30 December 2008

LUH BERTEMU JINGGA DI MATA ROMO

Tidak ada tempat yang tidak indah, semua indah. Romo mengingatkan jikalau semua tempat ialah indah. Hanya kawula yang membedakannya. Tinggi rendahnya gunung, di tebing atau lembah. Sama saja, semua indah. Tapi kawula yang membeda-bedakannya.

Tapi Luh merasa, tempat ini jauh lebih indah dari yang biasa ia temui. Romo bilang, itu karena kebiasaan saja. Yang tak biasa terasa lebih baik. Mungkin Romo benar.

”kita akan mendaki lagi Romo?”
”bukankah engkau hendak mencapai puncak, Ndhuk?”
”nje Romo. Apakah di sana lebih indah dari di tempat ini?”
“bisa jadi, karena kita tidak biasa berada di sini”
“Romo, itu pohon apa? Aromanya begini segar..”
“itu pinus, di sebelah barat itu cemara-cemara”

Luh memungut pinus-pinus kering yang terjatuh di tanah. Ia menyimpannya dalam sisa jarik yang membalut sebagian tubuhnya. Tak habis takjub Luh. Padahal tempat ini tidak jauh dari pondok mereka. Tetapi mengapa baru sekarang Romo mengajaknya ke tempat ini?

Tanjakan semakin terjal. Jalan setapak yang harus dilalui terlalu licin, dan Romo harus membuat jalan baru. Luh menggenggam jemari Romo erat. Tak sekalipun hendak dilepas jari jemari Romo. Luh tak pernah sempat melihat pemandangan di depan, tidak juga kiri ataupun kanan. Yang ia tahu hanya punggung Romo. Tubuh Romo yang berada di depannya.

”capek Ndhuk?”
”mboten, Romo..”
Kalimat itu terucap dalam nafas yang tersengal. Luh sadar ia kelelahan, tapi ia masih ingin terus. Ia seperti tertantang untuk terus mendaki. Telapak kaki Luh sudah terluka sedari tadi. Ranting-ranting kering, juga ilalang menyayat tanpa disadari.

Romo berhenti.
”tak usah dipaksa, mata kaki mu lemah”
”tidak Romo, aku masih kuat” nafas Luh lebih terbata.

Romo mengerti, lalu menarik lengan Luh dan mendudukkan di pangkuannya. Detak jantung Luh begitu kencang. Luh merapat pada dada Romo. Anehnya, nafas Romo tetap teratur, detak jantungnya pun sama saja seperti sediakala.

”Romo tidak lelah?” tanya Luh yang kemudian hanya dijawab dengan sebuah senyuman. Entah, Luh masih belum mampu mengartikannya.
”lihat ke sana Ndhuk..” telunjuk Romo mengarah ke selatan.
”wahhh... indahnya Romo..apa yang berkilatan itu Romo?”
”itu lautan Ndhuk, perlu dua hari berjalan kaki ke sana dan seperempat hari berkuda”
”lantas, ada apa lagi di sana Romo?”
Kemudian pandang Romo sejurus ke depan tak bergeming. Romo seperti tertatih menuntun pikirannya. Wajahnya seketika membeku. Kiranya terowongan memorinya tengah berkelana, menyusuri jalan-jalan setapak masa lalu.

Di bawah awang-awang kesadaran, Luh memperhatikan guratan wajah Romo. Luh masih tak mengerti. Luh tak faham makna diam Romo. Tak biasa Romo tak menjawab pertanyaannya. Satu hal yang Luh tahu, bahwa ini adalah saat nya menunggu, menunggu Romo terbangun dari diam. Luh tak punya kemampuan bahkan keberanian untuk membuyarkan lamunan Romo.

Satu bulir airmata jatuh di pipi Romo, seketika diseka dan Romo mengalihkan pandang. Terlambat, karena Luh lebih dahulu menangkap. Hanya saja kali ini Luh tak berani bertanya, bahkan berkomentar. Entah, ada getar aura yang seperti membungkam mulut Luh.

Hanya matanya yang sesekali beralih antara hamparan pemandangan dan wajah Romo.

Sepertinya, keseimbangan jiwa Romo berderak-derak.

”di sana ada Jingga, anakku.. ada senjakala yang begitu indah bila kita amati dari sini”
Luh masih menanti kisah selanjutnya, bibirnya masih kaku bergerak.

”lalu, di sana ada sebuah kenangan indah Ndhuk.. dulu di sana, ada sepasang muda-mudi yang memiliki sebuah harapan besar akan cinta. Kiranya, Gusti Sang Hyang Wihdi tak berkenan. Maka jadilah cinta mereka direjam aral”

”ceritakan Romo..” pinta Luh, akhirnya.

”ada seorang pemuda, Ndhuk.. yang hidupnya berkelana dari satu desa ke desa lain, ia berniat menjadi ksatria, tapi darah yang mengalir tak menghendaki demikian. Pemuda ini lalu jatuh cinta pada seorang perempuan yang ditemuinya saat mencari tanaman obat.

Beberapa kali pemuda ini mengamati perempuan itu dari pepohonan. Tiada nyali untuk mendekati. Hingga suatu ketika, pohon Maja tempat berlindungnya itu, menggugurkan buahnya. Sehingga perempuan itu mengetahui ada seorang pemuda yang tengah mengamati.

Anehnya, perempuan itu tak tampak ketakutan atau menaruh curiga. Baru belakangan, pemuda tersebut mengetahui kalau si perempuan telah tahu dirinya diamati sedari pertama.

Jiwa asmara menggetarkan sang pemuda, tetapi cinta itu harus segera dipupusnya, seberapapun menarik dan ayu si perempuan. Perempuan itu ialah seorang Padmi (istri) Tumenggung”

”Padmi Tumenggung, Romo? Bagaimana mungkin dia berkeliaran mencari tanaman obat?”

”itulah Ndhuk yang juga membuat bingung si pemuda. Mana pernah ia menduga sebelumnya. Kau tahu Ndhuk, perempuan itu ialah perempuan yang welas asih, ia seringkali menyaru (menyamar) untuk bisa mengobati kawula serta mencari bahan obat.

Orang banyak memanggilnya Jingga. Karena dia akan pulang saat langit sudah kemerahan, di saat senjakala. Dan para kawula yang membutuhkan pengobatannya akan kecewa, karena mereka tidak tahu hendak mencari dimana.

Dan tidak ada yang tahu kalau perempuan itu ialah istri Tumenggung”

”Romo, apakah Den Rara Jingga juga mencintai pemuda itu?”
”mungkin.. kurasa iya.. tapi entahlah.. apakah ada cinta untuk seorang yang telah termiliki?”
Jawaban Romo seperti sebuah pertanyaan untuk dirinya sendiri.

”mengapa Romo? Bukankah dulu saat aku ingin memelihara Beranjangan dan membuatkannya sangkar, Romo mengatakan itu tidak perlu, karena bila aku mencintai Beranjangan itu, maka aku tidak perlu memilikinya. Aku bisa terus mengamatinya dan sesekali ia bisa main. Begitu kan Romo? cinta tak harus memiliki kan Romo?”

Romo tersenyum. Belum sempat menjawab, Luh sudah melanjutkan lagi.

”Romo mengenal Den Rara Jingga?”

Seperti ada cairan kental dan pahit yang sudah terlanjur berada di kerongkongan sehingga mau tak mau Romo harus menelannya.

”Gusti...” desahnya. Lalu Romo mengusap wajahnya. Sedetik kemudian, Romo tersenyum kembali pada Luh. Senyum yang lagi-lagi bernada entah.

Romo berdiri dari duduknya.

”tunggu di sini Luh..” perintah Romo seraya bangkit dan berjalan pelan mendekati pohon bambu. Diam sebentar mengamat, kemudian ia mematahkan tangkai bambu muda. Romo memutuskan helai daun, membawanya pada Luh dan kemudian duduk lagi di samping anak gadisnya itu.

Romo memilin ujung daun bambu, setelah itu meniupnya. Ajaib! Alunan irama nan merdu mengalir dan membahana di sambut tebing yang landai di hamparan tepat di depan duduk mereka.

Tapi Luh merasa ngilu mendengar sayatan irama itu. Lagi-lagi, berpengertian entah.

Romo menghentikan lahirnya suara-suara itu. Lantas Romo menarik lengan Luh dan mendudukkannya di pangkuan kembali.

”sini Ndhuk.. duduk di pangkuan Romo”
”nje..”
”kowe anak pinter Ndhuk.. Romo akan cerita tentang Betara Wisnu..”
”nje Romo.. aku siap mendengar..”
”jadi Ndhuk.. Betara Guru memiliki delapan anak, yakni Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu, Ganesha, Kala dan Hanoman. Yang kelima inilah yang kemudian memerintah 9 tempat, diantaranya Gunung Merapi, tempat kita bernaung ini Ndhuk..

Hingga kemudian Wisnu jatuh cinta pada seorang Putri dari Medang yang menjadi Lembu Peteng (simpanan) Sang Betara Guru sehingga menyebabkan Betara Guru murka bukan kepalang. Dan Betara Wisnu diperintahkan hengkang untuk bertapa.

Sampai nanti, pertapaan Betara Wisnu dihentikan saat akan melawan Raja Watu Gunung, Penguasa Kerajaan Giling Wesi”

”siapa Raja Watu Gunung itu Romo?”

”Raja Watu Gunung ialah Raja dari Kerajaan Watu Wesi, Ndhuk.. yang memiliki Permaisuri (istri) yang ternyata juga ibu kandungnya (inget cerita Sangkuriang Toh?:P). Dan atas kehendak Permaisuri, Raja Watu Gunung diminta untuk naik ke khayangan demi melamar bidadari, alih-alih melamar bidadari Ndhuk.. Permaisuri berniat membunuh suami yang sekaligus anaknya itu.

Dan Permaisuri meyakini dengan naiknya Raja Watu Gunung ke khayangan, maka para Dewa akan membunuhnya. Ini ialah permintaan langsung Permaisuri terhadap Betara Guru.

Lalu Betara Guru meminta para Dewa untuk mengahadapi Raja Watu Gunung, hanya saja para Dewa tiada yang sanggup. Sehingga kemudian Betara Guru meminta pertimbangan Narada untuk memberi petunjuk siapa yang mampu menandinginya? Dan Narada mengusulkan Betara Wisnu.

Akhirnya, Betara Wisnu menang dalam menghadapi Raja Watu Gunung.

Tapi delalah, Permaisuri membuat dunia khayangan geger, dengan permintaannya untuk menghidupkan kembali suaminya yang telah mati.

Dan untuk Betara Wisnu, atas kemenangannya itu ia diberkahi kekuasaan atas Markapada, alam para lelembut (makhluk halus), Gunung Merapi, Pamantingan, Kebareyan, Lodaya, Kuwu, Wringin Pitu, Kayu Ladeyan dan Roban.

Sementara setelah itu, Giling Wesi diperintah oleh Betara Brahma.

Tapi Ndhuk, yang hendak Romo ceritakan ialah mengenai perasaan cinta Betara Wisnu. Kendatipun cinta itu maha suci, tetapi ada tempat-tempat dan keadaan dimana cinta itu tak lagi menjadi suci, justru cinta mencipta jenang (bubur) lumpur untuk siapa saja yang tak mengindahkannya”

”tetapi Romo, mengapa Betara Wisnu harus dihukum atas cintanya Romo?”
”Ndhuk.. cinta memang buta, tetapi kita tidak buta..”
”tapi Romo, jika Betara Guru berbuat alpa, maka siapa yang akan menghukumnya?”
”masih ada Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Tunggal, anakku..”
”ahh... Romo, bukankah cinta itu adalah anugerah?”

Romo kembali terdiam sejurus. Tak mampu bersuara apapun. Kenangan dan ingatannya kembali tercabik-cabik.

Ingatannya pada Jingga, perempuan yang menggetarkan sukmanya. Yang mampu mempermainkan debar-debar aneh dalam pusara hatinya. Yang hanya mampu dijamahnya tapi tak boleh dimilikinya. Sudah lama ia tak mengamat senjakala di kejauhan.

Sementara Luh memperhatikan manik mata Romo. Dan hari itu, Luh menemukan cinta. Cinta lain Romo, yang telah dibungkamnya dan sekarang meronta hendak keluar. Ini cinta Romo yang dulu, bukan pada Ibu. Tapi milik seseorang bernama Jingga. Kelak, saat Luh sudah sedikit lebih dewasa, baru ia akan mengerti, betapa cinta mampu menjungkirbalikkan hidup seseorang. Tak terkecuali dirinya. Tak terkecuali Romo. Tak terkecuali Betara Wisnu kendati ia seorang Dewa.

Hari ini, Luh bertemu Jingga di mata Romo.

Tapi dalam hati, Romo berkali-kali berujar ”nrimo ing pandum, Nok... ’nrimo’ lembah manah dan tansah legawa”

---o---

Jogjakarta dalam hujan di sisi jendela,
29 Desember 2008
23:09
(ditemani Satu Hati:Dewa19)

NB: terima kasih untuk Romo atas inspirasi yang tak pernah tuntas. Makasih juga untuk sahabat yang kutelpon malam2 untuk kutodong bercerita tentang kekasih Betara Guru, terima kasih untuk Sachy anakku sayang yang sudah bisa nembang-in tembang yang dikarang ’ngawur’ dengan mama nya di tulisan LUH.
Mohon maaf jika mungkin terdapat kekeliruan, terutama bahasa dalam tulisan ini. Maklum, sampai detik ini saya masih belum mampu berbahasa Jawa. Hanya ingin belajar.

22 December 2008

LUH

“Luh.. jangan terlalu jauh, pulanglah..”
“sebentar Ibu. Aku tak jauh. Hanya di halaman belakang, aku mencari Romo”
“Romo mencari kantung semar, tak usah kau turut”
”Ibu... aku mencari anggrek bertotol hitam. Boleh yah..”
Merengek sedikit, Ibu pasti memberi ijin.
”pergilah..hati-hati” benar saja.
”terima kasih Kanjeng Ibu..”

Luh melesat, meninggalkan pekarangan rumah, menembus rerimbunan hutan. Aneka paku tumbuh dengan sangat subur, terhalangi tingginya pepohonan tua, semakin besah, semakin lembab, semakin tumbuh subur paku-paku itu. Lebih dari 3 meter. Helai-helai besarnya menjuntai dengan beberapa di tengah menggulung masih mengantuk enggan menjadi daun-daun.

Luh berjalan sembari menebar tembang. Tembang yang selalu itu-itu saja. Karena Romo dan Ibu hanya mengajarkan itu. Tiada yang lain..

Menika tembang sae,
Lare-lare sami bungah,
Seneng..seneng..
Dolanan kanthi ati bungah,
Ingkang mirengaken tumut bungah,
Ayo para kanca sami nembang,
Tembang ingkang nengsemaken


Tiba-tiba, langkahnya berhenti. Ia menemukan seseorang, seusia dengannya. Berkain lurik hitam dengan dada terbuka. Bocah itu menebas-nebas rerumputan di sekeliling dengan batang bambu panjang setebal ibu jari.

”berhenti! Kau melukai mereka!” Luh berteriak, menegur.
Bocah lelaki itu tampak bengal. Tak peduli suara Luh yang mengguntur. ”berhenti!”perlu sekali lagi Luh menegaskan.

Bocah itu berhenti. ”siapa kau?”
”harus nya aku yang bertanya. Siapa kau? Aku Luh!”
”lalu kau siapa? Kau yang menanaminya? Kau yang menghidupinya?”
”ya bukan aku... tapi kata Romo, mereka tak pantas dikasari! Mereka juga berhak hidup”
”Romo mu ngawur!”
”kamu yang ngawur!! Romo tak pernah salah” Luh nyaris terisak, tak terima Romo dihina.
”hah!! Menangis saja! Sama persis seperti NAMA mu!! Tak lebih dari airmata!!”

Luh berlari kembali. Luh menerabas pepohonan lebih cepat. Nafasnya memburu. Pertama, ia tak pernah bertemu anak sebayanya, kedua, itu kali pertama ia bertemu bocah sebaya dan laki-laki pula, yang kasar tindakan dan kata. Lalu, itu kali pertama Romo nya dikatai ’ngawur’. Siapa yang waton?

Dan terlebih, ia dikatai cengeng. Namanya disinggung.

Nafas Luh tersengal di bale depan rumah. Hawa panas itu terus memburunya. Jiwanya memberontak, berang. Siapa dia? Siapa?? Tiba-tiba membuat sesak begini? Siapa dia? Anak dewa atau siapa?

Luh menendang pohon jambu air yang berbuah lebat, tiga empat buah berjatuhan. Diambil jambu susu itu satu dan diraupnya cepat. Emosi.

Sudah habis keempatnya, ia hendak menendang lagi. Tapi diurungkan niatnya. Ia malah bergegas ke timur. Pancuran dibuka, mengalirkan air segar dari mata air di atas. Segarnya menyembur langsung ke pusat saraf. Ceeeessss, wajah Luh terasa segar. Tambah lagi diteguknya berkali-kali.

.....

”Romo, apa arti LUH?”
Romo terus menyiangi daun-daun sirih. Ibu membantu dengan menggepruk gambir dan menempati kapur ke dalam batok-batok kelapa.
“Luh itu air mata, Ndhuk”
“mengapa aku diberi nama LUH? Mengapa aku diberi nama airmata Romo? Mengapa Romo? Teratai di parit halaman rumah saja punya nama indah, Padma. Bulan yang bopeng-bopeng itu punya nama Sasikirana, bintang yang kecil dan tak mungkin tergapai itu bernama Lintang, lantas..mengapa aku dinamai airmata, Romo?”

Romo beralih menatap mata anak semata wayangnya. Anak gadisnya itu berumur sewindu, seusia dengan pohon sawo di belakang rumah, 4 purnama lebih muda dari pohon asam di sebelah baratnya.

Romo masuk ke dalam bilik. Dan kembali membawa sebuah kotak kayu berukir yang sangat indah, Luh tak pernah melihat sebelumnya. Kemudian Romo mengeluarkan sebuah benda menyerupai keris kecil seukuran telapak tangan, tetapi lebih mirip perhiasan. Ulirnya halus, tetapi tegas. Ada guratan melati di pangkal dan lidah ular di ujungnya yang runcing.

“cundrik ini adalah mahar saat menikahi ibumu, Ndhuk..
Romo menawarkan kesusahan, bukan surga yang indah untuk ibumu. Tapi Romo tak pernah bermaksud memberi neraka untuknya. Romo mengajak hidup susah, untuk bahagia. Dalam serba susah dan banyak airmata kami itu, kami mendapat anugerah, Ndhuk. Gusti Sang Hyang Widhi menitipkanmu dalam rahim Ibu. Airmata lagi-lagi menemani kami. Airmata tawa, gundah, nestapa, lara, hingga legawa.. Cundrik ini yang menjadi saksi, ia tahu airmata seperti apa yang mengaliri mata kami. Bahkan, Cundrik ini adalah benda paling berharga yang kami miliki sebelumnya, setelah itu.. Cundrik ini tak ada apa-apanya setelah kelahiranmu.
Cah ayu, LUH itu adalah kebahagiaan.. dan hidup ini selalu dipenuhi dengan airmata
Mengertiyo nok.. cah ayu. Romo, tak punya nama lebih indah dari itu”

Airmata Luh mengalir deras, tapi bukan sedih. Melainkan haru. Ia bersalah sangka pada Romo dan Ibu.

”Romo, Ibu.. aku harus pergi sebentar..” Luh segera meninggalkan kedua orangtuanya. Ia kembali masuk hutan, secepatnya. Ia mencari bocah lelaki yang kasar tadi. Ingin diutarakan semua yang disebut Romo.

Dicari berkeliling, tetap saja Luh tak menemukan. Hingga kemudian Luh memutuskan duduk di tempat semula pertama menemukan bocah itu. Di bawah pohon kapuk, yang kapuk-kapuknya basah tak mampu terbang karena lembab hutan.

”mana? Hanya pengecut yang berani tampak sesaat, lantas minggat begitu saja! Mana kamu? Yang hanya berani dengan rumput-rumput tak melawan. Sini! Biar kuberi tahu, kalau aku bukan anak cengeng seperti tuduhmu!”

Sia-sia. Karena suara Luh hanya memantul-mantul. Tapi tetap tak ada yang menyahut. Luh tertunduk. Ia mendapati sebilah bambu yang ia kenali, tadi dipergunakan bocah itu untuk mengobrak-abrik rerumputan. Sesuatu tertera di sana;

“airmatamu bersuara, sementara airmataku beku. Aku butuh emosi, emosi seperti milikmu. Kita bertemu lagi esok, dikala airmata dan emosi bisa bersatu. Ranggas”

Luh tersenyum. Hummm, namanya Ranggas. Bocah lelaki itu bernama Ranggas.

Dibawanya bilah bambu itu pulang. Akhirnya, ia akan mendapat sahabat, walau dengan perkenalan yang aneh. Perjalanan pulang, ia menembang lagi, dengan tembang yang sama;

Menika tembang sae,
Lare-lare sami bungah,
Seneng..seneng..
Dolanan kanthi ati bungah,
Ingkang mirengaken tumut bungah,
Ayo para kanca sami nembang,
Tembang ingkang nengsemaken



Jogjakarta,
20 Des 2008
17:53

(met ultah ke 51 mah..) Untuk Mamah dan sesuatu yang berlabel 'ketulusan' (reposting)


..........................................................................................................................................................................

Mungkin semua akan melalui titik rintang yang tak sanggup dibayangkan.
Tapi, apalah arti hidup ini tanpa mu..
apalah makna hidup ini tanpa doa-doamu.
Apalah kesanggupan yang mampu menuntunku?

Semua suaramu mengalir seperti udara,
pada tiap kata yang penuh dengan doa.
Pada tiap titikan air mata yang selama ini kau sembunyikan.
Apa arti hidup ini tanpa kasih sayangmu.
Apa arti kebesaran ini tanpa kebahagiaanmu..
apalah kekuatan yang dapat membangunkanku?

Jalan panjang tiada pernah berkesudahan.
Kau lalui hanya dengan sebuah percakapan.
Percakapan dengan Tuhan.
Sujudmu, yang tak lain untuk aku.
Seakan hidupmu tidak lagi untuk dirimu.
Apa yang sanggup aku berikan Bu?
Tidak ada… selain kata maaf dari ketidakmampuan.

Di sudut kecil hatimu yang terluka,
kau tetap tegar menantang dunia.
Kau yakinkan bahwa hidup lebih indah dari sekedar kematian.

Kau benamkan harapan-harapan pada kantung matamu yang perlahan menyiratkan kelelahan.
Kau tidak pernah merasakannya.
Kau tidak pernah lelah.

Apa yang bisa aku bagi Bu?
Menjadi pendengarmu pun aku tak sanggup.

Dan aku tatap engkau yang berjalan dari balik jendela.

Hanya Tuhan yang sanggup membahagiakanmu, bukan siapa-siapa.
Karena anakmu ini hanya bisa seperti ini.
Diam-diam menangis, menyesali keangkuhan selama ini.
Dan seumur hidup tetap menjadi bayi mu.

Diam-diam ingin selalu mendekapmu,
diam-diam ingin bercerita semua keluh kesah yang ada,
walau itu tak jadi nyata.

Ibu.. hanya kasihmu…yang seperti udara. Bukan siapa-siapa..


(hari ibu atau apa, aku tak peduli...yang jelas...selamat ulang tahun untuk besok mah... aku mencintaimu mah... dengan sesuatu yang 'tiada' ini..."

20 December 2008

Poros Gasing

Kembali ke dunia nyata.. dua minggu lalu, rasanya bahagiaaa.... banget...adik-adik tercinta dateng, ditambah mamah..rindu nya itu loh...terobati sekaligus.
segala ulasan tentang masa lalu.. cerita-cerita impian dan cita-cita..pertengkaran-pertengkaran yang masih saja..adu fisik yang sekarang tak lagi dimenangkan olehku...ya gila aja...sekarang anti dan niar membentuk sekutu sendiri. sementara mamah lebih seperti wasit yang gak fair... anak nomor satu wajib ngalah...halahhh....

tapi, aku rindu lagi...

..................

kemaren, mungkin jadi hari paling malas sekaligus ingin cepat2 pulang ke rumah. malas..karena sadar, akan mendapati rumah yang tak seperti hari sebelumnya. tak ada omelan mamah, tak ada jeritan-jeritan dan rajukan anti, tak ada lagi godaan-godaan sachy untuk eyangnya.. pasti sepi.

tapi, yang ingin membuat lekas sampai di rumah, tentu lah memeluk sachy dan menghiburnya atas rasa kehilangannya yang sangat. ahhh....andai melihat bagaimana wajah sachy ketika mengantar eyang dan tantenya ke bandara di paginya...hm, nelongso..

pulang ke rumah, sachy tidur. mbak ida nonton tv.
"sudah lama sachy tidur mbak?"
"dari jam 3"
"nangis ga dia?"
"iya, cari ibu"

aku baring di sisi sachy. mencium pipinya yang lembut..

tak sampai 10 menit, sachy bangun. matanya mendapati ibunya.
ini kalimat pertama yang kemudian diucap sachy.
"mah.. kakak tadi mimpi, eyang ke Jogja dan kakak maen dengan tante anti.. (sambil celingukan) kan...bener, kakak hanya mimpi, tuh...eyang nggak ada"

(apa yang bisa kulakukan selain menangis dalam hati?)

.....................................................................................

di hari yang sama, seorang sahabat meminta restu ingin pergi, mencari dirinya sendiri. aku seperti terusir sebagai temannya. sudahlah... tak mengapa.

untung saja ada sachy. benar juga nak...anggap saja kenangan manis yang pernah terlalui sebatas mimpi. kalau menyenangkan, anggap itu mimpi indah. kalau menyedihkan, anggap saja itu mimpi buruk...

and i don't have any reason to believe, that all of my dream will come through...

.....................................................................................

kamis lalu, berempat ke Prambanan. aku, anti, suamiku dan mamah. tapi, tentu lah suami lebih memilih menunggu di mobil, sesekali ke mushola.

wajah anti.. mamah, kucuri berkali-kali. Tuhan, beri kami umur panjang untuk dapat bertemu lagi.

di hari pertama kedatangan mamah, satu yang ditanyakan;
"Belia, kamu bahagia?"
SHIT!! aku mengumpat dalam hati. tentu saja tak dapat kujawab. bahagia dan tidak itu bedanya tipis. setipis selaput dara. ada yang elastis, ada yang super duper sensitif.

tapi mah...ini jawabannya. baru anakmu temukan setelah membelikan sebuah gasing untuk seorang teman.

"di saat gasing ini diberi gaya tekan yang kuat dan disentak, maka gasing ini akan berputar, memoros. begitu juga manusia. saat kita diberi tekanan yang kuat, maka, diri kita akan menyelaraskan tekanan itu, menyeimbangkan dengan satu titik tolak yang tepat. tetapi, jika sentakan itu tak tepat, maka laju gasing akan sempoyongan. begitupun kita, akan menempuh mana saja, untuk kemudian jatuh"

mah.. tentulah anakmu ini bahagia. karena bahagia itu tidak pada hasil...tapi proses yang senantiasa kunikmati. percayalah aku, mah...tenanglah...

19 December 2008

Diskursus Part4 (Ruang Debat Hati)



..........................................................................................................................................................................................................................................................


kenapa tadi kamu nangis?
ya aku sedih lah..! nah, kamu sendiri..kenapa menangis?
ya, karena aku ingin menangis!
aneh..
menangis itu tak perlu alasan
ya gak gitu..nangis pasti ada alasannya
ya gak musti
lagi-lagi rebutan pepesan kosong!
gini loh Ma, ini catarsist..
whatever!
mbok omonganku didenger ni loh!
Romo galak..
ingat pesanku, jaga diri..jaga hati
semua orang pun kau pesankan begitu.
memang
yang jelas jaga tubuh! itu yang benar
tubuhku berontak Romo.. rindu kopi dia
boleh, tak berlebih
dasar orang tua, bawel
hei..kau dengarlah omonganku ini..
nje Romo, pripun..
satu dua gelas saja..
gelas sabun colek itu yah..haha..
Ndhuk..mbok ya nurut..manut..

sudah lah Romo, biarkan saja.. percayalah...aku baik-baik saja.

Munggah Akasa


..................................................................................................................................................................................................................................................................................


airmata..

Bukan..bukan itu,
bukan untuk mempertegas kekalahan.
bukan itu.

ini airmataku, yang tak lagi mampu kusimpan
tak lagi sanggup menunggu
airmata ini melawan tuannya.

bukan.. bukan itu,
bukan untuk meminta pengertianmu.
bukan itu.

airmata ini, hanya untuk menghibur diriku.
itu saja.

...............

aku ikhlas..
karena tak pernah menggenggam.
aku ikhlas..
senang hati menjalani.

dan saat aku tak kuasa lagi,
tak ikhlas lagi..
jangan bertanya atau mencari.
biarkan aku pergi.

mendaki angkasa..!

16 December 2008

Ratri itu Sunyi

Seperti sore itu,
beranjangan menukik mendarat
di tanah gersang dengan sejumput
biji-biji rumput lalu terbang kembali..

Jemariku memetik helai-helai
kembang gulma,
kemudian mulutku mengecap
batangnya,
tanpa rasa..
tapi tetap saja.

Sehingga,
di kala mata terjaga seksama
aku takkan terkecoh hanya sebatas
indera.

Ada rasa, yang terkecap
ada nikmat..
yang mampu bangkit dengan
membisunya indera.

ada yang kuasa atas itu, semua.
Dia; Hanya Dia

Dzat.

Jogja,
16 Des 2008
02:37 dini hari
dalam lemahnya raga

diskusi kecil, di hati sendiri

lihat romo, mata itu seperti telaga
ya, maka tataplah merapi sore ini
dan kulihat merapi di matamu

romo, kirei desu yo?
(senyum kecil),
awan putih kulihat bergeser ke timur
sebentar lagi puncak akan tertutup, romo..
dan nantinya awan-awan itu akan bergeser lagi, tenanglah..
setelah hujan, mengapa merapi secantik ini?
dia bosan menjadi garang, ma..
so desu ka?
hai, so desu
romo.. mengapa kita menatap merapi seperti ini?
teguklah kopimu, jangan bertanya.
nikmati.

nande?
nikmati, hari ini takkan datang lagi.

romo.. perlukah aku berterima kasih?
simpanlah.. tak perlu.
ini kasih.


....................

ma, merapi indah saat kita melihatnya dari jauh.
saat kita mendakinya, kita tak dapat melihatnya.


ah..benarlah demikian, romo.


Jogja, 15 Des 2008
saat merapi begitu cantik
sore hari

13 December 2008

Simpanlah dulu..

aku membatik di langit malam,
sisa hujan..
cantingku bermata runcing hitam pekat
apa artinya?
hitam langit malam,
dibalas hitam jelaga
untuk apa?
sia-sia..
lukisanku, tak bermakna

091208

12 December 2008

Untuk Suamiku di 12 Desember

Seharusnya, aku bisa
Memberimu lebih

Seharusnya, aku mampu
Mengasihimu lebih

Seharusnya, semestinya aku
Mencintaimu, lebih

Tapi inilah aku..
Yang mencintaimu dengan kekurangan
Yang mengagumimu dalam ketiadaan
Yang berdiri bersamamu,
Dalam ikatan.

Semestinya, aku bisa lebih
Lebih baik berbuat
Lebih banyak bertindak
Lebih banyak berbagi.

Inilah aku..
yang lagi-lagi masih saja berproses
menjelajahi jalan panjang kebersamaan
inilah aku..
yang masih seperti dulu,
menawarkan sebuah bentuk sederhana
untuk keutuhan.

Selamat ulang tahun Pa..
I love you, with the heart no one, but you!!

05 December 2008

Bab. 14 Sepersekian Keping Hati (Cerita yang Belum Tuntas)


Bab. 14. Sepersekian Keping Hati

Inilah waktu. Berjalan dengan cepat, tapi tidak singkat. Ayah menunaikan tugasnya hingga tamat dalam membesarkanku. Setelah aku lahir, aku diberi nama dengan pengharapan besar. Agar kelak mampu menerangi keluarga, menjadi kebutuhan bagi adik-adikku dan memberi arah untuk mereka. Kemudian, aku dibesarkan dengan kasih sayang. Walaupun diselingi kekerasan, tapi aku mencoba memahami mungkin itu adalah salah satu bentuk kasih sayang. Toh di jaman dulu banyak guru mendidik siswanya dengan kekerasan fisik pula dan semakin banyak kekerasan itu diberikan, maka kuyakin kemakin kuat lah aku. Ayah juga mampu mengajakku melewati jembatan masa remaja yang penuh pergolakan, yang penuh dengan perjuangan mencari identitas diri, yang penuh dengan perlawanan dan tuntutan untuk suatu yang baru. Ayah mampu membimbingku melompati masa-masa itu. hingga akhirnya, saat ini. Aku menikah.

Ayah menjadi orang yang paling gusar di hari itu. atau lebih tepatnya menjadi orang yang setengah linglung. Entahlah, ayah menjadi banyak melamun. Kemudian, di tengah kesibukan yang tidak terkontrol di rumah, ayah memanggilku. Mengajakku berbicara berdua saja. Matanya terpaku pada mataku yang menyorot hampa. Mata ayah berbicara, dia lelah. Inilah yang dikatakan ayah setelah terdiam sejurus.

“setelah ijab ini, kamu tidak lagi menjadi tanggung jawab ayah dan ibumu. Kamu menjadi tanggung jawab suamimu. Usiamu sudah dewasa, usahakanlah selalu berpikir bijaksana. Contohlah kedua orangtuamu. Janganlah kesalahan apa yang pernah ayah lakukan itu terulang padamu. Ayah ingin kamu bahagia, maafkanlah ayah…”

Aku bersimpuh dengan airmata yang mengalir deras. Ayah.. tidak pantas ayah berkata seperti itu. aku hanya anak tidak tahu budi ayah.. aku bukan anak yang pantas kau beri doa apalagi kau mintai maaf. Siapa aku ini ayah? Yang bahkan untuk menikah pun sangat membutuhkanmu, bahkan harus melalui tanganmu.. bukan tangan ibu, walaupun ibu yang meahirkan ku. Siapa aku ini ayah? Yang berani-beraninya menghakimimu? Siapa aku ini ayah? Manusia yang tidak tahu berterima kasih? Siapa aku ini ayah??

Tidak sepatah katapun keluar dari bibirku. Padahal seribu kosakata berputar-putar dan mencoba berontak. Aku hanya bisa menangis, kelu. Tapi di matanya.. aku melihat pengertian ayah yang begitu besar. Seakan dia berkata, “ini hari bahagia mu.. janganlah ada airmata, Nduk..kecuali itu bahagia”.

Niar masuk ke kamar. Membuyarkan keheningan di antara kami.
“Teh, kebaya nya belum jadi. Payetnya belum terpasang semua”

Aku buru-buru menyeka airmataku. Penat rasanya memikirkan detail-detail pernikahan. Bagaimana mungkin baju yang sudah dipesan sebulan sebelumnya belum rampung terselesaikan? Membuat emosi saja. Aku belum mengetahui, mengapa Tuhan membuat pekerjaan itu belum rampung. Ada yang ingin diperlihatkanNya.

Hingga kemudian, saat aku di make-up, Niar yang menyelesaikan payet dan manik yang belum semua terpasang. Aku lihat di wajahnya yang serius, sebuah kebulatan bahwa ia harus menyelesaikannya, aku lihat kasih sayang darinya yang terpancar jelas, yang sebelumnya tidak pernah dia tunjukkan.


Inikah dia.. adikku yang bertahun-tahun lalu memelukku di tepi sungai Kapuas? Inikah dia yang selalu lihai mengambil hati kedua orangtuaku? Inikah dia yang belakangan tidak pernah akur denganku? Betapa jelas Allah menunjukkan rasa sayangnya padaku. Rasa sayang yang dulu kupikir hilang dengan kehadiran Ari dan Anti. Inikah adikku, yang sewaktu kecil selalu membuat orang gemas? Dengan rambutnya yang ikal, kulitnya yang putih bersih, hidung pesek dan pipi yang tembem? Benarkah ini adikku? Airmataku kembali menetes dengan perlahan.

Aku melongok sedikit ke halaman depan rumahku. Tamu-tamu mulai berdatangan untuk menjadi saksi akad nikah. Aku melihat Ari yang masih mengenakan kaos merah kemarin sore dan celana pendek dengan badannya yang dekil berkeringat. Sungguh sangat kontras dengan penampilan tamu yang datang. Aku hendak marah, mengapa dia tidak segera memperbaiki penampilannya? Kenapa tidak cepat-cepat mandi dan berganti pakaian? Tapi kembali Allah menunjukkan..

Tidak ada wedding organizer dalam akad nikah. Yang ada hanyalah bala bantuan dari teman-teman, tetangga dan adik-adikku. Ari, terlalu banyak yang dilakukannya, bahkan untuk membuat janur dia menegaskan bahwa harus dia sendiri yang membuat, dia pula yang mengatur perlengkapan lainnya sampai ke masalah parkir yang sebenarnya sudah dibantu oleh yang lain. Tapi dia yakinkan, dia harus turun tangan. “Dek.. betapa teteh mu ini tidak pernah mengurusmu, tidak pernah memberimu pelukan seperti Niar, tidak pernah melindungimu dari anak-anak yang usil padamu, betapa teteh mu ini buta..”

Aku menatap berkeliling. Walau katanya tidak boleh, saat menanti ijab, perempuan hanya boleh menunduk. Tapi aku bukanlah seorang penurut. Moment ini kuharap adalah yang sekali seumur hidup. Untuk itu, aku harus merekam jelas dalam memoriku detik-detik ini. Wajah ayah ibuku, berbinar. Bahagia dan terharu. Senyum tipis selalu menyertai di bibir mereka. Kemudian adikku, yang sedari tadi tidak bisa diam, sekaranng duduk tenang dalam balutan kebaya berwarna emas, cantik dan serasi dengan kulitnya yang putih. Lalu Ari, adikku yang beberapa menit lalu masih kumal, sekarang terlihat begitu tampan. Dia duduk manis di ujung sana. Seakan dari senyumnya kubaca dia berkata “Teh, ganteng kan aku?” pikiranku barusan membuatku tersenyum sendiri.

Sedang Anti, sedari tadi mencoba menggodaku dengan senyum nakalnya. Anti sudah besar, sudah kelas 4 SD. Banyak yang mengatakan Anti sangat mirip denganku, kecuali andeng-andeng di wajahnya dan tentu kulitnya yang lebih gelap.

Inilah keluargaku!! Inilah yang harus aku banggakan karena aku memilikinya, karena aku adalah bagian dari mereka. Inilah keluargaku yang sempurna untukku. Keluargaku yang berproses. Inilah keluargaku, yang melahirkan aku, menciptakan karakter akan diriku di saat ini dan nanti. Dan aku menyadari sepenuhnya, aku adalah salah seorang yang beruntung.

dari satu keping hati sebuah keluarga, aku hanya sepersekiannya saja.

01 December 2008

Rindu; Terbata


..........................................................................................................................................................................
Barangkali saja..
Engkau mampu membaca
Saat aku bicara, tanpa bahasa
Saat aku berujar, tanpa kata
Saat aku berceloteh, tanpa suara

Barangkali saja..
Engkau mampu mencerna
Tiap huruf tergurat..
Ada airmata.

Barangkali saja,
Engkau mampu merasa
Ada rindu; terbata

Nop 30’08
15:13