30 August 2008

Linuwih

aku merindukan saat-saat ini..
saat aku tidak dapat membantah
suara kecil dalam ruang tersembunyi
yang mendobrak keluar..

saat aku tidak sanggup membungkam
gemeretak-gemeretak api kecil
yang berpijar..

saat aku tak kuasa,
melawan sekelompok udara
yang merangsek bersama

aku merindukan saat-saat ini.

saat yang aku tahu,
aku harus mengejar..
aku harus menembus kebuntuan.

aku harus kuat
dari sekedar hidup!


aku harus bernyali
dari sekedar mampu!!

aku merindukan saat-saat ini..

HASRAT!

aku ingin mengejar angan-angan
aku ingin menaklukkan mimpi-mimpi
aku ingin menangkap bayang-bayang
aku ingin merajai semua itu.

kelak,
kan kututup rapat jendela
dan pintu-pintu ketakutan..

kelak,
kan kuhalau samudera
gelombang keraguan..

kelak,
kan kubantai ketidakmampuan!!

PKBI, Badran
290808
12;00

28 August 2008

Tak perlu Berjudul

De Ja Vu

Aku seperti mengenalnya
Rasa ini,
Aku pernah merasakannya entah kapan,
Aku seperti telah mengenalnya

Senyumnya,
Mengingatkanku bahwa ku pernah bersamanya
Dalam kehidupanku yang lain,
aku pernah merasakannya
Entah di mana?

Tawanya yang lugas,
menegaskan bahwa dia terbebaskan
Entah dari apa, yang jelas dia lebih lepas
Mungkinkah itu hanya fatamorgana?
Entah?


But,
I think she miss something
I think she need sometrhing
I think she wants to say : “ I’ll never give up”

And
I’m sure she won’t give up
She’ll be strong!!!
She’s stronger than I am
She’ll be fine.

Dejavu



August 08

You Are the Best I ever Had!!

pria itu...

matanya seperti yang baru aku temukan belakangan ini. mata itu, selalu mengingatkan aku padanya. seorang pria yang selalu berbuat apa saja untukku. seorang pria yang menjadi gila dan terkadang mengamuk dengan kenyataan.

mata pria itu aku temukan lagi..
di sudut beningnya yang menjadi keruh..

sehari sebelumnya:
"belikan aku radio" pintanya pada ayah.
"untuk apa?" ayah bertanya, walau tetap saja membelikan.

setelah radio itu dimilikinya, tawa itu tersungging di wajahnya yang renta.

bude berkata, mengutip perkataannya:

"aku mau dengar suara cucuku, sombong sekali dia. sudah besar nggak mau liat aku. dulu aja, merengek minta kelapa muda"

sehari setelahnya..
mas ku datang kerumah. "kakek meninggal, Belia.."

aku diam.

aku melarikan diri. tidak menerima itu semua. itu dusta!
aku melarikan diri!!

di studio itu, aku terpekur. terdiam dalam ruang penuh warna hijau kedap suara. terpojok di hingarnya lagu-lagu X-japan, Haggard, Mettalium...

Bian datang "kamu kenapa?"
"kakek ku meninggal"
"lantas kenapa kamu di sini?"
"aku... aku..."
"tidak pantas kau di sini!"

aku tidak beranjak sampai Bian menyeretku.

...

pria itu,

yang sejak aku kenal memang sudah tua. wajahnya sudah dipenuhi keriput, matanya mengeruh. lingkaran coklatnya tampak begitu muda, seperti kehilangan sesuatu, entah apa itu. mungkin rahasianya.

tubuhnya kuat, walau tulang-tulangnya lebih terlihat dibanding pembalutnya. kulitnya hitam, terbakar matahari menahun..

jari-jarinya kasar dan senantiasa bergetar. dia tak lagi punya rambut. kopiah hitam senantiasa bertengger di situ.

...

"tangkap! ini jambu merah, jambu terbaik di antara pohon-pohon ini"
dia selalu bisa lebih dulu naik ke atas.
aku memungut lemparan demi lemparannya dengan bajuku.

setelah dia puas berada di atas, dia turun sebentar, untuk memanjat pohon kelapa. aku tidak pernah puas hanya dengan satu kelapa muda, minimal 4. biar sekalian sepeda mini ku penuh.

"kek.. mau keong.."pinta ku manja.

dia tidak pernah keberatan. selalu mau. sepuluh keong tidak akan pernah cukup. dia menjelajahi kolam seukuran seproh lapangan voli itu untukku. di susurinya tepi-tepi, mengumpulkan keong-keong di antara rimbunan genjer. dia juga memanen genjer, agar nenek dapat menumisnya. dengan rawit iris, agak pedas, sedikit pahit ditambah nasi putih hangat yang dimasak di atas tungku kayu bakar. hmmm, lezat/.... aku rindu...

"Belia!pulang sana! ibu mu pasti marah kau pulang terlalu sore"
"besok minggu Kek, hari ini tidak belajar. bebas"
"kau menginap di sini saja"
"nggak mau! banyak nyamuk.."
"kalau nyamuk gigit kamu, balas gigit dia juga"

...

sepeda ku sudah penuh dengan kelapa-kelapa muda, sekantong kresek jambu, setoples keong dan belut untuk asma ku. kakek, selalu begitu..

dia selalu menjejalkan beberapa ribu di sakuku, kemudian nenek mengomel
"itu uang terakhir..besok mau makan apa kita?"
kakek menjawab santai. "masih ada rumput di halaman, cucu kita perlu beli buku"

saat itu, aku tertawa terpingkal mendengar jawaban kakek. setelah bertahun-tahun kini, mengingatnya.. aku tertawa, gamang... dan hatiku teriris. nelangsa...

...

20 meter aku berdiri di belakangnya. tungkaiku lemah, hatiku hancur...
lengan Bian kupegang, dia sandaran untuk sementara. bian menatapku, kasihan mungkin...sesuatu terbersit dari matanya, aku melihat sekilas, dia seperti tak habis pikir. kutangkap tanda tanya di benaknya. mungkin dia heran, mengapa aku malah di sini...

biarlah...

biarlah aku di sini, 20 meter di belakangnya..
ada atau tiada aku, itu tak mengubah apapun. jasad itu tak mungkin bisa bangkit hanya karena aku di sisinya.

dari kejauhan, aku melihat mayatnya di usung ke liang lahat, aku miris.. aku hanya melihat dengan pandangan terbatas, sesosok tubuh terbalut kafan. mungkin itu bukan dia, goda benakku, tapi itu memang dia.

gundukan tanah berangsur menyurut, menutupi galian berisi tubuh kakek.

matanya, mata kakek. mengeruh di usia senjanya. tapi dia selalu kuat, untukku. dia selalu tangguh untukku..
lengannya yang kasar, matanya yang liar...

aku datang dari darahnya yang mengalir lewat darah ayahku, dan darahmu Kek... kan kualirkan melaui cicit-cicitmu...terus... tiada henti...

matamu akan selalu kupelihara, aku lahirkan benih-banih baru yang menyerupaimu. kelak... pria-pria perkasa seperti dirimu kan kulahirkan dengan rahimku.. kelak kek...

...

perlukah aku men-ziarahi mu?
perlukah aku datang?
perlukah aku berwujud?

untuk apa jika yang datang hanya fisikku...
untuk apa jika yang mengunjungi hanya tubuhku,

kek... setiap malam di kala kuterjaga di kelelahan waktu. aku mengingatmu. aku merindukanmu...
aku mengenalmu, seseorang yang selalu mencintaiku, dengan caramu...!

Allah yang bisa membalas semua kebaikanmu Kek... bukan aku. hanya Allah, yang akan membahagiakanmu, memuliakanmu... dengan doa ku padaNya...

and i will the say to thee...
you are mine!!

22 August 2008

MATA BACA

MATAMU, tak sadarkah kamu?

Menangkap matamu, mencuri baca, mengalihkan, lari dan kembali lagi. Merampas kenikmatan kecil saat mata kita bertemu.

Jangan buru-buru bertanya, salahkah?

Pijakannya terlalu landai. Bergoyang ragu. Terombang diam. Hanyut, terbawa angin misteri. Tidak ada yang istimewa. Hanya matamu, seperti kebanyakan mata, seperti kebanyakan lensa, seperti kebanyakan sudut, seperti kebanyakan pantulan, seperti matamu itu.

Bertemu dan mendapati, tidak mencari. Membuat beda yang nyata diantara sekelumit keperluan. Logika waktu menjadi kereta pagi menembus dingin jejeran hijau berkabut pepohonan. Terburu. Bukan kesengajaan, atau justru sengaja ketika tidak mampu menolak. Bukan sengaja, atau mungkin kesengajaan saat kau ada.

MATAMU, tak sadarkah kamu?

Tatapku melunak, karena matamu. Terasakah? Tuturku menyurut, matamu. Tergambarkah? Dan kau menangkapnya. Begitukah?
MARI bicara benar dan salah.

Selagi bisa, biarkan dulu. Tiada salah, saat hanya bersarang sebagai angan. Mungkin bukan angan. Hanya matamu.

Berbicaralah.. seperti ketika kusapa, “apa kabar?”. Berceritalah.. dengan kebohongan atau apapun itu, aku akan terus peduli. Memerhatikan manik matamu bergerak, meraup gelora membara hidupmu. Kudekap, untuk kusadap.

MATAMU, seperti kebanyakan mata.

Sekejap lalu, liar dalam pencarian. Sekejap kemudian haus menembus lapisan langit tak berujung.

LANGIT, hanya sekedar batas pandang. Jauh dari atas bumi, jauh dari gantungan awan-awan. Jauh dari teman-teman pengisi angkasa. Tidak begitu sebetulnya, langit hanya masalah persepsi. Perspektif.

.

MARI bicara aku.

Bermain, berkejar seperti ketika kecil dulu. Berlari di tengah hutan yang telah diterabas. Sebagian masih ilalang, sebagian pohon-pohon jampang, sebagian cengkodok berbunga ungu dengan putik penuh gumpalan manis. Kayu jampang seukuran ibu jari biasa kupipihkan, membuat pedang. Kulit dengan sedikit lapis kayu di dalamnya kupertahankan, hanya kambium yang kubuang, sebagai sarung.

Bermain, berkejar layangan, bertelanjang kaki. Kering ranting kecil, tanah lempung, pakis tua habis panen, akar ilalang sisa pembakaran, damar cokelat mengkilap, kadang ditambah sampah; beling, kaleng sarden, botol hijau limun sasi, cangkang kerang dara, tak terlalu kupedulikan. Layangan jauh lebih penting dari luka di telapak kaki hingga pangkal betis.

Mengejar layangan, bukan perkara gampang. Masalah harga diri. Ada status sosial diantara peminat layangan, khususnya sesama teman kecil.

Pemula, tukang anjong –membantu pemain memegang ujung bawah layangan--. Naik, pegang gelondong –penggulung atau pengulur benang--. Naik, membuat layangan plastik. Naik, membuat layangan kertas ukuran setengah kalender dinding. Baru menaikkan layangan sendiri. Setelah mampu menyaok, baru dianggap sebagai pelayang.

Bermain, mengumpulkan pecahan-pecahan kaca, melumatnya, jadi bubuk. MAU dari mambo --seperti benang jahit, tebal-- atau plastik –nilon--, boleh saja. Mencampur dengan damar –canai, sejenis batuan granit--, pewarna kain tak lupa lem kayu. Membentangkan benang di pohon nangka dan rambutan si pelit Abah. Melumuri, baru mengamplas.
Semakin licin, semakin menyerupai kawat, lebih ringan, GELASAN. Akan penuh percaya diri menggunakan senjata satu ini untuk menyaok. Adu! Tak peduli aku perempuan.

BERMAIN, memantulkan terik matahari melalui beling hijau guna membakar dedaunan. Berhasil, kerapkali. Tidak perlu luv, pecahan botol limun sasi cukup. Daun-daun terbakar. Tangkap saja belalang se-kelingking, bakar dan lumayan untuk kudapan.

Bermain, menoreh getah karet. Sekali lagi dengan damar, tambah minyak tanah. Lumuri di ujung batang singkong bersisa kambium, buat sebatas lengan saja. LECANG – baca; e taling--. Samarkan diantara rimbunan pohon lain, segera sembunyilah di semak. Hati-hati, banyak lintah atau kadang ular. Burung-burung terbang dan hinggap. Hap! Itu dia.. melekat pada lecang kecoklatan menyerupai krem mocca. Merbak, atau pipit, boleh saja. Bakar, makan beramai, berebut lebih seru.

.

TEMAN, itu aku. Dari situlah aku datang. Suatu hari di hadapanmu. Entah mengapa, mataku liar membaca matamu. Hidupku liar di masa kecil, seliar keingin tahuan yang luar biasa tanpa dapat kubendung. Pada matamu, aku membaca.

Ketiadaan, atau keminiman. Terkagum-kagum akan ceritamu. Ajaib, matamu menyala membumbung menggoda keingintahuanku. Hebat benar..

Kau bercerita, yang tak pernah kualami. Matamu, lebih banyak bersuara. Aku, tak mampu berdusta. Aku, tak mampu membungkam. Aku, tak kuat melawan; Magnet.

Pernah, suatu malam. Setelah pertemuan, aku ditendang terjungkal keadaan. Yang terlintas, aku ingin memeluk seseorang, siapapun itu sesungguhnya. Tapi yang terlintas, dirimu. Teman, untuk berbagi. Dan aku ingin, setelah pengandaian itu terjadi, kita butakan semua mata!

Keterkaguman, ketidaksengajaan, kebetulan, keterkaitan, menyilaukan kesadaran.

.

SEPERTI mata bocah, aku melihatmu dengan sederhana. Aku mengagumimu apa adanya. Seorang yang menarik dan berpeluang menjadi teman. Jika terlihat keliru untuk sudut tertentu,


MAAF.

21 Agustus 2008
11;23

Aku; Ibu Juga Anak

KETIKA aku menyisakan dua potong roti pembagian pelatihan hari ini, secara tidak sengaja aku merefleksi kembali, apa yang dilakukan ayah dulu.

egoisnya ketika aku mengabaikannya.

AKU teringat, ayah selalu menyempatkan diri pulang untuk makan siang di sela jam istirahatnya. mungkin sebagian mata orang lain, ayah adalah contoh seorang pegawai negeri yang kurang disiplin.

tapi bagi aku, ibu dan adik-adik.. ayah adalah sosok yang sangat perhatian.

nasi bungkus yang seharusnya menjadi menu makan siangnya, rela dibawanya pulang untuk sekedar dicicipi anak-anaknya.

teman, adakah yang lebih mengharukan dari itu ? (banyak)

kami, --aku dan ketiga anaknya-- menyambut ayah dengan kegirangan dan kebahagiaan yang polos. senang dengan hanya sebungkus nasi padang. menu istimewa bagi kami. harga se bungkusnya bisa 4000 rupiah, sedang uang jajanku, 150 rupiah.

lalu kami berkumpuL, mengelilingi ibu yang membagi nasi bungkus itu menjadi 6 bagian. dengan porsi ayah yang lebih banyak sedikit dari kami. atau sering juga ibu yang sengaja tidak kebagian. "sudah kenyang," alasan klasiknya. terakhir, aku menyadari, itu dusta.

lalu kami menikmati suwiran ayam bakar dari sepotong yang telah dibagi rata. untuk berenam. begitupun nasi berkuah gulai, sambal cabe ijo,tempe goreng, semua lengkap dalam porsi lebih kecil.

kami, anak-anak berlomba berebut porsi terbanyak. walau kami sadar, ibu telah membaginya dengan sangat adil.

NAIF.

SETELAH aku punya anak berusia 2 tahun, aku mengulang apa yang ayah lakukan dulu terhadapku, terhadap anak-anaknya. dan anakku dengan senyum ceria menyambutku pulang, kegirangan itu menyambut dua potong kue yang kubawa.

TUHAN..
betapa aku melihat diriku, pantulanku, pada anakku. adakah yang lebih membahagiakan dari itu? (banyak, mungkin..)

ITULAH orang tua..
itulah nak..
yang selalu menyayangimu.
yang selalu berbuat apapun untukmu.

NAK.. tak perlu lah kelak kau 'tersesat' seperti ibu dalam memahami kedua orangtuamu.

nak..
ibumu ini juga seorang anak. anak dari ayah dan ibunya. yang hingga mati-pun rasanya tak mampu membalas semua yang dilakukan mereka.

tapi ibumu ini..
sama seperti orang tua ibu,
yang selalu memaafkan anaknya.
kelak, janganlah kau mengaburkan kasih sayangku,
hanya karena setitik SALAHku.

19 Agustus 2008
Selatan Jogja

15 August 2008

aku ingin pulang


aku ingin pulang...
dalam pelukan ibunda,
dalam dekapan kasih sayangnya..
dalam kerinduan yang tak tersampaikan
kata-kata menjadi bisu..
indera serasa lumpuh
semua hanyut dalam kecupak ibunda

Mah... kangen....
semoga waktu masih bisa mempertemukan kita...mengumpulkan anak-anakmu...
bersatu dengan ayah dalam tawa seperti dulu..
memperbincangkan bakal-bakal cucu...
merencanakan perombakan kecil-kecilan di pekarangan rumah..

mengenang saat dulu pertama kita pindah ke kalimantan...

Mah kangen....
seandainya bisa bertemu kapan saja..
betapa waktu terus mengkhianati.
aku anakmu, yang selalu kecil...
yang selalu ingin dimanjamu..
yang selalu merindukan omelanmu...

aku anakmu, yang sekarang selalu kau turuti keinginannya...

mah, aku ingin sekali-kali kau jewer, kau cubit bila perlu...

aku kangen.... kangen mah....

kangen dengan kelakar mu, kangen nasihat-nasihat bijakmu...

tidak ada guru yang sepintar dirimu.

"percuma banyak orang menyayangi dirimu, kalau kau tidak sayang dengan dirimu sendiri"

mengapa kalimat itu pernah terucap dari bibir mu Mah? kalimat yang terus berputar di kepalaku...

teman dan kepatutan


model pic : sachy and her friend, lubna

aku mengamatimu..
dalam diam,
dan airmata tak mampu kulawan.
haruskah aku bersedih?
perlukah?
teman..
apakah masih ada nilai kepantasan?
apakah masih tersisa nilai kepatutan?
aku kalut dengan jiwamu..
aku bertanya-tanya dengan pilihan mu..
tapi, pantaskah?
tapi patutkah?
aku melihat kebahagianmu
aku melihat binar manik matamu..
tapi benarkah? sungguhan kah itu?
teman, mengapa aku yang panik?
teman..
tidak ada yang mengikat kita selain empati,
tapi, haruskah aku berempati
sedang mungkin kau tak butuh?
dimana nilai kepatutan itu berada..
dimana nilai kepantasan itu berada...
jauh disana aku lihat tawamu dalam lingkaran ketidakwajaran.

11 August 2008

kegagalan

tampak begitu gampang,
ternyata sulit,
mengerem diri untuk
meremehkan kemudahan.
hm, dan hasilnya..
gagal.
Tuhan, semoga aku masih
diberi kekuatan dan semangat
bantu aku mencari hikmah
atas kegagalan ini.
satu hal yang baru bisa kupetik
disaat sesuatu itu tampak sulit,
maka usahaku akan kukerahkan semaksimal mungkin
tetapi jika sesuatu itu terlihat gampang diraih,
maka usahaku hanya seperlunya saja.
semoga aku tidak terlena dan buta.
di sini, aku harus belajar lagi..
menggali kepercayaan diri
ternyata tidak mudah, mengakui sebuah kekalahan
mengakui sebuah kegagalan
satu hal lagi,
kemenangaku, ialah di saat aku mampu
mengangkat kepalaku dan mengakui dengan jujur, aku gagal.

06 August 2008

Phoenix


Ternyata masih saja belum tuntas. Seperti perjalanan panjang di gurun pasir yang melelahkan. Sepanjang mata mampu memandang, yang trelihat hanyalah hamparan pasir. Lagi dan lagi. Tubuh, kaki dan hati ini sudah lelah, berkali-kali terduduk di sedikit rindang untuk buang sepenggal penat, tapi tidak juga tuntas. Aku ingin mengakhiri dengan segera, tanpa perlu lagi bertanya-tanya, kapan?
Ini aku. Dan yang dihadapanku pun adalah diriku sendiri. Mata itu, adalah mata ku, ruang yang pertama kali mengenalmu. Indera yang mengajarkan padaku betapa indahnya dirimu. Di situlah kalau kau hendak tahu, aku mulai membayangkanmu.. selalu berusaha agar kau senantiasa di hadapanku. Di situlah harapan mulai kutanam, tanpa aku perlu berbasa-basi dengan pikiran, dengan logika lebih tepatnya. Adakah sebuah cinta memerlukan pemikiran?
Kau tahu, cermin inipun masih memantulkan bayang diriku. Bukan sekedar siluet, tapi lebih nyata. Itu hidungku. Indera yang mengajarkanku betapa harumnya kesetiaanmu, betapa tidak pernah pudarnya keinginanku untuk terus menciummu, untuk terus berada di sampingmu. Tidak mengertikah? Atau kau mati rasa? Dan bibir ini, pernahkah kau menyentuhnya? Tidak! Karena kau tidak pernah menyadari, atau kau terlalu angkuh mengakui, aku selalu memanggil namamu. Selalu, kuteriakkan dalam ruang kosong udara. Aku lirihkan, di balik partikel-partikel yang perlahan terbang. Kuharap ia menujumu.
Cermin ini, bukankah kita pernah berjanji bersama. Akan senantiasa menjadi cermin untuk satu sama lain?bukankah kita pernah bersama-sama berjanji akan menjaga harapan ini di dalam hati?
……………….
Aku tahu ini sudah saatnya. Aku tidak dapat keluar, harusnya kau melintas sekali lagi. Aku tidak bisa kabur. Jeruji ini terlalu perkasa mengurungku. Sedang persendianku sudah mulai rapuh. Melintaslah sekali lagi. Tunggu…! Jangan terlalu jauh merentas. Ah, tidak bisa! Aku masih terkurung di sini? Bagaimana ini? Gagak hitam berputar-putar di balik jeruji besi. Dia menertawakanku, dia tertawa mengejekku. Mengejek aku yang kau tinggalkan. Berputarlah.. sekali lagi. Oh Tuhan, tolonglah..
kuasaMu, Dzat.. dia berputar. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Tapi, mengapa ia tidak kembali? Tetapi, mengapa ia tidak menemukanku? Ah.. sayapnya patah Tuhan. Aku melihat darah menetes. Tolonglah dia, bawalah dia ke tempat aman, dimana dia dapat singgah dan memulihkan luka patahnya. Tolong antarkan dia, bawalah dia segera. Jangan biarkan dia terjatuh di tanah dan dimangsa dengan gagak-gagak tolol ini. Bawa segera Tuhan. Jangan pedulikan aku, aku tak mengapa. Masih ada beribu hari yang tidak akan terasa akan berlalu dengan sebuah harapan. Biarlah aku menantinya di sini, biarlah aku menunggunya pulih, agar dia dapat merengkuhku dengan segera. Saat ini, selamatkan dia terlebih dahulu.
Dia masih berputar-putar dan nyaris menukik tajam. Bulunya berjatuhan, gugur dengan rembesan darah. Satu memasuki jendela berteralis besi, kutangkap dengan tanganku. Sebuah bulu emasnya yang panjang dan berkilauan, tetapi basah karena darah. Kemudian sebuah anak panah berkelebat cepat. Aku ingin berteriak, tapi kata-kataku tercekat dan tertahan di tenggorokan. Laju anak panah itu terlampau cepat, bahkan melebihi gerak reflex kedipan mata. Anak panah itu melaju, hingga terbenam di jantung kekasihku.. darah yang berjatuhan lebih banyak dari sebelumnya, membasahi rumput hingga kemerahan. Kemudian puukkk! Tubuhnya terhempas ke bumi. Tidakkkkkkk………
………………..
Di cermin itu tidak lagi kulihat aku. Di cermin itu tidak lagi ada indera yang kumiliki sebelumnya. Semua sudah mati. Semua sudah tak mampu berfungsi lagi. Semua sudah tak bertuan lagi. Hanya sketsa-sketsa yang muncul hilang di batas kaca. Gambaran masa lalu itu menjadi sesuatu yang dingin, membekukan hasratku. Seakan aku tertimbun balok es dan di kubur di kutub utara. Betapa indahnya memiliki masa lalu. Padahal gambaran itu tidak banyak. Hanya berupa lembar-lembar yang pernah tertulis. Sebuah waktu yang singkat tetapi tidak sebentar.
Layar itu putih, dan ada senyummu. Di situ kutemukan teduhnya tatap matamu. Adakah yang lebih baik dari itu? berkali-kali aku coba yakinkan, bukan kamu..! bukan kamu dan tidak mungkin kamu. Walau kenyataannya memang hanya kamu. Dan itu kamu.
………………….
Aku tidak lagi mampu bersinar. Tidak lagi mampu meminjamkan energiku pada bulan. Aku letih, biarlah mendung saja yang mengantung-gantung menaungi bumi. Aku lelah.. aku ingin berbaring, mengenang betapa indah nya sebuah kebersamaan. Kebersamaan yang tidak sebanding dengan hancurnya hatiku. Aku tidak lagi sanggup menerangi hatinya. Atau sebenarnya mampu, tetapi dia tidak menginginkan?
Kekasihku yang mengaku dirinya phoenix, burung hong.. sudah mati. Mati di hantam busur panah. Dulu, hatinya pun sempat mati, semangatnya membeku. Tapi, sinarku mampu menghangatkan hatinya. Sinarku mampu menghidupkan kembali hati dan semangatnya. Tapi kali ini sia-sia ada aku. Aku tidak lagi snaggup membantunya. Karena yang mati ialah jasad dan raganya. Hati dan semangat pun serta merta menyertai, mati. Aku tak bisa apa-apa, karena seluruh dirinya telah mati.
Tapi, itulah kekasihku. Phoenix ku yang telah mati, yang abunya telah tersebar.. akan hidup menjadi phoenix baru yang jauh lebih kuat, yang jauh lebhih hidup, yang jauh lebih bersemangat. Dengan sebuah catatan, memorinya akan aku sudah terhapus. Tak tersisa sedikitpun. Dia hidup menjadi senyawa baru, yang meninggalkan puing-puing masa lalu.
Aku masih terkurung di dinginnya dinding sel. Batu-batu berplester putih telur begitu rekat, menghalagi sinarku menembusnya walau perlahan. Sudah bertahun-tahun tanpa pelangi, padahal hujan senantiasa membasahi. Aku masih terkurung, belum sanggup berbagi kehangatan.
……………………..
Aku kehilangan dirimu. Bisakah memperbaikinya? Bisakah mengulangnya? Pertanyaan konyol, mungkin itu jawabmu. Hei.. untuk apa diam kalau bisa berbicara? Untuk apa berbisik kalau bisa berteriak? Untuk apa mengumpat kalau bisa menghajar? Unutk apa menyerah kalau bisa berusaha? Untuk apa duduk kalau sanggup berdiri? Untuk apa menunggu kalau bisa melaju? Untuk apa bertahan kalau bisa merangsek maju? Untuk apa pasrah kalau bisa diraih? untuk apa bersabar kalau bisa sekarang? Untuk apa hanyut kalau bisa menepi? Untuk a[a menangis kalau bisa tertawa? Untuk apa marah kalau bisa berdamai? Untuk apa pergi kalau bisa bertahan? Untuk apa lari kalau tidak perlu? Dan aku masih menunggu.
Kembalilah..
Aku bertanya pada kembang-kembang kapas putih yang trekadag tertiup sampai kemari, adakah pesan darinya? Adakah salam untukku? Adakah dia masih ingat padaku? Adakah dia masih menyimpan harapan itu? inilah jawabannya setelah amnesia, hidup baru dengan memori baru. “ikhlaskanlah”. Sebuah kata itu seperti mencabik-cabik perasaanku. Begitu mudahkah? Begitu gampangkah? Dia melangkah begitu saja, tak menoleh sekalipun ke belakang seakan tiada pernah ada aku di belakangnya. Begitu kejamnya, mengapa ia sanggup memberi harapan yang kejam? “lebih kejam lagi melanjutkan harapan kosong” jawabnya. Aku tersentak.
Hhh, inilah akhirnya. Yah, seharusnya begitu. Inilah akhir nya. Tapi aku memang terlalu bebal untuk menyadarinya, aku masih saja menyimpan harapan yang kosong itu. aku tidak ingin merubah apapun perubahan yang sudah terjadi aku hanya ingin dia tahu, itu saja. Tapi benarkah? Ah, bahkan selembar bulu berlumuran darah miliknya dulu masih kusimpan dengan baik, kurawat seperti membesarkan anak-anak mawar, tapi mengapa dia tidak dapat diajak berdiskusi sesaat? Dia pasti tahu, aku yakinkan itu. hanya saja, dia lebih kepada tidak mau tahu. Itulah dia, kekasihku yang dulu.
……………………
Tidak ada yang lebih egois. Dialah orangnya. Yang hanya mau tahu apa maunya. Yang tidak memikirkan apa-apa selain dirinya. Yang terjebak dengan angan-angannya sendiri. Dia itulah orangnya, yang mengambinghitamkan halusinasi dengan harapan katanya. Yang berkaca pada air keruh, parigi berkabut. Dia tidak pernah mencariku, yang dicari adalah imajinasinya sendiri. Dia tidak pernah mencintaiku, yang dicintainya adalah pikiran-pikiran liar di benaknya. Aku pergi, karena aku memang harus pergi. Aku pergi karena aku bukan milik dia juga siapa-siapa. Aku pergi, justru karena aku menyayanginya.. tapi dia lupa untuk memahami. Dia lupa menyadari dan melihat segalanya dengan sederhana. Dia terlalu hiperbolis dengan khayalannya. Aku menyayanginya, mencintainya.. sehingga aku tidak ingin menjamahnya. Tapi dia tidak pernah mau berusaha melihat itu. aku menyayangimu, mentariku…
dan kalaupun kau tahu, itu takkan merubah apapun.
6 agustus 2008

02 August 2008

baca; dengan sederhana


Part 3
“untuk apa lo sholat? Kompensasi apa yang bakal diberikan Sang Dzat? Pernahkah kalian bernegosiasi? Mengenai hak dan kewajiban! Bukan hanya menusia saja yang punya hak dan kewajiban. Dzat juga dong!! Lantas apa kewajiban dari Sang Dzat? Dan apa haknya? Apa tidak ada imbalan atau balas jasa dari segenap rahmatNya?”
“kok kamu bicara lancang begitu sih?”
“lancang? Aku bicara apa adanya!sekarang kutanya, apa kamu sudah yakin dengan apa yang kamu lakukan selama ini? Kamu yakin.. kelak kompensasi dari Tuhan itu akan serta merta terlimpah untukmu? Suatu yang pastikah itu?”
“ya..! jika aku terus menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya!”
“ehm.. but, please.. denken sie einmal, think twice! Sebelum kamu melakukan itu semua, yang pertama mesti kau cari ialah, mengapa kau harus melakukan ritual itu? Mengapa Tuhan begitu kau butuhkan? Bukan sekedar mencari kompensasi yang konon kabarnya merupakan janji Tuhan. Tuhan tidak menciptakan robot! Biarkan lah darah yang mengalir karena oksigen yang bekerja terpompa ke otak, sehingga kau dapat berpikir, carilah makna sebanyak-banyaknya, jangan pernah berhenti berproses. Cintailah Tuhan dengan hatimu. Jadi kan ia kebutuhan yang mendasar. Biarlah, janjiNya itu kelak menjadi sekedar bonus. Tapi, sanggupkah?”

pontianak, 2002

Man in The Mirror

teman... cobalah simak lirik lagu Michael jackson berikut. judulnya man in the mirror. tau kan lagunya?
kalau ngomongin tentang kemanusiaan, kepedulian terhadap orang lain dan pemahaman terhadap perbedaan, rasanya kita memang harus memulai dari diri kita sendiri. tentang nilai historis lagu ini...sedikit curhat, aku udah seneng dengan lagu ini dari jaman SD kelas 3, saat masih meraba artinya kata per kata (sekarang juga sih..hehe). harusnya lagu ini nih, yang menggantikan lagu heal the world yang terlanjur membumi... atau imagine nya john lennon...

Man in The Mirror

I'm Gonna Make A Change
For Once In My Life
It's Gonna Feel Real Good
Gonna Make A Difference
Gonna Make It Right...

As I, Turn Up The Collar On
My Favorite Winter Coat
This Wind Is Blowin' My Mind
I See The Kids In The Street
With Not Enough To Eat
Who Am I, To Be Blind?
Pretending Not To See Their Needs
A Summer's Disregard
A Broken Bottle Top
And A One Man's Soul
They Follow Each Other On
The Wind Ya' Know
'Cause They Got Nowhere To Go
That's Why I Want You To Know

I'm Starting With The Man In The Mirror
I'm Asking Him To Change His Ways
And No Message Could Have Been Any Clearer
If You Wanna Make The World A Better Place
Take A Look At Yourself, And Then Make A Change

I've Been A Victim Of
A Selfish Kind Of Love
It's Time That I Realize
That There Are Some With No Home
Not A Nickel To Loan
Could It Be Really Me
Pretending That They're Not Alone?

A Willow Deeply Scarred
Somebody's Broken Heart
And A Washed-Out Dream
(Washed-Out Dream)
They Follow The Pattern Of
The Wind, Ya' See
Cause They Got No Place To Be
That's Why I'm Starting With Me
(Starting With Me!)

dan bla...bla...bla... n na...na...na.... hingga ke...huuuu...make that change!