28 May 2009

Drama 161 Menit

19:48

Ponselku bergetar, tanpa nada. Nomor ini, ada apa lagi? Benar saja. Akh, nasi-nasi di piringku belum lagi habis. Secangkir teh seduh dari pekarangan sahabat di Ponorogo, belum lagi tuntas.
“saya butuh sweater, bisa tolong carikan?,” pintaku pada perempuan berambut panjang yang hitamnya terlihat indah lurus itu.
“kedinginan lagi, Bu?,” ia sempat bertanya sembari tangannya menelusuri lemari pakaian.
“saya harus pergi, Mbak,”
“buru-buru begini?,”
Aku tersenyum, kecut. ‘apa ada pilihan lain?’, malas aku menjawab, jadi kusimpan kata-kata itu dalam hati.

19:52

Kutembus dinginnya Jogja. MasyaAllah, musim apa pula ini begini dinginnya. Satu dua bintang tampak, tapi tak kuindahkan. Yang terasa benar hanya gemeretak gigi berpadu satu, himpit-himpit saling serang di ngilu silir angin. Tanganku tak berkaus, sehingga sisipan angin cepat bergeliat masuk melalui celah buntung baju.

Sepanjang jalan, segenap jiwa, raga, karsa mengumpat sejadi-jadi, sesesak-sesak, seolah berkomplot memerintah saraf-saraf otonom untuk tak mencipta pikir sendiri. Kali ini musti seragam! Selaras!! Mengumpat saja!! Muntahkan kata serapah. Awas.. segenap aku sedang tak hendak berdebat di ranah hitam putih diskursus!! Ingat itu..

Aku hentikan sepeda motor di bawah beringin tepat di pertigaan jalan selaras terminal. Nomor lain kuhubungi, berkali-kali kucoba. Hasilnya, hanya segenap aku yang mengumpat. Sialan!! Begini rupa.. begini rupanya... Hingga ke tujuh kali, telpon diterima, dengan suara-suara musik yang jauh lebih kencang. Sial!! Aku susah begini dia malah nongkrong!!

Tak perlu berpikir lagi, aku bergegas menuju utara. Tanpa kacamata, sama saja dengan aku meraba. Pendar-pendar lampu kendaraan berebut posisi, menghantam pandangku. Maka yang kutangkap tak lebih dari cahaya-cahaya pecah, dan gerak refleksku harus bekerjasama meyakini respo, perlu menghindari, bergeser atau tetap.

Hingga di turunan ini. Yang jika saja sore atau pagi kelewat pagi, maka merapi akan terpajang sok misterius dengan gerbang berderet-deret bambu di kiri-kanan, terowongan panjang serupa lorong rahasia penghubung Taman Sari dan Laut Selatan, kukira. Bolehlah, mengira-ngira. Jalan rahasia itu tertutup, jadi sah-sah saja menebak-nebak seperti apa. Benar salahnya, bukakan dulu! Biar kujajal.

Akh…
Amarah memang senantiasa merembet, seperti merecon cabe. Serenteng cukup disulut satu. Atau beribu-ribu pun, jika sumbu itu terhubung, maka menjadi-jadilah ia. Seperti aku ini, semua orang bisa salah serentak. Semua mausia bisa terlihat seperti setan, sementara setan, lantas serta merta menjelma Tuhan. Akh… lakon apa pula itu?

20:04

Nah, aku sampai juga di rumah ini.

“tidak ada? Kemana?? Rumah sakit??”
Aha!! Sejak kapan Rumah Sakit nanggap konser? jedag jedug pula.
“memang tidak berjanji. Tapi saya sudah sms tadi. Kalau kuncinya, ditinggalkah?,”
Laki-laki Tionghoa berwajah Jawa itu masuk dan kembali dengan setangan kunci. Kulihat ia sedikit pincang, akh.. habis kecelakaan kemarin, saat banjir di jalan Purwodadi. Tetapi peduli apa, aku sedang tak mampu berbelas asih. Istrinya keterlaluan benar!

Kulanjutkan perjalanan, memacu lebih kencang menuju timur. Jalan sepi, melintasi Lapangan Sepak Bola yang kabarnya bertaraf internasional. Rumput gajah tumbuh subur lebat di sisi-sisi jalan, sebagian masih banyak rerumpun tebu. Ngeri benar sebetulnya. Rumpun tebu selalu identik dengan kejahatan, entah itu pembunuhan atau pemerkosaan. Kriminal, demikian dekat. Terakhir malah kondom yang demikian banyak berserak di situ. Disapu Dinas Kebersihan tiap subuh. Haiiyyaahh.. berkencan kok di tempat seperti itu? apa untuk mendongkrak adrenalin? Entah!!

Sementara plang-plang reklame terpajang, pohon-pohon besar diam, serta rumah-rumah tak berbayang, di mataku menyerupai berhala-berhala Pagan tanpa punya umat. Sepi benar. Padahal hari masih begini sore. Mencekam? Tentu saja!! Lihat itu.. arakan awan putih pada hitam biru langit seperti kereta Nyi Kidul menyibak semesta. Aku kembali pada diriku, mengamini amarah di dalam dada.

...

AKU berdiri di sudut paling angkuh, dengan gejolak yang luarbiasa berontak hendak mencelat. Laki-laki itu sudah membengkasnya.
“begini caranya?,” ucapku d-a-t-a-r.
Mereka berkilah.
“besok di bawah sini akan dibuat saluran air, terpaksa kami membongkarnya”
“begitu tiba-tibanya? Hingga aku hanya punya waktu separuh jam dan itupun masih saja terlambat? Siapa berkuasa atas ini?”
“kami hanya menuruti perintah, yang membayar kami tentu”
“menghamba lah kalian pada uang!!”
“kami sudah memperingatkan”
“oya? Tentu saja! Setengah jam lalu, begitu??”
“tidak!! Seminggu lalu!!”
“seminggu lalu?”
“ya!! Pada Mbak Panjenengan!!”

Dan drama pun dimulai. Maka jelas sudah pintu kecewa menganga demikian curam. Maka jelas sudah bentuk nanah persahabatan yang diberi. Apa pula pertemanan begini rupa? Seminggu lalu, tapi tak berkabar?? Luar biasa baiknya temanku yang satu ini. Lantas di saat aku panic begini dia malah duduk bergelak-gelak tawa semeja secangkir kopi tanpa pusing berpikir. Sialan kau perempuan!

Masih saja aku berharap keajaiban welas asih darinya. Kupasangi mata pada layar ponsel. Lantas kembali ku kirim pesan.

Bu, tak kah hendak ke sini sekejap saja? Saya seorang, tak berteman.

Berharap cemas, aku menunggu balasan pesan. Akh, datang juga.

Saya lagi keluar. Ambil sendiri dulu, saya besok pagi saja. Iya.. heran juga dengan Bapak itu, padahal kan masih hal dirimu. Kayaknya emang niatnya ga bener tu.

Dingin angina malam ini menikam punggungku. Sakitnya tembus hingga ke jantung. Perlukah aku menggugat lagi? Perlukah kutanyakan lagi, siapa bersalah? Siapa patut dipersalahkan? Siapa pantas di-oyak-oyak? Siapa bertanggungjawab? Siapa bermanfaat? Siapa memanfaat? Perlukah???? Perlukah kukatakan, bukan itu yang aku hendaki, bukan kata-kata surga seolah mendukung itu yang kubutuhkan. Bukan itu!! kemana dia seminggu ini? Kemana dia malam ini? Kemana dia jinjing mulut manis sesumbar semua baik dan beres? Mana? Mana bentuk solidaritas? Ataukah perlu kutanya, perlu kugugat, mana bentuk terimakasih?? Luar biasa benar kepala manusia ini.

...

WAJAH-wajah yang tak kukenali tapi kerap muncul di layar-layar kaca. Sebuah drama dari entitas metropolis. Penggusuran, pembersihan atau apapun namanya. Lapak-lapak beretribusi tapi tetap saja dianggap ilegal. Jerit-jerit tangis, teriak histeris, baku hantam dan lolong tak bersambut jawab. Pongah! serakah!

Seketika saja, pejabat paling kroco menjelma menjadi jenderal. Merasa berkuasa, menguasai, berhak, atau bertanggungjawab? Alih-alih mendapat mandat, perintah atasan, ini kesempatan adu jajal! Kapan lagi bisa pamer kuasa pada yang tak berdaya? kapan lagi? Ini waktunya.. Garukan!! aha..ini dia, saat yang tepat.

Lantas satu dua perempuan pingsan menggelosor saat bangunan paruh permanen yang sudah lebih 10 tahun menghidupi, seketika rata tanah. Perkakas-perkakas keluar bersambut tangan entah dari sesiapa pada siapa. Syukurlah jika tak dijarah. Lelaki tua gemetar kaki tangan yang sedari lalu tak berdaya berlinangan airmata. Kuduga ia tengah mengutuk dosa jadi pahala! Kuduga ia mengumpat istighfar terbata.

Ada pula wajah lain, wajah kusir perempuan melarikan gerobak dengan balita sebagai penumpang kala Satpol PP memaksa mengejar. Tak lari, mata tamatlah riwayat gerobak itu. Sial memang, jika dapat dikata begitu. Dalam pelarian, nyawa penumpang habis digenangi kuah panas. Luar biasa, bukan?

Masih ada pula.. wajah-wajah yang pernah menjamah layar kaca televisi. Wajah-wajah lelaki veteran yang terpaksa menikmati masa tua mereka dengan pengusiran. Luar biasa benar, bangsa ini memberi reward (baca: penghargaan) pada mereka. Lebih, luar biasa memberi hukuman pada perampok-perampok, penjarah-penjarah kakap yang jelas-jelas bersubsidi dari aparat.

Maka wajarlah kuduga, penguasa kroco sekalipun, jika sudah punya hajat, maka langgeng kekuasaan dia pegang betul. Mana yang bisa disuap, agar proyek cepat, maka itu sahabat. Aha!! lupa aku, tak perlu kiranya suap.. cukup ancaman, gertak! maka mereka bersalaman. Aha...

...

SYUKURLAH otakku masih sehat. Ponselku menyisakan satu bar terakhir untuk daya batre. Siapa lagi yang bisa kuhubungi? Supir!! Ya.. supir pick-up.

Tersadar, saat benda keras menyiku lenganku. Pembawanya hanya menoleh sekejap, lantas berjalan lagi. Akhhh…. Ya..ya.. begitu saja!! Angkut semua!! Bawa!!
Anggap aku ini berhala Pagan yang siap dihantam nabi-nabi. Anggap begitu! Anggap begitu..

Ya!! Buka paksa saja, tak ada jasa desain untuk membuatnya kok.. tak ada otak tercurah untuk membentuknya. Ya!! Lempar saja!! Lempar seperti itu!! biar kaca-kaca pecah berhambur.. pecahkan! Tak ada rupiah kok di situ. Yah!! Bengkas saja!! Palu semuanya hingga berkeping. Aha! Hanya seribu perak kok untuk barang-barang elektronik itu. Akhh… tak apa! Mumpung aku di sini dan aku menyuruh kan? Ya… Ayo lagi!! Atau apalagi? Ya!! Garap sepuas kalian!!

Seseorang menyentuh pundakku. Lelaki itu bertato ular di pundak kiri hingga pangkal lengan. Bersinglet abu-abu dengan dada memaksa keluar.
“mana yang mau diangkat, Mbak?”
Ohh.. seketika tergeragap. Dalam hati, lirih..'memang masih ada?'
“bawalah.. sebisa dan seada-adanya,” perintahku.
Sementara yang tersisa dipindah, aku mengamat lagi. Aihhh… ada si beliau itu!!. dadaku bergelora, membuncah.. kudekati.
“Pak,” senyum ku, ku-oplos sakarin. Dia salah tingkah.
“sudah lama?,” tambah ku, lagi.
“oh, baru kok Mbak.. Panjenengan sudah lama?,” tanyanya tawar, seharusnya ia mendopping cuka, biar lebih ber-rasa. Akh.. maklumat Jawa ini seperti raksa, bagus di penampakan saja, sisanya membakar.
“baru,” aku mulai tak sabar.

Pria bertato ular itu mendekat.
“sudah Mbak. Oya, saya Bagus,”
“wah, lupa kita berkenalan. Belia. Hei..tau dari mana saya yang menghubungi?”
“gampang, hanya Mbak perempuan di sini,”
Lantas mataku menyapu. Benar saja.

Aku kembali pada Bapak beruban dengan kopiah putih bersarung kotak-kotak itu. Kusalami ia,
“terima kasih atas kerjasama nya Pak..,” ucapku dan pada detik berikutnya telah berlalu.

22.07

Perjalanan pulang, aku mendahului dengan beberapa laki mengikuti. Singgah sebentar di rumah Tionghoa berwajah Jawa. Masih laki itu yang membuka pintu, seraut kejut di wajahnya.
“loh.. padahal biar saja, besok saya yang urus,”
“sudah, Pak.. sekalian,”
Setelah diturunkan, aku pulang.

Perjalanan pulang ini, hatiku beringsut menciut.
Berbeda dengan perjalanan pergi yang segenap diri tiba-tiba kompak mendadak, kali ini, masing-masing mulai berdikari. Mengumpulkan energi untuk menyerang saraf pusat satu per satu. Lantas semua yang baru kualami seperti terputar ulang dalam benak.

Dalam megahnya langit malam yang kutatap tanpa terlalu peduli kendali setang motor, kurasa demikian kecilnya aku. Demikian tak tampaknya aku, bahkan sebagai titik sekalipun. Dan seperti inilah suara-suara yang berkolusi pada akhirnya.

Dzat.. betapa mudahnya menjadi sombong, betapa gampangnya menjadi angkuh, betapa sepelenya menjadi congkak.. betapa aku menjadi picik. Apa yang kuperbuat tadi? Melafaz sumpah serapah demikian rupa seperti melagukan ayat-ayat suci saja. Fasih dengan intonasi dan artikulasi. Betapa lalim-nya aku, menggugat seorang teman demikian rupa, mengapa tak memberi pengertian barang sejenak? Mengapa hal demikian saja dianggap menginjak-injak? Padahal, pengertian sedikit saja.. sedikittt saja, cukup. Kalaupun benar, apa lantas itu merugikanku? Sungguhkah di dunia ini ada untung rugi?

Bukankah sebetulnya semuapun akan beres? Kendati masih ada yang menyesak? Tapi, bisakah tak kuindahkan? Atau, bisakah aku memaafkan? Atau, apakah benar, ini suatu kesalahan? Pertanyaan-pertanyaan terkutuk itu berputar-putar.

Tiba-tiba langit menampakkan beberapa rasi di mangkuk cekungnya..
Akh, aku merasa sepi.. sepi benar. Sepi sebenar-benarnya. Lantas ponsel ku bergetar lagi, masih tanpa nada. Aku meminggir, membaca.

Sayang..
Merindu tiada tara..


Aku tersenyum. Yah, tersenyum tanpa cambuk sakarin..

22.29





Jogjakarta,
28’ 2009 May
17:38
(MJ : Stranger In Moscow)

25 May 2009

Rindu Terbata 2 (For All Time)

Seandainya aku bisa menyusup ke mimpimu malam tadi. Seandainya aku bisa secepat mungkin membuka pintu hati. Seandainya aku bisa menemanimu sepanjang hari.. seandainya bisa senantiasa bersama..

Seandainya malam tadi selalu menjadi malam panjang tanpa jeda. Seandainya malam tadi hanyalah antara yang lamat untuk menyapa. Seandainya malam tadi tak pernah ada rindu yang datang dan tiba.. seandainya..

Seandainya cinta dan sengketa tidak pernah bersua, seandainya lumuran hujan tak pernah membasah.. seandainya tak pernah ada tawa dan airmata. Seandainya..

: biarkan aku menyusup lebih dalam pada pelukmu. Biarkan aku di sana barang sekejap, sebelum malam menjadi lamur. Biarkan aku hanya membaui aroma tubuhmu, sebelum malam menyapa nur. Biarkan aku membasahi saku bajumu, sebelum airmataku surut karena haru. Biarkan aku..

Maka, ketahuilah..
Ada rindu : terbata.

...

(For All Time by Michael Jackson)

Sun comes up on this new morning
Shifting shadows, a songbird sings
And if these words could keep you happy,
I’d do anything

And if you feel alone, I’ll ber your shoulder
With s a tender touch, you know so well,
Somebody once said, it’s the soul that matters
Baby who can really tell,
When two hearts belong so well?

Maybe the walls will tumble
And the sun may refuse to shine
But when I say, I love you
Baby you gotta know, that’s for all time

22 May 2009

Dlamakan (Tidak di Angin, Serata Bumi)

(…)

Mata-mata, mata yang kujelajahi satu persatu. Mata penuh airmata dari mata-mata mereka. Isak demi isak tertahan dari wajah-wajah mereka. Dinding-dinding pemantul emosi, cermin-cermin perigi di tiap lensa yang memakainya. Aku menatapnya satu persatu dalam hukum pertentangan. Sesekali seseorang menjawil kakiku, mengingatkan aku tak boleh begitu. Tapi maaf, kali itu aku tak bisa membiarkan mataku berpuasa menikmati pemandangan sejarah hidup diriku sendiri. Akan kurekam sampai detil terkecil semampu amygdala mampu menopangnya.

Emosiku meluap seperti plastik terbakar, aromanya kental menyerbu penciuman.Ppijar-pijar bohlam dalam hatiku berlecutan. Aku menikmati sensasi kesenduan yang teramat dalam. Hatiku sunyi, kendati tak sepi. Tapi, liris demi liris suara yang menggema dari ujung mikrofon semakin menyudutkanku. Aku seakan terlempar ke suatu siku tiga sisi, dimana aku terpojok seketika. Lantunan ayat suci, pantun demi pantun datang sambut, sawiran beras kuning, aroma sedap malam dan berkelompok-kelompok anyelir semakin membawaku ke suatu tempat yang nyana, aku sendiri tak mengenalnya.

Lalu aku kembali pada mata-mata mereka, kucoba tembus satu persatu. Tentu tak sepenuhnya berhasil. Peduli setan, aku hanya ingin mengamati mata ayah ibuku. Itu jauh lebih penting. Akh, Ma.. Pa.. bahagiakah kalian? jika ya.. maka, akupun bahagia.

Seseorang mengucap ijab atas namaku. Kelak menjadi seseorang berjudul suami, ayah atas anakku. Akh, anak kami, maksudku..

(..)

Kau telah melemparkanku hingga aku terduduk di tepi tebing ini. Lantas kau menyibak tubuhku yang berlumur lumpur. Dulu, kau selamatkan aku dari banjir besar, dulu kau yang menghalau gerimis di sisa perjalanan. Sayapmu teguh melingkariku, elang.. membawaku menelusuri savanna, mencari oase untuk kita minum bersama. Dulu kau yang menyelamatkanku, membawa sebagian tubuhku yang sepertiga tercerabut. Lihat.. helai daunku sudah tak ada lagi. Kuingat beberapa terjatuh saat kita terbang menjelajahi Bermuda dan tersangkut di arus waktu. Gerbang kekinian dan masa lampau.

Kemudian kini, baru saja berdetik lalu, kelopak demi kelopakku gugur, lelah ia menerpa angin yang begitu kencang di tengah perjalanan. Satu persatu berlepasan, satu yang terakhir tadi tersobek kuku-kukumu. cakarmu mencengkeramku terlalu kencang. Akh, lihatlah.. habis sudah.. tubuhku hanya bersisa sebatang dengan duri dan putik tanpa kelopak. Setelah itu kau lemparkan dengan kasar aku di tebing ini.

(.)

Kujulurkan kakiku menghadap tirta, menyambangi bayang-bayang yang berpedar di biasnya. Lalu menyibaknya dengan sentuhan lembut jemari. Betul saja, getaran kecil membuatnya membentuk lingkaran-lingkaran, lantas habislah bergoyang pantulan wajahku. Apa aku melompat saja? lantas hilang ditelan gelap telaga? jurang curam takkan meninggalkan sisa, tak kan ada jejakku yang bisa ditelusuri. Ya, benar! melompat saja! toh tak ada lagi yang bisa dipertahankan, toh, tak ada lagi yang musti diperjuangkan. Untuk apa?

Tapi tunggu!

Wajah-wajah itu..

Akh, wajah-wajah mereka. Wajah-wajah doa yang datang memberi salam dan tabik. Wajah-wajah penuh harap yang menggugah penggalan-penggalan waktu. Duh, Gusti... itukah wajahku? itukah? mengapa aku seperti tak mengenali? itukah mimik, raut, guratku? itukah?? lantas.. siapa yang bercermin ini? siapa yang berpantulan ini? seribu bayang cerimin retak dengan wajah luka. Akh, milik siapa ini? wajah siapa ini? wajah siapa, mereka? wajah apa itu?

Apakah itu dan ini adalah satu? Apakah itu adalah, ataukah wajahku semata?

Aku pening, keseimbanganku berbalik berlawan setimbang. Tolongg... berat badanku masih terhanyut terbujuk gravitasi. Inti bumi menarikku cepat ke dasar jurang. "Save me...!," teriakku, tercekat.

(..)

Tuhan!!
Pekikku tertahan.

Nafasku tergesa. Suara kecil yang sangat kukenal, menyadarkan, mengembalikanku pada dunia.

"Ma.. kakak haus," rengeknya dengan mata setengah terpejam. Kupeluk ia, menyatakan aku selalu akan bersamanya, meneguhkan, aku masih hidup dan harus hidup. Seperti apapun, bagaimanapun. Tanpa atau dengan. Bisa atau sekedar mampu.

(.)

Mata-mata yang kuamati dulu melintas lagi. Mata dengan bibir merapal doa. Doa mengenai kebahagiaan. Kebahagiaan untukku. Untuk hidupku. Wajah-wajah sendu, wajah-wajah penuh amarah, wajah-wajah suka.. semua hadir. Aku tau mereka berpetak-petak.

Bukankah doa itu adalah kebahagiaan? jika ya.. ijinkan aku melangkah, meski melukai wajah-wajah itu.

"Mah, bukankah dirimu pernah berkata, kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu? Maka, ijinkan aku menoreh luka pada wajamu, sekali ini.. maaf, demi kebahagiaanku. Bukankah kebahagiaanku kelak pun jadi kebahagiaanmu? biar aku ciptakan jalanku sendiri. Biar kutulis dengan tintaku sendiri, bolehkah.. Untuk kali ini? sembah sujudku, Mah..".


Jogja, 22’2009 May
16:26

16 May 2009

..arus..

aku terbiasa.. aku mulai terbiasa..
aku mulai terbiasa berjalan di atas kaki yang tak lagi snaggup berdiri, aku mulai terbiasa menghirup udara dalam ruang pekat hitam, aku mulai terbiasa, merendam jemari di antara pasir-pasir cokelat yang kubawa dari kampungku..
aku mulai terbiasa memijat nadiku, agar ia tidak lagi berwarna hijau..aku ingin ia cerah dan bersemu, menandakan aku masih teraliri.

...

angin ini angin hilir, yang membawaku jauh berlayar. menyeberangi sungai, melabuhkan perahu separuh bermesin yang ditinggalkan ayah di tepi dermaga, dari sana lalu kami melintasi pinggir-pinggir bakau yang akarnya menjulur dan terlihat seperti monster di kegelapan.

angin ini angin hilir yang membawa kami merapat pada rumah-rumah lanting dengan deret sampan di pekarangan anak sungai. lanting ini memanjang dengan selasar yang luas membentuk sudut perspektif di setiap balok-balok gelondong pipih penyekatnya. di sini 20 kepala rumah tangga hidup, menghidupi.

lantai ini bukan main mengkilapnya, setiap hari perca buruk menggilas berulang silang seperti lambung kapal habis dipernis. anak-anak dara, menimba air cokelat kelam dari halaman rumah mereka yang ditumbuhi ikan-ikan segala rupa, udang galah, ada pula petak-petak seukuran bilik telepon sebagai jamban, ada pula kayu-kayu gelondong tipis yang ditanam beberapa jarak untuk membuat undakan bagi sesiapa yang akan mandi, mencuci atau duduk-duduk jika rembulan berjalan-jalan.

dara berkain merah, berkaos putih kedodoran mengguyurkan air setimba, lagi, lagi, lagi ke belian atau kayu hitam atau ulin pipih itu, lalu perca nya di celup seperti teh celup, baru menggilasnya seperti stombal di jalan beraspal. dari sudut kiri, bergerak setindak ke kanan, hingga habis tuntas.

lalu di ujung selatan di sebelah deretan sampan tertambat, 4 laki-laki pekerja menurunkan bakul-bakul jeruk tebas seukuran bola kasti yang manisnya, amboy..

aku berlari, mendekat. mendekati saja dan mereka sudah mengerti, aku mau. tangan hitam legam yang kiranya terbakar matahari sungai menyodorkan 3 untukku. kuambil satu, lalu kepalaku menggeleng.

sementara aku menanti ayah menaikkan ransel-ransel, aku duduk di pinggir gertak mencelupkan kakiku sebatas mata dan tergeli-geli digelitik ikan jolong jolong sejari kelingling. moncongnya panjang, sedikit tajam, benar-benar menggelitik telapak kaki ku.

seseorang tiba-tiba berdiri di hadapanku. dia laki-laki. bercelana pendek bermuda dengan saku di depan dan oblong berwarna hitam yang sangat kontras dengan kulit putihnya. dia menyodorkan sebatang tebu dari tangan kiri. dalam hati aku mendebat, mengapa bukan tangan kanan, sih? sementara tangan kanannya pun memegang sebatang tebu, ruasnya lebih dari 7, kulitnya merah marun bergaris hijau cokelat. lantas ia menguliti tebu itu dengan giginya, sekali sentak, kulit berjarak 2jari terbuang, lagi, hingga benar2 terkuliti. aku lagi-lagi mendebat dalam hati. harus begitukah caranya?

tapi tunggu, aku tak mengenalnya. aku tak pernah bertemu dengan dia sebelum ini. siapa dia, tiba-tiba menyodorkan tebu dan menyuruhku menghentikan jeruk manis tebas itu. tangan kirinya bergerak-gerak seolah menunjuk suatu arah. tapi mataku terfokus pada bibirnya yang merah, semerah cabe teropong. bibir itu bergerak-gerak, tapi, suara yang keluar aneh, gumaman yang tak berarti, tapi tetap bermakna.

dia diffabel.

tangannya seketika menarik lenganku, tepat dipertengahan siku. lalu ia mengajakku berlari, berlari menyusuri selasar panjang itu, tanpa alas kaki, berlari semakin kencang serasa akan terbang melayang. jemarinya perlahan menggelosor turun menemui jari-jariku. lantas ia menggenggam erat.

anehnya, aku terdiam. aku tergeragap dalam lariku yang cepat. jantungku yang tak kuasa kusahabati. ada getaran seksual yang tak mampu kusuruh lari, saat jemariku terselip diantara jemarinya, sensasinya seperti melodi dari negeri antah barantah, suatu budaya luar yang kental kunikmati namun asing.
dalam lari kami itu, wajahku terasa panas. akh..kutukan masa muda!

lalu kami berhenti di sisi paling pojok lanting, melihat jauh... nun di laut lepas, Laut Cina Selatan yang entah berapa jauhnya...
nafas kami terburu-buru begitu cepat. lalu ia mengajakku duduk, dan dengan ekspresinya ia menunjuk tebu tadi. aku melihatnya ayik menggigiti dan menghisap bilah tebu itu. liur ku seketika merayap, naik dan memerintah sarap otakku untuk mempekerjakan gigi dan tim nya serta. kuikuti caranya. akh... benar saja, pantas saja, rasanya memang manis, pekat. lebih pekat dari sukrosa.

ia melihat jerukku yang tinggal seperempat. kutawarkan tanpa kata, hanya menyodorkan. dia lekas-lekas menggeleng. lalu menunjuk dadanya dan membentuk tangannya menjadi lingkaran besar dan menunjuk dalam lanting. kuduga ia mengatakan, "aku punya banyak di dalam rumah".

tanpa ada pertanda, ia menilik anak-anak rambutku, aku seketika terlonjak, kaget. tapi aku menatap matanya. mata cokelat itu terlihat bening, bagus dengan jejeran rambut di atasnya. aku ingin membisikkan sesuatu di telinganya, entah itu akan didengar atau tidak. kudekatkan bibirku pada kuping kirinya.

perahu motor melintas dengan derunya, membuat aku tersontak, terkejut, nyaris terjatuh ke pekarangan yang ialah anak sungai. ia sigap menarik lenganku beserta tubuhku pula. yang kudapati, aku berada dalam peluknya, berada tak berjarak dengannya. bibirnya bergerak-gerak seakan kubaca ia berkata, hati-hati, Ra..
tapi, bibirku tak mau memberi kesempatan pada mata untuk mengamatinya lebih lama. aku ingin menciumnya.

...

dulu, di situ semua itu terjadi. entah berapa waktu lamanya..
dulu, di sana masih ada hamparan kebun jeruk. tempat itu bernama Tebas. grade 1 adalah kualitas super yang laris di pasar nasional. tapi itu dulu, sebelum hama menyerang dan punah selama beberapa penggal waktu.

kini, masih di Tebas.. masih di tempat yang sama, tapi takkan terjumpai jeruk yang sama. tak lagi semanis dulu. okulasi menjadikannya tak ragam.

dulu, di hilir, sebelum minamata menjadi santer didengungkan, banyak mamak-mamak menggoyang-goyang kuali, mencari bilah-bilah kilau sisa tambang.

dulu, di sisi kanan sebelah depan lanting, bakau-bakau berbicara pada malam jikalau rembulan malu-malu.

dulu, di pojok lanting itu, aku bertemu ia..
bertemu lelaki itu, bertemu ia yang kemudian mati tak lama berselang. dulu, aku menggilai ketidakmampuannya. akh, apa yang kupuja, tak lebih dari kekurangannya.

...

arus yang membawaku ke sini. tapi, pusara arus hatiku sudah padam. mati pula ia. mati bersama kehidupan demi kehidupan baru.

14 May 2009

SangSi

panggil aku si, atau sang
atau tanpa sama sekali!

aku bukan percik mangir pengilap intan
bukan pula intan terikat logam

panggil aku si, atau sang
atau jangan sama sekali!

aku bukan pedati
bukan pula para isi

panggil aku si, atau sang!
tak beda,

karena aku tak sua berjarak
tak pula hendak di kasta-kasta

aku rerata,
maka:

panggil saja aku si, atau sang
tanpa perlu merasa SangSi

12 May 2009

..yesterday, today 'n forever..

Aku ingin menulis ini. Mengucap syukur dalam sesisa yang masih bisa kurasa. Dari tadi aku hendak memulai, tapi biasalah.. selalu saja jemariku menjadi kelu. Tidak bibirku, karena ia senantiasa terkatup dari beberapa jam terakhir. Sedapat yang kuhitung mungkin sekitar 21.000 detak putaran angka yang berbuyi diantara rinai salak anjing, hentakan-hentakan tuts keyboard, dan suara rindu darimu..

Suaramu, akh.. seperti aku sedang jatuh cinta. Aih… apa pula itu?

Seperti yang kukatakan padamu, bahwa pertemuan kedua bukan hanya untuk bertemu sesiapa..tapi bertemu dengan diriku sendiri. Yah, diriku dalam pantulan-pantulan yang berbeda. Dalam arsiran-arsiran warna-warni, jinga kelabu, biru, ungu.

Malam ini aku membuka rindu lama, rindu yang selalu aku hadirkan dalam relung-relung hati. Tak ada sesiapapun mengetahui, aku jamin itu. kalaupun tau, paling sebatas selaput pembalut putih telur. Kalaupun tahu, paling sebatas ruang hampa di dalam cangkang. Kalaupun tahu, hanya seperti melihat awan-awan bergelantungan tanpa pernah menjamahnya sama sekali.

Tapi malam ini, aku buka ruang-ruang rindu, aku kemas dan kusajikan dengan tawa, senyum, sesekali haru. Akh… rindu lama ini sangat indah. Sebuah eksistensi yang sungguh dan sungguh meyakinkanku, aku memiliki itu. Aku, seakan dirimu ajak menjelajahi setiap sudut-sudut, jengkal-demi jengkal gorong-gorong sekresi psikologis yang mampu meniupkan angin, menyeretku mengambang kemudian melayang.

Lalu aku menemukan titik-titik dimana aku berpijar, lantas aku meredup dan kembali menyala. Titik-titik itu, lalu mengembalikanku pada sebuah keutuhan, pada sebuah pendakian yang kuyakin belum lagi kan tuntas. Dan suaramu, lagi-lagi.. melengkungkan saraf-saraf ingatanku.. mengalunkan memori..

Dan kali ini, aku tidak sendiri, Dia mempertemukanku dengan diriku. Terima kasih.

Satu lagumu.. untukmu:
Michael Jackson: I Just Can’t Stop Loving You

11 May 2009

bulan kembar (..jangan pergi dulu..)

kekasihku..
bisakah kita berbicara sebentar?
tanpa ada kata terlontar.
biar tatap yang coba jelaskan.
biar hati yang coba rangkumkan.
bisakah kita sedikit berbagi waktu?
di saat senjakala tak begitu menegangkan..
dan saat bulan purnama singgah di buaian.
bisakah kita memahami barang sedikit?
tanpa harus terburu-buru kereta berangkat di kala pajar..
tanpa harus berurusan dengan perut lapar.
bisakah kita berbicara sebentar?
hanya mendengar suara hati yang berbisik
tanpa peduli gendang telinga orang.
bisakah Tuhan mengembalikan wahyu?
sinar yang terang tapi tidak menyilaukan.

08 May 2009

..jika sudah atau telah..

apakah ada nyawa diantara denyutku?
apakah ada untaian detak di atas nadiku?
apakah ia ada..
menyusup, menyelindap dalam nafasku?
apakah ada hidup..
di rongga yang telah ku tutup?
jika sudah atau telah,
kuperkenalkan siapa aku

aku; ...

04 May 2009

untuk 0505

tidak perlu waktu khusus sebetulnya, untuk merenung
merenung; tepat waktu, bukan makan waktu
pernahkah terbersit sebuah pertanyaan,
untuk gelombang waktu yang kontinu bergerak
lamat tapi kekal..
apakah bekal diri terkikis beranjak aus?
atau kita lebih cerdik untuk merestorasi segenap diri?
maju setindak di hari ini, bukan berarti kehilangan berpenggal hari
ini mungkin petunjuk kemapanan Tuhan,
saat kita menyambutnya dengan sebuah syukur
berhasil melewati kurang lebih 11160 putaran siang malam yang konstan
saya percaya, di suatu waktu
saat dirimu hanya bercakap denganNya,
entah sudah atau akan..
maka perenungan itu akan benar-benar ada.

selamat ulangtahun untuk 0505..