04 March 2009

Bergerak Cepat (Pelarian Verse) Bag. 3

Mentari tadi sudah naik. Dan sekarang sudah semakin condong ke barat. Hari sebentar lagi gelap. Mereka masih di tengah hutan. Tidak ada perdu-perdu. Yang ada ialah pohon-pohon yang menjulang tinggi. Pohon-pohon yang tidak akan sanggup dirangkul kecuali dengan minimal tiga orang. Suara-suara binatang malam semakin membuat hutan begitu menyeramkan. Tapi, tak sedikitpun pasangan kekasih itu merasa ngeri. Yang mereka rasakan hanya cinta yang membara. Cinta yang tak sanggup mereka jabarkan. Cinta yang tak sanggup mereka uraikan.

“kau takut, sayang?”
“tidak”
“apakah alam ini cukup bersahabat?”
“entahlah, aku tidak yakin. Tidak pernah aku di hutan saat malam seperti ini. Seharusnya ini menakutkan. Tapi, entah kemana perginya rasa takut itu. Hilang tanpa aku sadari. Yang aku tahu saat ini hanya dirimu. Bersamamu, dalam dekapanmu”
“kemarilah, mendekatlah padaku. Aku akan selalu mendekapmu. Tidurlah sayang, di pelukanku”

Pohon-pohon tinggi membuat rembulan yang matang hanya terlihat samar-samar cahayanya. Tapi itu sudah cukup bagi mereka. Mereka masih bisa saling menatap. Mata mereka berpadu tanpa mereka sempat berpikir, mata mereka yang berbicara. Saling merasakan perasaan yang menyelimuti. Mata mereka yang menuntun dengan lugas. Dan di bawah sinar bulan, saat mata tidak mampu lagi berkata-kata. Udara mengalirkan sebuah kehangatan, saat kedua bibir mereka bertemu. Saat mereka mendapati udara panas semakin mendesak keluar. Saat kata-kata tak lagi dapat berfungsi, biarlah bibir keduanya yang menyatukan, biarkan mereka berdua menikmatinya. Bibir yang lembut, yang biasanya hanya memanggil nama masing-masing.. biarkan sentuhan-sentuhan itu menawarkan sedikit kerinduan mereka. Biarkan mata-mata tertutup rapat, mereka tidak perlu melihat. Mereka wajib buta saat ini. Biar hanya sentuhan-sentuhan itu yang menentukan kemanapun mereka sanggup membawanya. Biarlah, degup jantung berhenti berdetak. Biar hanya kecupan hangat, lalu sebuah ciuman panjang yang tak berkesudahan yang mewakili asa itu. Biarkan hanya itu. Biarkan sinar bulan yang temaram yang mengantarkan mereka pada pagi yang seperti masih panjang. Yang mungkin tak terpikirkan. Biarkan malam ini menjadi milik mereka. Biarkan, saat mereka mulai membuka mata mereka, yang mereka lihat adalah pasangan mereka. Mata yang rasanya baru sedetik mereka pejamkan. Lalu, jika mereka masih ingin mengulangi kecupan-kecupan itu, jangan dihalangi. Biarkan saja…biar mengalir. Biar mereka rasakan, indahnya sebuah kebersamaan.

...

Di kota Pzuzi.

Dewan kota sudah di padati penduduk. Masing-masing melaporkan kepada ketua dewan yang saat itu duduk di kursi berbantal sutra dengan warna yang mencolok, berwarna gold. Duduk di ujung utara lapangan yang sangat luas. Masing-masing melaporkan rentetan kejadian setelah Lucarsa membawa lari Gissele. Dewan kota menjadi berang. Bagaimana tidak, anak semata wayangnya. Yang tidak lain tidak bukan yang merupakan suami Gissele harus menanggung malu sebesar ini. Bagaimana aib ini dapat ditanggung seorang pemimpin seperti dirinya. Sementara seseorang yang sedang terpuruk karena ditinggal cintanya itu, hanya bisa nanar menatap dinding-dinding kejayaan semu yang telah dibangunnya. Semua dirampas begitu saja, semua diambil begitu saja. Dia telah dikhianati. Dikhianati dengan cintanya.

Telah sedemikian butakah mata-mata yang ia miliki, sehingga ia tidak sadar akan kehadiran cinta yang selalu dipupuk Gissele? Bukankah ia telah merantainya dengan segala kejayaan yang tidak semua pria bisa berikan?sungguh demikian mudahkah melupakan semua kenangan indah yang pernah mereka hadapi dan rasakan? Sedemikian sanggupkah seorang Gissele untuk mengingkari kodratnya. Begitu kuatkah cinta lamanya mengubur masa depannya??
Masa depan….
Masa depan untuk siapa?
Mungkin bagi Gissele, masa depan ialah bersama pria yang membawanya sekarang ini.

Ini adalah luka. Luka yang menganga lebar, tidak akan sembuh dengan seribu jahitan. Luka yang telah bernanah. Kalau perlu, potong saja kaki yang terluka itu! Tidak perlu sampai jantung yang ditikam. Tanpa satu kaki, manusia masih dapat hidup. Ya! Habisi pembuat luka itu. Potong segera, agar tidak membusuk dan menjalar hingga ke bagian lain.

Dengan bibir yang bergetar, pria yang terluka itu, Maju ke atas podium. Mata kaki yang meyakinkannya. Pandangannya menyapu segenap penduduk di kota Pzuzi.

“ini adalah buah dari orang tua yang tidak becus mendidik anak. Dan ini akan menjadi pengajaran bagi kita. Luka harus dibayar dengan kewajaran yang semestinya. Tidak ada alasan untuk membiarkan semua yang berhubungan dengan ini hidup. Seret semua keluarga Bertolomia ke sini. Dan sebagian dari kalian, persiapkanlah bejana dengan api besar. Di dewan kota ini, kalian semua akan menjadi saksi. Ini bukan sebuah hukuman, tapi ini hanya penebusan dosa, dan kita telah membantu mereka”

Tanpa menunggu perintah lagi, mereka segera bubar dan membagi diri dengan tugas masing-masing. Padahal tidak ada yang mengkomando mereka.

.

Di sudut kota Pzuzi
Keluarga Bertolomia tengah terpaku di bawah altar. Mereka suami istri tidak henti-hentinya menyesali dan mengutuk tindakan putri mereka. Betapa konyol dan memalukannya. Mereka pun tak henti-hentinya menyalahkan diri mereka. Pun jika mereka dapat menggantikan hukuman untuk menggantikan kesalahan anaknya, mereka akan bersedia. Mereka masih belum menyadari apa yang akan mereka alami beberapa saat berikutnya.

(bersambung)

4 comments:

Kabasaran Soultan said...

kayak main tebak-tebakan nih jadinya :
Ada perburuan besar-besaran kah ?
Ada pencerahan makna kasih kah ?
Ada cinta di atas segalanya kah ?
ada realitas lainkah ?.

tambah bikin penasaran kayaknya dah hampir klimaks nech.

he-he-he sok tahu ya ?.

Miss G said...

Nah.. terus terang jadi seperti membaca karya Shakspeare!

goresan pena said...

no..no..masih panjang jalan kita pak...

tentu ada perburuan besar!
mungkin pencerahan itu bisa datang, dan tentu sebuah realitas akan mampir pak...hehehehe...

goresan pena said...

konyolnya lagi mbak... malah saya belum pernah membaca karya beliau....heheheheh....
ini hanya mengikuti imaji yang membabi buta saat menuliskannya setahun lalu hanya dalam waktu tak lebih 2 jam..he...