13 March 2009

MATA BACA Part.2

Kali ini aku mencari. Menjejakkan tiap titik yang bisa dibaca mata.

MATA BACA

Aku kembali ke titik itu. seperti kukatakan, aku memulai dari situ, sebuah titik yang kembali kudatangi. Yang kulihat hanya garis-garis hijau yang pecah-pecah. Mataku rusak, tak mampu menangkap sempurna.

Dan aku mencari, kembali lebih tepatnya. Lalu aku diam di titik itu. Mengamat… lebih tepat mengingat. Selagi nyaris separuh purnama, aku bercermin pada sebentuk kaca. Kaca murni, kurasa. Sepasang mata.

Arus deras udara yang menuntuku pergi. Mencari ujung pelangi. Lantas sebuah momentum memenggal sebuah jeda. Sebuah titik membelah menjadi partikel yang lebih kecil. Seperti amoeba membelah diri, menjadi diri yang sama, lagi. Lagi dan lagi. Dengan titik-titik serupa. Sama? Entahlah…!

Di sudut mata, dalam bingkai kaca. Aku menerobos ke dalam. Tak bisa. Sekali lagi kucoba, dalam diam, mungkin saja bisa, atau dalam

Mungkin terlalu dalam hingga aku kewalahan. Sebenarnya mata itu juga bicara, hanya bicaranya lirih, suaranya parau atau mungkin terlalu lembut untuk kusadap? Aha… pita suara mata itu kiranya.. mata itu berbicara padaku, dalam prasa yang masih samara kutangkap. Mungkin dia akan bercerita. Aku tunggu. Mungkin tentang akhir semu pelangi, mungkin tentang lelembut di pojok senja… entahlah.

Lepaskanlah…
Maka sekejap dapatlah kupandang. Tak ada yang berbeda, sama seperti kebanyakan mata. Seperti yang lain-lain dan sudah-sudah yang kutemui. Tapi entahlah… matamu… seperti sesaja atau apapun…atau entahlah… tapi mata itu…

Aku tahu jatuh sinar pada matamu pun berpendar, hanya larik-larik bias seandainya kau berani melepaskan. Maka bayang-bayang absurd yang terbalik dan terpantul lagi itu, akan buram, atau bahkan tak terlihat.

Aku hanya ingin mengajak… mari kita melihat dengan mata kita yang rusak. Kala tak ada yang dapat kita tangkap, maka biarkan mata baca yang membaca. Untuk apa saja, atau sesaja apa..

Ada setarikan nafas yang kuingat..

Disaat mata mu berpijak untuk suatu sudut, entah itu untukku, untuknya..atau siapa. Tapi kupastikan, itu untukmu. Mungkin kau melihat pantulanku, lantas kau pun membaca dirimu sendiri, entahlah…

Sejauh perdu hijau yang kupandang. Lalu, matamu… mata baca.

Ingatlah suatu saat, kapan saja. Di kala matahari mengundurkan diri demikian cepat, maka kau akan menemukan aku sang mentari yang perlahan tak hendak pulang.

8 comments:

Anonymous said...

yuhuuu... ini postinganku saat ini, sekaligus komenku ya ? hemat, cermat dan bersahaja. :P

*mata pelangi*

mata dalam bingkai
tak terganggu cahaya pendar
bukan larik bias yang memencar pantul bayang
bingkai itu, buram itu, menghalang pandang
terbaca wajah pelangi, semu, utuh
terpantul bayang, di matamu, separuh
mata sesiapa

mata dalam bingkai
mata itu, mata orang-orang
bukan mata bianglala, bukan mata hari
hanya mata hujan atau mata malam ?
yang tak bisa ditembus terlalu dalam
bisa membuatmu terpasung
bisa membuatmu terpalung

telah kukatakan,
tak usah kau lelah menerobos
(atau mendengar liris ?)
cukup kau tatap
aku yang akan membacakannya, untukmu

telah kukatakan,
tak ada ujung pelangi
itu ada di pojok matamu
menari

Anonymous said...

kendati disuruh jangan baca, tapi..aku terlanjur membacanya... hehe...baca tu pake mata apa pake hati...hayoo.....

ehem...ehem.... ini nanti yang lain yang baca malah salah tafsir loh mas...

sudah siap bos?hahaha....
bingung mo koment apa...lomat ke blog mas goe ahhhh....

ketemu dsana....

Miss G said...

Karena mata saya rada burem ("rada" itu untuk memperhalus, lebih tepatnya "memang"), maka saya hanya melihat sambil kriyip2 aja kalo sudah menyentuh soal mata, dan kaca mata, apalagi kalo lensa kontak.

Hihihi... OOT blas!

YAYAN said...

bila melihat dia ibarat melihat diri dlm cermin..orang bilang, engkau telah menemukan belahan jiwa.. keren jeng..

Anonymous said...

Wah saya jadi ikutan baca tulisan mas goenoeng, minta ijin mas...

Melihat dia ibarat melihat dalam cermin, banyak kesamaan dan untuk saling mematut diri, saling mengingatkan

Anonymous said...

wah.. ada puisi yang nuansanya belum pernah saya rasakan disini...

Anonymous said...

Tetap pada mata baca ..
asal tidak pada bukan empat mata hehhehe.

pernahkah bingkai dan kaca itu retak dan pecah ?

goresan pena said...

@ Mbak G: wah...ngomongin mata burem... sama sahaja mbak...ini mata juga bureeemmm...
pake kacamata jg kadang nyengir kuda....he...

@ mata Hati: belahan jiwa?
entahlah...
yang saya tahu hanya sahabat.
kita selalu butuh seorang sahabat, untuk bercermin...(seseorang pernah berkata begitu, padaku)...

nah...kalau definisinya begitu...
menjadi belahan jiwa, harus ada kesepakatan...(menurutku), apa tak perlu...

hm...mau ga yah, dia jadi belahan jiwaku?
tanyain dong mbak...

@ Mas erik: wah...udah di publish kok mas... silakan...mas goe tuh...baik hati dan berdasa darma pramuka kok... rela kok dia...hehe...

sip...sip... sepakat deh mas...

@ Suryaden: hem...puisi yang mana dulu nih...?
karena yang saya tulis, rasanya bukan puisi...he...
ooo... pasti yang punya mas goenoeng yah...

nah, biar beliau saja deh yang menjawab...

mas goe...ayo jawb...

aniwe...terima kasih udah maen kemari...datanglah lebih sering...:)

@ Tembangpejalan: huahahhahahaha... bukan empat mata?
haiiiyyyaaahhhh...

pernahkah bingkai dan kaca itu retak dan pecah?

retak, mungkin iya...
pecah..?
belum. mungkin.