13 September 2008

Bulir-Bulir Hujan, Bulir-Bulir Harapan


SUDAH pertengahan puasa, kalian pasti sudah berkumpul. Bisa cerita-cerita sambil berebut pangkuan mama, lempar-lempar bantal dan saling melempar ledekan. Terbayang, wajah Anti yang pasti cemberut, menjadi bulan-bulanan untuk selalu digoda. Mama pasti sudah nyicil bikin kue-kue kering, atau bikin agar kering? ah... sayang Pontianak lagi musim hujan yah, Sintang saja malah kebanjiran. kenapa harus terulang tiap tahunnya ya? emang sih Kota yang membesarkan kita itu seperti sebuah ceruk.

---

MASIH ingat kah, waktu kecil dulu.. jauh sebelum Anti lahir (ah, adik kita yang ragil itu masih kecil yah). Kalau bulan puasa begini, adalah bulan yang sangat kita nantikan. Alasan pertama, karena kita boleh keluar malam. Hal yang tentu sangat terlarang bagi kita. Kalau tarawih, kita pasti sibuk menyembunyikan sendal kita, takut di curi. Ah, buruk sangka saja kita..

Ingat tidak, kenakalan kita waktu kecil dulu? Tarawih.. hm, dari 23 rakaat yang semestinya, paling kita hanya ikut 4 rakaat. Kata Pak Ustad (mungkin gadungan), Tarawih itu sholat yang santai...

Dulu, sebelum mesjid di dekat rumah dibangun, kita Tarawih di surau yang cukup jauh. Satu kilo tak kurang, tapi kalau sekarang disuruh jalan kaki, ogah..

Yang paling kita tunggu adalah selepas Tarawih. Malam semakin menanjak. Tapi, Bang Dul selalu mengumpulkan anak-anak untuk berarak keliling gang sambil memamerkan mantoyo masing-masing. Mantoyo--lampion dalam berbagai bentuk-- menjadi wajib dimiliki setiap anak. Masih ingat lagunya?

"e.. mantoyo manah musuh agogo, ea eo..
jangan takot, kucing makan tulang"

Mantoyo kita selalu sama Niar! pasti kupu-kupu atau berganti ikan. Kalau Ari lain lagi, selalu pesawat. Dan masalah kita selalu sama, seng penyangga lilin selalu tidak kokoh. Bentuk kupu-kupu fondasinya tidak sekuat pesawat. Kalau Ari lain lagi, dia pasti memiliki trik jitu memperlama usia lilin, cukup sederhana, hanya menambahkan garam di atasnya. Terbukti selalu berhasil.

Nanti, kalau sudah jam 10 malam, Mama akan teriak nyaring, "Belia, Niar, Ari....pulang!!! ndak inget pulang ya, udah jam segini? besok mau bangun jam berapa? mau nggak sahur? kalau nggak sahur nanti nggak mama kasi uang jajan"

ah, mama.. tetangga kita sampai hapal betul ancaman itu. Tau kah Ma, ada juga yang nyakat --ngeledek-- "emang berapa sih, uang jajannya?". Anakmu ini akan menjawab asal. "pokoknya cukup untuk beli rumah!" seraya di dalam hati berkata "rumah semut maksudnya, semut suka yang manis-manis, beli bombon--permen-- sudah cukup".

MAMA tahu kebiasaan burukku, selalu sahur di penghujung waktu. "teteh sih enak, makannya cepat" Niar selalu menggumamkan itu. Ya iyalah.. kalau dibandingkan dengan dia yang seperti siput. eh, Niar.. masih kah makan seperti dulu? makan sepiring nasi akan selama apa yang di tonton. Kalau yang ditonton itu film India berdurasi 3 jam, maka sepiring nasi itu akan habis dalam 3 jam pula. Hebat adikku yang satu ini.

Nanti, kalau sudah sahur dan masih ada sedikit waktu sebelum imsak, ingat kah apa yang selalu kita lakukan dengan kompak bertiga?

Kita punya meriam di bawah pohon belimbing. Yang suaranya, bisa bikin gemetar kaca rumah. Ri, lebih asyik meriam karbit dibanding pistol yang selalu kau tenteng sekarang. Tidak sukar membuatnya, hanya dengan tiga kaleng susu berukuran cukup besar, menggali sedikit untuk membenamkannya, lalu menimbunnya dengan tanah liat, membentuk gundukan. Sisakan lubang untuk memasukkan karbit, jangan pakai tangan! bisa terbakar. Gunakan pengait dengan wadah kecil di ujungnya. Karbit di basahi, dan sulut dari lubang di atas meriam setelah di tutup. Duuuaaaaarrrrrrr!!!!!!!

Cara yang sangat efektif membangunkan orang sahur.

---

SEPULANG sekolah, yang kita ingat hanya satu; Main!!!

Kita bertiga selalu bisa menjadi tim tangguh sebenarnya. Tapi, Ari terlalu pengecut untuk bergabung dengan tim perempuan, ah.. padahal Teteh mu ini, tangguh Ri... Kalau Niar? hehe, anak bawang yang satu ini pastilah tak lepas dari ekorku.

Niar, masih ingatkah..?

Niar tuh, anak manis yang takut kotor, kalaupun main, nggak pernah mau jauh dari rumah. Selalu mencubit Ari kalau udah bandel, tapi kemudian buru-buru memeluknya. Huh...

Ingatkah... saat aku asyik main Patrom dengan anak-anak laki-laki, kamu malah lebih senang main tumbuk-tumbuk batu di halaman rumah dan mencetaknya dalam plastik bekas agar-agar. Ari selalu menang main Patrom. Larinya lincah, tapi dia selalu terkecoh. Tidak yakin kalau Niar masih tahu apa itu patrom.

Itu loh Niar, kayu seukuran segenggam, yang dipasangi jari-jari roda sepeda, bisa juga roda motor yang sudah dibalik. Nah, masukkan serbuk pentul korek api, tutup dengan sobekan kertas pematiknya, baru tutup dengan paku. Hamtam paku itu dengan kayu sebagai pemukul. Suaranya mirip dengan pistol sungguhan, lebih pelan sedikit sih.

Kalau ada yang terlihat dari persembunyian, cepat bunyikan sambil sebut namanya. "Ari! kena!"

Ari, masih ingat tapok kaleng kah? ingatkan kalau kita pernah lomba dengan Dayat, Anwar, Ono, dan siapa lagi itu.. mengumpulkan kaleng minuman bersoda. Pernah juga kita berlomba mengumpulkan tutup botol soft drink. Dayat malah sampai dapat menghiasi halaman rumahnya dengan tutup botol itu, tak perlu lagi di semen, ornamen tutup botol lebih cantik.

Tapok kaleng, selalu Niar yang di onte--dikerjai--(baca dengan e;pepet). Saat semua pemain hampir ditemukan, selalu dia gagal menemukan yang terakhir. Yang terakgir tak lain adiknya sendiri. Siapa lagi kalau bukan kamu, Ri. Ari selalu lari seperti kesetanan unuk menerjang susunan kaleng yang menjulang. Sensasi permainan ini adalah suara gaduh saat kaleng berantakan. Dan satu hal lagi, kalau Niar nangis dan mengadu ke Papa.

Niar memang selalu anak Papa ya Ri...

Udah rambutnya ikal, matanya cokelat, kulitnya juga putih banget. Nyebelin... satu lagi tuh, keras kepalanya...ampun deh! eh, terakhir malah seprofesi dengan Papa lagi. alahhhh....

---

EH Niar, masih ingatkah.. waktu kita bikin pondok-pondok-an di bawah pohon belimbing yang buahnya tak pernah putus itu? masih ingat kah dengan yang kita bicarakan dulu? mimpi-mimpi kita Niar...

Kalau Niar lupa, biar teteh ingetin.

Waktu kita bikin pondok-pondok-an dari batang singkong yang kita curi di kebun belakang rumah, dengan daun-daun pisang sebagai atapnya, pohon-pohon cengkodok yang ditata menjadi dinding, ilalang kering pengganti jerami yang kemudian kita timpa lagi dengan daun pisang. Ya harus di lapis lah, kalau tidak, badan kita bisa miang --gatal-gatal-- dan tergores luka.

Waktu itu hujan. Masih ingat? kita hanya berdua. Tidak ada Ari. lalu, Niar masak separuh Indomie rebus pakai batok kelapa yang berulang kali terbakar, dan dapat ide dadakan ganti media menggunakan kaleng sarden mama. Indomie yang mengepul panas, menghangatkan kita dari hujan. Niar ingat kalau kita dulu jarang sekali akur?

Tapi sore itu, kita bermimpi bersama.. mengantungkan harapan-harapan kita pada bulir-bulir hujan yang jatuh. Kita sama-sama berharap kalau harapan dan cita-cita kita itu tidak hanya sekedar menggantung di langit, tapi ada saatnya nanti akan jatuh ke bumi, jatuh ke tangan kita. Seperti tetes hujan.

Kita bermimpi kalau kita ini seorang yang kaya, punya rumah yang megah, padahal melihatnya saja belum pernah kala itu, membayangkannya pun mungkin tak sampai. Berandai-andai kalau kita seorang putri. Maka banyak pangeran yang akan antri. Tapi, kemudian Niar buru-buru menyela. "ah, kalau kita terlalu banyak harta, mereka tidak mencintai kita Teh, tapi cinta harta kita"

Belum tentu, cinta ya cinta saja. Ah, aku terlalu naif.
"kalau Niar?"

"Niar yakin Niar bisa selesai kuliah lebih dulu dari Teteh, bisa kerja seperti harapan mama, bisa gantiin Teteh nanti"

Mana aku percaya itu dulu. Nilai Niar, walau selalu bagus tapi masih kalah dibanding dengan nilai-nilai dan prestasiku. tapi Niar, apa yang kamu ucap dulu, terkabul seperti tetes hujan yang membasahi lidah kita.


Hujan sudah mereda. Kita memanjati pohon belimbing rindang itu. Ada beberapa yang masak. panen yuk..

Entah ide dari mana, kemudian kita menciptakan banyak lagu karangan kita sendiri. Sayang, aku hanya teringat satu. Tinggal satu yang tersisa dari sekian banyak karya tak tertulis kita dulu...

masih ingat lagu kita berdua ini? Putri Melati.

Betapa malangnya nasib diriku// ditinggalkan ayah, jadi sendiri// kumencari teman, yang mengasihiku// kudapatkan pangeran, yang baik hati// tapi di belakang itu, dia pembunuh ayahku//u...u...u...//setelah kuketahui, aku diusir// dari kerajaan milikku sendiri// menjadi orang miskin, gelandangan// tidur beralaskan tikar, beratapkan langit// tiada yang mengasihiku, seorangpun// dan tiada yang tahu, aku ini putri// putri-putri melati yang sangat dihormati// ii...ii..ii// Pangeran yang jahat, jatuhlah ke jurang// dan menjadi bunga// plambang kekejaman// u..u..u// akhirnya sang putri melati// menjadi sang ratu di kerajaannya// ia dapatkan pangeran yang baik hati// walaupun ia seorang petani//

Aku masih ingat kan? bahkan dengan nadanya sekalipun. Hebat benar kita, anak SD kelas 5 dan 3 sudah bisa berbuat karya.

Tahu kenapa lagu itu terus terngiang-ngiang? betapa selagi kita kecil, kita sudah sadar, betapa sakit dan pedihnya ditinggalkan seorang ayah. Kenapa kita tidak menciptanya dengan kehilangan Ibu? kenapa Niar? atau tidak usah kehilangan saja...

Hm, dulu Niar udah tahu tentang Narsiscus belum? Sama, teteh juga belum. Tapi kok kita bisa menebak kalau ada seorang pangeran yang nantinya akan masuk jurang dan menjadi bunga yah? Narsiscus memang bukan pangeran, dewa. Tapi dia laki-laki. Dan menjadi daffodil, bakung, narsis.

Satu lagi, betapa waktu kita kecil dulu sudah faham, seorang Petani jauh lebih bermartabat dibanding penguasa. Ah, adikku sayang.... rindu benar rasanya...


INGAT juga, waktu kita menggigil dalam hujan sore itu?
"Teh, gimana kalau rumah kita hanya seperti ini? nanti, kita nggak mampu bikin rumah seperti punya papa mama"
"ya, kita bikin aja yang seperti ini, nggak perlu pakai biaya mahal, nggak perlu upah tukang, teteh bisa bikin sendiri"
"tapi kan nggak ada selimut"
"nanti teteh peluk, biar nggak dingin"
"tapi kalau laper?"
"nanti teteh jebak burung, bikin lecang. kita bakar sama-sama. kalau tak dapat burung, belalang hijau cokelat jadilah. nanti teteh cari kan putik cegnkodok yang rasanya manis atau biji-biji asoka, putih berkuahnya juga boleh. Niar mau buah letop? asem manis, enakkan? kalau pas semua nggak ada, nanti teteh ambilkan batang cermai muda atau daun jambu bol muda. Enak niar, syukur kalau ada garam sedikit"
"bener Teh?"
"iya. teteh janji. suatu saat, saat Niar tidak memiliki siapapun, akan selalu ada Teteh"

Hujan itu melarutkan tangis kita berdua. ah, Adikku cantik... kenapa kita jarang sekali akur? kenapa setelah itu, kita tak pernah lagi berpelukan? hingga aku menikah? kenapa sayang?

---

KALIAN pasti sudah berkumpul sekarang. Mama masak apa?

Adik kita Anti itu cantik yah? kulitnya saja yang lebih tua. Sayang sekali, sekarang tak pernah ada permainan seperti kita dulu. Sekarang tidak ada hutan lagi untuk diterabas. Ah, apa kabar lapangan di belakang rumah? itu selalu menjadi tempat favorit untuk main layangan. Papa selalu mengajak kita kalau ada waktu.

Katanya, tanah wakaf untuk kuburan sudah semakin mendekat yah, ah adik-adikku sayang, ternyata kita sudah semakin dewasa sekarang. Rasanya baru kemarin kita berkejaran bersama, saling tuding, saling pukul untuk tertawa bersama.

Satu anak gadis harus kita jaga bersama. Anti sudah besar, bukan lagi bayi mungil usia 2 jam yang takut kugendong. Hanya Niar yang berani menggendongnya. Sudah SMP dia sekarang.

---

Niar, Ari, Anti... peluk cium untuk mama. Haturkan sembah kasih tetehmu ini ke papa.

Lebaran ini Teteh, Abang kalian dan Sachy tak pulang. Bukan tiada rindu, hanya sekedar menangguhkan waktu belaka.

Salam kan pada Udara kota yang membesarkan kita itu, aku rindu bersamanya. Aku ingin pulang suatu saat nanti, bergumul dengan tanahnya. Dan abadi di sana. One day.....(sepertinya segera, hm..).

Terdampar di Jogja,
13 September 2008
01.57 WIB

7 comments:

goresan pena said...

untuk Timur Matahari; inilah jawaban atas pertenyaanmu, siapa yang kurindukan? mereka inilah...

Haris said...

Kenangan masa kecil... membuat kita rindu akan tempat kita dilahirkan dan dibesarkan. Memang waktu terasa begitu cepat berlalu, tanpa kita sadari. Hingga suatu saat sampai batas waktu kita...
Salam

Anonymous said...

weehh kkk
top markotop
salut aja deh untuk tulisanya hehehe kemarin sempet chat bentar kok trus ngabur heheheh
salam dari Penghuni lereng kelir

Multama Nazri said...

masa kecil masa terindah dari seribu masa..apalagi masa itu bersama dengan orang-orang terbaik dan tersayang...
"sekedar menangguhkan waktu bukan karena tak rindu"...bahasa yang indah untuk ungkapkan itu.
Semoga disana (rumah mbak) sehat selalu serta keluarga mbak, itu intinya. Mul berdoa untuk itu...

goresan pena said...

tes

Bambang Saswanda Harahap said...

aq dah ngerti mbak.. doain juga lebaran ni aq bisa mudik ya mbak.. he..he....
keluarga adalah segalanya....
tak mungkin kita temui ditempat lain. mustahil..
"sekalipun ada,itu hanya menyerupai, tapi masih sangat jauh berbeda" mbak kutipan ini bisa jadi tema puisi berikutnya

Anonymous said...

menyimak dulu ahh