05 December 2008

Bab. 14 Sepersekian Keping Hati (Cerita yang Belum Tuntas)


Bab. 14. Sepersekian Keping Hati

Inilah waktu. Berjalan dengan cepat, tapi tidak singkat. Ayah menunaikan tugasnya hingga tamat dalam membesarkanku. Setelah aku lahir, aku diberi nama dengan pengharapan besar. Agar kelak mampu menerangi keluarga, menjadi kebutuhan bagi adik-adikku dan memberi arah untuk mereka. Kemudian, aku dibesarkan dengan kasih sayang. Walaupun diselingi kekerasan, tapi aku mencoba memahami mungkin itu adalah salah satu bentuk kasih sayang. Toh di jaman dulu banyak guru mendidik siswanya dengan kekerasan fisik pula dan semakin banyak kekerasan itu diberikan, maka kuyakin kemakin kuat lah aku. Ayah juga mampu mengajakku melewati jembatan masa remaja yang penuh pergolakan, yang penuh dengan perjuangan mencari identitas diri, yang penuh dengan perlawanan dan tuntutan untuk suatu yang baru. Ayah mampu membimbingku melompati masa-masa itu. hingga akhirnya, saat ini. Aku menikah.

Ayah menjadi orang yang paling gusar di hari itu. atau lebih tepatnya menjadi orang yang setengah linglung. Entahlah, ayah menjadi banyak melamun. Kemudian, di tengah kesibukan yang tidak terkontrol di rumah, ayah memanggilku. Mengajakku berbicara berdua saja. Matanya terpaku pada mataku yang menyorot hampa. Mata ayah berbicara, dia lelah. Inilah yang dikatakan ayah setelah terdiam sejurus.

“setelah ijab ini, kamu tidak lagi menjadi tanggung jawab ayah dan ibumu. Kamu menjadi tanggung jawab suamimu. Usiamu sudah dewasa, usahakanlah selalu berpikir bijaksana. Contohlah kedua orangtuamu. Janganlah kesalahan apa yang pernah ayah lakukan itu terulang padamu. Ayah ingin kamu bahagia, maafkanlah ayah…”

Aku bersimpuh dengan airmata yang mengalir deras. Ayah.. tidak pantas ayah berkata seperti itu. aku hanya anak tidak tahu budi ayah.. aku bukan anak yang pantas kau beri doa apalagi kau mintai maaf. Siapa aku ini ayah? Yang bahkan untuk menikah pun sangat membutuhkanmu, bahkan harus melalui tanganmu.. bukan tangan ibu, walaupun ibu yang meahirkan ku. Siapa aku ini ayah? Yang berani-beraninya menghakimimu? Siapa aku ini ayah? Manusia yang tidak tahu berterima kasih? Siapa aku ini ayah??

Tidak sepatah katapun keluar dari bibirku. Padahal seribu kosakata berputar-putar dan mencoba berontak. Aku hanya bisa menangis, kelu. Tapi di matanya.. aku melihat pengertian ayah yang begitu besar. Seakan dia berkata, “ini hari bahagia mu.. janganlah ada airmata, Nduk..kecuali itu bahagia”.

Niar masuk ke kamar. Membuyarkan keheningan di antara kami.
“Teh, kebaya nya belum jadi. Payetnya belum terpasang semua”

Aku buru-buru menyeka airmataku. Penat rasanya memikirkan detail-detail pernikahan. Bagaimana mungkin baju yang sudah dipesan sebulan sebelumnya belum rampung terselesaikan? Membuat emosi saja. Aku belum mengetahui, mengapa Tuhan membuat pekerjaan itu belum rampung. Ada yang ingin diperlihatkanNya.

Hingga kemudian, saat aku di make-up, Niar yang menyelesaikan payet dan manik yang belum semua terpasang. Aku lihat di wajahnya yang serius, sebuah kebulatan bahwa ia harus menyelesaikannya, aku lihat kasih sayang darinya yang terpancar jelas, yang sebelumnya tidak pernah dia tunjukkan.


Inikah dia.. adikku yang bertahun-tahun lalu memelukku di tepi sungai Kapuas? Inikah dia yang selalu lihai mengambil hati kedua orangtuaku? Inikah dia yang belakangan tidak pernah akur denganku? Betapa jelas Allah menunjukkan rasa sayangnya padaku. Rasa sayang yang dulu kupikir hilang dengan kehadiran Ari dan Anti. Inikah adikku, yang sewaktu kecil selalu membuat orang gemas? Dengan rambutnya yang ikal, kulitnya yang putih bersih, hidung pesek dan pipi yang tembem? Benarkah ini adikku? Airmataku kembali menetes dengan perlahan.

Aku melongok sedikit ke halaman depan rumahku. Tamu-tamu mulai berdatangan untuk menjadi saksi akad nikah. Aku melihat Ari yang masih mengenakan kaos merah kemarin sore dan celana pendek dengan badannya yang dekil berkeringat. Sungguh sangat kontras dengan penampilan tamu yang datang. Aku hendak marah, mengapa dia tidak segera memperbaiki penampilannya? Kenapa tidak cepat-cepat mandi dan berganti pakaian? Tapi kembali Allah menunjukkan..

Tidak ada wedding organizer dalam akad nikah. Yang ada hanyalah bala bantuan dari teman-teman, tetangga dan adik-adikku. Ari, terlalu banyak yang dilakukannya, bahkan untuk membuat janur dia menegaskan bahwa harus dia sendiri yang membuat, dia pula yang mengatur perlengkapan lainnya sampai ke masalah parkir yang sebenarnya sudah dibantu oleh yang lain. Tapi dia yakinkan, dia harus turun tangan. “Dek.. betapa teteh mu ini tidak pernah mengurusmu, tidak pernah memberimu pelukan seperti Niar, tidak pernah melindungimu dari anak-anak yang usil padamu, betapa teteh mu ini buta..”

Aku menatap berkeliling. Walau katanya tidak boleh, saat menanti ijab, perempuan hanya boleh menunduk. Tapi aku bukanlah seorang penurut. Moment ini kuharap adalah yang sekali seumur hidup. Untuk itu, aku harus merekam jelas dalam memoriku detik-detik ini. Wajah ayah ibuku, berbinar. Bahagia dan terharu. Senyum tipis selalu menyertai di bibir mereka. Kemudian adikku, yang sedari tadi tidak bisa diam, sekaranng duduk tenang dalam balutan kebaya berwarna emas, cantik dan serasi dengan kulitnya yang putih. Lalu Ari, adikku yang beberapa menit lalu masih kumal, sekarang terlihat begitu tampan. Dia duduk manis di ujung sana. Seakan dari senyumnya kubaca dia berkata “Teh, ganteng kan aku?” pikiranku barusan membuatku tersenyum sendiri.

Sedang Anti, sedari tadi mencoba menggodaku dengan senyum nakalnya. Anti sudah besar, sudah kelas 4 SD. Banyak yang mengatakan Anti sangat mirip denganku, kecuali andeng-andeng di wajahnya dan tentu kulitnya yang lebih gelap.

Inilah keluargaku!! Inilah yang harus aku banggakan karena aku memilikinya, karena aku adalah bagian dari mereka. Inilah keluargaku yang sempurna untukku. Keluargaku yang berproses. Inilah keluargaku, yang melahirkan aku, menciptakan karakter akan diriku di saat ini dan nanti. Dan aku menyadari sepenuhnya, aku adalah salah seorang yang beruntung.

dari satu keping hati sebuah keluarga, aku hanya sepersekiannya saja.

13 comments:

Anonymous said...

wah acung jempol dengan yang selalu membanggakan
jadilah seperti yang di harap dan terharap tentu sangat tidak mudah namun ketika telah terbukti membanggakan itulah nilai yang tiada terkira
saya salut dengan tulisan ini pencerminan yang luar biasa
salam kangen dan salam hormat selalu

Arief Firhanusa said...

Saya terlempar ke karpet beludru pernikahanmu. Menyaksikan segala rupa dan rasa. Menyimak segenap duka dan airmata.

Saya kagum dengan segala apa yang terjadi di sana, seperti sebuah susunan puzle yang dirancang untuk menampik keributan hati yang retak dan rengkah.

Saya ngungun, hati saya senyap, tapi saya bisa tersenyum, meski tak banyak, di sela kesibukan saya menyeka airmata ...

Anonymous said...

...itulah sejatinya keluarga...bisa saling mengerti, saling membantu dan saling menjaga tanpa perlu ada kalimat yg terucap...kasih yg tak terbatas dan tak akan pudar...bahagialah mbak...!!!

MUJAHIDIN Kaliwungu Kendal said...

Luar Biasa...Ayah Bunda Pasti sangat bahagia bila melihat Posting ini, betapa tidak...ia memeiliki seorang putri yang sangat menghargainya sebagai orang tuanya.... menjadikan adik-adiknya sebagai saudara yang sangat disayanginya.
Saya do'akan rumah tangga yang akan kau tempuh. semoga membawa kebahagiaan, dan InsyaAllah Kebaikan dan hormatmu terhadap orang tuamu serta sayangmu terhadap adik adikmu akan menjadikan berkah untuk hidupmu.

Ingin rasanya aku menjadikan anakku jadi seperti engkau yang begitu hormatnya pada Orang tuamu.

Terima kasih, posting ini jadi motivasiku mendidik anak-anakku.

Nggak perlu bersedih... saya yakin tangismu adalah kebahagiaan buatmu sendiri , buat saudaramu dan buat kedua orangtuamu

Nyante Aza Lae said...

dq membaca berulang ulang tulisan ini..dq sangat haru skaligus bahagia melihat "hati" mbak..
Hanya kekaguman yg bs dq sampaikan..smg hal ini tak pernah pupus dari lubuk hatiku..

goresan pena said...

*mas totok kelir; saya memang sangat bangga dengan keluarga saya, yang berproses mas...keluarga yang tak sempurna sesungguhnya ialah yang sangat sempurna bagi saya. kami berproses... terima kasih banyak mas...

* mas arif; yah...ini hanya sepenggal puzzle dari beberapa keping yang sedang saya susun mas... baru bab.14
mungkin jika membaca dari bab.1 hingga bab.23 yang belum tuntas,senyum itu akan lebih mengembang...atau justru sebaliknya...
tetapi, terima kasih banyak mas....terima kasih...

* pak djoko; begitulah pak...alangkah naif saat saya menaruh curiga pada keluarga...ah, memalukan ya pak..

* pak jahid; pak...seperti yang saya tulisa... saya ini siapa pak...? saya adalah anak yang pernah durhaka dengan orang tua, tidak terlalu penurut, walau saya tak pernah memberi aib (jangan sampai...). tetapi.,...saya ini hanya anak yang rasanya tak pantas selalu di beri doa, malu saya pak...sungguh....
anyway...terimakasih pak...semoga bapak juga selalu membantu saya untuk senantiasa berproses...mengerti bagaimana membahagiakan orangtua dengan keterbatasan saya. terimakasih pak...

* nyante aza lae...
terima kasih...ini hanya sepenggal cerita hidupku yang kurasa takkan mungkin kulupa seumur hidup. "hatiku" membacanya berkali-kali...
terimakasih teman...terima kasih, untuk apa saja...

Anonymous said...

Wah kok sauad bab ke 14, bab 1 sampa 13 belum baca nih

Anonymous said...

Saya membacanya beberapa kali. Sangat mengharukan Hes..

Multama Nazri said...

terima kasih Tuhan kkau izinkan aku membaca tulisan ini...
tak cukup tuk menuliskan harunya aku detik ini...tak cukup
hanya orangtua ama anaknya yang pantas disebut cinta sejati diluar itu tidak dan belum layak...
Namun, andai ada Hari Ayah, jangan hari Ibu saja....agar adil...

Anonymous said...

udah bab 14... bisa jadi buku donk...

Nyante Aza Lae said...

pengen ke taman sari lahi ahhh

Anonymous said...

Ayah adalah satu-satunya laki-laki di dunia ini yang aku percaya.
Wah, Bu, pa kabar. Masih sibuk di kampus? Baca tulisan ini jadi pengen nikah juga hahaha... Tapi sama siapa ya? Cariin donk...
Keluarga adalah segalanya bagiku. Doakan ya Bu semoga aku bisa segera menikah (meski sering ketakutan membayangkannya).
Miss u...

Anonymous said...

Eh iya, lupa ne, mau kasih tau aja aku nulis beberapa (eh cuma dua kok hehe..) di blogku (lintangpanjer.blogspot.com). kalo ada waktu, tolong baca ya. eh tapi masih kayak gitu, harap maklum ya... thanx