ini serupa, mirip. Tapi berbeda. Kau mungkin sudah kenal jahe, laos, kunir dan yang biasa Ibumu pakai memasak. Tetapi ini berbeda. Coba kau perhatikan. Warna mereka hamper sama, begitupun bentuk mereka, tetapi manfaat mereka berbeda”
Lalu Ranggas mengeluarkan lagi beberapa teki dan tetumbuh hijau dari keranjang kecil bambu yang tersampir selalu di pundaknya.
“nah, ini beberapa ginseng, yang terpenting adalah akarnya. Tapi kau pun harus teliti, banyak tanaman serupa, tetapi sama sekali berbeda manfaat, bahkan mengandung racun. Kau harus pintar Luh, karena kau sudah pintar”
Ranggas tersenyum demi melihat Luh sedikit tersipu dalam ambeknya.

Lantas Ranggas berbaring di rerumput yang kering terkena pantulan sinar matahari. Ia bercerita pada Luh seperti ia berbicara dengan diri sendiri.

Aku memang masih bocah, Luh. Sama sepertimu. Tetapi, sejak aku lahir dan Ibu sudah mampu berjalan, Ibu selalu membawaku menyusuri bukit demi bukit untuk mencari tanam-tanaman obat. Kami tak pernah tinggal dalam waktu yang lama di suatu tempat. Kami selalu saja berpindah-pindah. Akupun tidak mengerti mengapa Ibu memilih demikian, awalnya. Aku hanya hidup berdua dengannya.

Ibuku cantik, Luh.. andai kau pernah melihatnya. Aku melihat banyak perempuan saat berkelana bersama Ibu dari kampung ke kampung, dari pemukiman demi pemukiman, dari hutan ke hutan. Tetapi, rasanya.. Ibuku paling cantik.

Sementara itu, Luh mengumpat di dalam hati, bagaimana mungkin ia bisa membayangkan sosok perempuan cantik. Yang ia tahu hanya Ibu dan dirinya sendiri, jadi baginya, yang tercantik, tetap dia dan Ibu. Tak ada yang lain.

Ada yang mengatakan kalau Ibuku adalah seorang tabib. Tapi, entah apa itu pantas untuknya atau tidak. Tetapi, ia selalu berkelana menemukan orang sakit dan kemudian membantunya. Sedapat mungkin ia mengajari penduduk yang ia temui mengenai obat-obatan dan mengenali berbagai penyakit. Sebetulnya, nama Ibu sudah masyur. Orang-orang memanggilnya Jingga. Yah, Jingga. Tanpa mereka tahu siapa sebetulnya Ibu.

Dinamai Jingga karena Ibu biasa mencari tanaman obat di pagi begitu matahari terbit, dan hanya dapat ditemui orang-orang sebelum matahari tergelincir. Begitulah kemudian mereka menamai Ibu, Jingga.

Ibu yang selalu mengingatkan aku harus teliti dalam memilih dan memilah tanaman-tanaman itu. dan begitupula maksudku mengingatkanmu tadi. Adalah hal wajar, Luh.. kau melakukan kesalahan, tetapi kau harus memperbaikinya. Ini baru hari pertama bukan? Kau pasti akan bisa. aku yakin itu! karena kau anak cerdas dan bersemangat.

Seketika hati Luh seperti meleleh. Ia tidak pernah merasakan colekat yang lumer di lidahnya, atau merasakan es krim yang mencair begitu ia menyentuh bibir. Tetapi ia pernah merasakan garam yang sangat jarang dimakannya. Hanya beberapa kali, jika Romo melakukan perjalanan jauh ke desa seberang. Ya.. butir garam yang pernah menyentuh ujung lidah hingga pangkal ia rasakan begitu nyamannya. Rasanya yang tak biasa mengingatkannya akan rasa keringat yang seringkali tanpa sengaja ia jilat.

Luh tersenyum. kali ini hatinya persis seperti sejumput kecil garam yang melewati mulut untuk diteruskan ke kerongkongan. Ya.. ya.. seperti garam.

“iya.. tapi kau berlaku kasar padaku,” masih dengan nada merajuk meminta dibujuk.
“kasar? Aku? Padamu?,” Ranggas seakan tak percaya.
Luh mengangguk. Kali ini Ranggas menjadi kesal. Ia bangun dari baringnya, dan duduk dengan gerak tubuh jengkel.
“iya.. tadi kau memarahiku.. padahal Romo tak pernah sekalipun”
Kali ini Ranggas betul-betul bangkit berdiri. Wajahnya tampak emosi betul.

“Romo.. Romo.. Romo terus!! Kau tidak tau seperti apa Romo-mu itu! kau tak pernah tau apa yang diperbuat Romo-mu itu!! kau tidak pernah tahu itu, Luh!!,” suara Ranggas tiba-tiba seperti guntur, memekakkan telinga Luh. Dan membuat Luh terjengap, terperanga.
Luh diam, ia seperti tersihir entah oleh apa.
Ranggas kemudian mengemasi keranjang bambunya, menyisir tanaman-tanaman yang ia keluarkan tadi dan bergegas pergi meninggalkan Luh. Luh masih tercekat. Dalam berapa langkah, Ranggas membalik badan. Ia berkata dengan mata menyala.
“hiduplah terus dalam bayang-bayang Romo-mu itu! bagimu, aku tetap seperti tanaman meranggas, kan?,” terdengar begitu penuh amarah, dendam juga getir.
Ranggas pergi cepat meninggalkan Luh yang terpasak dalam diam. Tubuhnya mulai menghilang di balik rerimbunan. Luh terkesiap, baru mulai menguasai diri. Ia dilanda rasa bersalah demikian menggunung.

“Ranggas… tunggu..!!”.


Jogjakarta, 1 Juli 2009
05:05

NB: ada baiknya membaca terlebih dahulu puzzle sebelum:
http://soerjahrhezra.blogspot.com/2008/12/luh.html
dan
http://soerjahrhezra.blogspot.com/2008/12/luh-bertemu-jingga-di-mata-romo.html

26 June 2009

Fall Again, Mike..

Aku membawa diriku, tanpa airmata. Berjalan tanpa hendak menatap ke depan, di mana kaca-kaca pergi dengan lambat tetapi cepat.

...

Langkahku, Tuhan..
seperti terseret pasir dihalauan ombak.
Langkahku, Sayang..
seperti tertanam, terpasak.
Adakah yang lebih membahagiakan dari hari ini?
Adakah yang lebih menyedihkan dari hari ini?
Adakah pengharapan yang melebihi hari ini?
Adakah kesudahan setelah hari ini?

Aku berjalan lagi..
Membujuk tungkaiku untuk menurut saja hari ini,
Aku ingin pulang,
Mendekap bantal, membaui tubuhmu pagi ini..
Memutar berkali-kali for all time, mendengar bisikanmu sepanjang hari..
Membaca jejak rekam, menyusun puzzle demi puzzle sinyal dan waktu..

Aku berjalan sembari menutup telinga


...

feels like the fire that burns in my heart
every single moment that we spend apart
i need you around for everyday to start
i haven't left you alone

something about you, starin' in your eyes
and everything i'm looking for I seem to find
all this time away is killing me inside
i need your love in my life

i wanna spend time till it ends
i wanna fall with you again
like we did when we first met
i wanna fall with you again

we fought in a battle, nobody won
now we face a mountain to be overcome
you can't run away, the past is said and done
i need us to carry on

i wanna spend time till it ends
i wanna fall with you again
like we did when we first met
i wanna fall with you again

you'll try everything
you'll never thought would work before
when you live, when you love, and you give them your all
you can always give up some more

Baby nothing means anything
unless you're here to share with me
i can breathe, i can bleed, i can die in my sleep
cause you're always there in my dreams

i wanna spend time till it ends
i wanna fall with you again
like we did when we first met
i wanna fall with you again

Michael Jackson, Fall Again
(29 Agustus 1958 - 25 Juni 2009)

19 June 2009

"lantas, Bapak?"

sejurus!
tanpa mata kita mampu bercakap-cakap
dalam pening kalimat terjengap

...

berpenggal silam kulihat Mamak-Mamak memanggul dengan kepala
"mana Bapak?"
berpenggal silam, kutanya pada Bapak, mana Mamak?
lantas ia jawab, "ke ladang, mana lagi?"
"lantas Bapak?"
linting kelobotnya kembali berasap

berpenggal silam,
aku di bawah jendela rumah panggung, di sisi kandang ayam
menyisiri bundar-bundar kecil yang belakangan kutau itu pil KB
tiap malam Mak'Njang membuangnya
berpenggal silam,
kudengar bisik-bisik dari sepasang telinga bengal
"bosan, tiap hari minum pil terus. muka bengkak, datang bulan acak. kalau tidak, beranak.. susah jadi ibu-ibu!!"
dalam hati, "lantas Bapak?"

berpenggal silam,
aku mengantar lima kilo beras jatah kepegawaian Bapak
untuk ditukar lembar rupiah, menyambung hidup sehari-hari
lantas, begitu kami mulai kenaikan kelas,
aku berdiri di loket antrean, mengantar Ibu menggadai kalungnya
"beginilah jadi Ibu, perhiasan hanya bisa dikenakan kala lebaran. sisanya? akh.."
"lantas, Bapak?"
Jawabannya adalam gamitan tangan Ibu yang cukup keras.

...

aku perempuan yang hanya menatap perempuan
kiranya apalagi yang dijejalkan padamu, perempuan?

-----

(* Mak'Njang: berasal dari 2 kata, Mamak (Ibu) dan Panjang (bisa lebih tua, bisa juga karena tinggi badan), di Pontianak, mejadi sebutan untuk Bibi bagi Melayu setempat)

(* Linting Kelobot: rokok yang terbuat dari kulit jagung)

17 June 2009

Ideologi Nasi

I

Selalu saja ibu berteriak di atas piringku dulu
“habiskan, menangis dia kau buang-buang”
Selalu saja ayah bersitegang di atas piringku
“syukuri! Jangan kau sambil.. aku lelah bekerja menafkahi”

Perut kita perut nasi
Seribu isi tanpa nasi, sama saja tak berisi

Atau hidup kita adalah ideologi nasi?
Kesejahteraan diukur dengan seberapa banyak pemakan nasi
Ukuran pembangunan pun terpetakan berdasar padi

Aih.. negeri ini memang negeri padi!
Makanan terhormat ya hanya nasi.


II

Aku bertanya dalam sepiring nasi yang kutatap lebih lama siang ini
Lebih lama kuhabiskan menatap ketimbang menyantap.
Dalam selintas layar kaca kulayang sekejap..
Sebuah neolib berkumandang dalam jingle mie instant

Aha!
Kiranya mie instant sudah sama saja tak berbeda dengan calon presiden
Dari Sabang sampai Merauke, katanya

Huh!
Apa kabar nasionalisme?
Alamat nasi nak bergeser jadi mie!


III

Sebut padaku, bencana mana yang tidak menghadirkan mie instant?
Tunjuk padaku, siapa tak pernah makan mie instant?

Luar biasa betul neoliberalisme halus ini

Jangan mimpi bikin negara agraris,
Kalau yang diupayakan monokultur begini

Kita ini terjebak pada beras!
Pada ideologi nasi..
Lantas, kalau sudah kacau panen begini,
Apa nak kita makan?
Mie instant?

Aih..
Tak satupun petani negeri ini berolah gandum
Negeri ini penampung gandum nomer wahid sejagad dunia

Lantas, masihkah nasi menjadi pangan terhormat?
Embuh!!

(terngiang dengan jelas jingle neolib itu, dan hatiku miris, sok nasionalis)


Jogja, 17 Juni 2009

13 June 2009

Untuk *CMJ

entah apa yang bersemayam dalam benaknya tatkala ia mendengarkan kalimat yang senantiasa kuucapkan, "aku mencintaimu".
entah apa yang ia rasakan saat kukatakan berulang kali, "aku merindu".
lantas telaga itu kutatap berkali-kali. atau cukup sekali tetapi dalam antara yang panjang. dimana matanya mengerjap dalam fatamorganaku.

mempertanyakan ruang-ruang hatinya, sama saja dengan aku menggali minus 1,1 centimeter kedalaman hatiku. dimana aku akan membuat lubang di sana, lantas ku letakkan kapsul waktu untuk kubuka berbilang masa nanti. kututup sedemikian rupa dengan rahasia kekinian.

lantas yang kuyakini adalah aku demikian mencintainya, mengumpulkan puing demi puing harapan yang sebelumnya kuanggap tak lebih dari lelucon.

dan kini aku mulai hidup, bergelut lagi dalam harapan. puzzle itu sudah dimainkan. ada sebuah keyakinan yang hendak kuperjuangkan. Dzat tidak mengatur sebuah bentuk pertemuan dengan sia-sia.

dan kekasihku..
ketahuilah dan rasakan selalu:
aku mencintaimu, that's for all time..

---

once all alone
i was lost in the world of strangers
no one to trust.. on my own, i was lonely
you.. suddenly appeared,
it was cloudy before, but now it's all clear
you.. took away the fear, and you brought me back to the light!

you are the sun, you make me shine
or more like the stars, that twinkle at night
you are the moon, that glows in my heart
you're my daytime, my nighttime, my world.. you are my life

(Michael Jackson : You Are My Life)

07 June 2009

Pikir : Saya Hadir

Saya hadir,
Dalam sebuah jendela pikir
Di kala serawut asap tak lagi hendak menyingkir
Saya memutuskan untuk segera meminggir

“Saya hadir,”
Begitu bisik saya lembut pada udara tersampir

Saya hadir,
Meski jauh dari rumah,
Meski jauh dari sauh,
Meski nun dari rengkuh

Tapi saya sudah hadir,
Dalam dimensi pikir
Dimana kesempurnaan begitu nyinyir,
Enggan tuk sekedar mampir

Dan takdir?
Akhh, masih saya pikir!

28 May 2009

Drama 161 Menit

19:48

Ponselku bergetar, tanpa nada. Nomor ini, ada apa lagi? Benar saja. Akh, nasi-nasi di piringku belum lagi habis. Secangkir teh seduh dari pekarangan sahabat di Ponorogo, belum lagi tuntas.
“saya butuh sweater, bisa tolong carikan?,” pintaku pada perempuan berambut panjang yang hitamnya terlihat indah lurus itu.
“kedinginan lagi, Bu?,” ia sempat bertanya sembari tangannya menelusuri lemari pakaian.
“saya harus pergi, Mbak,”
“buru-buru begini?,”
Aku tersenyum, kecut. ‘apa ada pilihan lain?’, malas aku menjawab, jadi kusimpan kata-kata itu dalam hati.

19:52

Kutembus dinginnya Jogja. MasyaAllah, musim apa pula ini begini dinginnya. Satu dua bintang tampak, tapi tak kuindahkan. Yang terasa benar hanya gemeretak gigi berpadu satu, himpit-himpit saling serang di ngilu silir angin. Tanganku tak berkaus, sehingga sisipan angin cepat bergeliat masuk melalui celah buntung baju.

Sepanjang jalan, segenap jiwa, raga, karsa mengumpat sejadi-jadi, sesesak-sesak, seolah berkomplot memerintah saraf-saraf otonom untuk tak mencipta pikir sendiri. Kali ini musti seragam! Selaras!! Mengumpat saja!! Muntahkan kata serapah. Awas.. segenap aku sedang tak hendak berdebat di ranah hitam putih diskursus!! Ingat itu..

Aku hentikan sepeda motor di bawah beringin tepat di pertigaan jalan selaras terminal. Nomor lain kuhubungi, berkali-kali kucoba. Hasilnya, hanya segenap aku yang mengumpat. Sialan!! Begini rupa.. begini rupanya... Hingga ke tujuh kali, telpon diterima, dengan suara-suara musik yang jauh lebih kencang. Sial!! Aku susah begini dia malah nongkrong!!

Tak perlu berpikir lagi, aku bergegas menuju utara. Tanpa kacamata, sama saja dengan aku meraba. Pendar-pendar lampu kendaraan berebut posisi, menghantam pandangku. Maka yang kutangkap tak lebih dari cahaya-cahaya pecah, dan gerak refleksku harus bekerjasama meyakini respo, perlu menghindari, bergeser atau tetap.

Hingga di turunan ini. Yang jika saja sore atau pagi kelewat pagi, maka merapi akan terpajang sok misterius dengan gerbang berderet-deret bambu di kiri-kanan, terowongan panjang serupa lorong rahasia penghubung Taman Sari dan Laut Selatan, kukira. Bolehlah, mengira-ngira. Jalan rahasia itu tertutup, jadi sah-sah saja menebak-nebak seperti apa. Benar salahnya, bukakan dulu! Biar kujajal.

Akh…
Amarah memang senantiasa merembet, seperti merecon cabe. Serenteng cukup disulut satu. Atau beribu-ribu pun, jika sumbu itu terhubung, maka menjadi-jadilah ia. Seperti aku ini, semua orang bisa salah serentak. Semua mausia bisa terlihat seperti setan, sementara setan, lantas serta merta menjelma Tuhan. Akh… lakon apa pula itu?

20:04

Nah, aku sampai juga di rumah ini.

“tidak ada? Kemana?? Rumah sakit??”
Aha!! Sejak kapan Rumah Sakit nanggap konser? jedag jedug pula.
“memang tidak berjanji. Tapi saya sudah sms tadi. Kalau kuncinya, ditinggalkah?,”
Laki-laki Tionghoa berwajah Jawa itu masuk dan kembali dengan setangan kunci. Kulihat ia sedikit pincang, akh.. habis kecelakaan kemarin, saat banjir di jalan Purwodadi. Tetapi peduli apa, aku sedang tak mampu berbelas asih. Istrinya keterlaluan benar!

Kulanjutkan perjalanan, memacu lebih kencang menuju timur. Jalan sepi, melintasi Lapangan Sepak Bola yang kabarnya bertaraf internasional. Rumput gajah tumbuh subur lebat di sisi-sisi jalan, sebagian masih banyak rerumpun tebu. Ngeri benar sebetulnya. Rumpun tebu selalu identik dengan kejahatan, entah itu pembunuhan atau pemerkosaan. Kriminal, demikian dekat. Terakhir malah kondom yang demikian banyak berserak di situ. Disapu Dinas Kebersihan tiap subuh. Haiiyyaahh.. berkencan kok di tempat seperti itu? apa untuk mendongkrak adrenalin? Entah!!

Sementara plang-plang reklame terpajang, pohon-pohon besar diam, serta rumah-rumah tak berbayang, di mataku menyerupai berhala-berhala Pagan tanpa punya umat. Sepi benar. Padahal hari masih begini sore. Mencekam? Tentu saja!! Lihat itu.. arakan awan putih pada hitam biru langit seperti kereta Nyi Kidul menyibak semesta. Aku kembali pada diriku, mengamini amarah di dalam dada.

...

AKU berdiri di sudut paling angkuh, dengan gejolak yang luarbiasa berontak hendak mencelat. Laki-laki itu sudah membengkasnya.
“begini caranya?,” ucapku d-a-t-a-r.
Mereka berkilah.
“besok di bawah sini akan dibuat saluran air, terpaksa kami membongkarnya”
“begitu tiba-tibanya? Hingga aku hanya punya waktu separuh jam dan itupun masih saja terlambat? Siapa berkuasa atas ini?”
“kami hanya menuruti perintah, yang membayar kami tentu”
“menghamba lah kalian pada uang!!”
“kami sudah memperingatkan”
“oya? Tentu saja! Setengah jam lalu, begitu??”
“tidak!! Seminggu lalu!!”
“seminggu lalu?”
“ya!! Pada Mbak Panjenengan!!”

Dan drama pun dimulai. Maka jelas sudah pintu kecewa menganga demikian curam. Maka jelas sudah bentuk nanah persahabatan yang diberi. Apa pula pertemanan begini rupa? Seminggu lalu, tapi tak berkabar?? Luar biasa baiknya temanku yang satu ini. Lantas di saat aku panic begini dia malah duduk bergelak-gelak tawa semeja secangkir kopi tanpa pusing berpikir. Sialan kau perempuan!

Masih saja aku berharap keajaiban welas asih darinya. Kupasangi mata pada layar ponsel. Lantas kembali ku kirim pesan.

Bu, tak kah hendak ke sini sekejap saja? Saya seorang, tak berteman.

Berharap cemas, aku menunggu balasan pesan. Akh, datang juga.

Saya lagi keluar. Ambil sendiri dulu, saya besok pagi saja. Iya.. heran juga dengan Bapak itu, padahal kan masih hal dirimu. Kayaknya emang niatnya ga bener tu.

Dingin angina malam ini menikam punggungku. Sakitnya tembus hingga ke jantung. Perlukah aku menggugat lagi? Perlukah kutanyakan lagi, siapa bersalah? Siapa patut dipersalahkan? Siapa pantas di-oyak-oyak? Siapa bertanggungjawab? Siapa bermanfaat? Siapa memanfaat? Perlukah???? Perlukah kukatakan, bukan itu yang aku hendaki, bukan kata-kata surga seolah mendukung itu yang kubutuhkan. Bukan itu!! kemana dia seminggu ini? Kemana dia malam ini? Kemana dia jinjing mulut manis sesumbar semua baik dan beres? Mana? Mana bentuk solidaritas? Ataukah perlu kutanya, perlu kugugat, mana bentuk terimakasih?? Luar biasa benar kepala manusia ini.

...

WAJAH-wajah yang tak kukenali tapi kerap muncul di layar-layar kaca. Sebuah drama dari entitas metropolis. Penggusuran, pembersihan atau apapun namanya. Lapak-lapak beretribusi tapi tetap saja dianggap ilegal. Jerit-jerit tangis, teriak histeris, baku hantam dan lolong tak bersambut jawab. Pongah! serakah!

Seketika saja, pejabat paling kroco menjelma menjadi jenderal. Merasa berkuasa, menguasai, berhak, atau bertanggungjawab? Alih-alih mendapat mandat, perintah atasan, ini kesempatan adu jajal! Kapan lagi bisa pamer kuasa pada yang tak berdaya? kapan lagi? Ini waktunya.. Garukan!! aha..ini dia, saat yang tepat.

Lantas satu dua perempuan pingsan menggelosor saat bangunan paruh permanen yang sudah lebih 10 tahun menghidupi, seketika rata tanah. Perkakas-perkakas keluar bersambut tangan entah dari sesiapa pada siapa. Syukurlah jika tak dijarah. Lelaki tua gemetar kaki tangan yang sedari lalu tak berdaya berlinangan airmata. Kuduga ia tengah mengutuk dosa jadi pahala! Kuduga ia mengumpat istighfar terbata.

Ada pula wajah lain, wajah kusir perempuan melarikan gerobak dengan balita sebagai penumpang kala Satpol PP memaksa mengejar. Tak lari, mata tamatlah riwayat gerobak itu. Sial memang, jika dapat dikata begitu. Dalam pelarian, nyawa penumpang habis digenangi kuah panas. Luar biasa, bukan?

Masih ada pula.. wajah-wajah yang pernah menjamah layar kaca televisi. Wajah-wajah lelaki veteran yang terpaksa menikmati masa tua mereka dengan pengusiran. Luar biasa benar, bangsa ini memberi reward (baca: penghargaan) pada mereka. Lebih, luar biasa memberi hukuman pada perampok-perampok, penjarah-penjarah kakap yang jelas-jelas bersubsidi dari aparat.

Maka wajarlah kuduga, penguasa kroco sekalipun, jika sudah punya hajat, maka langgeng kekuasaan dia pegang betul. Mana yang bisa disuap, agar proyek cepat, maka itu sahabat. Aha!! lupa aku, tak perlu kiranya suap.. cukup ancaman, gertak! maka mereka bersalaman. Aha...

...

SYUKURLAH otakku masih sehat. Ponselku menyisakan satu bar terakhir untuk daya batre. Siapa lagi yang bisa kuhubungi? Supir!! Ya.. supir pick-up.

Tersadar, saat benda keras menyiku lenganku. Pembawanya hanya menoleh sekejap, lantas berjalan lagi. Akhhh…. Ya..ya.. begitu saja!! Angkut semua!! Bawa!!
Anggap aku ini berhala Pagan yang siap dihantam nabi-nabi. Anggap begitu! Anggap begitu..

Ya!! Buka paksa saja, tak ada jasa desain untuk membuatnya kok.. tak ada otak tercurah untuk membentuknya. Ya!! Lempar saja!! Lempar seperti itu!! biar kaca-kaca pecah berhambur.. pecahkan! Tak ada rupiah kok di situ. Yah!! Bengkas saja!! Palu semuanya hingga berkeping. Aha! Hanya seribu perak kok untuk barang-barang elektronik itu. Akhh… tak apa! Mumpung aku di sini dan aku menyuruh kan? Ya… Ayo lagi!! Atau apalagi? Ya!! Garap sepuas kalian!!

Seseorang menyentuh pundakku. Lelaki itu bertato ular di pundak kiri hingga pangkal lengan. Bersinglet abu-abu dengan dada memaksa keluar.
“mana yang mau diangkat, Mbak?”
Ohh.. seketika tergeragap. Dalam hati, lirih..'memang masih ada?'
“bawalah.. sebisa dan seada-adanya,” perintahku.
Sementara yang tersisa dipindah, aku mengamat lagi. Aihhh… ada si beliau itu!!. dadaku bergelora, membuncah.. kudekati.
“Pak,” senyum ku, ku-oplos sakarin. Dia salah tingkah.
“sudah lama?,” tambah ku, lagi.
“oh, baru kok Mbak.. Panjenengan sudah lama?,” tanyanya tawar, seharusnya ia mendopping cuka, biar lebih ber-rasa. Akh.. maklumat Jawa ini seperti raksa, bagus di penampakan saja, sisanya membakar.
“baru,” aku mulai tak sabar.

Pria bertato ular itu mendekat.
“sudah Mbak. Oya, saya Bagus,”
“wah, lupa kita berkenalan. Belia. Hei..tau dari mana saya yang menghubungi?”
“gampang, hanya Mbak perempuan di sini,”
Lantas mataku menyapu. Benar saja.

Aku kembali pada Bapak beruban dengan kopiah putih bersarung kotak-kotak itu. Kusalami ia,
“terima kasih atas kerjasama nya Pak..,” ucapku dan pada detik berikutnya telah berlalu.

22.07

Perjalanan pulang, aku mendahului dengan beberapa laki mengikuti. Singgah sebentar di rumah Tionghoa berwajah Jawa. Masih laki itu yang membuka pintu, seraut kejut di wajahnya.
“loh.. padahal biar saja, besok saya yang urus,”
“sudah, Pak.. sekalian,”
Setelah diturunkan, aku pulang.

Perjalanan pulang ini, hatiku beringsut menciut.
Berbeda dengan perjalanan pergi yang segenap diri tiba-tiba kompak mendadak, kali ini, masing-masing mulai berdikari. Mengumpulkan energi untuk menyerang saraf pusat satu per satu. Lantas semua yang baru kualami seperti terputar ulang dalam benak.

Dalam megahnya langit malam yang kutatap tanpa terlalu peduli kendali setang motor, kurasa demikian kecilnya aku. Demikian tak tampaknya aku, bahkan sebagai titik sekalipun. Dan seperti inilah suara-suara yang berkolusi pada akhirnya.

Dzat.. betapa mudahnya menjadi sombong, betapa gampangnya menjadi angkuh, betapa sepelenya menjadi congkak.. betapa aku menjadi picik. Apa yang kuperbuat tadi? Melafaz sumpah serapah demikian rupa seperti melagukan ayat-ayat suci saja. Fasih dengan intonasi dan artikulasi. Betapa lalim-nya aku, menggugat seorang teman demikian rupa, mengapa tak memberi pengertian barang sejenak? Mengapa hal demikian saja dianggap menginjak-injak? Padahal, pengertian sedikit saja.. sedikittt saja, cukup. Kalaupun benar, apa lantas itu merugikanku? Sungguhkah di dunia ini ada untung rugi?

Bukankah sebetulnya semuapun akan beres? Kendati masih ada yang menyesak? Tapi, bisakah tak kuindahkan? Atau, bisakah aku memaafkan? Atau, apakah benar, ini suatu kesalahan? Pertanyaan-pertanyaan terkutuk itu berputar-putar.

Tiba-tiba langit menampakkan beberapa rasi di mangkuk cekungnya..
Akh, aku merasa sepi.. sepi benar. Sepi sebenar-benarnya. Lantas ponsel ku bergetar lagi, masih tanpa nada. Aku meminggir, membaca.

Sayang..
Merindu tiada tara..


Aku tersenyum. Yah, tersenyum tanpa cambuk sakarin..

22.29





Jogjakarta,
28’ 2009 May
17:38
(MJ : Stranger In Moscow)

25 May 2009

Rindu Terbata 2 (For All Time)

Seandainya aku bisa menyusup ke mimpimu malam tadi. Seandainya aku bisa secepat mungkin membuka pintu hati. Seandainya aku bisa menemanimu sepanjang hari.. seandainya bisa senantiasa bersama..

Seandainya malam tadi selalu menjadi malam panjang tanpa jeda. Seandainya malam tadi hanyalah antara yang lamat untuk menyapa. Seandainya malam tadi tak pernah ada rindu yang datang dan tiba.. seandainya..

Seandainya cinta dan sengketa tidak pernah bersua, seandainya lumuran hujan tak pernah membasah.. seandainya tak pernah ada tawa dan airmata. Seandainya..

: biarkan aku menyusup lebih dalam pada pelukmu. Biarkan aku di sana barang sekejap, sebelum malam menjadi lamur. Biarkan aku hanya membaui aroma tubuhmu, sebelum malam menyapa nur. Biarkan aku membasahi saku bajumu, sebelum airmataku surut karena haru. Biarkan aku..

Maka, ketahuilah..
Ada rindu : terbata.

...

(For All Time by Michael Jackson)

Sun comes up on this new morning
Shifting shadows, a songbird sings
And if these words could keep you happy,
I’d do anything

And if you feel alone, I’ll ber your shoulder
With s a tender touch, you know so well,
Somebody once said, it’s the soul that matters
Baby who can really tell,
When two hearts belong so well?

Maybe the walls will tumble
And the sun may refuse to shine
But when I say, I love you
Baby you gotta know, that’s for all time

22 May 2009

Dlamakan (Tidak di Angin, Serata Bumi)

(…)

Mata-mata, mata yang kujelajahi satu persatu. Mata penuh airmata dari mata-mata mereka. Isak demi isak tertahan dari wajah-wajah mereka. Dinding-dinding pemantul emosi, cermin-cermin perigi di tiap lensa yang memakainya. Aku menatapnya satu persatu dalam hukum pertentangan. Sesekali seseorang menjawil kakiku, mengingatkan aku tak boleh begitu. Tapi maaf, kali itu aku tak bisa membiarkan mataku berpuasa menikmati pemandangan sejarah hidup diriku sendiri. Akan kurekam sampai detil terkecil semampu amygdala mampu menopangnya.

Emosiku meluap seperti plastik terbakar, aromanya kental menyerbu penciuman.Ppijar-pijar bohlam dalam hatiku berlecutan. Aku menikmati sensasi kesenduan yang teramat dalam. Hatiku sunyi, kendati tak sepi. Tapi, liris demi liris suara yang menggema dari ujung mikrofon semakin menyudutkanku. Aku seakan terlempar ke suatu siku tiga sisi, dimana aku terpojok seketika. Lantunan ayat suci, pantun demi pantun datang sambut, sawiran beras kuning, aroma sedap malam dan berkelompok-kelompok anyelir semakin membawaku ke suatu tempat yang nyana, aku sendiri tak mengenalnya.

Lalu aku kembali pada mata-mata mereka, kucoba tembus satu persatu. Tentu tak sepenuhnya berhasil. Peduli setan, aku hanya ingin mengamati mata ayah ibuku. Itu jauh lebih penting. Akh, Ma.. Pa.. bahagiakah kalian? jika ya.. maka, akupun bahagia.

Seseorang mengucap ijab atas namaku. Kelak menjadi seseorang berjudul suami, ayah atas anakku. Akh, anak kami, maksudku..

(..)

Kau telah melemparkanku hingga aku terduduk di tepi tebing ini. Lantas kau menyibak tubuhku yang berlumur lumpur. Dulu, kau selamatkan aku dari banjir besar, dulu kau yang menghalau gerimis di sisa perjalanan. Sayapmu teguh melingkariku, elang.. membawaku menelusuri savanna, mencari oase untuk kita minum bersama. Dulu kau yang menyelamatkanku, membawa sebagian tubuhku yang sepertiga tercerabut. Lihat.. helai daunku sudah tak ada lagi. Kuingat beberapa terjatuh saat kita terbang menjelajahi Bermuda dan tersangkut di arus waktu. Gerbang kekinian dan masa lampau.

Kemudian kini, baru saja berdetik lalu, kelopak demi kelopakku gugur, lelah ia menerpa angin yang begitu kencang di tengah perjalanan. Satu persatu berlepasan, satu yang terakhir tadi tersobek kuku-kukumu. cakarmu mencengkeramku terlalu kencang. Akh, lihatlah.. habis sudah.. tubuhku hanya bersisa sebatang dengan duri dan putik tanpa kelopak. Setelah itu kau lemparkan dengan kasar aku di tebing ini.

(.)

Kujulurkan kakiku menghadap tirta, menyambangi bayang-bayang yang berpedar di biasnya. Lalu menyibaknya dengan sentuhan lembut jemari. Betul saja, getaran kecil membuatnya membentuk lingkaran-lingkaran, lantas habislah bergoyang pantulan wajahku. Apa aku melompat saja? lantas hilang ditelan gelap telaga? jurang curam takkan meninggalkan sisa, tak kan ada jejakku yang bisa ditelusuri. Ya, benar! melompat saja! toh tak ada lagi yang bisa dipertahankan, toh, tak ada lagi yang musti diperjuangkan. Untuk apa?

Tapi tunggu!

Wajah-wajah itu..

Akh, wajah-wajah mereka. Wajah-wajah doa yang datang memberi salam dan tabik. Wajah-wajah penuh harap yang menggugah penggalan-penggalan waktu. Duh, Gusti... itukah wajahku? itukah? mengapa aku seperti tak mengenali? itukah mimik, raut, guratku? itukah?? lantas.. siapa yang bercermin ini? siapa yang berpantulan ini? seribu bayang cerimin retak dengan wajah luka. Akh, milik siapa ini? wajah siapa ini? wajah siapa, mereka? wajah apa itu?

Apakah itu dan ini adalah satu? Apakah itu adalah, ataukah wajahku semata?

Aku pening, keseimbanganku berbalik berlawan setimbang. Tolongg... berat badanku masih terhanyut terbujuk gravitasi. Inti bumi menarikku cepat ke dasar jurang. "Save me...!," teriakku, tercekat.

(..)

Tuhan!!
Pekikku tertahan.

Nafasku tergesa. Suara kecil yang sangat kukenal, menyadarkan, mengembalikanku pada dunia.

"Ma.. kakak haus," rengeknya dengan mata setengah terpejam. Kupeluk ia, menyatakan aku selalu akan bersamanya, meneguhkan, aku masih hidup dan harus hidup. Seperti apapun, bagaimanapun. Tanpa atau dengan. Bisa atau sekedar mampu.

(.)

Mata-mata yang kuamati dulu melintas lagi. Mata dengan bibir merapal doa. Doa mengenai kebahagiaan. Kebahagiaan untukku. Untuk hidupku. Wajah-wajah sendu, wajah-wajah penuh amarah, wajah-wajah suka.. semua hadir. Aku tau mereka berpetak-petak.

Bukankah doa itu adalah kebahagiaan? jika ya.. ijinkan aku melangkah, meski melukai wajah-wajah itu.

"Mah, bukankah dirimu pernah berkata, kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu? Maka, ijinkan aku menoreh luka pada wajamu, sekali ini.. maaf, demi kebahagiaanku. Bukankah kebahagiaanku kelak pun jadi kebahagiaanmu? biar aku ciptakan jalanku sendiri. Biar kutulis dengan tintaku sendiri, bolehkah.. Untuk kali ini? sembah sujudku, Mah..".


Jogja, 22’2009 May
16:26

16 May 2009

..arus..

aku terbiasa.. aku mulai terbiasa..
aku mulai terbiasa berjalan di atas kaki yang tak lagi snaggup berdiri, aku mulai terbiasa menghirup udara dalam ruang pekat hitam, aku mulai terbiasa, merendam jemari di antara pasir-pasir cokelat yang kubawa dari kampungku..
aku mulai terbiasa memijat nadiku, agar ia tidak lagi berwarna hijau..aku ingin ia cerah dan bersemu, menandakan aku masih teraliri.

...

angin ini angin hilir, yang membawaku jauh berlayar. menyeberangi sungai, melabuhkan perahu separuh bermesin yang ditinggalkan ayah di tepi dermaga, dari sana lalu kami melintasi pinggir-pinggir bakau yang akarnya menjulur dan terlihat seperti monster di kegelapan.

angin ini angin hilir yang membawa kami merapat pada rumah-rumah lanting dengan deret sampan di pekarangan anak sungai. lanting ini memanjang dengan selasar yang luas membentuk sudut perspektif di setiap balok-balok gelondong pipih penyekatnya. di sini 20 kepala rumah tangga hidup, menghidupi.

lantai ini bukan main mengkilapnya, setiap hari perca buruk menggilas berulang silang seperti lambung kapal habis dipernis. anak-anak dara, menimba air cokelat kelam dari halaman rumah mereka yang ditumbuhi ikan-ikan segala rupa, udang galah, ada pula petak-petak seukuran bilik telepon sebagai jamban, ada pula kayu-kayu gelondong tipis yang ditanam beberapa jarak untuk membuat undakan bagi sesiapa yang akan mandi, mencuci atau duduk-duduk jika rembulan berjalan-jalan.

dara berkain merah, berkaos putih kedodoran mengguyurkan air setimba, lagi, lagi, lagi ke belian atau kayu hitam atau ulin pipih itu, lalu perca nya di celup seperti teh celup, baru menggilasnya seperti stombal di jalan beraspal. dari sudut kiri, bergerak setindak ke kanan, hingga habis tuntas.

lalu di ujung selatan di sebelah deretan sampan tertambat, 4 laki-laki pekerja menurunkan bakul-bakul jeruk tebas seukuran bola kasti yang manisnya, amboy..

aku berlari, mendekat. mendekati saja dan mereka sudah mengerti, aku mau. tangan hitam legam yang kiranya terbakar matahari sungai menyodorkan 3 untukku. kuambil satu, lalu kepalaku menggeleng.

sementara aku menanti ayah menaikkan ransel-ransel, aku duduk di pinggir gertak mencelupkan kakiku sebatas mata dan tergeli-geli digelitik ikan jolong jolong sejari kelingling. moncongnya panjang, sedikit tajam, benar-benar menggelitik telapak kaki ku.

seseorang tiba-tiba berdiri di hadapanku. dia laki-laki. bercelana pendek bermuda dengan saku di depan dan oblong berwarna hitam yang sangat kontras dengan kulit putihnya. dia menyodorkan sebatang tebu dari tangan kiri. dalam hati aku mendebat, mengapa bukan tangan kanan, sih? sementara tangan kanannya pun memegang sebatang tebu, ruasnya lebih dari 7, kulitnya merah marun bergaris hijau cokelat. lantas ia menguliti tebu itu dengan giginya, sekali sentak, kulit berjarak 2jari terbuang, lagi, hingga benar2 terkuliti. aku lagi-lagi mendebat dalam hati. harus begitukah caranya?

tapi tunggu, aku tak mengenalnya. aku tak pernah bertemu dengan dia sebelum ini. siapa dia, tiba-tiba menyodorkan tebu dan menyuruhku menghentikan jeruk manis tebas itu. tangan kirinya bergerak-gerak seolah menunjuk suatu arah. tapi mataku terfokus pada bibirnya yang merah, semerah cabe teropong. bibir itu bergerak-gerak, tapi, suara yang keluar aneh, gumaman yang tak berarti, tapi tetap bermakna.

dia diffabel.

tangannya seketika menarik lenganku, tepat dipertengahan siku. lalu ia mengajakku berlari, berlari menyusuri selasar panjang itu, tanpa alas kaki, berlari semakin kencang serasa akan terbang melayang. jemarinya perlahan menggelosor turun menemui jari-jariku. lantas ia menggenggam erat.

anehnya, aku terdiam. aku tergeragap dalam lariku yang cepat. jantungku yang tak kuasa kusahabati. ada getaran seksual yang tak mampu kusuruh lari, saat jemariku terselip diantara jemarinya, sensasinya seperti melodi dari negeri antah barantah, suatu budaya luar yang kental kunikmati namun asing.
dalam lari kami itu, wajahku terasa panas. akh..kutukan masa muda!

lalu kami berhenti di sisi paling pojok lanting, melihat jauh... nun di laut lepas, Laut Cina Selatan yang entah berapa jauhnya...
nafas kami terburu-buru begitu cepat. lalu ia mengajakku duduk, dan dengan ekspresinya ia menunjuk tebu tadi. aku melihatnya ayik menggigiti dan menghisap bilah tebu itu. liur ku seketika merayap, naik dan memerintah sarap otakku untuk mempekerjakan gigi dan tim nya serta. kuikuti caranya. akh... benar saja, pantas saja, rasanya memang manis, pekat. lebih pekat dari sukrosa.

ia melihat jerukku yang tinggal seperempat. kutawarkan tanpa kata, hanya menyodorkan. dia lekas-lekas menggeleng. lalu menunjuk dadanya dan membentuk tangannya menjadi lingkaran besar dan menunjuk dalam lanting. kuduga ia mengatakan, "aku punya banyak di dalam rumah".

tanpa ada pertanda, ia menilik anak-anak rambutku, aku seketika terlonjak, kaget. tapi aku menatap matanya. mata cokelat itu terlihat bening, bagus dengan jejeran rambut di atasnya. aku ingin membisikkan sesuatu di telinganya, entah itu akan didengar atau tidak. kudekatkan bibirku pada kuping kirinya.

perahu motor melintas dengan derunya, membuat aku tersontak, terkejut, nyaris terjatuh ke pekarangan yang ialah anak sungai. ia sigap menarik lenganku beserta tubuhku pula. yang kudapati, aku berada dalam peluknya, berada tak berjarak dengannya. bibirnya bergerak-gerak seakan kubaca ia berkata, hati-hati, Ra..
tapi, bibirku tak mau memberi kesempatan pada mata untuk mengamatinya lebih lama. aku ingin menciumnya.

...

dulu, di situ semua itu terjadi. entah berapa waktu lamanya..
dulu, di sana masih ada hamparan kebun jeruk. tempat itu bernama Tebas. grade 1 adalah kualitas super yang laris di pasar nasional. tapi itu dulu, sebelum hama menyerang dan punah selama beberapa penggal waktu.

kini, masih di Tebas.. masih di tempat yang sama, tapi takkan terjumpai jeruk yang sama. tak lagi semanis dulu. okulasi menjadikannya tak ragam.

dulu, di hilir, sebelum minamata menjadi santer didengungkan, banyak mamak-mamak menggoyang-goyang kuali, mencari bilah-bilah kilau sisa tambang.

dulu, di sisi kanan sebelah depan lanting, bakau-bakau berbicara pada malam jikalau rembulan malu-malu.

dulu, di pojok lanting itu, aku bertemu ia..
bertemu lelaki itu, bertemu ia yang kemudian mati tak lama berselang. dulu, aku menggilai ketidakmampuannya. akh, apa yang kupuja, tak lebih dari kekurangannya.

...

arus yang membawaku ke sini. tapi, pusara arus hatiku sudah padam. mati pula ia. mati bersama kehidupan demi kehidupan baru.

14 May 2009

SangSi

panggil aku si, atau sang
atau tanpa sama sekali!

aku bukan percik mangir pengilap intan
bukan pula intan terikat logam

panggil aku si, atau sang
atau jangan sama sekali!

aku bukan pedati
bukan pula para isi

panggil aku si, atau sang!
tak beda,

karena aku tak sua berjarak
tak pula hendak di kasta-kasta

aku rerata,
maka:

panggil saja aku si, atau sang
tanpa perlu merasa SangSi

12 May 2009

..yesterday, today 'n forever..

Aku ingin menulis ini. Mengucap syukur dalam sesisa yang masih bisa kurasa. Dari tadi aku hendak memulai, tapi biasalah.. selalu saja jemariku menjadi kelu. Tidak bibirku, karena ia senantiasa terkatup dari beberapa jam terakhir. Sedapat yang kuhitung mungkin sekitar 21.000 detak putaran angka yang berbuyi diantara rinai salak anjing, hentakan-hentakan tuts keyboard, dan suara rindu darimu..

Suaramu, akh.. seperti aku sedang jatuh cinta. Aih… apa pula itu?

Seperti yang kukatakan padamu, bahwa pertemuan kedua bukan hanya untuk bertemu sesiapa..tapi bertemu dengan diriku sendiri. Yah, diriku dalam pantulan-pantulan yang berbeda. Dalam arsiran-arsiran warna-warni, jinga kelabu, biru, ungu.

Malam ini aku membuka rindu lama, rindu yang selalu aku hadirkan dalam relung-relung hati. Tak ada sesiapapun mengetahui, aku jamin itu. kalaupun tau, paling sebatas selaput pembalut putih telur. Kalaupun tahu, paling sebatas ruang hampa di dalam cangkang. Kalaupun tahu, hanya seperti melihat awan-awan bergelantungan tanpa pernah menjamahnya sama sekali.

Tapi malam ini, aku buka ruang-ruang rindu, aku kemas dan kusajikan dengan tawa, senyum, sesekali haru. Akh… rindu lama ini sangat indah. Sebuah eksistensi yang sungguh dan sungguh meyakinkanku, aku memiliki itu. Aku, seakan dirimu ajak menjelajahi setiap sudut-sudut, jengkal-demi jengkal gorong-gorong sekresi psikologis yang mampu meniupkan angin, menyeretku mengambang kemudian melayang.

Lalu aku menemukan titik-titik dimana aku berpijar, lantas aku meredup dan kembali menyala. Titik-titik itu, lalu mengembalikanku pada sebuah keutuhan, pada sebuah pendakian yang kuyakin belum lagi kan tuntas. Dan suaramu, lagi-lagi.. melengkungkan saraf-saraf ingatanku.. mengalunkan memori..

Dan kali ini, aku tidak sendiri, Dia mempertemukanku dengan diriku. Terima kasih.

Satu lagumu.. untukmu:
Michael Jackson: I Just Can’t Stop Loving You