21 September 2008

Manis Cake Pudding, Semanis Persahabatan

Menyenangkan! kata itu lebih mewakili apa yang saya rasakan setelah pertemuan dengan seorang sahabat yang sebelumnya saya kenal di dunia virtual. Jum'at, di Lobi Hotel Grand Mercure Jogjakarta saya bertemu sahabat saya itu, saya bersama suami begitupun dia. Jam 8 lewat 43 menurut pengaturan di ponsel saya, kami bertemu.

Bercerita banyak hal dari lebih banyak lagi yang sebenarnya ingin dibagi. Saya mendapat cerita menarik mengenai masyarakat Papua yang ternyata takut dengan paras melayu, perempuan dengan kulit lebih kuning dan rambut hitam panjang. "mereka bisa lari, melihatmu," katanya.

Di malam hari, setelah pertemuan itu, saya mebaca blog nya. Ada tulisan yang baru diposting. Mengenai pertemuan kami. Menyenangkan!

Pagi hari, Sachy anak saya berusia 2 tahun 4 bulan merengek meminta dibuatkan puding. Biasanya, karena kemalasan, cukup dengan merebus air, gula dan gelatin. Setelah itu dibiarkan dingin, Sachy sudah begitu lahap memakan.

Pagi hari ini, saya lebih 'melek' dapur. Ada beberapa bahan yang bisa dimanfaatkan. Mentega, Gula, Tepung, Telur dan Gelatin. Dan saya mencampur kesemua bahan itu, hingga menjadi sebuah cake pudding. Dibantu Sachy, dia yang mengukur gula dalam gelas, menuangkannya. Memegangi mixer, sambil berkata "kakak bisa kan Ma?".

Saya ingat, saya sudah lama tidak membuat cake pudding ini. Terakhir ialah ketika masih tinggal di Jakarta, berarti sudah seumur Sachy. Tepatnya 2 tahun 5 bulan.

Mengenang kehidupan di sana, menimbulkan sensasi yang menyesakkan di dada. Tidak mampu ditolak. Begitupula kenangan dengan cake pudding ini.

(ah, teman.. airmata lagi-lagi tak mampu kubendung...)

...

Saya tinggal di Petukangan Utara, tidak jauh dari kampus Budi Luhur. Tidak genap satu tahun saya tinggal di sana, tetapi cukup untuk mengetahui kejamnya Jakarta. Mungkin kehidupan saya masih jauh lebih beruntung dibandingkan beberapa tetangga lain, walau saya hidup tidak bermewahan.

Begini, saya perkenalkan salah seorang sahabat saya. Saya tidak mengetahui nama asli nya. Saya memanggilnya Uni. Dari sapaannya bisa kita tebak, kalau Uni berasal dari Sumatera Barat, Padang tepatnya. Dia hidup bersama Uda, suaminya dan kedua anak yang saat itu masing-masing kelas 2 SD dan TK. Hidup mereka sangat sederhana, bangunan yang mereka tempati sangat multifungsi. Ukuran kseluruhan tidak sampai satu setengah halte busway. Separuh dari bangunan tersebut dipergunakan untuk berjualan. Warung dengan isi berjejal-jejal. Sisanya dipergunakan sebagai kamar tidur, ruang makan, ruang keluarga, ruang tamu --walau tidak memungkinkan--, dan dapur. Setau saya, tidak ada kamar. Kasur mereka gelar jika malam dan dilipat jika pagi datang.

Di ruang terbatas itulah Uni menjadi seorang wanita perkasa. Wanita yang selalu menginspirasi saya. Wanita yang selalu mengingatkan saya jika saya sudah mulai larut dalam kesenangan dunia. Jika saya sudah tidak tanggap dengan sekitar. Dia, wanita berkulit sawo matang yang tubuhnya tak lagi dibalut daging dengan cukup.

Aktifitas Uni sama seperti kebanyakan ibu rumah tangga lain. Jam 2 subuh sudah terjaga, mencuci pakaian dan menyetrika, khusus seragam sekolah kedua anaknya, pakaian Uda dan dirinya tidak perlu menurutnya. Lalu menyiapkan sarapan dan menghitung stok barang-barang yang dijual, aneka rupa. Ketika anak bersekolah, dia berjualan membuka toko kebutuhan sehari-hari sementara Uda berdagang keliling, kadang juga hanya di rumah. Seraya berjualan, dengan seribu tangannya, ia juga memasak. Nanti, sepulang sekolah, di tiap sore jari selepas sholah Ashar, Uni selalu mengajari kedua anaknya.

Belajar di sini adalah dalam arti sesungguhnya. Yang membuat saya sangat miris ialah semangat mereka. Semangat Uni untuk mendidik kedua anaknya, semangat yang saya duga mulai luntur akibat beratnya himpitan ekonomi. Di antara tumpukan barang-barang kelontong, ada tumpukan kardus-kardus berdebu hingga ke langit-langit, jejeran pembalut beberapa merk, tumpukan obat nyamuk bakar, kapas, sampai obat gosok dan cutton bud saling berjejal-jejal. ada juga etalase kecil yang memajang benang-benang dan jarum, ikat-ikat rambut aneka rupa, aksesoris dan lainnya. Lalu, di bagian atas tergantung snack-snack Taro, Cetos dan lainnya, menghalangi sinar lampu 5 watt yang tidak pernah dipadamkan. Sedikit ke depan, ada freezer untuk menyimpan es krim walls, saya kira hasil subsidi--kalau boleh dikatakan begitu-- oleh pemilik merk dagang.

Lorong tempat calon pembeli memilih-milih barang ialah celah sempit seukuran se-lengan orang dewasa, dan di situlah kedua anak belajar dibawah bimbingan Uni. Alas yang mereka gunakan ialah kardus. Si sulung mengulang pelajaran di sekolah dan mem-preview apa yang akan diajarkan besok. Sementara si Adik belajar mengaji. Uni selalu menggunakan alat bantu. Sebuah rotan tipis, mengingatkan saya akan guru mengaji di waktu kecil dulu. "Anak, harus dibantu dengan sedikit keras untuk disiplin," ujarnya.

Saat itu saya sedang hamil, mungkin karena saya mengandung anak perempuan, saya mendadak jadi hobi bikin kue. Hal yang sebelumnya jarang saya lakukan, kecuali lebaran di Pontianak dulu. Yang paling menyenangkan ialah saat berbagi yang sedikit saya buat itu kepada beberapa tetangga, termasuk Uni dan anak-anaknya --yang lain, akan saya ceritakan nanti--. Yang menjadi favorite anak-anak itu adalah cake pudding.

Berkali-kali Uni menyatakan ingin diajari membuatnya. Saya jadi malu, rasanya tidak pantas mengajari, wong hanya mudah begitu..

Tentu saja saya tidak keberatan. Jadwal kegiatan Uni jauh dari santai. Hingga hari itu, dia datang ke rumah membawa bahan-bahan yang jauh lebih banyak dari yang diperlukan. "saya sudah minta ijin Uda, bisa sampai jam 4". Ada waktu dua jam, lebih dari cukup. "membuatnya tidak lebih 15 menit Uni".

Sambil kami membuat bersama, kami juga bercerita banyak hal. Tau, apa rencananya?

Saat itu aku menangkap kerisauan jiwanya yang tampak kosong. Tatapannya menerawang jauh. Jauhhh...ke tempat yang tidak mampu saya gapai. Dia menelan ludah, dan bunyinya masih bisa saya dengar sampai sekarang, terasa pahit. "bisakah anak saya terus sekolah mbak?," tanyanya membuat saya terdiam.

Saya ingin mengucapkan "bisa!" untuk menyemangati, tapi saya duga dia lebih tahu jawabannya. Menggantungkan hidup pada warung, tidak terlalu menguntungkan bagi mereka. Banyaknya tetangga yang berhutang sementara sulit sekali ditagih, membuat mereka tidak berdaya. barang-barang yang melonjak naik membuat mereka kewalahan untuk 'kulakan'. Belum lagi barang-barang kadaluarsa yang terpaksa harus mereka buang. Memang daya beli masyarakat turun drastis tahun-tahun belakangan ini. Dengan kenyataan seperti ini, saya tidak boleh asal bicara. Mendengar, itu saja yang sanggup saya lakukan.

Dia berencana untuk mengasuransikan kedua anaknya. Menurutnya, dia dan suami tidak akan sanggup membiayai pendidikan anak mereka sampai ke jenjang tertinggi. Satu-satunya harapan ialah bertaruh dengan asuransi.

...

Tetanggaku yang lain tepat di depan rumah bernama Mpok Nia, Betawi campuran Sunda. Punya anak 4 dengan jarak sangat rapat, bahkan masih punya bayi. Suaminya tidak bekerja dan masih menggantungkan kehidupan sehari-hari kepada mertuanya, yang sudah lanjut usia. Mereka bukan pemalas pada dasarnya, tetapi lapangan pekerjaan dan terbiasa menganggur membuat mereka menjadi biasa menjalani hidup seperti itu. Seringkali Mpok Nia ini kewalahan jika salah satu anak ada yang sakit. Bahkan, di saat anak terkecil beranjak setahun, Mpok Nia sudah hamil lagi. Kurangnya hiburan membuat aktifitas seks menjadi satu-satunya hiburan yang lebih menarik.

Tempat tinggal mereka juga tidak lebih baik dari rumah Uni. Sebuah rumah petak yang dibagi untuk 3 keluarga. Hanya ada satu kamar mandi yang dipergunakan bersama dan bergantian tentu. Sebuah ruang yang jauh lebih multifungsi. Tempat tidur, makan, menyetrika, berkumpul, menonton, masak semua jadi satu di ruangan 3x3,5m. Ada kelambu di situ, saya menduga itulah peraduan ternyaman bagi mereka. Anak-anak tidur tergeletak di lantai tak beralas. Semen dingin kasar tanpa di lapis untuk ebih halus.

Keluarga yang lain ialah keluarga Padang juga, saya memanggilnya Uda, dengan juga tidak mengetahui nama asli mereka. Mereka berprofesi sebagai penjahit. Suami dan istri. Ah, miris rasanya jika membandingkan nasib mereka dengan penjahit lain tempat saya menjahit pakaian. Tarif yang biasa dikenakan untuk menjahit sepotong baju atasan ialah antara 60.000 sampai 80.000 rupiah. Bisa lebih tergantung bahan. Hanya saja, tarif seperti itu tidak akan ditemukan di tempat Uda. Tentu saja tarifnya jauh lebih murah, walau warga situ menganggap cukup mahal. Untuk blus atau kemeja pria, Uda menarik tarif 25.000 Rupiah, 35.000 untuk celana kain. Bukan main murahnya kan?

Tetapi, peminat jahitan Uda ini tidak banyak, sehingga Uda masih harus menjajakan berkeliling menggunakan sepeda baju-baju buatannya. Per helai, beragam. Ada yang Rp. 5.000, dan kalau ditawar lagi malah bisa 10.000 dapat 3 helai. sementara yang paling mahal berharga 30.000, sebuah baju kurung. memang, tidak bisa berharap banyak pada mode. Jahitan Uda bisa dikatakan ketinggalan jaman. Tapi lagi, kalau dipikir-pikir, mau dapat untung dari mana ya?

Awalnya saya tidak tahu mengenai harga jahitan Uda ini. Baru mengetahui begitu Mbok'e --yang menemani saya-- membeli beberapa helai, "untuk yang di kampung, Mbak..,"katanya.

Keluarga yang satu lagi berasal dari Jawa. Mbak Yati. Cantik, dan selalu berdandan. Mbak Yati berusaha warteg, pembelinya lumayan. Mbak Yati seorang yang supel, periang dan baik hati. Dia juga sering membawa oleh-oleh jika setibanya kembali dari kampung. Oleh-oleh andalannya ialah pisang ambon dengan ukuran jumbo. Hampir tidak menyangka kalau itu pisang ambon.

(Ah... betapa wajah mereka melintas tiba-tiba, aku kangen...).

...

Kepindahan ke Jogja memang bukan hal yang direncanakan jauh-jauh hari. Bahkan saya hanya punya waktu seminggu dari keputusan akan pindah ke Jogja untuk mempersiapkan segalanya. Tentu berhubungan dengan kehamilan saya yang mendekati HPL --Hari Perkiraan Lahir--. Sehingga tetangga pun baru saya beritahu sehari sebelum kepindahan.

Sore itu, saya dan suami berkeliling, berpamitan pada tetangga. Mereka kaget, begitupun saya sesungguhnya. Tidak menyangka akan berpisah segera. Keesokan paginya, ternyata jauh lebih mengharukan. Mereka membantu mengemasi barang-barang, bahkan memberi saya banyak kenang-kenangan. Membekali dengan aneka makanan, memberi perlengkapan untuk kelahiran nanti. Saat bersalaman, mereka; Uni warung, Uni penjahit, Mpok Nia dan Mbak Yati saling menangis. Saya sebenarnya tak kuat juga menahan tangis.

Uni pemilik warung memeluk saya erat, seperti baru kehilangan sesuatu. "Kita akan ketemu lagi, nanti saya akan main ke sini," saya coba menghibur. "enggak! kita nggak akan ketemu lagi!!" itu yang dibisikkan Uni, dengan matanya yang merah dan penuh airmata. Saya tidak mengerti.

...

Belum genap 2 bulan kepindahan saya, saya menerima kabar Uni pemilik warung sudah Almarhum. Di susul kemudian dengan Mpok Nia yang masuk Rumah Sakit Jiwa. dua bulan setelahnya, Mbak Yati juga meninggal. Dan yang lebih menyakitkan lagi, rumah petak yang mereka tinggali telah rata dengan tanah. Ketidakmampuan mereka membayar kontrakan, menyebabkan pemilik memilih menghancurkan saja ketimbang memberi tumpangan gratis.

...

Siang ini, saya berniat memberikan secetak cake pudding yang saya buat bersama Sachy pada seorang sahabat yang saya temui malam hari tadi. Cake pudding yang selalu mengingatkan saya akan seorang sahabat lain yang telah tiada, yang airmatanya menggenang saat berpisah, yang pelukannya masih terasa hingga sekarang, yang tulang-tulangnya kalah keras dengan semangatnya, yang rencananya menyekolahkan anak setinggi-tingginya hancur berantakan karena takdir. Sahabat saya yang telah tiada itu bernama Uni, hanya itu nama yang saya ketahui. dan semoga, sahabat yang akan menerima cake pudding ini juga dapat merasakan manisnya persahabatan yang kami jalin. Manisnya cake puding, semanis persahabatan.

(nb. bu, kita tinggal menunggu pertemuan kedua untuk mendatangakan pertemuan-pertemuan selanjutnya...)




9 comments:

Haris said...

Sahabat.. begitu lekatnya mereka di hati kita. Sahabat mbak telah begitu banyak memberi pelajaran kehidupan... Semoga mereka diberikan kelapangan di alamnya sekarang.
Salam

Anonymous said...

blog dengan tulisan2 yang indah...
makasih udah nyempetin mampir di blogku....

Bambang Saswanda Harahap said...

satu lagi saya menemui Universitas Kehidupan
cukup membuat saya tertunduk
memikirkannya

Anonymous said...

berbahagialah mereka-mereka yg bisa memaknai pertemuannya dg orang lain...karena pada dasarnya kita harus ketemu orang lain, agar suatu peristiwa bisa terjadi (takdir), dan apabila disana ada 'persahabatan' itulah bonus yg kau dapatkan dari takdir tadi...he..he..he.

Lia Marpaung said...

hezra, sekarang aku mengerti kenapa kue pudding itu terasa "berbeda". Rupanya ada ramuan kenangan tentang uni dan mpok Nia, dan yang membuat rasanya semakin terasa manis karena ada ramuan pelajaran kehidupan tentang makna ketulusan dan persahabatan...

aku sungguh terharu dengan ceritamu ini, dan sangat berbangga juga bersyukur aku mendapatkan kesempatan mencicipi racikan kue puddingmu dan sashy dengan resepnya yang teramat mahal dan kaya akan pengalaman hidup.

sabtu malam lalu kue puddingmu juga dinikmati oleh saudara2ku dan beberapa teman dekat kami. pertemuan malam itu terasa semakin indah dan semakin menyatukan persaudaraan diantara kami ...sekarang aku menyadari bahkan kue puddingmu yang diramu dengan ramuan yg sangat mahal itu turut membuat kami semakin terasa dekat dan sekaligus saling belajar akan ketulusan dan persahabatan...

terimakasih telah berbagi cerita kehidupanmu hezra..terimakasih telah meluangkan waktu untuk membuatkanku kue puddingmu yg sangat istimewa itu.....dan terimakasih untuk menjadi sahabatku....

Lia Marpaung said...

hezra, sekarang aku mengerti kenapa kue pudding itu terasa "berbeda". Rupanya ada ramuan kenangan tentang uni dan mpok Nia, dan yang membuat rasanya semakin terasa manis karena ada ramuan pelajaran kehidupan tentang makna ketulusan dan persahabatan...

aku sungguh terharu dengan ceritamu ini, dan sangat berbangga juga bersyukur aku mendapatkan kesempatan mencicipi racikan kue puddingmu dan sashy dengan resepnya yang teramat mahal dan kaya akan pengalaman hidup.

sabtu malam lalu kue puddingmu juga dinikmati oleh saudara2ku dan beberapa teman dekat kami. pertemuan malam itu terasa semakin indah dan semakin menyatukan persaudaraan diantara kami ...sekarang aku menyadari bahkan kue puddingmu yang diramu dengan ramuan yg sangat mahal itu turut membuat kami semakin terasa dekat dan sekaligus saling belajar akan ketulusan dan persahabatan...

terimakasih telah berbagi cerita kehidupanmu hezra..terimakasih telah meluangkan waktu untuk membuatkanku kue puddingmu yg sangat istimewa itu.....dan terimakasih untuk menjadi sahabatku....

goresan pena said...

*Mas Erik; mohon juga bantuan doanya...semoga para sahabat kita itu, khususnya Uni dan Mbak Yati dilapangkan jalannya oleh Allah, anak2nya masih bisa mendapat penghidupan seperti yang mereka cita2kan..pendidikan mereka bisa diteruskan (ah, sesak dada saya mengenangnya...)
dan semoga Mpok Nia yang masih menjalani perawatan juga segera pulih...diringankan beban kehidupannya..
ah, ya Allah.....

*bapakethufail; terima kasih mau membaca tulisan saya, sekedar goresan pena yang tak lagi berwujud pena, sekarang pake tuts k'board...ehhehehe...

*Timur Matahari; yup! hidup dan kehidupan ini sesungguhnya adalah SD atau Sekolah Dasar yang wajib kita pelajari dan memberi kita pelajaran berharga

*tjonjo: terima kasih, mengingatkan saya kembali akan peran 'takdir' dan bonusnya..
menyesakkan sekali saya tidak bisa berbuat banyak untuk mereka...

*Lia Marpaung; dulu...pernah ada seorang sahabat yang mengatakan kepadaku seperti ini, kini ingin kupinjam apa yang pernah ditulisnya...
"friendship is a promise made in the heart.
silent..unwritten..
unbreakable by distance..
unchangeable by time.
take care always.."

Anonymous said...

Saya jadi ingat sama tetangga2 saya di Tangerang. Kmrn bila saya harus balik ke M'sia mendadak, saya gak sempat pamit sama mereka. Skrg hanya kebaikan mereka pada saya yang akan sll saya ingat...

goresan pena said...

bwgitulah sebuah kebaikan semestinya mendapat balasan...
hanya Tuhan rasanya yang dapat membalas kebaikan mereka...
terimakasih sudah mampir...

salam