30 May 2008

Dalam Diam


..aku pergi.

Ucapku pelan.

Kau tak menjawab.

Hanya diam.


Di ujung matamu

kutemukan kebimbangan.

Tapi kau tetap diam,


Tak mencegahku..

Kau masih terpaku

dan diam.


Aku pergi.

Semakin lirih

suara yang tercekat

di kerongkongan.


Kau masih saja diam.


Aku mulai melangkah..

Sudah menjauh,

ingin berbalik arah.

Mengejar kau

yang diam.


Dan ketika kuhendak melangkah

lagi,

Kau berlari..

Merengkuhku,

hingga sesak di dada

begitu terasa.


Diam,

merasakannya.


Tapi, tiba-tiba kutercekat!


Hanya ilusi.

Karena waktu itu,

kau tetap tak beranjak dari tempatmu.


Kau hanya diam.

Diam memandang kepergianku.

Pontianak,

010707
(model pic: puput)

tidak ada judul

hhh..
pergilah..
pergilah,
pergilah.
[setelah menguasai diri]

29 May 2008

bukan waktu


Aku yakin, dia tahu..
Walau lebih tepat tidak mau peduli
Atau berpura-pura tak peduli

Entahlah,
Hati manusia tak satupun mampu mengukur
Yang kupunya tentang dia hanya kenangan

Kenangan itu menggantung rapat di pelupuk
Kadang ia menghadirkan tawa,
Senyum bahagia
Tak tertukar suatu apapun jua

Tapi, jika sudah mulai tersadar
Yang hadir adalah airmata
Yang tergenang
Sebuah penyesalan yang belum tuntas

Sebenarnya tidak perlu
Kuyakinkan "ah,hanya masalah waktu"
Tidak..tidak..
Memori itu residu
Mungkin yang lebih tepat itu "momentum"

Meninggalkan dan ditinggalkan
Akan membawa luka yang sama
Hanya kedalaman nya saja yang berbeda

Torehan luka pada yang ditinggalkan
Akan lebih dalam
Masalah sepele, belum siap!

Momentum yang tidak tepat

Kalah


hari ini,
aku menelan ludah
terpahit

sehari,
untuk beberapa
kekalahan

semua indera bekerja
betapa tidak adilnya!
betapa tidak bersahabatnya!!

kekalahan-kekalahan wanita-wanita ini
wanita-wanita yang tak lagi
punya pilihan hidup

di matanya,
kusaksikan pemberontakan

di matanya,
kurasakan kebimbangan

di sudut kecil matanya,
kutangkap kepasrahan

betapa tidak adilnya!

saat semua
tidak lagi untuk dirinya
saat segala ego
sudah dibungkam rapat-rapat

saat doa-doa
pun tak lagi hanya untuk dirinya
saat sujud demi sujud
tak lagi dilakukan untuk dirinya

saat kekalahan
sudah demikian berkuasa

ah,
betapa tidak adilnya!

tapi apa balasan
untuk semua yang dikorbankannya?
kemudian..
dunia memandangnya sebelah mata

mereka..
yang selalu didahulukan
bagi hidup wanita-wanita ini,
mulai menelantarkan
peduli pun tidak!

beruntunglah kalian,
wanita-wanita yang masih
memiliki pilihan..

ah, semoga ini yang terakhir
(walau tidak mungkin)

semoga saja,
aku tak bernasib sama
seperti wanita-wanita itu.

Jogja,
23 Mei 2008

21 May 2008

Dusta

tidak ada yang tidak mampu

tidak ada yang tidak sanggup!

waktu mengajarkan banyak hal.

realita yang selalu bertubrukan dengan kehendak hati.

semua orang mampu menghadapi kehilangan, apapun itu.

hanya saja..

hati selalu meminta berkomromi,

selalu saja bernegosiasi.

ah,

ini hanya masalah sudah terbiasa atau belum.

dan belum bukan berarti tidak.

aku percaya apa yang terucap di saat itu.

tapi tidak untuk sekarang dan besok.

waktu terkadang membawanya menjadi dusta,

dan kau bisa hidup tanpa aku!

tak seperti yang kau katakan dulu.

Jogja,

20 May 08

16 May 2008

Tanda Tanya (neverland bagi peterpan)

Pernahkah kecemburuan mematahkan keraguanmu?

Adakah keyakinan mampu dibangkitkan

Dengan kesadaran?

Telahkah berkorban menjadi suatu kebiasaan

Dalam suatu hubungan?

Terkadang,

Memahami diri sendiri terlampau sulit

Dibanding mencoba mengerti posisi diri.

Mimpi rangkaikan segenap imaji,

Mengantarkan pagi dengan sekeping kenyataan.

Sudah lewat.

Pontianak,
121007

Rasakan ini dengan Senyuman, walau Perih

Ingatlah pada suatu ketika..

Tatkala langit begitu cantik

Diselimuti jingga,

Kau katakan bahwa kau

Tidak kalah dengan waktu

Kau ajak aku bersahabat dengannya,

Menjadikan waktu teman kita

Dan bersama menyambut esok.

Ingat pula tatkala mentari masih begitu muda

Berdiri di sisi jendela dalam bias kaca..

Rindu hati,

dan kau katakan;

" begitupun aku, ingin seperti udara,

menghampirimu..

rasakanlah kasih sayang ini dengan hatimu".

Ingatlah suatu ketika,

Pada malam-malam panjang

Yang kita isi dengan harapan dan doa,

Kita akan selalu bersama dan saling memiliki.

Ingatlah, bahwa hati kita pernah berdebar-debar

Membayangkan pertemuan yang tak kunjung datang.

Wahai kekasih,

Ingatkan dirimu sekali lagi..

Ada yang tertinggal dan membekas.

Bujuklah kakimu,

Agar tak begitu saja melangkah pergi.

Jogjakarta,
180707

Mentari Tlah Pulang


Dengan sejuta cerita,

Ia melangkah pergi

Telusuri jalan-jalan sempit curam

Yang tak berkesudahan

”inilah letak kebahagiaan”

katanya tenang.

Berbekal sekeranjang kegundahan,

Ia bayangkan..

Wajah langit yang sunyi berselimut mega

Di balik penopang mata ia jauh memandang

Bergumam di sela kumandang Adzan;

Mentari telah pulang.

Jakarta,
June 28’07

05052005

Dia


Icarus ku melesat

Menjauhi bumiPergi,

Terbang tinggi mendekati Mentari

Icarus ku melesat

Merentas langit

Hari ini,

Dia putuskan untuk pergi

Daedulus hanya menatap

Sayap anaknya meleleh

Terbakar...

Dan terjatuh ke samudera

Icarus, cermin...

Jakarta,
May 5;05

..Jkt..

i know!

Tiap orang pasti mengukir sejarah

Dan kemudian akan meniggalkannya!

Tapi aku percaya..

Tiap orang akan bercerminPada masa lalu..!

Dimana ia akan berkaca

Pada satu titik

Yang mampu membantunya

Melompat hingga batas ini.

I know..!

Jakarta,
Apr 26;05
21.05

a little regret


Ini hanya sebuah penyesalan kecil yang tidak perlu terjadi untuk perempuan lain. Saat ini kudapati pada seseorang yang kupikir tidak pantas mendapat perlakuan yang seperti itu, kupikir aku harus menceritakannya pada wanita lain. Agar lubang yang menganga itu tidak meminta korbannya lagi. Sehingga kalau perlu mengamati sedari jauh dan menghindari lubang itu. Karena untuk menutup lubang itu sangat sulit. Perlu berkali-kali pengerjaannya, seperti proyek jalan yang tidak pernah sempurna untuk jangka waktu tertentu.
Suatu pagi, sebuah pesan singkat masuk melalui ponselku. Sebuah pesan yang sebenarnya biasa saja, mungkin pernah dialami oleh perempuan manapun yang pernah menjalin suatu hubungan. Yang tidak biasa ialah pengirimnya. Seperti perasaan tidak rela membiarkan sahabatku, orang yang menurutku wanita terbaik (selain ibuku) ini mengalami kekecewaan. Begini kira-kira bunyi pesan itu
Ya, akhirnya dia memutuskan agar kami jalan masing-masin dulu, tenang dulu, meskipun niat untuk menikah masih ada. Dia takut ga bisa bahagiain aku dengan keadaannya sekarang yang belum jelas. Kalau jodoh, kami pasti ketemu.
Aku tahu sahabatku ini, mungkin lebih tahu dibanding dirinya sendiri (hehe, ini namanya aku sok tahu... aku tahu kekecewaan yang dirasakannya. Aku merasakan getar-getar kepiluan dari kata-kata yang mengalir dari pesannya. Aku tahu kalau dia berusaha sekuat-kuatnya tegar menuliskan kata-kata itu. Saat itu aku sedikit sibuk, (biasa.. apalagi kesibukan ibu-ibu kalau bukan arisan) arisan di rumahku. Tidak bisa dengan segera menghubunginya. Waktu kadang-kadang tidak memberi pengertian.
Sebenarnya yang membuat aku nyesek ialah, kenapa hal ini harus terulang lagi? Dan kenapa terjadi padanya? Seseorang yang tidak sepantasnya mendapat perlakuan ini. Aku pernah mengalami ini. Jauh sebelum aku menikah. Tidak cukup satu kali, bahkan lebih. Dan itu menyakitkan. Bukan masalah putus dari hubungan itu, tetapi saat kau sudah meyakini sesuatu dan kemudian yang diyakini itu meragukanmu, bukankah itu sungguh menyakitkan? Okelah… seribu kata ampunan dan pengertian kadang membuat segalanya terlihat lebih indah. Mungkin itu memang harus diakui sebagai bentuk kasih sayang seorang pria yang sudah berada di puncak sehingga timbullah keraguan itu. Keraguan yang sebenarnya lebih kepada ketakutan-ketakutannya sendiri.
Ketakutan dengan bayangannya sendiri. Karena terlampau sering bermain dengan pikirannya, tanpa meminta pendapat pasangannya. Seperti itulah seorang pria. Mengukur mampu dan tidak nya memberi kebahagiaan hanya dengan mengukur dirinya sendiri, alangakah malang!
Kedua-duanya malang! Si pria akan terbodohi dengan pemikirannya sendiri, lalu kemudian terjebak dengan pemikirannya itu. Begitupun si wanita, akan merasa seperti dicampakkan. Ah, ini terlalu kasar. Mana ada wanita yang sedang jatuh cinta mau mengakui seseorang yang dicintainya mencampakkan dirinya? Seribu penyangkalan akan berkumandang. Seribu pembelaan akan terdengar seperti kothbah di masjid menjelang sholat jum’at. Semua mata akan ditutup rapat-rapat, hingga ke mata kaki. Mana mau mengakui keadaan yang sebenarnya terjadi. Itulah sisi peminis.
Mungkin memang benar, memutuskan suatu hubungan, meminta untuk jalan sendiri-sendiri, mengambil waktu untuk bernafas sejenak, berpikir kembali untuk hubungan yang dijalin adalah suatu wujud kasih sayang yang telah mencapai puncak. Dimana keegoisan dapat dibungkam rapat-rapat. Tapi, pernahkah bertanya, apa itu cukup adil?
Pernahkah bertanya apa yang diinginkan wanita? Mengapa selalu materi yang menjadi permasalahan? Kalau bukan materi, permasalahan lainnya ialah jarak, keterbatasan yang sifatnya fisik belaka. Ini hanya sekedar ketidak percayaan diri saja. Kalau memang tidak punya kepercayaan diri itu, kenapa tidak mulai mempercayai orang lain yang justru percaya padamu? Inilah pesanku untuk para pria yang mengaku sangat mencintai pasangannya. Cobalah menjadikan cermin itu benar-benar tempat berkaca. Tidak usah mencari bayang-bayang orang lain pada cermin yang mematut diri kita sendiri.
Perempuan memang makhluk paling lemah, tapi tahukah.. perempuan lebih kuat disbanding kalian kaun adam! Hanya perempuan yang berani melompati pagar-pagar ketidakmungkinan. Bukan kalian! Kalau kalian masih berpikir dengan logika, wanita sudah berpikir tentang masa depannya. Kalau kalian masih bertanya-tanya bisa atau tidak, wanita sudah berpikir bagaimana supaya bisa. Tidak perlu kalian meragukan itu semua. Hanya perempuan yang sanggup hidup di bawah bayang-bayang keyakinan, yang kalian sebut itu hanya sekedar intuisi. Bukan intuisi! Ini sebuah keyakinan!!
Aku jadi terdengar seperti ibu-ibu berdemo di depan istana negara meminta harga sembako diturunkan. Mana yang di demo peduli!. Mungkin begitu juga dengan tulisan ini, mana laki-laki mau peduli. Yang dipikirkannya hanya ego dan kesombongannya. Dan kemudian itu dia sembunyikan dalam tabir tanggungjawab. Ahhhh…..
Tidak-tidak… sebenarnya aku tidak perlu seemosi itu. Hm, ini hanya sebuah penyesalan kecil. Sekali lagi, ini hanya sebuah penyesalan kecil, tidak perlu terlalu dibesar-besarkan. Begini, suatu ketika.. pernahlah terjalin suatu hubungan antara aku dan seseorang yang kuanggap dia yang terbaik dari yang pernah ada (ini roman picisan), seorang sahabat, seseorang yang benar-benar menjadi pemicu di tiap langkahku kala itu. Keyakinan itu sudah memuncak. Sudah sampai kurva tertinggi. Suatu ketika, dia mengatakan hal yang sama, mengatakan kalau aku dan dia tidak perlu jatuh pada sesuatu yang bernama ‘terlalu’. Meminta agar segalanya difahami dengan sederhana. Dan jika masing-masing menemukan suatu kejelasan yang lebih ketika bersama yang lain, maka dia akan menerima. Sungguh kata-kata yang memabukkan sekaligus menikam.
Awalnya, ini terlihat seperti kasih sayang yang nyata. Beribu pengertian tanpa diminta, berusaha untuk kuberikan. Walaupun saat itu, aku belum memiliki kedewasaan seperti yang diminta. Aku belum cukup untuk itu. Lebih banyak kata-kata yang kuucap tapi tidak tercermin dalam tindakanku. Hingga perlahan dia menghilang, tidak lagi berusaha mewujudkan apa yang pernah diucapkannya. Sakit hati karena cinta? Semua orang pernah mengalaminya? Tapi lain cerita jika perasaan di ombang-ambingkan tanpa sekoci penyelamat. Hingga suatu saat yang sudah ditentukanNya, lebih banyak kepasrahan. Pertemuan-pertemuan lain datang dan meninggalkannya. Entahlah, tak jelas apa aku yang meninggalkan atau justru ditinggalkan?
Tapi, memori adalah residu.
Saat segala sesuatu belum diperjuangkan dengan maksimal, jangan berkata itu bukan jodoh. Saat kebuntuan itu belum dicoba untuk ditembus, jangan menyerah dengan kata takdir.
Inilah yang kusesali. Sedikit, atau banyak sungguh relatif. Hal pertama mungkin karena aku tidak punya keberanian untuk memompa keyakinanku dan tidak cukup tangguh untuk mencari tahu suatu kejelasan. Yang kedua, menyesal dengan perkataan dan keputusan sepihak darinya. Yang mengambinghitamkan kebahagiaanku untuk suatu hubungan yang dijalin berdua. Ini terlihat tidak adil untuk sisi peminitas ku. Aku sudah begitu yakin, tapi, mengapa keyakinanku tidak diyakini? Mengapa begitu mudah mengukur kebahagiaanku dari kacamata yang justru aku sendiri pun tak pernah memakainya.
Sekali lagi, memori adalah residu.
Inilah yang kubawa hingga kini, sebuah penyesalan. Dan alangkah tidak menyenangkan membawa ganjalan dalam kehidupanmu yang baru. Masih mempunyai tanda tanya tak terjawab yang kadang-kadang menggelitik. Sungguh tidak nyaman membawa duri yang bersarang didaging telapak kaki yang menimbulkan sensasi saat berjalan dengan kaki telanjang.
Tapi, waktu yang kadang tidak bersahabat itu, menuntun hingga pemahaman yan kadang tak kumengerti sendiri. Hingga akhirnya aku di titik pasrah yang sepasra-pasrahnya, berkeyakinan bahwa tidak semua tanda tanya memerlukan jawaban. Keindahan tidak ditemukan pada sesuatu yan selalu tuntas, tidak semua kebahagiaan ditemukan pada hasil akhir. Justru kebahagiaan itu ditemukan pada jalan yang panjang, yang berkelok, yang berbatu. Yang sulit. Sungguh tragis. Karena dia sudah mencoba menyadarkan aku 5 tahun lalu. Dia sudah pernah menuliskan ini di saat usia nya seperti aku sekarang. Tapi, mengapa aku begitu lamban untuk memahami kata-kata dari tiap tulisan-tulisanya? Lima tahun, waktu yang sudah membawa perubahan besar untuk suatu kehidupan. Kenapa? Kenapa harus ada perbedaan dan jarak dalam memandang sesuatu? Dia seperti berlari di udara, sementara aku masih belajar untuk berdiri. Alangkah waktu membawanya jauh meninggalkanku.
Lima tahun yang sudah dijalaninya terlebih dahulu sementara aku belum.
Hingga akhirnya sebuah titik menyadarkanku, dulu.. dia memang mencintaiku. Sebenar-benarnya dengan segenap kemampuan yang dia miliki.
Tapi, pertanyaan dan gugatan kecil selalu mengusik. Seandainya tidak ada kata-kata itu tidak meluncur, apakah tidak mungkin justru sekarang masih bersama?
Ah, sudahlah.. berbicara tentang masa lalu seperti berjalan-jalan dalam labirin dan hanya daedolus yang memegang kuncinya.
Pesanku untuk sahabatku, teruslah berjuang dengan keyakinan yang ada. Sebaiknya tidak berhenti hingga di batas kau perlu merasa berhenti. Dan beri sedikit waktu, agar dia cukup bersahabat dengan keyakinannya. Jangan seperti aku yang hanya bisa menyanyikan lagu heloween; if I could fly, berharap bisa terbang dan bertemu dengannya. Atau hanya menyanyikan daffodil lament nya the cranberries sambil meminum secangkir teh di beranda rumah dan melamunkan indahnya saat-saat bersama dulu. It’s beautiful but it’s suck too, I can’t see.

12 May 2008

Biji Harapan

aku mencoba kembali
membangun sebuah basis pertahanan,
menata ulang reruntuhan kepercayaan,
sebenarnya ini tidak perlu di dramatisir.
ini hanya sketsa
yang kadang timbul tenggelam di permukaan
jauh di balik alam sadar,
tertanam rapi biji-biji harapan
segenggam kebolehjadian
yang pantas dipertanyakan.
harapan itu bukan untuk sekarang,
tidak...
tapi untuk penggal waktu ke depan.
dimana nanti wajah-wajah hanya akan menjadi cerminan,
batas jajah di mana telapak kaki sempat menjamah bumi,
sampai dimana hembusan nafas
mampu menghalau gegap keinginan
ini bukan hanya untuk hari ini,
ini adalah tabungan masa depan
kemudian bersenyawa dengan sejuta kemungkinan.
ini hanya secuil upaya,
untuk menjamah Dia....
sebuah kepercayaan pada Tuhan,
yang naik turun di setiap keadaan

28 April 2'8

05 May 2008

Dan Aku, Manusia

aku mencapai titik kulminasi kebosanan
semua tampak datar dan rata,
terlalu mulus
bukan ini, hidup!
hidup adalah meniti jalan berlobang,
menambatkan keyakinan pada harapan..
bukankah memang semestinya
harus demikian?
tabir-tabir doa hanya sekedar jendela
untuk menghirup udara.
ah, tentu saja ini bukan aku!
aku yang kuketahui ialah :
yang terbiasa bergelut dengan resiko-resiko..
terlalu mulus,
dan aku sekali lagi berada di titik kulminasi kebosanan.
suatu ketika,
aku merefleksi sketsa masa lalu
yang kutemukan ialah sebuah doa..
yang kupanjatkan pada Dzat,
meminta sebuah jalan yang lurus
tanpa suatu rintangan.
karena saat itu aku berada
dalam kelelahan dan jengah dengan permainan.
kini,
kala doa itu menjadi suatu kenyataan,
mengapa aku merasa bosan?
itulah manusia,
yang senantiasa mengkhianati keinginannya sendiri..
yang terbiasa menipu keyakinanya sendiri.
yang terbiasa lari dari rasa syukur!
dan aku, manusia.

Aku Ingin

banyak hal romantis yang aku alami (tentu saja..:p)
tapi, yang paling romantis...
adalah...
suatu ketika, pak pos mengirimkan paket untukku.
isinya... (ada deh!)
dan sebuah kartu sederhana berbalut sedikit batik berwarna biru
sungguh sederhana, namun isinya luar biasa!
tertulis disana sebuah puisi Sapardi Djoko Damono
Aku Ingin,
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api
yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat
disampaikan
awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada


Jogja, 050508

Definisi tak Berarti

seperti yang pernah aku tuliskan sebelumnya,
sebelum kita memutuskan akan hidup bersama.
suka, sayang, cinta bahkan benci menjadi kata-kata berdefinisi.
sedangkan,
menurutku masih ada kata lain yang tak juga dapat ditemukan apa definisinya.
banyak perdebatan dalam hati,
untuk menuntaskan ini,
mencari jawaban yang pasti.
perasaan itu bercampur-campur,
seperti warna biru dan kuning yang kemudian menghasilkan hijau.
atau apalah sesuatu itu yang bergabung untuk menciptakan sesuatu yang lainnya.
pernahkah kau marah padaku? pasti pernah, begitupun aku, sebaliknya.
pernahkah kau jengkel dan jengah dengan tindakanku? Pernah! begitupun aku, sebaliknya.
pernahkah kau muak dan sakit hati dengan tutur kataku? pernah!! begitupun aku, sebaliknya.
tapi,
apakah rasa marah itu masih ada? tidak...
apakah rasa jengkel itu masih bergelayut? tidak juga..
lantas, apakah sakit hati itu masih tersisa? tidak lagi...
pergi kemana?
entahlah...
apakah cinta? atau sayang? atau suka? atau bahkan benci?
bukan...
mungkin kesemuanya, mungkin pula tidak satupun diantaranya
masih ada yang belum terdefinisi
tak perlu kita ributkan apa itu
mari kita jalani saja..
seperti sediakala.
Jogja, 5 May 2008
Untuk Suami dan Ayah anakku