22 August 2008

MATA BACA

MATAMU, tak sadarkah kamu?

Menangkap matamu, mencuri baca, mengalihkan, lari dan kembali lagi. Merampas kenikmatan kecil saat mata kita bertemu.

Jangan buru-buru bertanya, salahkah?

Pijakannya terlalu landai. Bergoyang ragu. Terombang diam. Hanyut, terbawa angin misteri. Tidak ada yang istimewa. Hanya matamu, seperti kebanyakan mata, seperti kebanyakan lensa, seperti kebanyakan sudut, seperti kebanyakan pantulan, seperti matamu itu.

Bertemu dan mendapati, tidak mencari. Membuat beda yang nyata diantara sekelumit keperluan. Logika waktu menjadi kereta pagi menembus dingin jejeran hijau berkabut pepohonan. Terburu. Bukan kesengajaan, atau justru sengaja ketika tidak mampu menolak. Bukan sengaja, atau mungkin kesengajaan saat kau ada.

MATAMU, tak sadarkah kamu?

Tatapku melunak, karena matamu. Terasakah? Tuturku menyurut, matamu. Tergambarkah? Dan kau menangkapnya. Begitukah?
MARI bicara benar dan salah.

Selagi bisa, biarkan dulu. Tiada salah, saat hanya bersarang sebagai angan. Mungkin bukan angan. Hanya matamu.

Berbicaralah.. seperti ketika kusapa, “apa kabar?”. Berceritalah.. dengan kebohongan atau apapun itu, aku akan terus peduli. Memerhatikan manik matamu bergerak, meraup gelora membara hidupmu. Kudekap, untuk kusadap.

MATAMU, seperti kebanyakan mata.

Sekejap lalu, liar dalam pencarian. Sekejap kemudian haus menembus lapisan langit tak berujung.

LANGIT, hanya sekedar batas pandang. Jauh dari atas bumi, jauh dari gantungan awan-awan. Jauh dari teman-teman pengisi angkasa. Tidak begitu sebetulnya, langit hanya masalah persepsi. Perspektif.

.

MARI bicara aku.

Bermain, berkejar seperti ketika kecil dulu. Berlari di tengah hutan yang telah diterabas. Sebagian masih ilalang, sebagian pohon-pohon jampang, sebagian cengkodok berbunga ungu dengan putik penuh gumpalan manis. Kayu jampang seukuran ibu jari biasa kupipihkan, membuat pedang. Kulit dengan sedikit lapis kayu di dalamnya kupertahankan, hanya kambium yang kubuang, sebagai sarung.

Bermain, berkejar layangan, bertelanjang kaki. Kering ranting kecil, tanah lempung, pakis tua habis panen, akar ilalang sisa pembakaran, damar cokelat mengkilap, kadang ditambah sampah; beling, kaleng sarden, botol hijau limun sasi, cangkang kerang dara, tak terlalu kupedulikan. Layangan jauh lebih penting dari luka di telapak kaki hingga pangkal betis.

Mengejar layangan, bukan perkara gampang. Masalah harga diri. Ada status sosial diantara peminat layangan, khususnya sesama teman kecil.

Pemula, tukang anjong –membantu pemain memegang ujung bawah layangan--. Naik, pegang gelondong –penggulung atau pengulur benang--. Naik, membuat layangan plastik. Naik, membuat layangan kertas ukuran setengah kalender dinding. Baru menaikkan layangan sendiri. Setelah mampu menyaok, baru dianggap sebagai pelayang.

Bermain, mengumpulkan pecahan-pecahan kaca, melumatnya, jadi bubuk. MAU dari mambo --seperti benang jahit, tebal-- atau plastik –nilon--, boleh saja. Mencampur dengan damar –canai, sejenis batuan granit--, pewarna kain tak lupa lem kayu. Membentangkan benang di pohon nangka dan rambutan si pelit Abah. Melumuri, baru mengamplas.
Semakin licin, semakin menyerupai kawat, lebih ringan, GELASAN. Akan penuh percaya diri menggunakan senjata satu ini untuk menyaok. Adu! Tak peduli aku perempuan.

BERMAIN, memantulkan terik matahari melalui beling hijau guna membakar dedaunan. Berhasil, kerapkali. Tidak perlu luv, pecahan botol limun sasi cukup. Daun-daun terbakar. Tangkap saja belalang se-kelingking, bakar dan lumayan untuk kudapan.

Bermain, menoreh getah karet. Sekali lagi dengan damar, tambah minyak tanah. Lumuri di ujung batang singkong bersisa kambium, buat sebatas lengan saja. LECANG – baca; e taling--. Samarkan diantara rimbunan pohon lain, segera sembunyilah di semak. Hati-hati, banyak lintah atau kadang ular. Burung-burung terbang dan hinggap. Hap! Itu dia.. melekat pada lecang kecoklatan menyerupai krem mocca. Merbak, atau pipit, boleh saja. Bakar, makan beramai, berebut lebih seru.

.

TEMAN, itu aku. Dari situlah aku datang. Suatu hari di hadapanmu. Entah mengapa, mataku liar membaca matamu. Hidupku liar di masa kecil, seliar keingin tahuan yang luar biasa tanpa dapat kubendung. Pada matamu, aku membaca.

Ketiadaan, atau keminiman. Terkagum-kagum akan ceritamu. Ajaib, matamu menyala membumbung menggoda keingintahuanku. Hebat benar..

Kau bercerita, yang tak pernah kualami. Matamu, lebih banyak bersuara. Aku, tak mampu berdusta. Aku, tak mampu membungkam. Aku, tak kuat melawan; Magnet.

Pernah, suatu malam. Setelah pertemuan, aku ditendang terjungkal keadaan. Yang terlintas, aku ingin memeluk seseorang, siapapun itu sesungguhnya. Tapi yang terlintas, dirimu. Teman, untuk berbagi. Dan aku ingin, setelah pengandaian itu terjadi, kita butakan semua mata!

Keterkaguman, ketidaksengajaan, kebetulan, keterkaitan, menyilaukan kesadaran.

.

SEPERTI mata bocah, aku melihatmu dengan sederhana. Aku mengagumimu apa adanya. Seorang yang menarik dan berpeluang menjadi teman. Jika terlihat keliru untuk sudut tertentu,


MAAF.

21 Agustus 2008
11;23

7 comments:

Anonymous said...

Setelah pertemuan,
aku ditendang terjungkal keadaan. Yang terlintas, aku ingin memeluk seseorang, siapapun itu sesungguhnya.
Tapi yang terlintas, DIRIMU.

Bukan sekedar De Ja Vu

MAAF.
Atas?
kenapa harus terucap?

Jenny Oetomo said...

Mata memang kadang berbohong tetapi mata hati itulah yang tak pernah berbohong, salam

Bambang Saswanda Harahap said...

titi DJ bilang
mata yang paling indah hanya matamu
he..he..
kok bisa-bisanya ya eksploirasi tentang keindahan mata dari semua sudut pandang di ekploirasi seindah ini
idenya begitu sederhana
tapi pemaparannya sangat luar biasa
salut..

Saya makan Nasi Lemak said...

LECANG – baca; e taling hahahah..cool gila..hahaha..carry on sis.makin lama makin puitis ayatnya.

goresan pena said...

*anonymous: maaf... atas kekeliruan di mata oranmg lain. begitu yang tersurat di tulisanku...

*Jenny oetomo: setuju pak...
mata hati masih ada, mata hati seperti mata bocah..

*timur matahari: terima kasih, dirimu termasuk salah satu inspirasi menulisku... yang tertangkap mataku saat membaca tulisanmu. terima kasih, teman...

*shaman; LECANG, huruf E dibaca dengan e taling (sama dengan membaca embrio, komEntar,dll). lecang adalah ramuan mirip krim mocca untuk menjebak burung..
thx ya sham...

Djoko Wahjuadi said...

mBak, aku kagum lho...kok bisa ngalir dan enggak pernah kehilangan ekspresi...ada satu kata yg menggali ingatan lamaku ... yaitu ?? MATAMU kalau di Jogja menjadi DAGADU...bukan ?

goresan pena said...

iya...
dagadu artinya matamu..br inget jg nih...
terima kasih ya..saya gak nyangka tulisan sederhana ini, bisa dapet koment gini...trims...