29 October 2008

Bayar Peradaban dengan Adab!

TEMAN, aku ingin bercerita banyak dari sedikit yang tersisa. Ini adalah mengenai roh-roh yang dulunya senantiasa bersenandung, yang bermain dan bersuara dalam damai alam. Lucarsa-lucarsa berlarian di dalam rimba yang penuh dengan sesak dedaunan. Mafka berkejar menghindari godaan para lucarsa.

Sesosok tubuh melayang cepat, berkelebat likat dibalik rerimbunan. Begitu terang bercahaya kuning. “Gissele...!”

Terengah-engah Mafka memanggil sahabatnya. Hendak kemana kah? Tanya nya tanpa sempat terlontar.

“aku tergesa, kucari pangeran. Manusia yang berjanji akan mencium ku dan menawarkan hidup tak hanya dalam rimba”

Mafka menggelengkan kepala, mencoba merebut kembali pikiran naif sahabatnya. Tak lah manusia akan memberi kebahagiaan. Yang bisa diberi ialah penyiksaan. Lagipula, mana bisa manusia mampu mendengar. Manapula manusia mampu merasakan?

...

JAUH di dalam Kalimantan sana.. tiada mengenal Mafka, tiada mengenal Gissele, tiada mengenal lucarsa. Di sana yang ada ialah Meranti, Jelutung, Bengkirai, dan banyak lagi tak bernama.

Ahh, manusia hanya mampu melabeli saja, seolah mereka orangtua yang melahirkan kesemua itu. Tak sadar diri, padahal mereka hanya berumur setengahnya saja.

Di dalam sana, terbentang sesuatu yang tak kan sangguh dijabarkan hanya dengan perkataan manusia. Danau hijau dengan pantulan matahari bercermin rimbun hutan perawan, di dalamnya siluk-siluk bersisik emas.

Siluk-siluk tak kenal angka-angka rupiah dan ringgit. Siluk-siluk yang masih hidup bebas, dan manusia pribumi yang masih lugu tak kenal kata ‘suap’.

...

BAHKAN di parit sekolah misionaris milik Dayak Iban masih terjumpai banyak siluk-siluk. Lalu manusia menamainya arwana, lagi-lagi seperti manusia itu adalah ibu dan ayah mereka saja.

Siluk-siluk bahkan masih tak bernilai bahkan jika dimakan sekalipun, mereka akan terus beranak pinak, tidak stres seperti hari kita hidup ini, teman..
Bagaimana mereka tidak stress jika mereka diburu-buru dengan rupiah dan ringgit.
Setan memang manusia itu.

...

RUMAH-RUMAH masih beratap sirap, lebih mirip rumah pohon, dengan bahan serba minimalis, (ironis, sementara manusia kota berlomba merombak rumah mereka tampak menjadi minimalis tanpa dana minimal!), di sana.. manusia tak kenal kata rakus.

Mereka hanya mengambil yang diperlukan. Di sana terpancang rumah-rumah panjang yang sangat efisien, geli rasanya jika melihat pemerintah begitu gencar bikin rusun belakangan ini. Rumah panjang itu berpintu-pintu, bahkan bisa menampung 50 kepala keluarga di sana.

Keluarga-keluarga itu hidup bernaung pada Belian licin, kayu hitam yang semakin di pel semakin mengkilap. Kayu seabad! Kayu yang tak kan pernah digerogoti rayap, kayu yang tak lapuk dan tak jamur. Belian hitam!

Mereka tak mubajir, tak lah begitu angkuh memagari halaman dengan tembok-tembok tinggi atau memancang meranti, walau mereka punya itu.

Bonsai-bonsai kuning dengan buah menjuntai berwarna jingga, lebih dominan. Ada pula beberapa pinang merah, dan babi-babi di kolong panggung rumah.

...

MANUSIA kota yang mengajarkan keserakahan. Mereka seakan kalab, tak pernah bersua alam yang berseri-seri, seketika saja ingin diraupnya. Ingin dibengkas dan disamaratakan dengan kota.

Mereka ulet berengosiasi dengan hukum adat, perlahan dengan misi penghancuran berkedok pembangunan mereka ubah urat-urat kehidupan pribumi.

...

HUTAN perawan seketika dirubah menjadi perkebunan kelapa sawit, padahal sawit ialah penggerogot tanah yang paling kejam. Hutan-hutan dibakar dengan dalih petani setempat ingin buka ladang, ah...sesiapa berotak di sana?

Kabar terakhir, batubara pula. Alamakkkk.... nak berapa keturunan mengembalikan fosil-fosil pada tempatnya semula?

...

JAUH di masa lampau...
Saat Sultan Hamid Al Kadri bersama rombongan menerabas hutan perawan demi mendirikan mesjid Jami’, di tengah hutan tersebut, terdapatlah sebuah ayunan. Ayunan yang dalam bahasa sana disebut Ponti. Ponti atau ayunan ini, biasa dipergunakan menimang anak, sehingga lahirlah sebuah nama Pontianak.

Pontianak, atau Kunthien banyak Tionghoa menyebutkan.

Dulu, semasa SD, guruku berdongeng, Pontianak ialah julukan untuk kuntilanak dengan rambut panjang yang diperistri sultan dengan terlebih dahulu menanamkan paku panjang di kepalanya. Ah...dongeng tinggallah dongeng. Tapi dongeng itulah yang melekat sebagai acuan peradaban.

....

SEHARUSNYA, kalau memang benar masih banyak kuntilanak atau kuntien disana, mereka libas saja si serakah-serakah itu, terutama pencuri-pencuri negeri Jiran itu. Muak rasa, biar mereka tercekik saja. Atau biar saja kuntilanak itu bermain-main dengan rambut panjangnya seperti rapunzel sehingga lari lah mereka terbirit-birit.

...

GISSELE tetap melangkah pergi. Nantinya, ia tetap akan menjadi peri yang cantik, senantiasa bergaun kuning terang, malah semakin molek. Tetapi hatinya menangis, hatinya terejam berkali-kali, melihat lucarsa-lucarsa memberontak kala mereka dihajar bulldoser, kala mereka disayat pisau senso. Kala mereka tak lagi bisa bersuara. Kala mereka tak lagi bernyanyi riang. Kala tak ada lagi celotehan enggang, kala tiada lagi tarian siluk-siluk. Kala tiada lagi perempuan-perempuan berlubang telinga panjang. Kala hukum adat dibungkam dengan peradaban.

Terutama kala manusia begitu mudah mengkhianati. Apapun itu, tanpa kecuali cinta.

Gissele, mafka atau lucarsa bukan apa-apa. Mereka bukan siapa-siapa, hanya aku yang menamai, seperti ibu mereka. Yang meratap, justru meranti, jelutung, bengkirai dan teman-teman lain yang namanya sendiripun masih belum fasih kusebutkan.

.....

Ah, tetapi kiranya sebuah peradaban harus dibayar mahal dengan sesuatu yang tanpa adab!



Oleh Surya HR Hesra
Minggu, 26 Oktober 2008
23:09
(Dengan ditemani X-Japan: Endless Rain)

26 October 2008

Terselip Rindu

ada sebuah siluet,
kuperhatikan di balik gudang
di seberang gerobak setengah ambruk
siluet meliuk dibawa terpa hujan

aku menantinya, tak seperti biasa
terbiasa mengabaikan

tapi tiba-tiba,
dalam deru tetes hujan,
sebuah rindu terselip
diantaranya..mengabaikan siluet

di balik gerobak setengah ambruk
kucari-cari dimana rinduku,

pulang lah...
lebih awal.

24 Okt 2008
"13hari kedepan"

25 October 2008

cermin retak

cermin retak,

bulan cercaan hati
menelikung rasa
ahh,

lagi-lagi.

24 October 2008

Kapas atau Ranting

Aku bisa,
selalu menjadi kapas

Ringan tersapu angin,
bergerak perlahan menuju gravitasi

Aku bisa,
selalu menjadi ranting

Terbawa arus,
bergerak cepat tanpa harus hanyut

Aku bisa,
ada atau tiada.

Jogja,
18 Oktober 2008
"dalam menghitung hari"

23 October 2008

Teriakan Ahmad Dhani feat 4 Sen Buruh Celana GAP

“…Nasionalisme untuk negara ini, adalah pertanyaan…”

Sepenggal lirik Kenyataan dalam Dunia Fantasi, hits single The Rock featuring Koil. Pertama mendengarnya sudah jatuh cinta. Bukan pada Dhani, tapi kepada vokalis Koil yang setiap melihatnya mengingatkan saya akan vokalis, Wintersun. Tidak mirip, tapi entahlah.. saat mendengar dan melihat klip Battle of Sword, saya menjadi teringat dengan band Indonesia yang gahar itu.

“…nasionalisme untuk Negara ini adalah pertanyaan…”
Kembali alunan itu terngiang-ngiang terus menerus dalam beberapa hari terakhir ini. Yang mengusik saya sebenarnya ialah… hm, banyak sih. Yang pertama, rasanya harus diakui dengan kelapangan hati kalau rasa nasionalisme kita (siapapun anda, teman..) mulai memudar. Tapi apa sih, nasionalisme itu?

Sedikit mengulas mengenai Ahmad Dhani, kita flashback ke beberapa tahun lalu, masih ingat dengan project album di luar Dewa? Yang hanya mencatut Andra sebagai ‘pembantu’nya. Album itu berjudul Ideologi, Sikap, Otak.

Aku Cinta Kau dan Dia, Bidadari di Kesunyian, dan Sudah adalah hits yang cukup dikenal. Tapi di samping itu, ada yang lebih menarik untuk saya, dua lagu lainnya berjudul Interupsi dan Distorsi.

Dua sindiran yang cukup keras saya rasa. Coba simak sedikit penggalan lirik pada lagu Distorsi

Maunya selalu memberantas kemiskinan
Tapi ada yang selalu kuras uang rakyat
Mau selalu..maunya selalu
Ada yang sok aksi buka mulut
Protas protes..
Tapi sayang mulutnya selalu beraroma alcohol
Yang muda mabok, yang tua korup..
Mabok terus, korup terus
Jayalah negeri ini..jayalah negeri ini (merdeka!)

Maunya selalu menegakkan keadilan
Tapi masih saja ada sisa hokum rimba
Ada yang coba-coba sadarkan penguasa
Tapi sayang yang coba sadarkan
Sadar aja nggak pernah
Setiap hari mabok
Ngoceh soal politik
Setiap hari korup
Ngoceh soal krisis ekonomi


Pernahkah mendapati yang demikian? Saya pernah, walau tidak fair jika suatu kesamaan kecil yang saya temui dikatakan dapat menggambarkan.



Beberapa waktu lalu, tepatnya 16 September 2008, saya mengikuti ‘sowan’ ke DPRD-DIY, dalam rangka penolakan KAUKUS –Komunitas yang terdiri dari forum LSM Jogja yang peduli dengan Anak dan Pekerja Jalanan— terhadap penolakan Raperda Gepeng.

Masih Ramadhan kala itu, jalan Malioboro selalu ramai seperti biasa, di seberang Edward Forrer, tepatnya lebih ke timur dari mesjid Malioboro itu kami berkumpul. Selain KAUKUS, teman-teman pekerja jalanan pun bertandang.

Setelah selesai diskusi dan dicapai kesepakatan bahwa untuk perumusan draft Raperda, Pekerja jalanan juga dilibatkan, kami berkumpul sambil menikmati nasi kotak seraya berbuka.

Saya memperhatikan, Gondrong, salah satu seniman jalanan, memetik gitar, jaraknya agak jauh dari kami, lebih 5 meter. Begitu gitar dipetik, intro dimainkan, bagai sebuah komando, teman-teman lain serentak menyanyikan lagu Darah Juang.
Agak special bagi saya, karena keterlibatan saya tidak cukup intens dengan mereka, tetapi saya sangat familiar dengan lagu itu.

Di sini negeri kami, tempat padi terhampar
samuderanya kaya raya, tanah kami subur, tuan..
di negeri permai ini, berjuta rakyat bersimbah rugah
anak buruh tak sekolah, pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar
bunda relakan darah juang kami
tuk membebaskan rakyat
Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar
bunda relakan darah juang kami
padamu kami berjanji


Saya harus berterima kasih banyak untuk sahabat saya Wiwid, yang banyak mencecoki dengan ‘racun’ lagu-lagu bergenre metal, lagu-lagu “tua” yang saya pikir dulu hanya sebatas Rapshody, Sepultura dan teman-temannya.

Nah, lagu Darah Juang ini, saya dengar ialah yang dibawakan Innerbeauty, dengan vokalis cewek yang wewww…

Tapi di Gedung DPRD-DIY itu saya mendengar dinyanyikan dalam versi berbeda, lebih smooth.

Lagu Darah Juang sebenarnya bukan lagu asing. Cukup dikenal terutama bagi para aktifis penggulingan rezim Soeharto. Lagu yang mengungkit kembali gelora yang membara di saat demo besar-besaran Se-Indonesia raya. Sedikit kenangan juga, lagu inilah yang juga dinyanyikan saat penguburan sastrawan yang sangat saya banggakan, bahkan hanya sebagai pembaca bukunya saja sudah membuat bangga, bangga Indonesia memiliki penulis seperti beliau, yang karya-karyanya dirujuk sebagai literature untuk siswa-siswa di Australi sana, ironis yah…justru di negeri tercinta ini, karyanya malah di’bungkam’. Beliau, Pramoedya Ananta Toer.

Lagu Darah Juang sendiri, dikarang oleh John Sonny Tobing, mantan mahasiswa UGM pada tahun 90an. Dan dipopulerkan oleh Band LONTAR, dengan latar belakang personilnya pernah diculik di rezim yang sudah KO itu. Dituding makar atau dianggap membahayakan keberlangsungan bangsa. Ooo really?? :)

……………….

Yang juga terkenal garang dalam lirik, kita kenal bersama, Bung Iwan Fals. Memori saya tersangkut lagi nih.. pada saat saya pertama kenalan dengan lagu-lagu Om Iwan. Saat itu masih SD, berseragam putih merah, dan saya harus mendengar Sugali, Oemar Bakri, Hatta (lupa judulnya apa) sambil mendekatkan kuping lekat-lekat pada speaker. Biasalah, Ibu selalu tak sefaham dengan musik. Sehingga saya harus sembunyi-sembunyi menikmatinya.

Juga, Slank..

Tak perlu dibahas rasanya, hanya mengabsen saja.
…....

Yang mengusik saya, ialah lajunya band-band pendatang baru yang hanya menawarkan lagu-lagu patah hati (walau ada juga yang saya suka), dan banyak yang kurang memperhatikan sisi musikalitas.

Kemana yah..perginya band-band seperti Innerbeauty? Mengapa mereka selalu saja dibayang-bayangi dengan major label? Mengapa sedikit dari mereka yang bisa menembusnya? Apakah idealisme yang mebuat mereka tetap tak bergeming di ranah Indie?

....

Dulu, beberapa tahun lalu saat masih di kampung halaman, beberapa kali pernah lah menonton teman konser underground. Tempat yang dipakai kala itu terbatas, paling banter audit RRI.

Satu band yang saya saluti, ialah BERHALA yang juga melagukan nilai-nilai nasionalisme, perjuangan dan umpatan pada pemerintah. Banyak hal yang membuat saya menyukai mereka, personality maupun musikalitas. Sebenarnya, saya sangat menikmati musik mereka, walaupun untuk penampilan, saya merasa kecut, seringkali keluar aturan dresscode. Bayangkan saja, saya berbaju pink sementara yang lain, termasuk wanita, berpakaian serba hitam dengan dandanan gothic. Hehehe…

Kembali, sebenarnya saya sangat menyukai musik mereka, seandainya penontonnya juga mendukung. Tempat konser yang berbau alcohol… aaaaggggghhhh.....

Saya jadi membandingkan sendiri saat menonton konser Haggard, tentu hanya dari cakram VCD. Haggard, dengan 16 orang di atas panggung, menawarkan sensasi berbeda menikmati musik metal. Setiap penonton yang datang, mereka diperiksa satu persatu, tak diperkenankan membawa alcohol, senjata, dan lain yang membahayakan. Dan mereka menonton dengan tertib, dasyat bukan main…

...

Balik ke masalah nasionalisme. Sebenarnya apa sih yang kurang? Apa sih yang salah? Seringkali saya bertanya-tanya mengenai hal ini pada diri sendiri.

Bapak-bapak di balik jeruji pemerintah berkoar-koar “ayo, cintai produk dalam negeri..” aduh, saya makin bingung. Sebenarnya yang dimaksud dengan produk dalam negeri itu yang mana sih?

Untuk diketahui juga, banyak sekali manufactur yang bertaraf internasional, tetapi memiliki pabrik di sini. Di Jakarta saja, Sebutlah Merek perlengkapan olahraga Nike, Reebok, Adidas, Old Navy, GAP diproduksi di sini. Pabrik itu milik kontraktor Taiwan dan Korea yang mempekerjakan buruh dengan upah sangat rendah.

Para buruh bekerja 24 jam, dan tidak ada etika perusahaan yang sebenarnya telah dikeluarkan oleh pihak produsen. Para buruh dibungkam suaranya, tak ada konpensasi overtime, longshift. Yang ada ialah kerja dan kerja.

Buruh tersebut bahkan bekerja dari jam 08.00 sampai jam 12.00 malam dalam kondisi berdiri. Bukan main!! Tidak ada kode etik, jangan kan kode etik, bahkan peraturan perusahaan saja tidak pernah diberikan. Dan dalam satu hari, minimum mereka membuat 3000 helai celana pendek GAP, yang jika dibeli di London, seharga 8 Poundsterling, setara dengan 100 ribu Rupiah. Dan dari harga itu, buruh Indonesia mendapat kurang dari 4 sen (Rp. 500).

Atau sama juga dengan sepatu olahraga seharga 100 poundsterling (1,2juta Rupiah), dari situ buruh Indonesia hanya mendapatkan 40 sen atau 5000 perak rupiah!! Yang bahkan ironisnya tidak cukup hanya untuk membeli tali sepatunya saja.

Pada tahun 2000, pimpinan perusahaan GAP digaji lebih dari 5,5 juta dolar setara dengan 44 Milyar Rupiah setahun. Sementara keuntungan perusahaan GAP mencapai 1, 38 Milyar dolar (Rp. 11 Triliun). Dan ini adalah angka biasa untuk perusahaan multinasional.

Apa ini?

Jadi sebenarnya apa yang harus kita singkirkan? Produknya? Atau justru branded nya? Atau lagi, justru perusahaan asing itu?

Bagaimana nasib buruh-buruhnya jika tempat kerja mereka dilangsir?

Itulah kerja pemerintah!!! Bukan berkoar-koar, “ayo, cintai produk dalam negeri!!!!”.
Bung, produk branded itu juga dibuat oleh tangan-tangan pribumi. Bukan itu! Bukan karya mereka yang kebetulan saja di wadah ‘para bule’. Bukan itu!!!

Tapi tempatnya! Rumahnya yang harus disingkirkan. Atau dikosongkan dulu dan ganti dengan penghuni baru! Penghuni itu adalah pengusaha-pengusaha local dengan produk barang yang mencirikan negeri.

Bawa corak-corak batik yang bikin ‘nyinyir’ seantero dunia sana! Jangan hanya ‘latah’ ketakutan batik dicuri paten oleh Negara lain. Ketahuilah, tidak hanya Indonesia saja yang memiliki seni m’batik. Tapi Cina juga. Kalau mau di buat hak cipta, usung motif dan corak, bukan siapa yang menemukan.

Jangan lupa, ada INAICTA (Indonesia ICT Award) yang menghasilkan Software JBatik yang mampu menghasilkan corak batik secara unik. Sebuah terobosan anak negeri dengan memanfaatkan logaritma fractal pada piranti lunak open source.

Apa yang kurang?
……

Bicara nasionalisme, kita harus bercermin pada Bung Karno. Beliau dengan lantang menjauhkan perusahaan-perusahaan raksasa dari bumi Indonesia, juga mendepak perantara mereka. Bank Dunia dan IMF. Berbeda dengan Soeharto yang menjadikan keduanya sebagai sekutunya.

Dan berbicara mengenai Bung Karno, tidak bisa memisahkan dari orang-orang besar yang menyokongnya.

Sebuah baleho besar di belakang UPN Seturan yang saya temui kemaren siang cukup mengetuk pintu penyadaran. Baleho itu berinformasi akan adanya haul besar mendoakan almarhum Panglima Soedirman.

Rencana acara besar ini sebenarnya sudah saya ketahui sejak sebulan lalu dari Iwan Piliang, Presstalk saat bertemu di Jogja. Saat beliau datang atas undangan Bugiakso, Ketua Umum Soedirman Center, yang juga merupakan ipar dari cucu Soedirman. Ganang Tidarwono Soedirman, pemerena tokoh Panglima Soedirman dalam film.

Ketika menuju bilangan Ngaglik, Iwan Piliang bercerita banya hal, diantaranya rencana besar acara di tanggal 2 Nopember itu. Nantinya, lahan pertanian di depan rumah Bugiakso akan disulap menjadi venue haul. Dan akan melibatkan banyak penduduk setempat.

Semangat perjuangan Panglima Soedirman masih diteruskan oleh Bugiakso. terbukti dengan peluncuran buku, lagu dan situs internet (websites); Setia Indonesia; Meneruskan Perjuangan Bangsa. Bolehlah kita lihat di www.setiaindonesia.com. Lagu Kelayung-layung, dan buku dapat di download gratis. Yang terpenting lagi, bisalah kita menyatakan dukungan kesetiaan terhadap negara kita tercinta ini.

Buku itu juga memuat fragmen penjajahan negeri yang dibuat oleh rezim Soeharto, yang telah menggadaikan negeri ini pada IMF.

Lagi-lagi kan.....
........

Tapi sudahlah kawan…. Tak usahlah kita risaukan benar mengenai Soeharto yang tak ujung-berujung mendecakkannya. Maksud saya, tak perlu pula lah kita ikut-ikutan latah berteriak-teriak pada pemeerintah.

Bagaimana kalau kita mulai berpijak pada kaki sendiri? Mandiri? Atau kita buat sebuah kesepakatan kecil yang bisa merubah banyak hal.

Beberapa hari lalu saya ngobrol santai dengan seorang sahabat melalui ponsel, untunglah tarifnya sudah bersahabat sekarang. Dalam obrolan itu, dia mengemukakan rencana-rencana hidupnya. Tidak muluk-muluk, hanya hal sederhana, seperti bangun lebih awal, misalnya.

Sangat menarik bagi saya. Banyak dari kita terlalu memikirkan hal yang besar-besar, cita-cita yang menggunung, tetapi kita mengabaikan hal-hal yang terlihat remeh dan kecil. Padahal yang besar itu juga tercipta dari yang kecil.

Perubahan besar suatu bangsa, tidak bisa dimulai hanya dari perintah. Tapi dari masing-masing individu. Individu yang mau berubah, atau menggeser sedikit pola hidupnya. Tentu ke arah yang lebih baik.

Membuat perubahan kecil pada diri sendiri, itu lebih berarti ketimbang hanya sekedar memikirkan bentuk perubahan apa yang cocok untuk Indonesia. Bertindak dan bertindak! Itu saja.

Permasalahannya, adalah respon kita! Respon otak dan tubuh. Bagaimana kita merespon setiap perubahan kecil yang direncakanan itu? Butuh sebuah komitmen. Butuh sebuah kerja keras. Tapi yakinlah…(seperti juga sahabat saya itu meyakinkan), perubahan kecil itu akan membawa dampak yang besar di hari-hari mendatang. (suatu saat, di tulisan lain saya ingin bicara panjang tentang respon ini).

Bangun tidur lebih awal, baca buku lebih banyak, makan teratur dan bergizi dan tidak terlalu kenyang, menabung rutin, bersedekah , temui banyak orang dan dengan rendah hati mendengarkan.. apa saja!. Hal ini terdengar remeh dan jauh dari kata nasionalisme. Tapi kawan, untuk membuat perubahan besar pada negeri ini, kita mulailah dari merevisi diri sendiri.

Jangan lupa (ini terlebih untuk mengingatkan diri sendiri!), tingkatkan ibadah. Menjadi penting, karena seseorang yang dekat dengan Tuhan cenderung takut melakukan yang tidak benar.

Bagaimana menurutmu, kawan?

Oleh Surya HR Hesra
Jogja, 23 Oktober 2008
00:23

21 October 2008

TentangMu (Filosofi Bilangan -- reposting)



model pic; Fikhar

(tulisan ini sekedar re posting dari tulisan yang sudah saya posting sebelumnya di bulan april. maaf, agak panjang dan melelahkan membacanya, tetapi, jika ada waktu... bacalah...)

17 MARET 2008

Ini tentang dirimu. Seharusnya sudah aku sadari sedari awal. Tapi itulah aku, yang selalu meyakini sesuatu yang terlihat mustahil. Tapi itulah aku, yang selalu ingin memperjuangkan yang ingin aku miliki, yang kurasa harus dan seharusnya kugapai. Tapi itulah aku yang selalu menganggap angka nol sebagai sesuatu yang bukan absolute, bukan sesuatu yang kosong. Nol harus sanggup diperjuangkan. Apapun resikonya.

Ini tentang dirimu. Yang datang dan pergi lalu datang lagi, mungkin untuk pergi lagi nanti suatu saat jika waktu sudah menghendaki. Tapi itulah dirimu, memberi keberanian yang memuncak, namun kemudian, logika dan kenyataan yang menyadarkan. Tapi itulah dirimu, yang mengajak melompat lingkaran api yang berada disekeliling kita. Walau aku setengah yakin dan setengah kabur, apa ini suatu keyakinan atau hanya sebuah lingkaran semu yang kerap hadir? Apapun itu namanya, aku tidak tahu.

Ini tentang dirimu. Dirimu yang selalu, selalu..selalu aku cintai, aku rindukan dalam relung-relung rahasia terdalam dalam hatiku. Hati yang terselimuti dengan berjuta keinginan, tapi dibangunkan dengan serentetan pemahaman hidup. Tahukah.. seberapa besar perasaan ini sanggup aku bendung? Tahukah engkau? Kalau kau cukup tahu, seberapa besar pengetahuanmu, tolong kau ceritakan padaku. Karena aku sendiripun tidak tahu persis berapa besar yang tersisa dari yang pernah ada.

Tapi, tahukah kau… aku selalu mencarimu..mempigurakan sketsa-sketsa dari saluran seksresi psikologis yang pernah terlalui beberapa tahun lalu. Aku selalu mengenangmu. Menempatkan dirimu dalam ruang termerah di hatiku. Membawa keharumanmu ke dalam mimpi-mimpi yang hanya sanggup aku ceritakan pada langit-langit kamar. Andai ruangan ini hanya berisi kaca, tentu kau akan mengetahui, angle mana pun tetap aku memikirkanmu.

Ini tentang dirimu. Yang menggodaku untuk lari merentas aral-aral yang tidak penting untuk sebuah cinta. Aku masih berharap, sungguh. Biarkan aku dibutakan saja, supaya tidak ada alasan, bahwa hanya cinta yang buta, tetapi manusia tidak. Biar saja sekalian buta. Biar aku hanya melihat dengan mata kaki. Biar semua dunia yang jungkir balik, bukannya aku.

Tapi, akankah setelah kubuka pintu, maka kau pun akan membuka pintu yang sama? Dan kemudian kau juga seperti yang kau selalu katakan, ingin melangkah dari pintu itu?Beribu ketakutan membayang. Apakah kau sedemikian telah cukup kuat, untuk menyandarkan aku di hatimu. Apakah tidak ada semayang rambutpun kau ragu? Apakah masih bisa kupertanyakan sebuah ketulusan…atau bisakah aku bertanya dimana batas antara ketulusan dan pengorbanan?kenapa sedemikian sulit?

Ini masih tentang mu. Tentang dirimu yang membawa diri ini seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Yang membawa perasaan dan imaji sanggup mengembara dalam alam ketidaksadaran. Tentang dirimu yang menjadi siluet lembayung jingga. Tentang dirimu yang memasrahkan segala hari esok pada pertaruhan. Tentang kau yang tengah memandangi bulan sabit dan berharap besok segera purnama. Bagaimana mungkin?

Ini tentang engkau. Cinta adalah ruang dan waktu, datang dan menghilang. Dulu, aku selalu percaya itu. Wajah-wajah yang datang silih berganti, wajah-wajah yang senantiasa mengisi hidup ini. Datang, untuk kemudian pergi. Hati memang selalu di set up sedemikian. Tapi, cinta bukan misteri namanya, jika itu terjadi seperti pengulangan yang itu-itu saja. Cinta menjadi misteri kala kejutan-kejutan manis datang dengan keterkejutannya. Begitulah cinta. Cinta yang buta, tapi kita tidak buta. Cinta yang buta, tetapi kita tidak buta. Cinta yang buta, tetapi kita tidak buta. Cinta yang buta, tetapi kita tidak buta…….

Ahhh, semua hanya berputar-putar persis di atas pelipisku. Sudahlah, whatever you called it! Aku hanya ingin mengatakan semua terjadi begitu saja. Cobalah tanyakan, siapa yang ingin berkhianat seperti ini? Siapa yang ingin membelah jiwanya sendiri? Kurang kerjaan apa? Tapi inilah kejutan manis itu. Kejutan yang benar-benar suatu kejutan. Mana pernah ada suatu pemikiran singkatpun akan sebuah perasaan yang bisa berubah dalam sekejap? Mana ada keyakinan yang membabi buta seperti sekarang ini?ini sudah gila! Tapi, bagi orang gila, ini tidak gila. Yang gila adalah yang tidak mengakui gila. Sudahlah… terserah! Gila atau tidak sama saja. Toh sudah menjadi gila.

Seperti berputar-putar kembali dalam labirin yang cukup panjang dan penuh dengan persimpangan. Apa masih sempat berpikir akan memilih jalan yang mana? Kurasa, jalan sajalah, barulah berpikir, jalan mana yang sebaiknya diambil. Semua kembali pada titik itu lagi. Seperti mengalikan bilangan apapun dengan angka nol. Hasilnya akan mengesalkan. Satu kali nol, sama dengan nol. Dua kali nol, sama dengan nol. Tiga kali nol, sama dengan nol. Sejuta kali nol, sama dengan nol. Seribu dua ratus delapan puluh sembilan kali nol, hasilnya masih nol. Bahkan nol koma nol dua kali nol, tetap saja nol. Bukan kah ini cukup menjengkelkan? Ataupun, sama mengesalkannya dengan bilangan-bilangan yang dikalikan satu. Hasilnya tidak akan berubah, tetap menjadi bilangan itu sendiri. Apa masih perlu contoh? Aku rasa tidak, kau tentu cukup pintar untuk mengetahui maksudku. Mengesalkan, bukan?

Kau tahu? Aku mengantuk. Mungkin ada baiknya aku tidur dulu. Biarlah semua mengalir pada sungai ketidaktahuan. Pada gerabah-gerabah yang menampung air dari kendi-kendi dingin. Mungkin tidak perlu aku pikirkan. Biarkan saja, biarkan mimpi yang membalasnya. Jangan berpikir, tidur sajalah. Santai… tidur, dan tak usah bangun lagi… biarkan mereka yang membereskannya. Tidak usah diipikirkan. Biar *** yang menuntaskannya. Tidur…. Tidur…. Jangan pikirkan apapun. Walaupun tidak memikirkan apapun berarti sama dengan memikirkan apapun yag tidak dipikirkan itu. Nah, itula hebatnya filosofi bilangan.

Hei…Ini masih saja tentang dirimu. Kalau suatu hari nanti kita berjodoh, aku akan bersyukur pada Allah. Tapi, jika tidak, semoga aku dapat mengikhlaskanmu.

Jogjakarta
(kotamati)

*setelah membacanya, dia pasti tahu, ini untuk siapa

19 October 2008

Dari TogaMas, Hingga Jembatan Ampera

HUJAN mengguyur Jogja untuk ke beberapa kalinya yang masih dapat dihitung dengan sebelah jari. Hari itu 16 Oktober 2008, sekitar pukul 12 siang. Saya terus melaju dengan tujuan Toga Mas, yang terletak di Jl. Affandi, lebih populer dengan jalan Gejayan. Sedikit tergesa, saya pacu 80-100 Km/jam --sudah biasa, banyak yang lain pun begitu--, melarikan diri dari hujan yang terus mengejar dari arah timur.

Sedikit basah, saya sampai di Toga Mas, ada beberapa yang sengaja berteduh, tidak banyak yang berada di dalam, tak sampai dua lusin, kira-kira. Tak seperti biasanya saya ke sana selalu ramai pengunjung tapi tetap nyaman. Seperti kebanyakan pengunjung lain, jika di tanya mengapa memilih Toga Mas, jawabannya karena di sana semua buku di diskon 20%, dengan barang yang sama seperti Gramedia.

Dikarenakan sudah punya niat dari awal akan buku yang dibeli, jadi saya tidak memerlukan waktu lama untuk melihat-lihat. Kebetulan, buku yang hendak dibeli sudah saya miliki di rumah dan saya sudah nyaris hapal posisi pajang nya. Buku itu adalah buku Favorite saya! Kalau saya masih memberi toleransi pada mata, bisa-bisa apa yang tidak ingin saya beli, justru yang dibeli, sehingga segera saya urungkan.

Dua buku tebal itu saya rangkul, dan saya bawa ke kasir, bayar dan saya lihat jumlah diskonnya, wah.. lumayan, untuk ongkos kirim. Di Toga Mas juga melayani jasa sampul buku gratis, syaratnya hanya satu, antre.

Masalah antre ini, terkadang juga bikin malas. Apalagi jika berbelanja buku di akhir pekan. Wah, antrenya bisa sampai 2 jam. tapi kali ini berbeda, seperti yang saya ungkapkan, Toga Mas, agak lengang. Sehingga, saya hanya perlu mengantre 6 buku, baru kemudian giliran 2 buku saya.

Sejak mengerjakan ke enam buku itu, saya sudah memperhatikan Mbak Penyampul. Dari perawakannya gadis berkerudung itu terlihatsabar. Kepalanya lebih banyak menunduk, konsentrasi dengan pekerjaannya.

Gulungan plastik transparan yang terletak berdiri, di bentangkan dan diukur sesuai kebutuhan buku, kemudian lipat sana lipat sini sehingga menyampuli buku tersebut. Untuk satu buku, Lina, begitu namanya, memerlukan waktu 55 sampai 60 detik. Sedang untuk buku anak-anak, dia memerlukan waktu dua kali lipatnya. "agak sulit, Mbak..," katanya.

Menurutnya, menyampul buku anak jauh lebih sulit, karena ukuran plastik harus disesuaikan. Semakin tipis dan kecil ukuran buku, semakin sulit penyampulannya. Ilmu menyampulnya diperoleh dari training singkat sebelum memulai kerja.

Alat bantu Lina hanya satu. Gunting. Selain itu tiada.

Lina sudah satu setengah tahun bekerja sebagai penyampul buku di sana. Lina sekarang tinggal sendiri di bilangan Condong Catur. Lina berasal dari Temanggung, dia merantau meninggalkan orangtuanya. Selama satu setengah tahun, Lina telah banyak membantu siapa saja yang membeli buku di situ. Lina bekerja paruh shift, per shift 8 jam dengan jatah istirahat satu jam, dan libur satu hari setiap minggunya. Togamas buka dari jam 10 sampai jam 9 malam.

Dengan jam kerja yang seperti itu, saat saya tanya berapa rata-rata per hari buku yang disampulnya, dia tertawa renyah "tak terhitung mbak, saking banyaknya". Yah, saya menduga, Lina tidak sempat menghitung. Beberapa kesempatan saya juga pernah mendapatinya terlambat istirahat karena buku-buku masih menumpuk sementara teman bertukar shift belum datang.

Tapi, kita perkirakan pembeli yang datang berjumlah 100 orang di satu shift nya --asumsi minimal--. Masing-masing membeli 2 buku, --memang banyak yang hanya membeli satu, tapi jauh lebih banyak yang membeli lebih dari itu, hingga 10 malah--, berarti ada 200 buku yang disampul. Sementara Lina memiliki 7 jam kerja dari 8 setelah dikurangi istirahat 1 jam. Sama dengan 420 menit.

Seperti yang saya tulis, Lina memerlukan waktu 55 sampai 60 detik, anggaplah 1 menit per buku. berarti Lina masih memiliki 220 menit untuk tidak menyampul. 220 menit, sama dengan 3 jam 40 menit. Tetapi, kenyataannya menuru pengakuan Lina, jarang sekali ia bisa santai. Mungkin kalau pengunjung seperti hari ini, yah.. Lina bisa lebih slow.

Lina tersenyum ketika saya bertanya berapa penghasilannya sebulan, menandakan ia keberatan mengatakan. Hanya saja Lina menjelaskan, pendapatannya itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari, membayar kos perbulan sebesar Rp. 150.000, membeli pulsa serta transportasi. Untuk biaya mudik, rupanya Lina perlu menabung lebih agar bisa pulang.

Dua buku saya selesai disampul, dia menanyakan kwitansi untuk kemudian distempel lagi. Urut-urut stampel pada kwitansi, pertama setelah membayar di kasir, maka buku akan di ambil di tempat penitipan seraya kwitansi di cap "terima kasih, barang telah diambil". Lalu pilihan jika ingin sampul gratis, buku di antre kan, dan tiap yang masuk antrean kena wajib stempel lagi "barang disampul". Terakhir, setelah disampul Lina, maka Lina akan menstempel untuk terakhir kalinya "sampul diambil". Pertanda kwitansi itu tak bisa dipergunakan lagi untuk sampul buku manapun.

Saya melirik jam, rasanya tidak memungkinkan untuk melaju lagi ke tempat pengiriman.Sudah sore dan saya kangen anak, pun ada janji bertemu seorang teman. Kembali saya peluk buku itu, tak kuat kalau hanya di jinjing, maklum, jika ditotalkan beratnya lebih dari 3 kilo, sama berat seperti sebuah buah semangka.

Saya ucapkan terimakasih pada Lina dan seorang lagi temannya di tempat penitipan. "terima kasih, sampai ketemu lagi, Mbak". akhir sapaannya.

Saya tertegun.

"sampai ketemu lagi, Mbak.."

Setelah terdiam sejenak, tangan saya tersenggol pembeli lain yang hendak menyampul buku. Tergeragap, saya berkata "ya, terima kasih juga. Sampai ketemu juga".

"sampai ketemu lagi, Mbak.." kalimat yang sederhana bukan? terus terngiang di kepala saya.
Dibalik kesederhanaan kalimat itu, saya faham, jika kalimat itu tidak sesederhana pengucapannya. Kalimat itu lebih pada sebuah pengharapan. Pertemuan yang terjadi untuk sebuah bertemuan selanjutnya.

...

SAYA jadi teringat Bude Yah dan Bude Sarmini. Mereka berdua adalah penjual sayur dan penjual buah keliling kompleks. Sayang mereka sudah tidak berjualan lagi setahun terakhir ini. Mereka sangat baik terhadapku, terhadap yang lain juga tentunya. Bagi saya, mereka berdua termasuk orang-orang yang penting untuk kehidupan saya di Jogja. Mereka banyak memberi pengetahuan dan bantuan dalam saya merawat Sachy--anak saya--.

Saya menganggap mereka seperti ibu saya sendiri, saya merasa dekat dengan mereka, dan satu hal yang selalu saya ingat pada keduanya, setiap mengakhiri pertemuan belanja, mereka selalu mengatakan dengan kalimat yang berbeda "besok lagi, ya Mbak..".

Begitulah, setiap pagi, saya selalu senang menyambut mereka, bahkan Sachy yang sekalian saya jemur di hangat mentari pagi pun menikmati acara berbelanja buah dan sayur kami. Bude Sarmini selalu menggendong Sachy terlebih dahulu sebelum melanjutkan keliling kompleks. Beliau memiliki 3 anak laki-laki yang kesemuanya dilahirkan di rumah hanya dengan bantuan suami. Tak punya anak perempuan, membuat dia sayang dengan Sachy.

Kebalikan, Bude Yah memiliki 3 putri yang sudah gadis. Saya, selalu merasa Bude Yah sayang dengan saya. Entahlah... dia memperlakukan saya seperti seorang anak, walau dia selalu memanggil saya "Bu..". Sapaan yang berulang kali saya minta ubah dengan memanggil nama saja. Tapi dia menolak, tanpa alasan.

Pernah, suatu ketika Bude Yah datang terlambat, sudah jam 10. Saat itu, suami di luar kota dan saya hanya bersama Sachy. Saya demam tinggi tanpa sebab, sementara Sachy menangis kencang, dan saya tak berdaya sama sekali, jangankan untuk menggendong, untuk berdiri saja tak kuat. Berkali-kali Sachy saya bujuk dengan mencoba memberi ASI, tetap dia berontak dan menangis makin keras. Bude Yah memanggil, "Bu...belanja nggak...?"

Saya sontak langsung bangun, hanya ingin mengatakan "nggak Bude.., nanti saya beli yang pesan 'antar' saja". Belum sampai niat kata terucap, sesaat pintu terbuka, saya ambruk. Dan bisa dibayangkan setelah itu, bude Yah lah yang membantu saya. Membopong ke tempat tidur, menggendong dan menimang Sachy hingga tidur pulas, mengompres seraya menekan-nekan punggung saya. Tak kuat rasanya untuk mengucapkan terima kasih saja. Saya membelakanginya, dan airmata tidak dapat saya tahan. Mengalir deras...

"Bude, apa jadinya saya kalo' Bude nggak dateng"
"pasti ada yang lain datang Mbak, Allah kan maha tahu, kebetulan saja saya yang lewat"

ah, Bude... benarkah itu suatu kebetulan? rasanya tidak.....

...

BELAKANGAN ini, saya pun sering memperhatikan kebiasaan anak yang sudah mulai playgroup. Jika bertemu siapapun dan tatkala akan berpisah, dia selalu mengucapkan kalimat itu "see you later --duh, gaya ya pk bhs inggris--". atau kalimat lain yang sering juga saya dengar "semoga laris pak, (atau bu, atau bude) sampai ketemu lagi". Tanpa sadar, ternyata dia meniru dan mencontoh apa yang saya lakukan. Kebetulan (ah, kebetulan..?yang benar?) saya juga terbiasa mengucapkan kalimat itu.

Yang biasa ditemui ialah guru-guru di Primagama tempatnya sekolah, kemudian Mbak Susan di outlet, temannya Gibran dan Lubna, Bude Nur penjual buah juga, dan satu yang lebih sering.. pemusik jalanan yang biasanya berkeliling rumah. Kebetulan (lagi!), saya dan Sachy sangat suka lagu-lagu keroncong, mungkin tertular atau rindu pada eyangnya di Kalimantan sana.

Eyang nya sangat menggemari lagu keroncong. Ada satu lagu andalan yang selalu dinyanyikannya sebagai lullaby saat saya kecil dulu, hingga ke adik terkecil dan terakhir pada cucunya, sachy.

timang...timang... anakku sayang..(bla...bla...bla...tak kuat menyanyikannya...sedih sih)
....jika kau kelak dewasa, hidupmu bahagia sentosa...

Tetapi, lagu Favorit Sachy bukan itu, katanya "nanti mama nangis kalau denger lagu itu" halahhhh...anak kecil tau apa yah..

Lagu favorit Sachy itu Juwita Malam, versi keroncong..cong.

Setiap sang Pakde datang, dengan jimbel nya, Sachy sudah berjingkrakan. Panik memanggil mama dan mbak Ida nya. Lagu pertama, sudah pasti Juwita malam, syukurnya Pakde sudah hapal. Mungkin bosan, tapi Pakde tetap tersenyum melihat Sachy yang berjoget kacau. Lagu kedua dan ketiga adalah bonus, kata Pakde, harus beda-beda, "biar dek Sachy tambah pintar". Sachy protes. "bukan dek, tapi kakak!"

Dan setelah Pakde selesai beraksi, Sachy seraya 'menabung' juga bergumam, "besok kesini lagi ya..".

Kiranya Sachy selalu menanti kehadiran Pakde penyanyi keliling dengan jimbel --menyerupai gitar berukuran mini dengan 3 senar, kurang cocok membawakan lagu-lagu keroncong-- itu.

lagi-lagi...sebuah harapan akan pertemuan.

...

KEMBALI ke buku yang saya beli di TogaMas. Buku-buku itu memang saya niatkan untuk sahabat saya di tengah hutan Sumatera sana. Sahabat yang hampir sewindu saya kenal tapi sekalipun tak pernah bertemu fisik. Sabahat yang banyak mengajarkan saya tentang mempelajari kehidupan, adanya runutan setiap kejadian, adanya garis tangan yang berjumlah 99. Banyak hal yang telah di berikan, sebuah persahabatan yang indah, yang berbeda dan tak pernah kudapati pada yang lain.

Harapannya, buku tersebut adalah pengganti kehadiran, seperti juga Lukisan Jembatan Ampera yang dikirimnya sekitar setengah windu lalu. Hanya sekedar sesuatu yang tertunda.

"besok, kita bertemu dengan cerita yang berbeda, yang lebih seru dan menyenangkan!"

Oleh Surya HR Hesra
19 Oktober 2008
pukul 02.07 dini hari

17 October 2008

Jagadtri; ini yang kedua

Duduklah di hadapanku,
minumlah..
mau tambah gula?
boleh..
tidak..tidak
kau tak perlu menurutiku
aku terbiasa dengan kopi tanpa gula

Berceritalah,
biar kusimak dengan seksama
kulihat pancaran keletihan yang dalam,
kucari semangat jiwa yang tenggelam

sini,
biar kubantu..
jika telagamu tak lagi mampu
segarang elang,
biar aku..
biar kuceritakan tentang dunia di belakangmu,
biar kujabarkan kesemua itu

Duduklah dengan tenang di sisiku,
kuingin menciumi jemarimu,
kuingin mengusap rambutmu,
kuingin kau rebah di pangkuanku..
kuingin kau terlelap dalam dekapku.

Aku ingin kau bahagia, sungguh!
meski tanpa aku.

12 Okt 2008

Jaladri Asmoro

tapi tidak..
tidak..
cinta saja tidak cukup!
seberapapun kuat
membungkam realita

tidak,
harus diyakinkan lagi,
lautan asmara bisa
hanya tingga buih
jika sampai di pesisir..

tidak,
seperti itulah semestinya
ini, yang terbaik dari yang semestinya
tak perlu dilawan

jaladri asmoro ning ati

13 Okt 2008

16 October 2008

Jadikan Kekasih Hatimu saja

dia terlelap di sana,
di penghujung harinya
tinggal aku sendiri..

cakram CD berputar,
mengalun jauh dibawakan naif..

hatiku mengeruh..
layar putih setengah berisi
baris-baris huruf belum tuntas..

kutatap dinding dan langit-langit
yang juga putih..
ada pantulanku di batas parigi,
kucoba cari..
kucoba jelajahi dari wajahnya..
matanya, hidungnya, bibirnya..
semua dengan perlahan.

kucoba mencari diriku
yang dibawa lari waktu

bertanya-tanya, memanjat syukur
seraya mengumpat..

dia terlelap disana,
sejumput doa aku cuil
dari keranjang harapan.

semogalah senantiasa ia bahagia,
dengan cara apapun..
semogalah ia bahagia
sepanjang masa..
semogalah.

begitulah semestinya ia,
seperti itulah seharusnya ia.

pandora,
tak perlu dihancurkan.

Okt 14'08
'menanti purnama'

Hancurkan Kotak Pandora

Tak ada suara, sepi. Sepi. Aku cari sumber-sumber bunyi yang biasa saling teriak di kepala atau hatiku, tapi mereka semua kelelahan, mereka semua terlelap. Sepi. Sunyi. Senyap. Aku terbiasa mendengar, terbiasa bising, terbiasa dengan suara-suara gaduh, dan saat ini, aku menjelajah seluruh isi tubuh, di mana sumber bunyi?

Degup jantung, tak berdetak, tak bersuara, walau masih bernyawa. Desir darah, tiada! entah mengapa. Suara-suara cacing perut pun sudah pergi ke negeri antah berantah. Gelembung-gelembung udara di kerongkonganpun tak kudapati. Kemana mereka? mereka saja tak ada, apalagi endusan nafas.
...
Aku tidak percaya dengan dewa, tapi aku yakin dengan hadiah pandora. Aku meyakini setiap kita membawa kotak pandora. Berupa apa saja. Aku baru menemukannya, dalam perjalanan yang panjang,tersesat entah kemana. kemarin, yakin benar kotak yang kubawa-bawa itulah kotak pandora, setelah jatuh bangun berusaha mempertahankannya, Tuhan bermain dengan caranya.

Tuhan, ialah maha ajaib. Ada-ada saja cara untuk selalu menunjukkan keAku-annya. Ke-Tuhan-annya. Hebat benar..

Pernah aku bercermin, tapi aku bercermin di cermin cembung, jungkir balik aku menemukan bayang diri sendiri. Oh Tuhan, salah cermin ternyata aku.

...
berkali-kali kulihat gurat-gurat di telapak tanganku. disana telah tertera jelas jalan hidupku, penyusun jalan hidupku. pertemuan-pertemuanku.............................

aaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...........entahlah! tiada lagi ide bernas.

semua dan banyak kata berlomba untuk keluar dari kepalaku, tapi tak bisa kutuang mereka satu persatu. Aku lebih tergoda mengingat, mengenang apa yang pernah terjadi, apa yang kualami enam tahun terakhir hidupku..

tak ada lagi kata...

Airmata..

bahagia, sedih, haru...semua membiru...
hanya ingin mengucapkan terima kasih, selamat ulangtahun...

selalulah seperti hari ini...selalu lah.... bahagialah! selamanya..

10 Okt 2008

11 October 2008

Sabit Merah Berbatas Bingkai Kaca2 (Doa tanpa Kata)

Sekejap, melupakan yang luput. padahal, yang sesaat itulah yang abadi. luput dari mata yang cukup awas, luput dari hati yang nanar mencari.

selembar demi selembar terbang melayang perlahan hingga ke bumi. helai nya tak lagi hijau segar, telah menguning sampai kering. pelan-pelan terjatuh, disunting angin yang bergerak lamban, melayang beberapa gerak, sampai akhirnya menyentuh bumi. helai-helainya tak lagi hijau, sudah kuning sampai kering.

buku-buku helaian seperti urat-urat yang tertanam, guratan-guratannya ibarat garis-garis tangan penentu takdir, semuanya pun akan demikian. akan terjatuh jika dahan tak kuat menyanggah. gravitasi terlampau kuat untuk dilawan.

rerumputan tidak menguning, di atasnya terserak daun-daun tua usia. daun-daun menguning sampai kering. rerumputan tak lagi berbasah embun, kering menawarkan kerinduan pada matahari.

aku lupa, kalau aku adalah matahari.

sementara kau adalah udara.

...
aku menjadi berguna, hanya karena ada bumi. ada manusia-manusianya yang takkan sanggup hidup tanpa cahaya. pun dirimu bermakna hanya karena ada manusia-manusia bumi, ada elemen-elemennya yang senantiasa butuh dirimu, udara.

mana yang lebih vital? tentu saja engkau. aku bukan siapa-siapa.

...

ini hanya sebuah penyadaran keberadaan. tidak lebih dari itu. suatu malam, seteah cukup lama bercengkerama, bulan tak lagi snaggup berpijar. dia bilang, pinjam dong sinarnya, hutangku kubayar saat siang, tak lah aku berani bersaing denganmu.

kau tak perlu bersaing, bulan.. jawabnya ialah kau pasti akan kalah. aku terlampau kuat untuk kau saingi. tapi, kau tetap mempunyai ruang di hati sesiapa-sesiapa. kau selalu dirindukan. cahayamu yang berhutang padaku dan belum lunas kau bayar itu ternyata mampu membius mata-mata sesiapa-sesiapa.

temarammu justru mengunci mata demi mata. sementara aku, tidak ada yang berani atau mampu menatapku, tidak ada yang tahu benar bagaimana bentukku. mereka hanya tahu rasaku. di saat aku sedikit terik, mereka mengeluh dengan meminta awan cepat-cepat bergulung menyapuku. saat aku sedikit malas dan bersembunyi di balik mendung, mereka mengumpat 'kemana saja aku?'

apa yang mereka tahu tentang aku?

Bulan yang masih sepenggal, baru seperempat purnama, sabit merah... lihat ke bumi sana, ada yang menatapmu, di balik kaca.

...

begitulah semestinya ia. begitulah semestinya.. begitulah...

09 October 2008

CHANDRA

Bulan memudar, hujan melunturkan malam. Langit selatan lebih muda, lebih putih seperti sediakala. Manakala mendung beranjak pergi menjauh dari sisi senja, semesta berubah membiru serentak tiba-tiba. Hujan, dan alam tak lagi bersuara.

Tetes-tetes, lebih tepat gericik terdengar jelas. Ada lagu, yang berlomba tanpa notasi. Ada kidung yang bersuara tanpa melodi, bunyi alam. Bunyi malam dibasmi hujan, bulan memudar.

Di siluet malam aku coba bayangkan. Tiada bulan, tiada cahaya, hanya beberapa sinar lampu membantu pupil mata. Di siluet malam aku menggambar sketsa. Sebuah wajah yang sangat dekat, tapi tak sua berwujud. Namanya atau bayangnya senantiasa terpatri, dalam bilangan entah.

Entah ialah nisbi. Saat aku bicara entah, saat itulah sesuatu terjujur dalam aksara. Entah menjadi sesuatu yang absolut, yang nyata dalam fatamorgana. Entah ialah tanpa. Tanpa awalan, tanpa akhiran hanya berupa garis tanpa titik.

Entah ialah berbicara tentang dia. Aku gambar kembali sketsanya. Nah, begitulah semestinya ia.

Bulan memudar, dihabisi hujan pertama.

Dalam tiap tetesnya, membawakan gelembung-gelembung kenangan masa lalu, sejarah-sejarah kecil yang mencipta nilai ku untuk saat ini. Yang membentuk diriku untuk saat ini.

Keberadaannya...

Pada tiap gelembung kosong itu berisi penuh sketsa-sketsa cerita, seperti sebuah lembar film yang harus dipotong dan disatukan lagi. Atau seperti lagu analog yang dengan manual dipadukan, potong, sambung.

Sambungan cerita yang tidak ingin kutuntaskan.

Tuntas...

Tuhan, kuharap aku tak mengenalnya. Tak mengenal kata tuntas.

Aku ingin menulisnya di sini, aku ingin mengabarkan sesuatu untuknya, karena aku tak bisa membisikkan lekat di telinganya. Hanya berpesan lirih pada angin supaya sudi kiranya menjadi menyandang wahyu, tolong.. sampaikanlah padanya;

'hanya dia yang tersisa dari sekian banyak cerita'

...

Setelah hujan ini usai, aku ingin lebih mengenalnya. Lebih merasakan keberadaannya. Lebih bersyukur memilikinya. Lebih sadar kebaikannya.

Terlalu jauh aku pergi menjelajah mencari sosok sahabat, padahal ia begitu lekat. Padahal ia sudah cukup dekat, tak semestinya aku melompat, karena dengan berjinjit saja sudah dapat.

Chandra di usung malam, di sudut selatan sana ombak berdesir riang, di sudut selatan sana, kupastikan langit tak diam. Mereka bercengkrama, mereka bertepuk tangan, mereka mengucap syukur. 'untunglah, kautemukan segera'.

Mungkin begitu.

Okt, 8 2008
20:49
rinai hujan di tepi jendela



(untuk salah seorang sahabatku C.Warga Negara Republik Indonesia, terima kasih untuk keberadaanmu, terima kasih Uda)

07 October 2008

Susun Saja!

Bertemu lagi. Dan matanya... seperti itulah.

Dia bercerita dan aku menangkapnya. Kuikuti dengan bola mataku, bergerak cepat dengan takjim. Matanya, bersuara dan berlompatan ingin berkisah. Mataku menyorot, kemudian berpencar lagi untuk merangkaikan arah yang dimaksudnya. Puzzle-puzzle yang berserak, dia mengucap kata itu 3 kali. Kalimat yang juga sering kupergunakan, kalimat yang sangat tidak asing bagiku. Kalimat yang mungkin juga kalian pergunakan. Aku seketika lalu ingin menggantikan kalimat bersaudara itu dengan kalimat lain yang lebih linuwih, keping mozaik misalnya, atau apalah. Tapi, tak jadi sajalah..

Aku terheran-heran, tak hanya jemarinya yang memikat, tapi matanya jauh lebih menakjubkan. Jemarinya seperti rayap, begitulah.. mungkin berjuta aksara yang dia lahirkan juga tak bisa mewakilkan. Aku yakin dia menjelajah 26 gua dengan karakteristik dan fungsi berbeda, dia tidak akan tersesat. Tidak, gua-gua itu bukan labirin baginya. Tidak seperti kebanyakan semut pemakan rayap yang melongo di hadapan satu gua. belum lagi bernyali masuk ke sana sudah nak ubah masuk ke gua lain. Apa pula..

Benar teman, dia seperti rayap. Bedanya, rayap yang satu ini canggih bukan main. Bukan rayap sembarang rayap, karena yang satu ini bisa menggerogot meranti dengan nyalinya sendiri. telur-telurnya ia sembunyikan dan bila waktunya tiba, menetas mereka semua, habis si meranti tinggal bubuk. Meranti muda, kasihan benar ia..

Lihatlah, di balik tubuh kecil, mengkilat dan bening itu, ada nyawa. Nyawa nya kutemukan pada setitik mata, dan setitik mata itu menggandeng nafsu ingin tahuku menemukan api menyala, yang berkobar tak hendak redup. Api semangat! Api yang di sulutnya pada 26 gua tersebut, yang kemudian berpijar menjadi berjumlah entah. banyaknya duhhh Tuan, tiada sesiapa menahu! tiada sesiapa mampu menjumlah.

Sekitar 590.976.000 angka, sama dengan 9.849.600 pengulangan di atasnya, sama dengan 164.160 bilangan di atasnya, sama pula dengan 6.840 putaran matahari, itulah jarak kami.

Tentu aku tak bisa benar-benar menangkap matanya, mana mungkin, ia melesat terlampau cepat. Tapi aku mengamat, diam. memusatkan dengan bodoh semua indera, semua mata, tidak menangkap, hanya berusaha menjaring, membubuh ikan dengan tangan. Lepas pun tak mengapa, yang jelas dia pernah melalui tanganku. Tahu lah aku seberapa licinnya dia, kenallah aku seberapa tajam sisik-sisiknya. tahulah aku seberapa linuwihnya.

Bertemu lagi, dan matanya. Begitulah..

Aku yakin, ada banyak mata yang dihipnotisnya, ada banyak mata yang telah disulut semangatnya, ada banyak mata yang telah dihidupkan jiwanya, ada banyak mata yang mampu kembali membaca, ada banyak mata yang tak lagi lelah menatap, ada banyak mata yang tidak hanya tidur belaka.

Susun saja!

Aku meneriaki diri sendiri, sama seperti aku berikrar; "Hajar!".

4 Sept 2008

04 October 2008

Tutup Mulutmu, Perempuan..!

museum Affandi, sore hari

pilar-pilar tak pantas disapa pilar,
ada dia di sana..
ada mereka juga,
dan aku tentu saja.

dia adalah mereka..
mereka adalah pojok-pojok itu.

semua hanya pura-pura,
tapi mereka tidak menjalani
dengan kepura-puraan..

ah, pilar-pilar ceking..
apa yang salah di sini?

apakah pigura-pigura dengan muatan
berbagai karya ini?
ataukah gedhek dari anyaman
bambu yang menjadi langit-langit ini?

aku tidak mengerti dengan bangunan
berbentuk entah ini.

kepalaku semakin pening..
tubuh-tubuh mereka semakin mengabur.
hanya baris-baris putih yang kian tampak..

aku pergi.
keberadaanku, cukup untuk menegaskan
aku diluar lingkaran mereka,
seberapapun aku berempati pada mereka..

Yogyakarta
15.55
23sept2008