22 December 2008

LUH

“Luh.. jangan terlalu jauh, pulanglah..”
“sebentar Ibu. Aku tak jauh. Hanya di halaman belakang, aku mencari Romo”
“Romo mencari kantung semar, tak usah kau turut”
”Ibu... aku mencari anggrek bertotol hitam. Boleh yah..”
Merengek sedikit, Ibu pasti memberi ijin.
”pergilah..hati-hati” benar saja.
”terima kasih Kanjeng Ibu..”

Luh melesat, meninggalkan pekarangan rumah, menembus rerimbunan hutan. Aneka paku tumbuh dengan sangat subur, terhalangi tingginya pepohonan tua, semakin besah, semakin lembab, semakin tumbuh subur paku-paku itu. Lebih dari 3 meter. Helai-helai besarnya menjuntai dengan beberapa di tengah menggulung masih mengantuk enggan menjadi daun-daun.

Luh berjalan sembari menebar tembang. Tembang yang selalu itu-itu saja. Karena Romo dan Ibu hanya mengajarkan itu. Tiada yang lain..

Menika tembang sae,
Lare-lare sami bungah,
Seneng..seneng..
Dolanan kanthi ati bungah,
Ingkang mirengaken tumut bungah,
Ayo para kanca sami nembang,
Tembang ingkang nengsemaken


Tiba-tiba, langkahnya berhenti. Ia menemukan seseorang, seusia dengannya. Berkain lurik hitam dengan dada terbuka. Bocah itu menebas-nebas rerumputan di sekeliling dengan batang bambu panjang setebal ibu jari.

”berhenti! Kau melukai mereka!” Luh berteriak, menegur.
Bocah lelaki itu tampak bengal. Tak peduli suara Luh yang mengguntur. ”berhenti!”perlu sekali lagi Luh menegaskan.

Bocah itu berhenti. ”siapa kau?”
”harus nya aku yang bertanya. Siapa kau? Aku Luh!”
”lalu kau siapa? Kau yang menanaminya? Kau yang menghidupinya?”
”ya bukan aku... tapi kata Romo, mereka tak pantas dikasari! Mereka juga berhak hidup”
”Romo mu ngawur!”
”kamu yang ngawur!! Romo tak pernah salah” Luh nyaris terisak, tak terima Romo dihina.
”hah!! Menangis saja! Sama persis seperti NAMA mu!! Tak lebih dari airmata!!”

Luh berlari kembali. Luh menerabas pepohonan lebih cepat. Nafasnya memburu. Pertama, ia tak pernah bertemu anak sebayanya, kedua, itu kali pertama ia bertemu bocah sebaya dan laki-laki pula, yang kasar tindakan dan kata. Lalu, itu kali pertama Romo nya dikatai ’ngawur’. Siapa yang waton?

Dan terlebih, ia dikatai cengeng. Namanya disinggung.

Nafas Luh tersengal di bale depan rumah. Hawa panas itu terus memburunya. Jiwanya memberontak, berang. Siapa dia? Siapa?? Tiba-tiba membuat sesak begini? Siapa dia? Anak dewa atau siapa?

Luh menendang pohon jambu air yang berbuah lebat, tiga empat buah berjatuhan. Diambil jambu susu itu satu dan diraupnya cepat. Emosi.

Sudah habis keempatnya, ia hendak menendang lagi. Tapi diurungkan niatnya. Ia malah bergegas ke timur. Pancuran dibuka, mengalirkan air segar dari mata air di atas. Segarnya menyembur langsung ke pusat saraf. Ceeeessss, wajah Luh terasa segar. Tambah lagi diteguknya berkali-kali.

.....

”Romo, apa arti LUH?”
Romo terus menyiangi daun-daun sirih. Ibu membantu dengan menggepruk gambir dan menempati kapur ke dalam batok-batok kelapa.
“Luh itu air mata, Ndhuk”
“mengapa aku diberi nama LUH? Mengapa aku diberi nama airmata Romo? Mengapa Romo? Teratai di parit halaman rumah saja punya nama indah, Padma. Bulan yang bopeng-bopeng itu punya nama Sasikirana, bintang yang kecil dan tak mungkin tergapai itu bernama Lintang, lantas..mengapa aku dinamai airmata, Romo?”

Romo beralih menatap mata anak semata wayangnya. Anak gadisnya itu berumur sewindu, seusia dengan pohon sawo di belakang rumah, 4 purnama lebih muda dari pohon asam di sebelah baratnya.

Romo masuk ke dalam bilik. Dan kembali membawa sebuah kotak kayu berukir yang sangat indah, Luh tak pernah melihat sebelumnya. Kemudian Romo mengeluarkan sebuah benda menyerupai keris kecil seukuran telapak tangan, tetapi lebih mirip perhiasan. Ulirnya halus, tetapi tegas. Ada guratan melati di pangkal dan lidah ular di ujungnya yang runcing.

“cundrik ini adalah mahar saat menikahi ibumu, Ndhuk..
Romo menawarkan kesusahan, bukan surga yang indah untuk ibumu. Tapi Romo tak pernah bermaksud memberi neraka untuknya. Romo mengajak hidup susah, untuk bahagia. Dalam serba susah dan banyak airmata kami itu, kami mendapat anugerah, Ndhuk. Gusti Sang Hyang Widhi menitipkanmu dalam rahim Ibu. Airmata lagi-lagi menemani kami. Airmata tawa, gundah, nestapa, lara, hingga legawa.. Cundrik ini yang menjadi saksi, ia tahu airmata seperti apa yang mengaliri mata kami. Bahkan, Cundrik ini adalah benda paling berharga yang kami miliki sebelumnya, setelah itu.. Cundrik ini tak ada apa-apanya setelah kelahiranmu.
Cah ayu, LUH itu adalah kebahagiaan.. dan hidup ini selalu dipenuhi dengan airmata
Mengertiyo nok.. cah ayu. Romo, tak punya nama lebih indah dari itu”

Airmata Luh mengalir deras, tapi bukan sedih. Melainkan haru. Ia bersalah sangka pada Romo dan Ibu.

”Romo, Ibu.. aku harus pergi sebentar..” Luh segera meninggalkan kedua orangtuanya. Ia kembali masuk hutan, secepatnya. Ia mencari bocah lelaki yang kasar tadi. Ingin diutarakan semua yang disebut Romo.

Dicari berkeliling, tetap saja Luh tak menemukan. Hingga kemudian Luh memutuskan duduk di tempat semula pertama menemukan bocah itu. Di bawah pohon kapuk, yang kapuk-kapuknya basah tak mampu terbang karena lembab hutan.

”mana? Hanya pengecut yang berani tampak sesaat, lantas minggat begitu saja! Mana kamu? Yang hanya berani dengan rumput-rumput tak melawan. Sini! Biar kuberi tahu, kalau aku bukan anak cengeng seperti tuduhmu!”

Sia-sia. Karena suara Luh hanya memantul-mantul. Tapi tetap tak ada yang menyahut. Luh tertunduk. Ia mendapati sebilah bambu yang ia kenali, tadi dipergunakan bocah itu untuk mengobrak-abrik rerumputan. Sesuatu tertera di sana;

“airmatamu bersuara, sementara airmataku beku. Aku butuh emosi, emosi seperti milikmu. Kita bertemu lagi esok, dikala airmata dan emosi bisa bersatu. Ranggas”

Luh tersenyum. Hummm, namanya Ranggas. Bocah lelaki itu bernama Ranggas.

Dibawanya bilah bambu itu pulang. Akhirnya, ia akan mendapat sahabat, walau dengan perkenalan yang aneh. Perjalanan pulang, ia menembang lagi, dengan tembang yang sama;

Menika tembang sae,
Lare-lare sami bungah,
Seneng..seneng..
Dolanan kanthi ati bungah,
Ingkang mirengaken tumut bungah,
Ayo para kanca sami nembang,
Tembang ingkang nengsemaken



Jogjakarta,
20 Des 2008
17:53

19 comments:

Nyante Aza Lae said...

mayan euyy dapet pertamaxx

Nyante Aza Lae said...

lagu apa nih mbak..keknya pernah denger tuhh

Anonymous said...

Wah, dah bisa nembang Jawa ya.

Aneh juga cara perkenalan Luh dan Ranggas

Anonymous said...

Ada aroma Arswendo di tulisannya..

Anonymous said...

hez, kok tulisanmu ini bagus temen ta ya....sungguh !
aku mendapat nilai2 urip disitu. sarat makna, nJawani banget. jan, susah untuk mengatakannya. ah, pasti kamu tahu, aku mau ngomong apa.
seperti mengurai Serat Wedhatama rasanya.

Unknown said...

terbata, rindu,
terbawa aku,
bawa aku,
bawa aku,
yah,
entahlah,
bawa-bawa

Anonymous said...

“airmatamu bersuara, sementara airmataku beku. Aku butuh emosi, emosi seperti milikmu. Kita bertemu lagi esok, dikala airmata dan emosi bisa bersatu" Djoko.

..kalimat itu indah banget....mohon maaf, nama pengirimnya saya ganti...karena kalimat itu pula yg ingin saya teriakkan kepada mbak...

Anonymous said...

duh menyentuh sekali dan rekat lengkap dengan tembangnya
oh ya selamat hari ibu yah

Anonymous said...

wew....great story. bukan sekedar cara menceritakannya yang menarik. tapi impresinya yang membuat saya merasa mendapat pencerahan baru tentang arti sebuah realitas resiprokal hubungan dalam keluarga....

Anonymous said...

Mbak, saya ini juga orang Jawa. Tapi, ndak bisa nembang. Kapan2 ajarin, ya! He..he..

Anonymous said...

Ajarin Mbak Nembang Jawa..!!
hhee,
Tapi kalau mbaknya mau c..

Anonymous said...

dalam dunia patriarki, laki2 ditekan untuk tidak mengeluarkan air mata, padahal sebenarnya laki2 adalah manusia yg juga punya emosi.

budi maryono said...

Segeralah bikin novel dengan judul "LUH".

Multama Nazri said...

mbak pa kabar? mbak memang hebat...

Anonymous said...

Iiihhh suwer ampe dower deh, bagus bgt.. Mataku ampe bkaca2 nih... Hayo tanggungjawab, hehehe... *kapan y aq bs nulis sedahsyat ini?*

Anonymous said...

Hemm bagus banget tulisannya. pingin belajar nulis sama Hesra nih

Arief Firhanusa said...

Seperti mengapung dalam geguritan dan asmaradana saat membaca ini. Ringkih tapi megah.

Cuma mungkin agak ada yang mengganggu, yakni huruf-huruf awal kok kecil? Tapi barangkali prosa lirik ya Hes?

Lebih bagus perenungan macam gini dibukukan saja. Penerbit di Jogja begitu subur macam kecambah ...

Anonymous said...

Setuju sama komen diatas..tulisan mbak hesra sangat indah dan menggugah ,bahwa yang lebih penting dalam hidup ini bukan apa yang kita punya melainkan seperti apa diri kita..

Ngemeng ngemeng kok ada nama sassie disana tapi sie gak bopeng bopeng loohh bener...ahahahaha..

goresan pena said...

teman-teman..ini betul-betul sesuatu yang tertunda, karena luput dari pengamatan saya. ternyata saya lupa membalasi komentar di sini...
(kendati terlambat, tak mengapa...)

@ Mas Kurnia yang always nyante: duhh.. ini lagu apa yah.. yang jelas, ini lagu ngawur yang saya ciptakan impulsif saja..:) tapi lumayan, bisa jadi tembang untuk anak saya..:)

@ Mas Erik: yah.. memang perkenalan seseorang dengan oranglain tak melulu kita bisa duga.. begitu juga dengan pertemanan kita melalui dunia virtua ini, bukan? :)

@ Uda Rakha: weeww.. begitukah? Arswendo adalah salah seorang penulis yang membuat saya kecanduan saat membaca Senopati Pamungkasnya.. bukankah Uda juga sudah ter'racun'? :p

@ Mas Goe: aiihhh, bisa aja deh.. tapi terima kasih banyak Mas koe..
wahh... jarang2 je aku dipuji mas Goe...huehehehhe....

@ Bang Ray Dirayma: hemm.. mesti njawab apa nih?
"rindu terbata, tak sekedar kata. hanya makna, tak bersuara"
haiiyyaa.. entah nyambung entah enggak..

@ Pak Djoko: hmm... terima kasih Pak.. bolehkah merasakan kalimat itu dengan senyuman?

@ mas Totok penguasa jagad kelir..:
yuhuuu... terima kasih, Mas.. pokoknya terima kasih..

@ Gus: weeww.. kaget saya! penulisan sederhana begini, bisa dinilai begitu hebatnya? hmm... saya banyak belajar dari Mas..:)

@ Pak Ullyanov: waduuhhh... saya bukan orang Jawa, kebetulan berorangtua Jawa saja.. dan masalah nembang...huaaa... saya gagap nada, Pak.. jadi, urungkan niat segera belajar nebang dengan saya..:)

@ Fariz: hihihi... becanda akh...
but aniwe.. terimakasih, teman..

@ Desi, lintangpanjer: nah, ini sisi lain dari dunia patriarkhis dan matriarkhis..
panjang kalau berdebat perihal ini...
tapi saya setuju Mbak dengan yang dirimu paparkan..:)

@ Pak Bulan Luka: wahhh...siap, 86 Komandan..!! tapi kapan yah? :p

@ Istantina: duuuhhh... Is, bisa aja deh dirimu, aku jadi kepingin malu.. tulisan biasa dan sederhana begini kok.. dirimu pasti bisa nulis yang jauhhhh lebih dasyat..:)
pasti!

@ Mas erik: aiihhh.... becanda akh.. i'm nobody!

@ nah, Mas Arief: saya memang menunggu komen Mas.. terima kasih ya Mas..
dan perihal huruf depan, sudah saya koreksi.. terima kasih atas masukannya..:)

@ Sassie kirana: yang namanya mirip nama anakku, hanya penulisannyanya beda..: (anakku sachykirana)..
terima kasih..wah.. tentu dirimu cantik, say..
astaga...
sassie...
aku baru teringat... dirimu sudah almarhumah...
teman... berbahagialah di sana..:)