29 September 2008

Tidak di Angin, Serata Bumi2

aku ingin berlari ke masa itu.
ingin mengejarnya, walau terengah-engah
ingin membalik punggung yang menjauh,
membelakangiku..

aku ingin kembali ke permukaan,
menarik nafas panjang
tuk menyelam lebih dalam

aku ingin tenggelam lebih dalam,
merasakan,
meyakinkan seberapa tergantungnya aku
akan udara bumi

aku ingin melesat di bawa udara,
melayang jauh di balik iga-iga berwarna,
tuk sekedar sadar..
betapa rindu serata bumi

Kekasihku,
aku ingin menghancurkan puzzle yang kita susun,
tuk menyusunnya kembali
dengan lebih baik.

aku ingin dipunahkan saja,
biar debuku bisa kembali hidup
dengan nyawa baru,
dengan roh baru,
dengan kuasa baru..

satu yang kuingin selalu begitu;
diriMu.


(sedikit clue, tulisan ini bercerita tentang kegagalan saya sekolah. hiks...gagal sekolah sama saja dengan gagal dengan harapan yang sebelumnya ada. 'punggung' yang saya tulis itulah si harapan.nah, kadang ada penyesalan dan ingin mengulang ke masa lalu, supaya semua bisa berjalan seperti kemauan atau rencana awal.tapi kan ga mungkin yah...
saya memang meramu nya agak 'asal', seperti Kekasihku...maksudnya sih...Ya Allah...tapi kok ya bosen dengan kata2 itu... biar lebih romantis dikit dengan dzat..hehe..boleh kan? begitu juga dengan diriMu. maksudnya, saya ingin selalu dalam lindunganNya.. selalu berusaha tetap di jalanNya...)


Untuk Wahyu

a candle may melt
and it's fire may die
but,
the friendship you've given me
will stay a flame
in my heart..

(itu saja, semoga kau masih ingat yang pernah kau tulis. terima kasih)



27 September 2008

..pasrah..

Bukannya aku sombong
atau menantangMu

Tapi, bisakah lepaskan roh ku
sekejap saja,
biarkan ia melayang..
meninggalkan jasadku
yang terbatas.

Pergi menembus awan,
larut bersama angin,

Datang untuk menghampirinya,
agar aku tahu dimana ia,
bagaimana ia,
seperti apa ia..

Biar kukecap aroma tubuhnya..
biar kurasakan keberadaannya,
biar aku mampu memeluknya
dalam hampa.

Lepaskan roh ku dari jasad terbatas,
aku ingin bertemu dengannya..

Seandainya pertemuan kedua tak mungkin ada..
biarkan rohku melaluinya dulu,
biarkan aku singgah kesana sebentar,

sebelum aku menujuMu.

Ikhlas

Harus aku cari kemana ilmu itu?
harus aku kejar kemana agar mampu,
harus aku bayar berapa untuk membantu..

Tak ada lembah atau ceruk atau lereng
atau muara atau bukit,
atau apalah untuk kuteriakkan..

Tidak pula langit yang tak mengenal batas sudah,
tidak pula cermin yang membatasi pantulan seribu bayang!

Dimana?
apakah terselip di bentangan semesta?

Kemana?
harus berguru pada siapa?

Tuhan mengirimkan tanda tanya
tanpa jawaban.
misterinya di simpan rapi oleh waktu
tak perlu kalah, karena tak perlu melawan.

Ikhlas, apa itu?



25 September 2008

Tak lagi melangkah..

menemukanmu..

Tuhan,
boleh kah aku lari?

bolehkah aku ingkar dan tidak meyakini?

Tuhan,
masih bergunakah airmata?

temukan aku Tuhan,
cari diriku,
rengkuh aku..
segera,
biar tak robek dan hancur perlahan.

pencarian..
mundur untuk merangsek maju,
atau justru berhenti?

sahabat,
aku menemukanmu
dan disaat yang sama
aku wajib meninggalkanmu.


25sept2008
(dalam keranjang sampah google, aku menemukanmu)






23 September 2008

[.]

batas,

tak berbatas!
sampai kapanpun..

hingga lelah,
atau mungkin tak bernyawa.

haruskah titik selalu menjadi permulaan dan akhir?



22 September 2008

when love, is kept and lock

kau memvonisku!

seperti menyuarakan palu dengan keras
gendang telingaku pecah,
walau kuping-kuping lain tak mendengar.

hanya angan-anganku sendiri, katamu
begitukah?
sungguhkah memang bukan kamu
setelah sekian ini?
benarkah tidak lebih dari sekedar cermin,
untuk peran kita?
yakinkah hanya bayangku
yang kutunggu?

mungkin ada benarnya.

aku hanyut,
tersret ombak deras ke hilir
aku mengapung dnegan sisa udara yang hampa
aku tersengal-sengal menyelamatkan detak jantungku.

ah, hanya angan-anganku yah..
bukan!!
kau salah besar..

ini biji harapan.

aku menyemainya dengan sujud-sujudku
yang memang masih dapat terhitung,
aku menyiraminya dengan airmata dan doa,
aku merawatnya dengan nafas,
yang menggantung di tenggorokanku,

cintai aku dengan sederhana,
pintamu.

TIDAK!!

aku ingin mencintaimu seperti petani saja.
aku tidak tulus dalam pengharapan padamu,
tapi aku ikhlas saat menyayangimu..
dan akan sabar jika badai datang dan menghantam tubuhmu.

siap gagal panen
bahkan saat kau hanya malai,
dengan bulir-bulir hampa

siap kehilanganmu.

resiko, tegasku.
saat aku melangkah pada garis "terlalu"
yang kau batasi dulu.

18 september 2008
Jogjakarta
'dibalik awan hitam tersembunyi semburat wajahnya'



21 September 2008

Manis Cake Pudding, Semanis Persahabatan

Menyenangkan! kata itu lebih mewakili apa yang saya rasakan setelah pertemuan dengan seorang sahabat yang sebelumnya saya kenal di dunia virtual. Jum'at, di Lobi Hotel Grand Mercure Jogjakarta saya bertemu sahabat saya itu, saya bersama suami begitupun dia. Jam 8 lewat 43 menurut pengaturan di ponsel saya, kami bertemu.

Bercerita banyak hal dari lebih banyak lagi yang sebenarnya ingin dibagi. Saya mendapat cerita menarik mengenai masyarakat Papua yang ternyata takut dengan paras melayu, perempuan dengan kulit lebih kuning dan rambut hitam panjang. "mereka bisa lari, melihatmu," katanya.

Di malam hari, setelah pertemuan itu, saya mebaca blog nya. Ada tulisan yang baru diposting. Mengenai pertemuan kami. Menyenangkan!

Pagi hari, Sachy anak saya berusia 2 tahun 4 bulan merengek meminta dibuatkan puding. Biasanya, karena kemalasan, cukup dengan merebus air, gula dan gelatin. Setelah itu dibiarkan dingin, Sachy sudah begitu lahap memakan.

Pagi hari ini, saya lebih 'melek' dapur. Ada beberapa bahan yang bisa dimanfaatkan. Mentega, Gula, Tepung, Telur dan Gelatin. Dan saya mencampur kesemua bahan itu, hingga menjadi sebuah cake pudding. Dibantu Sachy, dia yang mengukur gula dalam gelas, menuangkannya. Memegangi mixer, sambil berkata "kakak bisa kan Ma?".

Saya ingat, saya sudah lama tidak membuat cake pudding ini. Terakhir ialah ketika masih tinggal di Jakarta, berarti sudah seumur Sachy. Tepatnya 2 tahun 5 bulan.

Mengenang kehidupan di sana, menimbulkan sensasi yang menyesakkan di dada. Tidak mampu ditolak. Begitupula kenangan dengan cake pudding ini.

(ah, teman.. airmata lagi-lagi tak mampu kubendung...)

...

Saya tinggal di Petukangan Utara, tidak jauh dari kampus Budi Luhur. Tidak genap satu tahun saya tinggal di sana, tetapi cukup untuk mengetahui kejamnya Jakarta. Mungkin kehidupan saya masih jauh lebih beruntung dibandingkan beberapa tetangga lain, walau saya hidup tidak bermewahan.

Begini, saya perkenalkan salah seorang sahabat saya. Saya tidak mengetahui nama asli nya. Saya memanggilnya Uni. Dari sapaannya bisa kita tebak, kalau Uni berasal dari Sumatera Barat, Padang tepatnya. Dia hidup bersama Uda, suaminya dan kedua anak yang saat itu masing-masing kelas 2 SD dan TK. Hidup mereka sangat sederhana, bangunan yang mereka tempati sangat multifungsi. Ukuran kseluruhan tidak sampai satu setengah halte busway. Separuh dari bangunan tersebut dipergunakan untuk berjualan. Warung dengan isi berjejal-jejal. Sisanya dipergunakan sebagai kamar tidur, ruang makan, ruang keluarga, ruang tamu --walau tidak memungkinkan--, dan dapur. Setau saya, tidak ada kamar. Kasur mereka gelar jika malam dan dilipat jika pagi datang.

Di ruang terbatas itulah Uni menjadi seorang wanita perkasa. Wanita yang selalu menginspirasi saya. Wanita yang selalu mengingatkan saya jika saya sudah mulai larut dalam kesenangan dunia. Jika saya sudah tidak tanggap dengan sekitar. Dia, wanita berkulit sawo matang yang tubuhnya tak lagi dibalut daging dengan cukup.

Aktifitas Uni sama seperti kebanyakan ibu rumah tangga lain. Jam 2 subuh sudah terjaga, mencuci pakaian dan menyetrika, khusus seragam sekolah kedua anaknya, pakaian Uda dan dirinya tidak perlu menurutnya. Lalu menyiapkan sarapan dan menghitung stok barang-barang yang dijual, aneka rupa. Ketika anak bersekolah, dia berjualan membuka toko kebutuhan sehari-hari sementara Uda berdagang keliling, kadang juga hanya di rumah. Seraya berjualan, dengan seribu tangannya, ia juga memasak. Nanti, sepulang sekolah, di tiap sore jari selepas sholah Ashar, Uni selalu mengajari kedua anaknya.

Belajar di sini adalah dalam arti sesungguhnya. Yang membuat saya sangat miris ialah semangat mereka. Semangat Uni untuk mendidik kedua anaknya, semangat yang saya duga mulai luntur akibat beratnya himpitan ekonomi. Di antara tumpukan barang-barang kelontong, ada tumpukan kardus-kardus berdebu hingga ke langit-langit, jejeran pembalut beberapa merk, tumpukan obat nyamuk bakar, kapas, sampai obat gosok dan cutton bud saling berjejal-jejal. ada juga etalase kecil yang memajang benang-benang dan jarum, ikat-ikat rambut aneka rupa, aksesoris dan lainnya. Lalu, di bagian atas tergantung snack-snack Taro, Cetos dan lainnya, menghalangi sinar lampu 5 watt yang tidak pernah dipadamkan. Sedikit ke depan, ada freezer untuk menyimpan es krim walls, saya kira hasil subsidi--kalau boleh dikatakan begitu-- oleh pemilik merk dagang.

Lorong tempat calon pembeli memilih-milih barang ialah celah sempit seukuran se-lengan orang dewasa, dan di situlah kedua anak belajar dibawah bimbingan Uni. Alas yang mereka gunakan ialah kardus. Si sulung mengulang pelajaran di sekolah dan mem-preview apa yang akan diajarkan besok. Sementara si Adik belajar mengaji. Uni selalu menggunakan alat bantu. Sebuah rotan tipis, mengingatkan saya akan guru mengaji di waktu kecil dulu. "Anak, harus dibantu dengan sedikit keras untuk disiplin," ujarnya.

Saat itu saya sedang hamil, mungkin karena saya mengandung anak perempuan, saya mendadak jadi hobi bikin kue. Hal yang sebelumnya jarang saya lakukan, kecuali lebaran di Pontianak dulu. Yang paling menyenangkan ialah saat berbagi yang sedikit saya buat itu kepada beberapa tetangga, termasuk Uni dan anak-anaknya --yang lain, akan saya ceritakan nanti--. Yang menjadi favorite anak-anak itu adalah cake pudding.

Berkali-kali Uni menyatakan ingin diajari membuatnya. Saya jadi malu, rasanya tidak pantas mengajari, wong hanya mudah begitu..

Tentu saja saya tidak keberatan. Jadwal kegiatan Uni jauh dari santai. Hingga hari itu, dia datang ke rumah membawa bahan-bahan yang jauh lebih banyak dari yang diperlukan. "saya sudah minta ijin Uda, bisa sampai jam 4". Ada waktu dua jam, lebih dari cukup. "membuatnya tidak lebih 15 menit Uni".

Sambil kami membuat bersama, kami juga bercerita banyak hal. Tau, apa rencananya?

Saat itu aku menangkap kerisauan jiwanya yang tampak kosong. Tatapannya menerawang jauh. Jauhhh...ke tempat yang tidak mampu saya gapai. Dia menelan ludah, dan bunyinya masih bisa saya dengar sampai sekarang, terasa pahit. "bisakah anak saya terus sekolah mbak?," tanyanya membuat saya terdiam.

Saya ingin mengucapkan "bisa!" untuk menyemangati, tapi saya duga dia lebih tahu jawabannya. Menggantungkan hidup pada warung, tidak terlalu menguntungkan bagi mereka. Banyaknya tetangga yang berhutang sementara sulit sekali ditagih, membuat mereka tidak berdaya. barang-barang yang melonjak naik membuat mereka kewalahan untuk 'kulakan'. Belum lagi barang-barang kadaluarsa yang terpaksa harus mereka buang. Memang daya beli masyarakat turun drastis tahun-tahun belakangan ini. Dengan kenyataan seperti ini, saya tidak boleh asal bicara. Mendengar, itu saja yang sanggup saya lakukan.

Dia berencana untuk mengasuransikan kedua anaknya. Menurutnya, dia dan suami tidak akan sanggup membiayai pendidikan anak mereka sampai ke jenjang tertinggi. Satu-satunya harapan ialah bertaruh dengan asuransi.

...

Tetanggaku yang lain tepat di depan rumah bernama Mpok Nia, Betawi campuran Sunda. Punya anak 4 dengan jarak sangat rapat, bahkan masih punya bayi. Suaminya tidak bekerja dan masih menggantungkan kehidupan sehari-hari kepada mertuanya, yang sudah lanjut usia. Mereka bukan pemalas pada dasarnya, tetapi lapangan pekerjaan dan terbiasa menganggur membuat mereka menjadi biasa menjalani hidup seperti itu. Seringkali Mpok Nia ini kewalahan jika salah satu anak ada yang sakit. Bahkan, di saat anak terkecil beranjak setahun, Mpok Nia sudah hamil lagi. Kurangnya hiburan membuat aktifitas seks menjadi satu-satunya hiburan yang lebih menarik.

Tempat tinggal mereka juga tidak lebih baik dari rumah Uni. Sebuah rumah petak yang dibagi untuk 3 keluarga. Hanya ada satu kamar mandi yang dipergunakan bersama dan bergantian tentu. Sebuah ruang yang jauh lebih multifungsi. Tempat tidur, makan, menyetrika, berkumpul, menonton, masak semua jadi satu di ruangan 3x3,5m. Ada kelambu di situ, saya menduga itulah peraduan ternyaman bagi mereka. Anak-anak tidur tergeletak di lantai tak beralas. Semen dingin kasar tanpa di lapis untuk ebih halus.

Keluarga yang lain ialah keluarga Padang juga, saya memanggilnya Uda, dengan juga tidak mengetahui nama asli mereka. Mereka berprofesi sebagai penjahit. Suami dan istri. Ah, miris rasanya jika membandingkan nasib mereka dengan penjahit lain tempat saya menjahit pakaian. Tarif yang biasa dikenakan untuk menjahit sepotong baju atasan ialah antara 60.000 sampai 80.000 rupiah. Bisa lebih tergantung bahan. Hanya saja, tarif seperti itu tidak akan ditemukan di tempat Uda. Tentu saja tarifnya jauh lebih murah, walau warga situ menganggap cukup mahal. Untuk blus atau kemeja pria, Uda menarik tarif 25.000 Rupiah, 35.000 untuk celana kain. Bukan main murahnya kan?

Tetapi, peminat jahitan Uda ini tidak banyak, sehingga Uda masih harus menjajakan berkeliling menggunakan sepeda baju-baju buatannya. Per helai, beragam. Ada yang Rp. 5.000, dan kalau ditawar lagi malah bisa 10.000 dapat 3 helai. sementara yang paling mahal berharga 30.000, sebuah baju kurung. memang, tidak bisa berharap banyak pada mode. Jahitan Uda bisa dikatakan ketinggalan jaman. Tapi lagi, kalau dipikir-pikir, mau dapat untung dari mana ya?

Awalnya saya tidak tahu mengenai harga jahitan Uda ini. Baru mengetahui begitu Mbok'e --yang menemani saya-- membeli beberapa helai, "untuk yang di kampung, Mbak..,"katanya.

Keluarga yang satu lagi berasal dari Jawa. Mbak Yati. Cantik, dan selalu berdandan. Mbak Yati berusaha warteg, pembelinya lumayan. Mbak Yati seorang yang supel, periang dan baik hati. Dia juga sering membawa oleh-oleh jika setibanya kembali dari kampung. Oleh-oleh andalannya ialah pisang ambon dengan ukuran jumbo. Hampir tidak menyangka kalau itu pisang ambon.

(Ah... betapa wajah mereka melintas tiba-tiba, aku kangen...).

...

Kepindahan ke Jogja memang bukan hal yang direncanakan jauh-jauh hari. Bahkan saya hanya punya waktu seminggu dari keputusan akan pindah ke Jogja untuk mempersiapkan segalanya. Tentu berhubungan dengan kehamilan saya yang mendekati HPL --Hari Perkiraan Lahir--. Sehingga tetangga pun baru saya beritahu sehari sebelum kepindahan.

Sore itu, saya dan suami berkeliling, berpamitan pada tetangga. Mereka kaget, begitupun saya sesungguhnya. Tidak menyangka akan berpisah segera. Keesokan paginya, ternyata jauh lebih mengharukan. Mereka membantu mengemasi barang-barang, bahkan memberi saya banyak kenang-kenangan. Membekali dengan aneka makanan, memberi perlengkapan untuk kelahiran nanti. Saat bersalaman, mereka; Uni warung, Uni penjahit, Mpok Nia dan Mbak Yati saling menangis. Saya sebenarnya tak kuat juga menahan tangis.

Uni pemilik warung memeluk saya erat, seperti baru kehilangan sesuatu. "Kita akan ketemu lagi, nanti saya akan main ke sini," saya coba menghibur. "enggak! kita nggak akan ketemu lagi!!" itu yang dibisikkan Uni, dengan matanya yang merah dan penuh airmata. Saya tidak mengerti.

...

Belum genap 2 bulan kepindahan saya, saya menerima kabar Uni pemilik warung sudah Almarhum. Di susul kemudian dengan Mpok Nia yang masuk Rumah Sakit Jiwa. dua bulan setelahnya, Mbak Yati juga meninggal. Dan yang lebih menyakitkan lagi, rumah petak yang mereka tinggali telah rata dengan tanah. Ketidakmampuan mereka membayar kontrakan, menyebabkan pemilik memilih menghancurkan saja ketimbang memberi tumpangan gratis.

...

Siang ini, saya berniat memberikan secetak cake pudding yang saya buat bersama Sachy pada seorang sahabat yang saya temui malam hari tadi. Cake pudding yang selalu mengingatkan saya akan seorang sahabat lain yang telah tiada, yang airmatanya menggenang saat berpisah, yang pelukannya masih terasa hingga sekarang, yang tulang-tulangnya kalah keras dengan semangatnya, yang rencananya menyekolahkan anak setinggi-tingginya hancur berantakan karena takdir. Sahabat saya yang telah tiada itu bernama Uni, hanya itu nama yang saya ketahui. dan semoga, sahabat yang akan menerima cake pudding ini juga dapat merasakan manisnya persahabatan yang kami jalin. Manisnya cake puding, semanis persahabatan.

(nb. bu, kita tinggal menunggu pertemuan kedua untuk mendatangakan pertemuan-pertemuan selanjutnya...)




18 September 2008

Selain Aku

Bukankah telah engkau dengarkan...
lantunan indah dikumandangkan.
Mengapa tak segera datang...
walau banyak aral melintang.

Datanglah kepada-Ku..
dengan sepenuh jiwamu.
dengan segala asamu...
kan Ku-sambut dengan kecintaan-Ku

Bukankan kau tau...
selain Aku, adalah semu
selain Aku, adalah fana.
selain Aku, hanyalah fatamorgana

(nb. puisi ini dibuat spontanitas oleh sahabat kita Erik, menurut pengakuannya, ini adalah puisi perdana seumur hidupnya. anyway...umurnya brp sih pak? hehe...
terima kasih yah, memberi jawaban atas tulisanku sebelumnya)



Tamsis Trafic Lite..

ini cerita dunia nyata...

hehe, setelah sekian lama tidak menulis mengenai reality life, jadi kangen sendiri...

sudah agak lama kejadiannya, seminggu lalu. sebenarnya saya sudah ingin melupakan kejadian yang saya alami itu, tapi masih belum bisa terlupa. ah, ada-ada saja...

sore itu, setelah bertemu dengan teman-teman yang mau bikin film komunitas (lesbian), saya pulang terburu-buru. dengan seorang teman, Desi namanya. kuperkenalkan...

di lampu merah Taman Siswa, seorang bapak mengendarai sepeda menyalib dari arah kanan, agak nekad sebenarnya, karena saya nyaris tidak sempat mengerem, untung masih ada cakram. sudahlah... posisi di sebelah kiri jalan memang yang terbaik untuk pengendara sepeda.


saya mencari posisi yang lebih baik lagi, mengingat saya juga terburu-buru. heiii... sudah jam setengah enam sore, sementara saya belum mempersiapkan bukaan puasa untuk sachy dan mbak ida. untunglah suami lagi di luar kota (halahhhh...).

kemudian, saya melalui pengendara sepeda ontel itu ke arah kanannya. berhenti sama seperdi pengendara sepeda motor lainnya. tidak ada masalah rasanya. masih berjarak setengah meter dengan pengendara lainnya. tapi ternyata, tindakanku mengusik pengendara lain di sebelah kanan.

seorang bapak yang tubuhnya pastilah bigger than my body.hehe, kuperkirakan tubuhnya lebih dari 110 kilo..lebih! lebih dari 2 kali tubuh saya. bapak tersebut bersama istrinya, yang juga tidak lebih kurus. dan satu orang anak yang duduk di depan.

si ibu meneriaki aku, begini suaranya.. "hhhhhrggg..." serius! begitulah suaranya. aduh, saya benci banget konflik.

dan sejujurnya, saya tidak menyangka kalau ternyata orang yang dimarahinya saya sendiri. saya buka kaca helm. "ada apa Bu?" masih harus dengan sopan, malah ingin mengucapkan maaf, kalau saya memang salah, kalau saja kata-kata kasar tidak keluar dari mulut mereka. yup! mereka...

kompak sekali suami istri itu, mereka mengeluarkan kalimat-kalimat kasar yang saya sendiri tidak faham apa maksudnya. tapi dari nadanya, pastilah dia sedang memaki saya.

mungkin karena juga kesal dan malu diperlakukan seperti itu di depan banyak orang, timbul sedikit keberanian mengatakan ini. "turun aja pak, kalau berani!"

halahhh...perempuan ini!

eh, ternyata mereka benar-benar berhenti di pinggir jalan. oke.. bisa tambah panjang...tapi, memang harus diladeni. emangnya ada, orang gak salah apa2 tapi rela di maki2 di tengah jalan?

posisi saya tepat di sisinya. bersebelahan. bapak itu masih mengumpat, begitupun istrinya. saya masih mendengar, hanya menatap matanya yang nanar 9meyakinkan saya, orang ini dalam kondisi sadar atau tidak). ada kesempatan sedikit untuk menyela "salah saya apa?"

tidak ada jawaban, kecuali umpatan.

saya lihat lagi matanya. (lapar barangkali...). "pak, dilihat dulu dengan mata, apa salah saya?"
dia malah menjawab
"berani kamu? tak keplak kowe!!"
"apa pak?"
"tak gampar kamu!!"

walah....

saya turun, membuka helm.

"tampar kalau berani!! sini!!"

halahh... kalau dipikir sekarang, rasanya konyol juga menantang bapak gede itu, tapi gimana lagi, dia mengancam, walau kecil kan tetap bisa melawan. eh, si desi juga ikut2an turun...

"iya pak, coba aja gampar kalau berani"

dia mengancam lagi, tapi tetap tidak beranjak dari motornya.

dia mulai tidak bersuara, kecuali mata nya yang nanar.

"sekarang gini pak, jelaskan salah saya dimananya.. kalau perlu kita panggil polisi sekarang"
Desi hendak beranjak memanggil polisi yang mungkin ada di dekat situ...mungkin...tapi kemungkinan besar tidak ada.

"jangan hanya mengancam, bapak bisa dihukum karena ancaman bapak. ayo, kita selesaikan di hadapan polisi saja"

si istri sudah kelihatan resah. berkali-kali menepuk pinggang si bapak, untuk menyudahi. tidak lama, mereka kabur begitu saja.

tinggal saya dan Desi saling pandang dan menaikkan pundak. di perjalanan, masih lagi saya berpapasan dengan pasangan itu. saya dului, untuk mencatat plat motornya, sayang dia terlalu pengecut, sehingga mengambil jalan belok.

seperjalanan pulang saya berujar ke desi..

"Mbak, kamu tahu gak...seandainya tadi kita jadi memanggil polisi dan bapak itu tidak terlalu pengecut, mungkin malah aku yang kena denda dan diceramahi"

"emang kenapa?"

"asal kamu tahu aja mbak, aku gak punya KTP, nggak punya SIM C, nggak bawa STNK, dan aku nggak punya kartu identitas apapun, kecuali kartu asuransi CAR"

"ya ampun..."

"itulah mbak, ini pelajaran penting untuk kita. sekali kita mengancam seseorang, kita harus siap diancam dengan hal NOL sementara kita merasa terintimidasi"

kemudian kami berspekulasi, bahwa mungkin si bapak itu sering melakukan kekerasan terhadap istrinya. buktinya, ia tidak segan mengancam orang lain.



( buat bapak, ibu dan adik kecil di trafic lite tamsis, kalau saya memang ada salah, saya mohon maaf. tapi pak... orang selemah apapun, tidak akan terima jika dibawah ancaman)

16 September 2008

..Setelah Beberapa Lama.. (reposting)

Aku butuh Tuhan!
Saat lantunan itu kembali merekah,
dan aku merasa butuh Dia

Jika dia dapat mencumbu ku..

AKU LEBIH MEMILIH DIA

Jika

Mengenang ini,

jika tidak sekarang..
maka tidak selamanya!



13 September 2008

Bulir-Bulir Hujan, Bulir-Bulir Harapan


SUDAH pertengahan puasa, kalian pasti sudah berkumpul. Bisa cerita-cerita sambil berebut pangkuan mama, lempar-lempar bantal dan saling melempar ledekan. Terbayang, wajah Anti yang pasti cemberut, menjadi bulan-bulanan untuk selalu digoda. Mama pasti sudah nyicil bikin kue-kue kering, atau bikin agar kering? ah... sayang Pontianak lagi musim hujan yah, Sintang saja malah kebanjiran. kenapa harus terulang tiap tahunnya ya? emang sih Kota yang membesarkan kita itu seperti sebuah ceruk.

---

MASIH ingat kah, waktu kecil dulu.. jauh sebelum Anti lahir (ah, adik kita yang ragil itu masih kecil yah). Kalau bulan puasa begini, adalah bulan yang sangat kita nantikan. Alasan pertama, karena kita boleh keluar malam. Hal yang tentu sangat terlarang bagi kita. Kalau tarawih, kita pasti sibuk menyembunyikan sendal kita, takut di curi. Ah, buruk sangka saja kita..

Ingat tidak, kenakalan kita waktu kecil dulu? Tarawih.. hm, dari 23 rakaat yang semestinya, paling kita hanya ikut 4 rakaat. Kata Pak Ustad (mungkin gadungan), Tarawih itu sholat yang santai...

Dulu, sebelum mesjid di dekat rumah dibangun, kita Tarawih di surau yang cukup jauh. Satu kilo tak kurang, tapi kalau sekarang disuruh jalan kaki, ogah..

Yang paling kita tunggu adalah selepas Tarawih. Malam semakin menanjak. Tapi, Bang Dul selalu mengumpulkan anak-anak untuk berarak keliling gang sambil memamerkan mantoyo masing-masing. Mantoyo--lampion dalam berbagai bentuk-- menjadi wajib dimiliki setiap anak. Masih ingat lagunya?

"e.. mantoyo manah musuh agogo, ea eo..
jangan takot, kucing makan tulang"

Mantoyo kita selalu sama Niar! pasti kupu-kupu atau berganti ikan. Kalau Ari lain lagi, selalu pesawat. Dan masalah kita selalu sama, seng penyangga lilin selalu tidak kokoh. Bentuk kupu-kupu fondasinya tidak sekuat pesawat. Kalau Ari lain lagi, dia pasti memiliki trik jitu memperlama usia lilin, cukup sederhana, hanya menambahkan garam di atasnya. Terbukti selalu berhasil.

Nanti, kalau sudah jam 10 malam, Mama akan teriak nyaring, "Belia, Niar, Ari....pulang!!! ndak inget pulang ya, udah jam segini? besok mau bangun jam berapa? mau nggak sahur? kalau nggak sahur nanti nggak mama kasi uang jajan"

ah, mama.. tetangga kita sampai hapal betul ancaman itu. Tau kah Ma, ada juga yang nyakat --ngeledek-- "emang berapa sih, uang jajannya?". Anakmu ini akan menjawab asal. "pokoknya cukup untuk beli rumah!" seraya di dalam hati berkata "rumah semut maksudnya, semut suka yang manis-manis, beli bombon--permen-- sudah cukup".

MAMA tahu kebiasaan burukku, selalu sahur di penghujung waktu. "teteh sih enak, makannya cepat" Niar selalu menggumamkan itu. Ya iyalah.. kalau dibandingkan dengan dia yang seperti siput. eh, Niar.. masih kah makan seperti dulu? makan sepiring nasi akan selama apa yang di tonton. Kalau yang ditonton itu film India berdurasi 3 jam, maka sepiring nasi itu akan habis dalam 3 jam pula. Hebat adikku yang satu ini.

Nanti, kalau sudah sahur dan masih ada sedikit waktu sebelum imsak, ingat kah apa yang selalu kita lakukan dengan kompak bertiga?

Kita punya meriam di bawah pohon belimbing. Yang suaranya, bisa bikin gemetar kaca rumah. Ri, lebih asyik meriam karbit dibanding pistol yang selalu kau tenteng sekarang. Tidak sukar membuatnya, hanya dengan tiga kaleng susu berukuran cukup besar, menggali sedikit untuk membenamkannya, lalu menimbunnya dengan tanah liat, membentuk gundukan. Sisakan lubang untuk memasukkan karbit, jangan pakai tangan! bisa terbakar. Gunakan pengait dengan wadah kecil di ujungnya. Karbit di basahi, dan sulut dari lubang di atas meriam setelah di tutup. Duuuaaaaarrrrrrr!!!!!!!

Cara yang sangat efektif membangunkan orang sahur.

---

SEPULANG sekolah, yang kita ingat hanya satu; Main!!!

Kita bertiga selalu bisa menjadi tim tangguh sebenarnya. Tapi, Ari terlalu pengecut untuk bergabung dengan tim perempuan, ah.. padahal Teteh mu ini, tangguh Ri... Kalau Niar? hehe, anak bawang yang satu ini pastilah tak lepas dari ekorku.

Niar, masih ingatkah..?

Niar tuh, anak manis yang takut kotor, kalaupun main, nggak pernah mau jauh dari rumah. Selalu mencubit Ari kalau udah bandel, tapi kemudian buru-buru memeluknya. Huh...

Ingatkah... saat aku asyik main Patrom dengan anak-anak laki-laki, kamu malah lebih senang main tumbuk-tumbuk batu di halaman rumah dan mencetaknya dalam plastik bekas agar-agar. Ari selalu menang main Patrom. Larinya lincah, tapi dia selalu terkecoh. Tidak yakin kalau Niar masih tahu apa itu patrom.

Itu loh Niar, kayu seukuran segenggam, yang dipasangi jari-jari roda sepeda, bisa juga roda motor yang sudah dibalik. Nah, masukkan serbuk pentul korek api, tutup dengan sobekan kertas pematiknya, baru tutup dengan paku. Hamtam paku itu dengan kayu sebagai pemukul. Suaranya mirip dengan pistol sungguhan, lebih pelan sedikit sih.

Kalau ada yang terlihat dari persembunyian, cepat bunyikan sambil sebut namanya. "Ari! kena!"

Ari, masih ingat tapok kaleng kah? ingatkan kalau kita pernah lomba dengan Dayat, Anwar, Ono, dan siapa lagi itu.. mengumpulkan kaleng minuman bersoda. Pernah juga kita berlomba mengumpulkan tutup botol soft drink. Dayat malah sampai dapat menghiasi halaman rumahnya dengan tutup botol itu, tak perlu lagi di semen, ornamen tutup botol lebih cantik.

Tapok kaleng, selalu Niar yang di onte--dikerjai--(baca dengan e;pepet). Saat semua pemain hampir ditemukan, selalu dia gagal menemukan yang terakhir. Yang terakgir tak lain adiknya sendiri. Siapa lagi kalau bukan kamu, Ri. Ari selalu lari seperti kesetanan unuk menerjang susunan kaleng yang menjulang. Sensasi permainan ini adalah suara gaduh saat kaleng berantakan. Dan satu hal lagi, kalau Niar nangis dan mengadu ke Papa.

Niar memang selalu anak Papa ya Ri...

Udah rambutnya ikal, matanya cokelat, kulitnya juga putih banget. Nyebelin... satu lagi tuh, keras kepalanya...ampun deh! eh, terakhir malah seprofesi dengan Papa lagi. alahhhh....

---

EH Niar, masih ingatkah.. waktu kita bikin pondok-pondok-an di bawah pohon belimbing yang buahnya tak pernah putus itu? masih ingat kah dengan yang kita bicarakan dulu? mimpi-mimpi kita Niar...

Kalau Niar lupa, biar teteh ingetin.

Waktu kita bikin pondok-pondok-an dari batang singkong yang kita curi di kebun belakang rumah, dengan daun-daun pisang sebagai atapnya, pohon-pohon cengkodok yang ditata menjadi dinding, ilalang kering pengganti jerami yang kemudian kita timpa lagi dengan daun pisang. Ya harus di lapis lah, kalau tidak, badan kita bisa miang --gatal-gatal-- dan tergores luka.

Waktu itu hujan. Masih ingat? kita hanya berdua. Tidak ada Ari. lalu, Niar masak separuh Indomie rebus pakai batok kelapa yang berulang kali terbakar, dan dapat ide dadakan ganti media menggunakan kaleng sarden mama. Indomie yang mengepul panas, menghangatkan kita dari hujan. Niar ingat kalau kita dulu jarang sekali akur?

Tapi sore itu, kita bermimpi bersama.. mengantungkan harapan-harapan kita pada bulir-bulir hujan yang jatuh. Kita sama-sama berharap kalau harapan dan cita-cita kita itu tidak hanya sekedar menggantung di langit, tapi ada saatnya nanti akan jatuh ke bumi, jatuh ke tangan kita. Seperti tetes hujan.

Kita bermimpi kalau kita ini seorang yang kaya, punya rumah yang megah, padahal melihatnya saja belum pernah kala itu, membayangkannya pun mungkin tak sampai. Berandai-andai kalau kita seorang putri. Maka banyak pangeran yang akan antri. Tapi, kemudian Niar buru-buru menyela. "ah, kalau kita terlalu banyak harta, mereka tidak mencintai kita Teh, tapi cinta harta kita"

Belum tentu, cinta ya cinta saja. Ah, aku terlalu naif.
"kalau Niar?"

"Niar yakin Niar bisa selesai kuliah lebih dulu dari Teteh, bisa kerja seperti harapan mama, bisa gantiin Teteh nanti"

Mana aku percaya itu dulu. Nilai Niar, walau selalu bagus tapi masih kalah dibanding dengan nilai-nilai dan prestasiku. tapi Niar, apa yang kamu ucap dulu, terkabul seperti tetes hujan yang membasahi lidah kita.


Hujan sudah mereda. Kita memanjati pohon belimbing rindang itu. Ada beberapa yang masak. panen yuk..

Entah ide dari mana, kemudian kita menciptakan banyak lagu karangan kita sendiri. Sayang, aku hanya teringat satu. Tinggal satu yang tersisa dari sekian banyak karya tak tertulis kita dulu...

masih ingat lagu kita berdua ini? Putri Melati.

Betapa malangnya nasib diriku// ditinggalkan ayah, jadi sendiri// kumencari teman, yang mengasihiku// kudapatkan pangeran, yang baik hati// tapi di belakang itu, dia pembunuh ayahku//u...u...u...//setelah kuketahui, aku diusir// dari kerajaan milikku sendiri// menjadi orang miskin, gelandangan// tidur beralaskan tikar, beratapkan langit// tiada yang mengasihiku, seorangpun// dan tiada yang tahu, aku ini putri// putri-putri melati yang sangat dihormati// ii...ii..ii// Pangeran yang jahat, jatuhlah ke jurang// dan menjadi bunga// plambang kekejaman// u..u..u// akhirnya sang putri melati// menjadi sang ratu di kerajaannya// ia dapatkan pangeran yang baik hati// walaupun ia seorang petani//

Aku masih ingat kan? bahkan dengan nadanya sekalipun. Hebat benar kita, anak SD kelas 5 dan 3 sudah bisa berbuat karya.

Tahu kenapa lagu itu terus terngiang-ngiang? betapa selagi kita kecil, kita sudah sadar, betapa sakit dan pedihnya ditinggalkan seorang ayah. Kenapa kita tidak menciptanya dengan kehilangan Ibu? kenapa Niar? atau tidak usah kehilangan saja...

Hm, dulu Niar udah tahu tentang Narsiscus belum? Sama, teteh juga belum. Tapi kok kita bisa menebak kalau ada seorang pangeran yang nantinya akan masuk jurang dan menjadi bunga yah? Narsiscus memang bukan pangeran, dewa. Tapi dia laki-laki. Dan menjadi daffodil, bakung, narsis.

Satu lagi, betapa waktu kita kecil dulu sudah faham, seorang Petani jauh lebih bermartabat dibanding penguasa. Ah, adikku sayang.... rindu benar rasanya...


INGAT juga, waktu kita menggigil dalam hujan sore itu?
"Teh, gimana kalau rumah kita hanya seperti ini? nanti, kita nggak mampu bikin rumah seperti punya papa mama"
"ya, kita bikin aja yang seperti ini, nggak perlu pakai biaya mahal, nggak perlu upah tukang, teteh bisa bikin sendiri"
"tapi kan nggak ada selimut"
"nanti teteh peluk, biar nggak dingin"
"tapi kalau laper?"
"nanti teteh jebak burung, bikin lecang. kita bakar sama-sama. kalau tak dapat burung, belalang hijau cokelat jadilah. nanti teteh cari kan putik cegnkodok yang rasanya manis atau biji-biji asoka, putih berkuahnya juga boleh. Niar mau buah letop? asem manis, enakkan? kalau pas semua nggak ada, nanti teteh ambilkan batang cermai muda atau daun jambu bol muda. Enak niar, syukur kalau ada garam sedikit"
"bener Teh?"
"iya. teteh janji. suatu saat, saat Niar tidak memiliki siapapun, akan selalu ada Teteh"

Hujan itu melarutkan tangis kita berdua. ah, Adikku cantik... kenapa kita jarang sekali akur? kenapa setelah itu, kita tak pernah lagi berpelukan? hingga aku menikah? kenapa sayang?

---

KALIAN pasti sudah berkumpul sekarang. Mama masak apa?

Adik kita Anti itu cantik yah? kulitnya saja yang lebih tua. Sayang sekali, sekarang tak pernah ada permainan seperti kita dulu. Sekarang tidak ada hutan lagi untuk diterabas. Ah, apa kabar lapangan di belakang rumah? itu selalu menjadi tempat favorit untuk main layangan. Papa selalu mengajak kita kalau ada waktu.

Katanya, tanah wakaf untuk kuburan sudah semakin mendekat yah, ah adik-adikku sayang, ternyata kita sudah semakin dewasa sekarang. Rasanya baru kemarin kita berkejaran bersama, saling tuding, saling pukul untuk tertawa bersama.

Satu anak gadis harus kita jaga bersama. Anti sudah besar, bukan lagi bayi mungil usia 2 jam yang takut kugendong. Hanya Niar yang berani menggendongnya. Sudah SMP dia sekarang.

---

Niar, Ari, Anti... peluk cium untuk mama. Haturkan sembah kasih tetehmu ini ke papa.

Lebaran ini Teteh, Abang kalian dan Sachy tak pulang. Bukan tiada rindu, hanya sekedar menangguhkan waktu belaka.

Salam kan pada Udara kota yang membesarkan kita itu, aku rindu bersamanya. Aku ingin pulang suatu saat nanti, bergumul dengan tanahnya. Dan abadi di sana. One day.....(sepertinya segera, hm..).

Terdampar di Jogja,
13 September 2008
01.57 WIB

12 September 2008

wishes



langit, hanya batas pandang
membatasi setiap pandangan
apa saja.


ada sepasang mata
yang tertutupi rimbun dedaunan

ada mata yang menghunjam
sejurus menatap bumi

bisu dalam aksara,
buta dalam narasi,
tergugu dalam deskripsi

(beberapa menit lalu
bersama seorang teman)

11 September 2008

Bulan Kembar

Bisakah kita berbicara sebentar?
tanpa ada kata terlontar.

Biar tatap yang coba jelaskan.
biar hati yang coba rangkumkan.


Bisakah kita sedikit berbagi waktu?
di saat senjakala tak begitu menegangkan..
dan saat bulan purnama singgah di buaian.

Bisakah kita memahami barang sedikit?
tanpa harus terburu-buru kereta berangkat di kala fajar..
tanpa harus berurusan dengan perut lapar.

Bisakah kita berbicara sebentar?
hanya mendengar suara hati yang berbisik tanpa peduli gendang telinga orang.

BISAKAH Tuhan mengembalikan wahyu? sinar yang terang tapi tidak menyilaukan.

(untuk 0505)
250807

Sekarang, Entah Besok.. (repost)

AKU akan terus mencintaimu....
sampai batas yang aku sendiri tidak mengerti kapan..

Aku akan senantiasa mencintaimu,
krn aku sendiri pun tak mengerti..
kapan rasa itu tumbuh, dan akan berakhir..

tapi HIDUPLAH dengan ruh yang telah bernaung di nafasmu.

Aku hanya akan mencintaimu,
dalam diam.
dengan SEDERHANA.

Terbawa arus...tapi TAK KAN hanyut.
rasakanlah, dengan PEMAHAMAN yang sederhana.

09 September 2008

seandainya semua lebih mudah


angsana tua.
betapa rindang dengan guguran dedaunan.
cokelat di atas selimut rumput tebal.

angsana tua,
berlingkaran tahun lebih banyak
dibanding teman-temannya.

angsana tua
menaungi bangku taman berkorosi
di bawahnya.

ada aku yang trepekur di situ..

kutanya pada angsana tua,
adakah dia pernah merasa sepi?
jawabnya tidak.

selalu ada burung-burung
yang singgah dari penjelajahan

lalu kutanya kembali..
apa tak merasa kehilangan,
saat daun-daun berguguran?

itu cintaku, jawabnya.

dia pergi untuk tumbuh yang baru,
pucuk-pucuk menanti

ah, angsana tua..
seandainya perasaan bisa sebijaksana engkau..

hei, apakah kau punya perasaan?

aku tidak yakin..
keningmu berkerut,
angsana tua.. jawablah!

kenapa usiamu begitu lama?
sedang kebersamaan yang kurasa
di bangku yang kau naungi ini,
hanya sekejap?

kenapa usia mu begitu tua??
pohon angsana yang bijaksana..

seandainya semua lebih mudah.

08 September 2008

I***l

menyayangi dengan caranya..
mencintai dengan caranya,

melecehkan pun dengan caranya.

santai..
(dengan getir)

06 September 2008

Imitating Mind

Aku terlupa
sebagaimana diri menelikung rasa
lagi-lagi.

Aku terlupa
terlalu banyak bicara

Aku terlupa
terlalu biasa menutup telinga
lagi-lagi.


Dan aku terlupa
memungut kebetulan menjadi hak

Aku terlupa
meminta ketidaksengajaan menjadi kewajiban

Aku lupa,

Diri sesiapa
bukan milik sesiapa
dia punya ruang,
untuk Merdeka!

05 September 2008

Pandora; Pertemuan Kedua


"aku pulang!"

bukan karena lelah, tapi aku sudah ingin pulang.
ingin membuka pintu rumah dengan tanganku sendiri, tak perlu kau sungkan membukakan. aku bisa. bukan karena mata kaki sudah tak mampu membaca arah, tapi dia ingin kembali.

aku pulang, ingin membuka pintu sendiri, membiarkannya sedikit terbuka, agar tidak terlalu pengap. ventilasi ada, hanya saja belum cukup. aku dari luar, perlu penyesuaian sejenak.

tidak perlu..
biar aku saja sendiri yang membuat teh. aku ingin melakukannya sendiri. tak perlu sesungkan itu padaku. aku ingin menikmati teh buatanku.

aku tahu, aku memang bukan pemikmat teh. aku memang bukan penyuka teh. ya! kau tahu betul.. aku lebih senang kopi, tanpa gula. seperti biasa.
tapi, sore ini aku ingin teh saja. biar aku sendiri yang bikin. biar kurasa, seberapa gula yang kuperlukan. takaran kita berbeda...

mari, kau mau menemaniku di beranda?
kau mau mendengarkan ceritaku selama aku mengembara?
kau mau berbagi secangkir teh denganku?
kau mau.. kutatap dengan lembut seperti dulu? mau kah?
mari...

------

kau mencemburui nya!
biar aku jelaskan.

di balik bingkai tebal matanya, aku memang selalu merindukan mata itu. mata yang tidak pernah kutatap langsung. matanya yang terlihat lelah, tapi tidak sebenarnya.

kukatakan, karena dialah aku masih hidup! memang benar, begitulah kenyataannya.
dalam hidupku, ternyata yang kusadari, adalah kebutuhanku akan dia.

tahukah...
dengan ketidaksengajaannya, dia lah yang memperkenalkanku pada pram, pada choelo, pada upasara, pada dr.lecter, pada burung hong, pada pandora, pada tan malaka, pada kesederhanaan, pada kehidupan, pada persahabatan, pada sebuah bentuk yang mampu berubah, pada lady of dream kitaro, pada pacar merah, pada sapardi, hingga aku menemukan sebuah lagu ;hutan kelabu,dan banyak lagi...

dia yang mengenalkanku pada semua yang kuketahui sekarang ini.

semua yang kumiliki saat ini,
yang sekarang menjadi milikmu!

karena dialah aku masih hidup!
aku menantikan pertemuan kedua.

biar aku tulis dengan lugas, di sini;

aku ingin bertemu sekali lagi dengannya. aku ingin pertemuan yang kedua, setelah 7 tahun belum terjadi, setelah aku sempat membangun tiang harapan di 5 tahun lalu.

aku ingin melepaskan bingkai kaca tebal yang selalu menutupi matanya. aku ingin menembus jauh ke dalam matanya. aku ingin membacanya.. aku ingin kembali bersahabat dengannya.

tahu kenapa aku ingin bertemu dia?

hanya satu hal...aku ingin mengucapkan terima kasih.

aku ingin berterima kasih. dulu dia pernah berkata : "biar persahabatan yang ada mencari bentuknya sendiri"

dia juga pernah bercerita di lima tahun lalu...

mengenai perempuan pertama yang diturunkan ke bumi, menurut mitologi yunani. pandora.

pandora dianugerahi banyak hal oleh para dewa. aprodith memberinya kecantikan, hermes memberinya keberanian, athena memberinya roh, demeter mengajarnya memelihara taman, apollo memberinya suara merdu bernyanyi, poseidon memberinya kemampuan agar tidak tenggelam. hera memberinya rasa ingin tahu, dan Zeus membuatnya menjadi perempuan nekad!

selain semua itu, Zeus memberi pandora kota, dengan sebuah catatan : "JANGAN MEMBUKA KOTAK ITU!"

pandora adalah manusia yang memiliki keingintahuan lebih dan lebih... salah kah ketika dia membuka kotak itu?

aku jawab TIDAK!!

walau akhirnya keluarlah bunyi gemuruh.. penderitaan, kemalangan, kesengsaraan dan kemalangan dari kotak itu. tapi ada satu hal, yang harus diperjuangkan :HARAPAN!

lucu dan ironis... sesuatu yang sudah coba dijelaskannya padaku 5 tahun lalu, baru bisa kufahami sekarang. itulah ...

aku pun masih bertanya-tanya, mengapa harus ada jarak waktu diantara kami, mengapa harus ada perbedaan usia di antara kami, mengapa harus ada perbedaan pengalaman di antara kami.

aku tersengal mengejar kemampuannya, tapi, aku justru jungkir balik.

aku faham.

dialah semangatku! dia lah yang membuat ku hidup. dia hingga kini, selalu menjadi sahabat ku. selalu menjadi pendampingku. dengan caranya. dengan caranya, tak pernah berwujud benar-benar bersamaku. itulah dia; sahabatku yang kau cemburui.

jadi, mengertikah kenapa aku ingin pertemuan kedua itu?
mengertikah kenapa aku ingin membuka bingkai kaca tebal penutup matanya?
mengertikah?

aku hanya ingin berterima kasih. itu saja!

dan dia ; perisai amanagappa

------
pertemuan kedua..

bukan hanya sekedar aku ingin bertemu dia.
tapi aku ingin bertemu diriku sendiri, sama seperti suryomentaram..

yang pergi menjelajahi kehidupan, demi untuk menemukan dirinya sendiri.
menemukan dirinya sendiri.

mudah untuk sebagian orang, sulit untuk sebagian lainnya. aku yang terakhir.

aku ingin bersahabat dengan diriku. mencoba memahami diriku.

aku tengah berlari-lari kecil, tak ingin terlambat keluar. aku berlari di dalam labirin. jalan berputar, penuh jalan-jalan buntu menyesatkan.

beri waktu, untuk pertemuan kedua itu. saat aku bisa mengucapkan 'terima kasih' dan mungkin aku akan mendapati diriku sendiri. diriku yang kucari selama ini. dia pernah berkata; "aku hanya cermin wajahmu"

maka biarkan aku bertemu, mencarinya..untuk melihat pantulanku.

-----

suara kecil membangunkanku, jika untuk pertemuan kedua itu kau masih hidup, lantas, setelah pertemuan itu, kau siap mati?

entahlah..
siap atau tidak...hm, waktu terkadang membawanya menjadi dusta.

yang jelas, aku ikhlas, tak ada lagi prasangka.

-----

"aku pulang"

kukatakan itu lembut di telingamu. memastikan kau tidak akan kehilanganku. tidak jiwaku, tidak tubuhku, tidak perasaanku.

aku memang masih menyimpan harapan itu... aku ingin ke venesia, aku ingin ke mentawai, aku ingin menjelajahi pelosok negeri, menjadi guru di dusun-dusun dayak terpencil, aku ingin menjadi penyuluh pertanian, aku ingin menjadi ibu untuk anakku yang bisa menjadi sahabatnya, aku ingin menjadi milikmu sebagai rekanmu, sebagai kekasihmu, sebagai sahabatmu, sebagai partner mu.

aku ingin seperti dulu..
aku ingin mengumpulkan puing-puing hatiku. aku ingin membangun retakan-retakan kepercayaanku. aku ingin berjuang untuk itu.

ingat mimpi kita?
kita akan ke tanah suci, berdua..
sebagai pengganti bulan madu kita yang tidak pernah ada..
sebagai pengganti masa-masa pacaran kita yang terlewat..
sebagai pengganti waktu-waktu kita yang terbuang percuma..

aku mencintaimu, dengan hatiku..
aku mencintaimu...
ketahuilah itu..
sadarilah itu..
fahamilah itu..

-----
di malam itu, ingatkah..?
saat kita terbawa dengan emosi kita.. kemana kita lari?
kemana kita pergi?
bukankah kita sama-sama menangis? menangis telah saling menyakiti? menangis telah saling melukai?
kemana kita lari?
hanya padaNya kan?

kau larut dalam zikir, sementara aku terdiam dan hanyut dalam tangis...

bukankah hidup ini perlu pengertian?

ingatkah saat kau memelukku untuk pertama kali?
saat kau menyentuhku saat pertama kali?

tapi itu tidak penting, karena yang jauh aku rindukan adalah kebersamaan kita. saat kita menjadi tim yang tangguh untuk anak kita, saat kita membangun mimpi-mimpi bersama dan tidak hanya kau yang bekerja. saat kita ingin berbagi dengan mereka, tidak hanya aku yang bergerak..
saat kita ingin berguna untuk oranglain, maka kita harus bekerjasama.

dan aku melakukan dengan caraku sendiri. kumohon, mengertilah...

aku merindukanmu...
dan aku selalu milikmu. selalu.


impluls
5 Sept 08

03 September 2008

Sabit Merah Berbatas Bingkai Kaca

sebuah sinar yang besar menyambut. cepat berpijar untuk menyambar jutaan kilat cahaya. terjatuh kembali mengejarnya, tidak secepat yang diharap. langkah terlampau gontai. sedang cahaya melesat cepat. semburat sinar jelas tertangkap, tidak lari tapi brkejaran. kristal cahaya demikian cepat berpindah, gumpalan energi merangsek sempurna. dalam gelap, seperti tembikar di lautan bara.

gumpalan. seperti darah segar menetes di bening air hujan. terurai beberapa kejap, lantas membaur menjadi jingga. darah segar memerah, menjadi keruh, pudar.

seperempat purnama. sabit merah berbatas bingkai kaca. biasnya melalui pantulan remang lampu kota. udaranya hangat saat di dekap dan terasa dingin saat berjarak. cahaya, mengawini genangan air di sudut jalan. genangan air kotor yang terlalui. berderet motor, mobil, becak, sesekali andong. Jogja, bisu.

..

menangkap matamu yang senantiasa berbicara. seperti ini yang tersirat; harapan, keegoisan, cita-cita, cinta dan hasrat. ini dunia, ini hidup. dan ini kehidupan matamu, mataku. de ja vu.

...

"aku mencarimu!!!"
Icarus berteriak lantang. suaranya parau dihantam kekuatan udara. yang dicari adalah kehidupan. yang dicari adalah sebuah kebebasan, yang dicari adalah sekejap keindahan. langit senantiasa tampak menggoda dari atas bumi.

icarus bertaruh, untuk yang sekejap itu. dia berteriak dengan nyalinya. ia menantang dengan secuil kemampuannya, ia menaklukkan dunia awang-awang dengan kendalinya. ia mampu, saat ia mau. dan ia setuju, saat jiwanya berseteru.

icarus, polos.. lugu, naif.

daedulus terdiam menatap anaknya yang bodoh. sayap yang ia ciptakan, kalah dengan kekuatan cahaya, kalah dengan panas sang surya. lilin meleleh di punggungnya yang memerah.
"turun!! jangan kau lawan matahari"

terlambat, icarus terbuai langit tinggi. dia pemimpi, yang berhasil memiliki sekejap keindahan langit tinggi. dia naif, yang mempertaruhkan segalanya untuk kenikmatan sekejap. tapi dia pemberani, yang membayar semua itu dengan satu nyawa miliknya. satu-satunya harta milik dia.

..

menemukan, bukan satu-satunya jawaban.

"aku kehilanganmu!!" kau teriakkan itu dalam hatimu. suara itu meloncat keluar, menembus sekat-sekat tubuhmu, menggaung dan berpantulan dalam gelombang bunyi hingga ke saraf otakku. sel-sel ku bekerja cepat menerjemahkan sinyal-sinyal itu. kau berujar dengan hatimu yang bergetar, aku merasakan itu.

dan aku diam.

diam adalah sikap!!

diam, bukan ketidakmampuan. diam adalah mau! mau membungkam keinginan, mau menunda berkejap hasrat. diam adalah suara, yang tak bersuara.

aku terguncang. mati rasa, darah berhenti mengalir, oksigen berhenti tersuplai. mati rasa. mati indera. yang masih tersisa.. sejumput airmata.

.

aku benci dengan hujan di jogjakarta. aromanya tidak pernah sampai ke hatiku. hingga malam itu. dalam kesendirian, dalam bungkam, dalam kepasrahan pada Dzat.. aku merasakannya.

bulir-bulir hujan jatuh melaluiku. merembes masuk melewati untaian benang yang membalutku. hujan.. hujan pertama setelah sekian lama. aromanya telah kembali. seperti inilah.. aroma tanah yang kurindukan. basahnya bumi diciprati tetes-tetes hujan.

dari hidungku, kemudian terjatuh ke bibirku aku mengecapnya. rasanya begitu dingin. aku terbebas dalam hujan.

hujan, dan aroma tanah yang kurindukan.

..

magnet.

seperti yang kukatakan. magnet akan berfungsi jika berbeda kutub. walau di batasi kaca, apa saja. mereka akan bertemu, tak kuasa melawan kekuatannya.

magnet, seperti itulah..

matamu, adalah cermin jiwamu. matamu, adalah mediaku untuk berkaca melihat pantulanku dan kau akan menemukan jiwaku pada sorot mataku. begitulah fungsi mata kita. kita punya banyak mata, mata batin hingga mata kaki. tapi mana yang kau pilih?

aku memilih mata yang terletak di kepalamu. dari sanalah aku bisa membacamu. dari sanalah aku ingin memahamimu, dari sanalah kucoba meresapimu. mata baca.

mataku, menemukan banyak kekecewaan dari mata-mata lain yang pernah berpapasan denganku. banyak kudapati penyesalan saat mereka membacaku. banyak kuabaikan erangan-erangan amarahnya padaku.

aku lari, untuk menjauhkan diri dari suara-suara itu. aku coba berlari lagi. untuk mengacuhkan dan tidak menghiraukan teriakan-teriakan mereka. aku lari dari kekalutan pada diri sendiri, aku bergerak dalam gelap yang samar. tidak pekat karena masih ada sabit merah di seberang sana. udara yang kuat mendorongku jauh ke dalam. di lorong itu aku terpojok, belum lagi sampai.

harusnya, matamu juga berbicara hal yang sama. seperti ketika aku menyatakan apa yang kurasa. seharusnya, matamu juga mampu membaca, penyesalan yang belakangan ini semakin terasa. too late...

...

aliran air terlalu deras, sebatang balok kayu tak kan sanggup menghalau. aliran air terus melaju. balok-balok kecil hanyut tersapu gelombang. setangkai mawar terselip disana. diantara berseraknya balok-balok dan serpihan kayu. mawar itu terombang dalam diam. mungkin tidak kuasa, atau memilih menurut saja. tidak ada jalan untuknya. tak punya kaki, bagaimana hendak pergi?

yang ditunggunya adalah kepakan sayap. entah milik siapa saja. walau yang dibayangkannya selalu yang itu-itu saja. selalu, tapi dalam bayangan...

(to be continued)

02 September 2008

Long..long time ago..(kucari diriku)

(...)
Kelak, Akankah terlupa?
Setiap kalimat aku mencoba memahami dengan sederhana.
Caramu menatapku,
caramu berujar,
caramu menceritakan dirimu ketika masih ’hidup”,
sangat menantang.
Membawaku pergi ke suatu tempat di sana, 10 tahun yang lalu untuk sekedar mengatakan : bakar aral itu!!!
Jangan jual jiwamu pada keterpaksaan!
Caramu mendongengkan luka lama yang masih tertutupi oleh ajaran agama dan norma yang terjunjung tinggi.
Sangat feminin. Aku mengaguminya.
Setiap detik, sangat terasa untukku.
Aku masih merasakan saat tangan lembutmu kukecup,
saat basah telapak tanganmu ku dekap,
dan saat kepalamu bersender nyaman di pundakku.
Sedetikpun tak pernah terlewat.
Aku ingat.
Hingga, Terkadang, takmampu ku cerna dengan logika.
Logika?

Aku sedang melawannya, mencoba meninggalkan di rumah, kutempatkan logikaku dalam sebuah kantong di dalam tas yang ku jahit rapat dan kutempatkan dalam peti yang kukubur di tanah -1,1 meter dibawah tanah.
WHY CAN BE?
WHY SHOULD BE?

(.)
Aku pergi,
anganku menerawang jauh kembali pada memoriku selama aku mengerti kenapa seseorang harus tetap hidup,
pernahkan satu moment pun aku melecehkan perempuan?
Iya ternyata!
Aku sering melakukan pelecehan itu.
Aku sering.

Aku menggoda mereka,
aku ‘menyiuli’ mereka dan
aku pernah menganggap perempuan adalah pelengkap laki-laki.
Konstruksi patriarkhis atas tubuh dan pikiranku,
konstruksi atas tubuh, konstruksi seksualitas dan
konstruksi jender yang salah,
menjadikanku sebagai seorang pemuja patriarkhis.
Long live patriarkhis!!!
Aku berharap telah berakhir, hanya berharap.

Dalam pencarianku yang lain, dalam refleksiku yang lain, sebelum mata ini terpejam oleh rasa kantuk yang sangat,
dalam keheningan malam di kota itu,
dalam keriuhan kekekan tawa anak-anak ***,
berlarian di atas menembus malam,
dalam dentuman bass,
treble band-band pengisi ***** semalam,
aku terus mencari.
Semoga tidak ada detik yang kulewatkan.

(...)
Sesaat setelah itu, tangan lembutmu memelukku dari belakang, erat.
Dalam tangismu, dengan lembut kamu mengucapkan sesuatu, yang tidak mampu kudengar dengan jelas namun bisa kurasakan dengan pasti, tegas, lugas dan diucapkan dengan sederhana, seolah bergumam ”aku sayang kamu,..”
Meluluhlantakkan sisa-sisa logikaku!

(..)
khayalan yang mengembara, terlampau liar. menjadi suatu cerita. ternyata, tidak lebih dari sekedar imajinasi.