16 May 2008

a little regret


Ini hanya sebuah penyesalan kecil yang tidak perlu terjadi untuk perempuan lain. Saat ini kudapati pada seseorang yang kupikir tidak pantas mendapat perlakuan yang seperti itu, kupikir aku harus menceritakannya pada wanita lain. Agar lubang yang menganga itu tidak meminta korbannya lagi. Sehingga kalau perlu mengamati sedari jauh dan menghindari lubang itu. Karena untuk menutup lubang itu sangat sulit. Perlu berkali-kali pengerjaannya, seperti proyek jalan yang tidak pernah sempurna untuk jangka waktu tertentu.
Suatu pagi, sebuah pesan singkat masuk melalui ponselku. Sebuah pesan yang sebenarnya biasa saja, mungkin pernah dialami oleh perempuan manapun yang pernah menjalin suatu hubungan. Yang tidak biasa ialah pengirimnya. Seperti perasaan tidak rela membiarkan sahabatku, orang yang menurutku wanita terbaik (selain ibuku) ini mengalami kekecewaan. Begini kira-kira bunyi pesan itu
Ya, akhirnya dia memutuskan agar kami jalan masing-masin dulu, tenang dulu, meskipun niat untuk menikah masih ada. Dia takut ga bisa bahagiain aku dengan keadaannya sekarang yang belum jelas. Kalau jodoh, kami pasti ketemu.
Aku tahu sahabatku ini, mungkin lebih tahu dibanding dirinya sendiri (hehe, ini namanya aku sok tahu... aku tahu kekecewaan yang dirasakannya. Aku merasakan getar-getar kepiluan dari kata-kata yang mengalir dari pesannya. Aku tahu kalau dia berusaha sekuat-kuatnya tegar menuliskan kata-kata itu. Saat itu aku sedikit sibuk, (biasa.. apalagi kesibukan ibu-ibu kalau bukan arisan) arisan di rumahku. Tidak bisa dengan segera menghubunginya. Waktu kadang-kadang tidak memberi pengertian.
Sebenarnya yang membuat aku nyesek ialah, kenapa hal ini harus terulang lagi? Dan kenapa terjadi padanya? Seseorang yang tidak sepantasnya mendapat perlakuan ini. Aku pernah mengalami ini. Jauh sebelum aku menikah. Tidak cukup satu kali, bahkan lebih. Dan itu menyakitkan. Bukan masalah putus dari hubungan itu, tetapi saat kau sudah meyakini sesuatu dan kemudian yang diyakini itu meragukanmu, bukankah itu sungguh menyakitkan? Okelah… seribu kata ampunan dan pengertian kadang membuat segalanya terlihat lebih indah. Mungkin itu memang harus diakui sebagai bentuk kasih sayang seorang pria yang sudah berada di puncak sehingga timbullah keraguan itu. Keraguan yang sebenarnya lebih kepada ketakutan-ketakutannya sendiri.
Ketakutan dengan bayangannya sendiri. Karena terlampau sering bermain dengan pikirannya, tanpa meminta pendapat pasangannya. Seperti itulah seorang pria. Mengukur mampu dan tidak nya memberi kebahagiaan hanya dengan mengukur dirinya sendiri, alangakah malang!
Kedua-duanya malang! Si pria akan terbodohi dengan pemikirannya sendiri, lalu kemudian terjebak dengan pemikirannya itu. Begitupun si wanita, akan merasa seperti dicampakkan. Ah, ini terlalu kasar. Mana ada wanita yang sedang jatuh cinta mau mengakui seseorang yang dicintainya mencampakkan dirinya? Seribu penyangkalan akan berkumandang. Seribu pembelaan akan terdengar seperti kothbah di masjid menjelang sholat jum’at. Semua mata akan ditutup rapat-rapat, hingga ke mata kaki. Mana mau mengakui keadaan yang sebenarnya terjadi. Itulah sisi peminis.
Mungkin memang benar, memutuskan suatu hubungan, meminta untuk jalan sendiri-sendiri, mengambil waktu untuk bernafas sejenak, berpikir kembali untuk hubungan yang dijalin adalah suatu wujud kasih sayang yang telah mencapai puncak. Dimana keegoisan dapat dibungkam rapat-rapat. Tapi, pernahkah bertanya, apa itu cukup adil?
Pernahkah bertanya apa yang diinginkan wanita? Mengapa selalu materi yang menjadi permasalahan? Kalau bukan materi, permasalahan lainnya ialah jarak, keterbatasan yang sifatnya fisik belaka. Ini hanya sekedar ketidak percayaan diri saja. Kalau memang tidak punya kepercayaan diri itu, kenapa tidak mulai mempercayai orang lain yang justru percaya padamu? Inilah pesanku untuk para pria yang mengaku sangat mencintai pasangannya. Cobalah menjadikan cermin itu benar-benar tempat berkaca. Tidak usah mencari bayang-bayang orang lain pada cermin yang mematut diri kita sendiri.
Perempuan memang makhluk paling lemah, tapi tahukah.. perempuan lebih kuat disbanding kalian kaun adam! Hanya perempuan yang berani melompati pagar-pagar ketidakmungkinan. Bukan kalian! Kalau kalian masih berpikir dengan logika, wanita sudah berpikir tentang masa depannya. Kalau kalian masih bertanya-tanya bisa atau tidak, wanita sudah berpikir bagaimana supaya bisa. Tidak perlu kalian meragukan itu semua. Hanya perempuan yang sanggup hidup di bawah bayang-bayang keyakinan, yang kalian sebut itu hanya sekedar intuisi. Bukan intuisi! Ini sebuah keyakinan!!
Aku jadi terdengar seperti ibu-ibu berdemo di depan istana negara meminta harga sembako diturunkan. Mana yang di demo peduli!. Mungkin begitu juga dengan tulisan ini, mana laki-laki mau peduli. Yang dipikirkannya hanya ego dan kesombongannya. Dan kemudian itu dia sembunyikan dalam tabir tanggungjawab. Ahhhh…..
Tidak-tidak… sebenarnya aku tidak perlu seemosi itu. Hm, ini hanya sebuah penyesalan kecil. Sekali lagi, ini hanya sebuah penyesalan kecil, tidak perlu terlalu dibesar-besarkan. Begini, suatu ketika.. pernahlah terjalin suatu hubungan antara aku dan seseorang yang kuanggap dia yang terbaik dari yang pernah ada (ini roman picisan), seorang sahabat, seseorang yang benar-benar menjadi pemicu di tiap langkahku kala itu. Keyakinan itu sudah memuncak. Sudah sampai kurva tertinggi. Suatu ketika, dia mengatakan hal yang sama, mengatakan kalau aku dan dia tidak perlu jatuh pada sesuatu yang bernama ‘terlalu’. Meminta agar segalanya difahami dengan sederhana. Dan jika masing-masing menemukan suatu kejelasan yang lebih ketika bersama yang lain, maka dia akan menerima. Sungguh kata-kata yang memabukkan sekaligus menikam.
Awalnya, ini terlihat seperti kasih sayang yang nyata. Beribu pengertian tanpa diminta, berusaha untuk kuberikan. Walaupun saat itu, aku belum memiliki kedewasaan seperti yang diminta. Aku belum cukup untuk itu. Lebih banyak kata-kata yang kuucap tapi tidak tercermin dalam tindakanku. Hingga perlahan dia menghilang, tidak lagi berusaha mewujudkan apa yang pernah diucapkannya. Sakit hati karena cinta? Semua orang pernah mengalaminya? Tapi lain cerita jika perasaan di ombang-ambingkan tanpa sekoci penyelamat. Hingga suatu saat yang sudah ditentukanNya, lebih banyak kepasrahan. Pertemuan-pertemuan lain datang dan meninggalkannya. Entahlah, tak jelas apa aku yang meninggalkan atau justru ditinggalkan?
Tapi, memori adalah residu.
Saat segala sesuatu belum diperjuangkan dengan maksimal, jangan berkata itu bukan jodoh. Saat kebuntuan itu belum dicoba untuk ditembus, jangan menyerah dengan kata takdir.
Inilah yang kusesali. Sedikit, atau banyak sungguh relatif. Hal pertama mungkin karena aku tidak punya keberanian untuk memompa keyakinanku dan tidak cukup tangguh untuk mencari tahu suatu kejelasan. Yang kedua, menyesal dengan perkataan dan keputusan sepihak darinya. Yang mengambinghitamkan kebahagiaanku untuk suatu hubungan yang dijalin berdua. Ini terlihat tidak adil untuk sisi peminitas ku. Aku sudah begitu yakin, tapi, mengapa keyakinanku tidak diyakini? Mengapa begitu mudah mengukur kebahagiaanku dari kacamata yang justru aku sendiri pun tak pernah memakainya.
Sekali lagi, memori adalah residu.
Inilah yang kubawa hingga kini, sebuah penyesalan. Dan alangkah tidak menyenangkan membawa ganjalan dalam kehidupanmu yang baru. Masih mempunyai tanda tanya tak terjawab yang kadang-kadang menggelitik. Sungguh tidak nyaman membawa duri yang bersarang didaging telapak kaki yang menimbulkan sensasi saat berjalan dengan kaki telanjang.
Tapi, waktu yang kadang tidak bersahabat itu, menuntun hingga pemahaman yan kadang tak kumengerti sendiri. Hingga akhirnya aku di titik pasrah yang sepasra-pasrahnya, berkeyakinan bahwa tidak semua tanda tanya memerlukan jawaban. Keindahan tidak ditemukan pada sesuatu yan selalu tuntas, tidak semua kebahagiaan ditemukan pada hasil akhir. Justru kebahagiaan itu ditemukan pada jalan yang panjang, yang berkelok, yang berbatu. Yang sulit. Sungguh tragis. Karena dia sudah mencoba menyadarkan aku 5 tahun lalu. Dia sudah pernah menuliskan ini di saat usia nya seperti aku sekarang. Tapi, mengapa aku begitu lamban untuk memahami kata-kata dari tiap tulisan-tulisanya? Lima tahun, waktu yang sudah membawa perubahan besar untuk suatu kehidupan. Kenapa? Kenapa harus ada perbedaan dan jarak dalam memandang sesuatu? Dia seperti berlari di udara, sementara aku masih belajar untuk berdiri. Alangkah waktu membawanya jauh meninggalkanku.
Lima tahun yang sudah dijalaninya terlebih dahulu sementara aku belum.
Hingga akhirnya sebuah titik menyadarkanku, dulu.. dia memang mencintaiku. Sebenar-benarnya dengan segenap kemampuan yang dia miliki.
Tapi, pertanyaan dan gugatan kecil selalu mengusik. Seandainya tidak ada kata-kata itu tidak meluncur, apakah tidak mungkin justru sekarang masih bersama?
Ah, sudahlah.. berbicara tentang masa lalu seperti berjalan-jalan dalam labirin dan hanya daedolus yang memegang kuncinya.
Pesanku untuk sahabatku, teruslah berjuang dengan keyakinan yang ada. Sebaiknya tidak berhenti hingga di batas kau perlu merasa berhenti. Dan beri sedikit waktu, agar dia cukup bersahabat dengan keyakinannya. Jangan seperti aku yang hanya bisa menyanyikan lagu heloween; if I could fly, berharap bisa terbang dan bertemu dengannya. Atau hanya menyanyikan daffodil lament nya the cranberries sambil meminum secangkir teh di beranda rumah dan melamunkan indahnya saat-saat bersama dulu. It’s beautiful but it’s suck too, I can’t see.

2 comments:

sahabat said...

terimakasih

goresan pena said...

siapapun dirimu... terima kasih, sudah membaca tulisan ini...