19 October 2008

Dari TogaMas, Hingga Jembatan Ampera

HUJAN mengguyur Jogja untuk ke beberapa kalinya yang masih dapat dihitung dengan sebelah jari. Hari itu 16 Oktober 2008, sekitar pukul 12 siang. Saya terus melaju dengan tujuan Toga Mas, yang terletak di Jl. Affandi, lebih populer dengan jalan Gejayan. Sedikit tergesa, saya pacu 80-100 Km/jam --sudah biasa, banyak yang lain pun begitu--, melarikan diri dari hujan yang terus mengejar dari arah timur.

Sedikit basah, saya sampai di Toga Mas, ada beberapa yang sengaja berteduh, tidak banyak yang berada di dalam, tak sampai dua lusin, kira-kira. Tak seperti biasanya saya ke sana selalu ramai pengunjung tapi tetap nyaman. Seperti kebanyakan pengunjung lain, jika di tanya mengapa memilih Toga Mas, jawabannya karena di sana semua buku di diskon 20%, dengan barang yang sama seperti Gramedia.

Dikarenakan sudah punya niat dari awal akan buku yang dibeli, jadi saya tidak memerlukan waktu lama untuk melihat-lihat. Kebetulan, buku yang hendak dibeli sudah saya miliki di rumah dan saya sudah nyaris hapal posisi pajang nya. Buku itu adalah buku Favorite saya! Kalau saya masih memberi toleransi pada mata, bisa-bisa apa yang tidak ingin saya beli, justru yang dibeli, sehingga segera saya urungkan.

Dua buku tebal itu saya rangkul, dan saya bawa ke kasir, bayar dan saya lihat jumlah diskonnya, wah.. lumayan, untuk ongkos kirim. Di Toga Mas juga melayani jasa sampul buku gratis, syaratnya hanya satu, antre.

Masalah antre ini, terkadang juga bikin malas. Apalagi jika berbelanja buku di akhir pekan. Wah, antrenya bisa sampai 2 jam. tapi kali ini berbeda, seperti yang saya ungkapkan, Toga Mas, agak lengang. Sehingga, saya hanya perlu mengantre 6 buku, baru kemudian giliran 2 buku saya.

Sejak mengerjakan ke enam buku itu, saya sudah memperhatikan Mbak Penyampul. Dari perawakannya gadis berkerudung itu terlihatsabar. Kepalanya lebih banyak menunduk, konsentrasi dengan pekerjaannya.

Gulungan plastik transparan yang terletak berdiri, di bentangkan dan diukur sesuai kebutuhan buku, kemudian lipat sana lipat sini sehingga menyampuli buku tersebut. Untuk satu buku, Lina, begitu namanya, memerlukan waktu 55 sampai 60 detik. Sedang untuk buku anak-anak, dia memerlukan waktu dua kali lipatnya. "agak sulit, Mbak..," katanya.

Menurutnya, menyampul buku anak jauh lebih sulit, karena ukuran plastik harus disesuaikan. Semakin tipis dan kecil ukuran buku, semakin sulit penyampulannya. Ilmu menyampulnya diperoleh dari training singkat sebelum memulai kerja.

Alat bantu Lina hanya satu. Gunting. Selain itu tiada.

Lina sudah satu setengah tahun bekerja sebagai penyampul buku di sana. Lina sekarang tinggal sendiri di bilangan Condong Catur. Lina berasal dari Temanggung, dia merantau meninggalkan orangtuanya. Selama satu setengah tahun, Lina telah banyak membantu siapa saja yang membeli buku di situ. Lina bekerja paruh shift, per shift 8 jam dengan jatah istirahat satu jam, dan libur satu hari setiap minggunya. Togamas buka dari jam 10 sampai jam 9 malam.

Dengan jam kerja yang seperti itu, saat saya tanya berapa rata-rata per hari buku yang disampulnya, dia tertawa renyah "tak terhitung mbak, saking banyaknya". Yah, saya menduga, Lina tidak sempat menghitung. Beberapa kesempatan saya juga pernah mendapatinya terlambat istirahat karena buku-buku masih menumpuk sementara teman bertukar shift belum datang.

Tapi, kita perkirakan pembeli yang datang berjumlah 100 orang di satu shift nya --asumsi minimal--. Masing-masing membeli 2 buku, --memang banyak yang hanya membeli satu, tapi jauh lebih banyak yang membeli lebih dari itu, hingga 10 malah--, berarti ada 200 buku yang disampul. Sementara Lina memiliki 7 jam kerja dari 8 setelah dikurangi istirahat 1 jam. Sama dengan 420 menit.

Seperti yang saya tulis, Lina memerlukan waktu 55 sampai 60 detik, anggaplah 1 menit per buku. berarti Lina masih memiliki 220 menit untuk tidak menyampul. 220 menit, sama dengan 3 jam 40 menit. Tetapi, kenyataannya menuru pengakuan Lina, jarang sekali ia bisa santai. Mungkin kalau pengunjung seperti hari ini, yah.. Lina bisa lebih slow.

Lina tersenyum ketika saya bertanya berapa penghasilannya sebulan, menandakan ia keberatan mengatakan. Hanya saja Lina menjelaskan, pendapatannya itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari, membayar kos perbulan sebesar Rp. 150.000, membeli pulsa serta transportasi. Untuk biaya mudik, rupanya Lina perlu menabung lebih agar bisa pulang.

Dua buku saya selesai disampul, dia menanyakan kwitansi untuk kemudian distempel lagi. Urut-urut stampel pada kwitansi, pertama setelah membayar di kasir, maka buku akan di ambil di tempat penitipan seraya kwitansi di cap "terima kasih, barang telah diambil". Lalu pilihan jika ingin sampul gratis, buku di antre kan, dan tiap yang masuk antrean kena wajib stempel lagi "barang disampul". Terakhir, setelah disampul Lina, maka Lina akan menstempel untuk terakhir kalinya "sampul diambil". Pertanda kwitansi itu tak bisa dipergunakan lagi untuk sampul buku manapun.

Saya melirik jam, rasanya tidak memungkinkan untuk melaju lagi ke tempat pengiriman.Sudah sore dan saya kangen anak, pun ada janji bertemu seorang teman. Kembali saya peluk buku itu, tak kuat kalau hanya di jinjing, maklum, jika ditotalkan beratnya lebih dari 3 kilo, sama berat seperti sebuah buah semangka.

Saya ucapkan terimakasih pada Lina dan seorang lagi temannya di tempat penitipan. "terima kasih, sampai ketemu lagi, Mbak". akhir sapaannya.

Saya tertegun.

"sampai ketemu lagi, Mbak.."

Setelah terdiam sejenak, tangan saya tersenggol pembeli lain yang hendak menyampul buku. Tergeragap, saya berkata "ya, terima kasih juga. Sampai ketemu juga".

"sampai ketemu lagi, Mbak.." kalimat yang sederhana bukan? terus terngiang di kepala saya.
Dibalik kesederhanaan kalimat itu, saya faham, jika kalimat itu tidak sesederhana pengucapannya. Kalimat itu lebih pada sebuah pengharapan. Pertemuan yang terjadi untuk sebuah bertemuan selanjutnya.

...

SAYA jadi teringat Bude Yah dan Bude Sarmini. Mereka berdua adalah penjual sayur dan penjual buah keliling kompleks. Sayang mereka sudah tidak berjualan lagi setahun terakhir ini. Mereka sangat baik terhadapku, terhadap yang lain juga tentunya. Bagi saya, mereka berdua termasuk orang-orang yang penting untuk kehidupan saya di Jogja. Mereka banyak memberi pengetahuan dan bantuan dalam saya merawat Sachy--anak saya--.

Saya menganggap mereka seperti ibu saya sendiri, saya merasa dekat dengan mereka, dan satu hal yang selalu saya ingat pada keduanya, setiap mengakhiri pertemuan belanja, mereka selalu mengatakan dengan kalimat yang berbeda "besok lagi, ya Mbak..".

Begitulah, setiap pagi, saya selalu senang menyambut mereka, bahkan Sachy yang sekalian saya jemur di hangat mentari pagi pun menikmati acara berbelanja buah dan sayur kami. Bude Sarmini selalu menggendong Sachy terlebih dahulu sebelum melanjutkan keliling kompleks. Beliau memiliki 3 anak laki-laki yang kesemuanya dilahirkan di rumah hanya dengan bantuan suami. Tak punya anak perempuan, membuat dia sayang dengan Sachy.

Kebalikan, Bude Yah memiliki 3 putri yang sudah gadis. Saya, selalu merasa Bude Yah sayang dengan saya. Entahlah... dia memperlakukan saya seperti seorang anak, walau dia selalu memanggil saya "Bu..". Sapaan yang berulang kali saya minta ubah dengan memanggil nama saja. Tapi dia menolak, tanpa alasan.

Pernah, suatu ketika Bude Yah datang terlambat, sudah jam 10. Saat itu, suami di luar kota dan saya hanya bersama Sachy. Saya demam tinggi tanpa sebab, sementara Sachy menangis kencang, dan saya tak berdaya sama sekali, jangankan untuk menggendong, untuk berdiri saja tak kuat. Berkali-kali Sachy saya bujuk dengan mencoba memberi ASI, tetap dia berontak dan menangis makin keras. Bude Yah memanggil, "Bu...belanja nggak...?"

Saya sontak langsung bangun, hanya ingin mengatakan "nggak Bude.., nanti saya beli yang pesan 'antar' saja". Belum sampai niat kata terucap, sesaat pintu terbuka, saya ambruk. Dan bisa dibayangkan setelah itu, bude Yah lah yang membantu saya. Membopong ke tempat tidur, menggendong dan menimang Sachy hingga tidur pulas, mengompres seraya menekan-nekan punggung saya. Tak kuat rasanya untuk mengucapkan terima kasih saja. Saya membelakanginya, dan airmata tidak dapat saya tahan. Mengalir deras...

"Bude, apa jadinya saya kalo' Bude nggak dateng"
"pasti ada yang lain datang Mbak, Allah kan maha tahu, kebetulan saja saya yang lewat"

ah, Bude... benarkah itu suatu kebetulan? rasanya tidak.....

...

BELAKANGAN ini, saya pun sering memperhatikan kebiasaan anak yang sudah mulai playgroup. Jika bertemu siapapun dan tatkala akan berpisah, dia selalu mengucapkan kalimat itu "see you later --duh, gaya ya pk bhs inggris--". atau kalimat lain yang sering juga saya dengar "semoga laris pak, (atau bu, atau bude) sampai ketemu lagi". Tanpa sadar, ternyata dia meniru dan mencontoh apa yang saya lakukan. Kebetulan (ah, kebetulan..?yang benar?) saya juga terbiasa mengucapkan kalimat itu.

Yang biasa ditemui ialah guru-guru di Primagama tempatnya sekolah, kemudian Mbak Susan di outlet, temannya Gibran dan Lubna, Bude Nur penjual buah juga, dan satu yang lebih sering.. pemusik jalanan yang biasanya berkeliling rumah. Kebetulan (lagi!), saya dan Sachy sangat suka lagu-lagu keroncong, mungkin tertular atau rindu pada eyangnya di Kalimantan sana.

Eyang nya sangat menggemari lagu keroncong. Ada satu lagu andalan yang selalu dinyanyikannya sebagai lullaby saat saya kecil dulu, hingga ke adik terkecil dan terakhir pada cucunya, sachy.

timang...timang... anakku sayang..(bla...bla...bla...tak kuat menyanyikannya...sedih sih)
....jika kau kelak dewasa, hidupmu bahagia sentosa...

Tetapi, lagu Favorit Sachy bukan itu, katanya "nanti mama nangis kalau denger lagu itu" halahhhh...anak kecil tau apa yah..

Lagu favorit Sachy itu Juwita Malam, versi keroncong..cong.

Setiap sang Pakde datang, dengan jimbel nya, Sachy sudah berjingkrakan. Panik memanggil mama dan mbak Ida nya. Lagu pertama, sudah pasti Juwita malam, syukurnya Pakde sudah hapal. Mungkin bosan, tapi Pakde tetap tersenyum melihat Sachy yang berjoget kacau. Lagu kedua dan ketiga adalah bonus, kata Pakde, harus beda-beda, "biar dek Sachy tambah pintar". Sachy protes. "bukan dek, tapi kakak!"

Dan setelah Pakde selesai beraksi, Sachy seraya 'menabung' juga bergumam, "besok kesini lagi ya..".

Kiranya Sachy selalu menanti kehadiran Pakde penyanyi keliling dengan jimbel --menyerupai gitar berukuran mini dengan 3 senar, kurang cocok membawakan lagu-lagu keroncong-- itu.

lagi-lagi...sebuah harapan akan pertemuan.

...

KEMBALI ke buku yang saya beli di TogaMas. Buku-buku itu memang saya niatkan untuk sahabat saya di tengah hutan Sumatera sana. Sahabat yang hampir sewindu saya kenal tapi sekalipun tak pernah bertemu fisik. Sabahat yang banyak mengajarkan saya tentang mempelajari kehidupan, adanya runutan setiap kejadian, adanya garis tangan yang berjumlah 99. Banyak hal yang telah di berikan, sebuah persahabatan yang indah, yang berbeda dan tak pernah kudapati pada yang lain.

Harapannya, buku tersebut adalah pengganti kehadiran, seperti juga Lukisan Jembatan Ampera yang dikirimnya sekitar setengah windu lalu. Hanya sekedar sesuatu yang tertunda.

"besok, kita bertemu dengan cerita yang berbeda, yang lebih seru dan menyenangkan!"

Oleh Surya HR Hesra
19 Oktober 2008
pukul 02.07 dini hari

10 comments:

Anonymous said...

Cerita yang menarik... ketulusan seseorang dalam melayani konsumennya.

Memang anak-anak cepat sekali meniru ucapan dan perilaku sekelilingnya.

Anonymous said...

Salut deh!...
*liat judulnya saya jadi kangen Jembatan Ampera... saya punya foto-foto bagus di sana tahun 90 dan 2000 waktu belum musim foto digital.. heheh...

wiwien wintarto said...

salam buat Lina! gadis berkerudung? hmmm... takmbayangke rupane sik..

goresan pena said...

ampera; siapa ya?
anw, thx...

Andy; tks...!boleh dong di share fotonya...

wiwien nintarno; surprise! penulis novel mampir ke blog ku. thx loh...

Anonymous said...

Hmm,perlu satu "teknik" khusus untuk menangkap pesan tersirat dari cerita ini...hitunglah 0 sampai berapapun,kita akan tetap akan bertemu dengan angka tsb,walaupun dengan pasangan yang berbeda.Dalam hidup akan kita temui perulangan,walaupun dalam susunan yang berbeda..

Anonymous said...

selalu asik saya menikmati tulisan tulisan anda
banyak yang menyentuh bahasa pemaknaan
salut lah

Bambang Saswanda Harahap said...

mbak
selamat ya..
jika mbak buat novel..
saya yang pertama menyambangi

Anonymous said...

Hemm... tulisan-tulisannya senantiasa mengandung pesan-pesan yang tersirat. Perlu memahami lebih dalam untuk mengetahui pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan. Salut..

Djoko Wahjuadi said...

Priiit...hanya di jalan Tol, mbak boleh lari segitu kencengnya...bayangkan 80 - 100 km/jam (waktu itu sachy ikut nggak ???)....tapi sebanding kok antara resiko dan hasil yg didapat...

goresan pena said...

*rakha; ketua kelas pasti mengerti yang saya maksud dalam tulisan ini...

*mas totok; wah, terimakasih...saya pun sangat menikmati tulisan2 di blog gunung kelir..

*bambang; hm, pengennya... bikin novel, sudah ada yang jadi sih, tapi...rasanya ga bakal ada deh penerbit yang mau publish hehe...

*mas erik; terima kasih, pujiannya berlebihan deh, saya hanya mencoba mendeskripsikan kesederhanaan yang saya alami sehari-hari

*Pak djoko; hehehehehe.....
yah, gitu deh pak..kalo' kepepet, laju segitu gak kepikir. namanya aja dikejar hujan, ibarat kata, udah alam bawah sadar yang ambil kendali.
hm, kemaren itu saya pulang kuliah pak... dan lagi, saya jarang banget bawa sachy jika berkendara roda dua gitu...
hm, mungkin lebih besar resikonya kali yah....