25 April 2009

"jagadtri : ini yang kedua"

Anggap saja berbicara pada tangan sendiri. Anggap saja tidak ada suara yang pernah terlontar dari tim mulut saya. Anggap saja gemerigi, lidah, langit-langit, pita suara, kerongkongan dan bibir tak pernah bersekutu. Anggap saja saya berbicara mengawang pada angin yang kejam memilu sebelum hujan lebat.
Anggap saja demikian.

Jagadtri. Pernah suatu ketika saya menulis mengenai tiga jagad yang pastinya dilakoni oleh kita. Dan ini adalah yang kedua.

Belakangan ini, terus terang saja, saya over sentimental. Entah karena apa. Mendadak, saja saya merasa iba dengan dedaunan. Entah daun waru atau sekedar selembar angsana. Mendadak saya merasa angin terlalu kejam menggigit dalam kesunyian.

Belakangan ini, saya dihantui suara-suara yang aneh. Suara yang tak mau pergi meski saya sudah berkali-kali mencoba mengusirnya. Ada seringai dan ejekan yang tetap tak enyahkendati saya prakarsai dengan rapalan-rapalan suci.

Seperti yang saya tulis, pada jeda, jarak : antara.

Tiba-tiba saja, tanpa ada hujan yang menghujam, tanpa ada gelegar petir, tanpa ada angin kencang saya mendengar suara itu. Suara yang sesungguhnya tak bermuasal darimana-mana, hanya dari hati yang diusung berarak ke pusat saraf.

Jagad pertama adalah kehidupan di rahim ibu, jagad ketiga adalah di alam kubur (entah setelahnya..). Dan jagad kedua? Inilah hidup! Yang saya nikmati ini. Ternyata hidup ini tak lebih dari sebuah jeda yang cukup panjang, sebuah jarak yang terlalui semenjak keluar dari vagina ibu menuju peti kubur. Ternyata, hidup ini hanyalah antara. Dan saya tak lebih dari itu.
Itulah mengapa saya menyebut, saya : antara.

Tiba-tiba saja saya tersentil. Mendadak saya membayangkan sekujur mayat tanpa saya berada di depan makam. Sesungguhnya, hingga detik ini, tak pernah sekalipun saya melihat mayat. Saya masih ingat tatapan aneh Biyan (seorang teman) tatkala saya masih berdiam di studio sementara almarhum kakek hendak dimakamkan. Saya membaca dia berkata demikian “manusia apa ini,” dalam tatap matanya.

Harus saya akui, saya takut dengan kematian. Mungkin bekal saya belum cukup. Ataukah saya takut neraka? Aha.. entah..

saya pernah menertawai mas Arief saat beliau menulis 'Suara Kematian' di blognya, tapi dasyat, kali ini saya sendiri yang mengalami. Dan begitulah, semua terlintas dengan cepat. Kesalahan serta permainan di masa lalu, terbayang wajah-wajah mereka yang menangis, tangan-tangan yang terkepal geram, mata-mata yang menyorot dendam, semua terbayang begitu saja.

Akh... saya benci menulis ini. Tapi saya harus menulisnya. Saya harus mengakuinya. Sebelum terlambat, sebelum semuanya tidak lagi dapat tertulis.

Saya ingin meminta maaf, pada siapa saja. Pada semuanya. Maaf. Maaf.

Sering saya bertaya, apa yang telah saya kerjakan selama ini? Apa yang saya inginkan sesungguhnya?

(to be continued..)

5 comments:

Kabasaran Soultan said...

Ingat akan kematian seringkali membawa rasa mengembara jauh entah kemana ..semakin dilupa semakin ia nyata ..... Hez ..biarkan ia mengalir mencari makna.
Kayaknya aku pernah nulis mengenai hal ini ..mungkin dalam bentuk yang sangat sederhana sekali dan kalau belum sempat baca inilah tulisannya :

HIKAYAT POHON PISANG


Desember 2008 dan Januari 2009 adalah bulan yang tingkat intensitas kegiatan sosialku lebih tinggi dari bulan-bulan sebelumnya. Setidak-tidaknya ada tiga berita suka cita tentang kelahiran anak , sebelas undangan pesta perkawinan dan empat berita duka cita kematian … semuanya dari teman maupun kerabat dekat.

Kelahiran , Perkawinan dan kematian adalah kata-kata yang sangat akrab sekali dengan keseharian kita , ia menjadi bagian dari kemanusiaan kita. Hampir setiap hari, jam, menit , detik di belahan dunia ini terjadi kelahiran, perkawinan dan kematian. Untuk dua hal di depan biasanya disambut dengan suka cita dan di label sebagai “ karunia “ sementara untuk kematian dihadapi dengan ketidakberdayaan, kepiluan dan duka cita yang mendalam dengan label ” musibah.”

Pada tulisan ini, aku tak hendak berbagi cerita tentang “ karunia “ kelahiran dan perkawinan yang diperoleh kawan atau kerabatku tetapi yang aku mau ceritakan adalah soal “ musibah “ kematian yang dialami oleh tiga kawan dekatku.

Pernahkan anda mengalami dalam waktu satu bulan menerima berita duka tentang meninggalnya tiga kawan dekat dalam umur yang relative muda ?. Itulah yang aku baru saja alami, diusia mereka yang paling produktif, dipuncak karir yang sedikit orang bisa mencapainya, tidak ada keluhan sakit, disaat anak-anak sangat membutuhkan mereka, disaat orang-orang terdekat menggantungkan hidup pada mereka … secara tiba-tiba …tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, sang maut menjemput mereka.

Hampir setiap hari kita mendengar adanya kematian …. Biasanya kita tersentak sebentar, menundukkan kepala lalu lupa dan kita kembali tenggelam menyibukkan diri dengan kegiatan keseharian kita, namun kehilangan tiga kawan dekat dalam rentetan waktu yang relative pendek telah menyentakkan aku dari “ tidur panjangku “ …… berhari-hari aku merenung, bukan memikirkan mereka yang telah pergi tapi lebih kepada aku yang masih tinggal dan satu saat nanti pasti juga akan pergi menyusul mereka , kulawan semua penolakan diri untuk tidak memikirkan “ pergi “, kuandaikan diriku adalah salah seorang dari tiga kawan yang “ berangkat “ ……… akhirnya aku menemukan sebuah perspektif lain tentang hidup, suatu perspektif sederhana dari nenekku yang telah lama beliau katakan tetapi perlu puluhan tahun bagiku untuk memahaminya dan perspektif tersebut untuk saat ini setidak-tidaknya telah dapat menenangkan aku.

Di kampung, keluargaku mempunyai kebun pisang yang posisinya berada di halaman kanan rumah kami. Aku masih ingat hampir setiap hari nenek selalu merawat kebun pisang tersebut; mengambil kulit batangnya yang mengelupas, memotong daun-daunnya yang sudah mengering, membersihkan tanaman liar di sekitar batang, semua dilakukan nenek dengan; sangat tekun, penuh cinta kasih dan sungguh-sungguh. Aku menyaksikan ada kebahagiaan yang luar biasa terpancar dari raut keriput wajah nenek ketika melakukan pekerjaan rutinnya tersebut.

Pernah suatu kali, keluarga kami ingin merubah tampilan halaman kanan rumah dengan rencana menanaminya berbagai macam bunga dan tanaman hias lainnya dan untuk itu kami harus membabat habis pohon-pohon pisang yang ada namun dengan tegas nenekku menolak …. “ jangan pernah kalian berfikir untuk menghilangkan kebun pisang ini , dia telah ada disana jauh sebelum aku dan kalian lahir, dia menjadi penghubung antara kalian dengan pendahulu kalian, apa yang aku lakukan terhadap kebun itu sama dengan apa yang pendahuluku lakukan terhadapnya, sepanjang keberadaannya tidak pernah sekalipun pohon-pohon tersebut membawa masalah kepada keluarga kita, ingat pohon pisang tersebut adalah symbol keluarga ini …. mereka adalah hidup kalian " …….. Hidup kalian ????????? Pertanyaan ini menggelantung dibenakku hampir puluhan tahun dan baru sekarang aku sedikit memahami tentang makna perkataan nenek tersebut.

Dunia adalah kebun pisang, kehidupan adalah siklusnya ….. tumbuh, berkembang, berbuah, mati dan begitu seterusnya. Setiap batangnya mewakili setiap individu, dia lahir setelah sang induk berbuah, dia tumbuh dan berkembang dibawah dekapan sang induk dan pada saatnya sang induk rebah atau direbahkan karena buahnya telah bisa memberi manfaat pada kehidupan machluk lainnya, si anak siap berbuah dan menumbuhkan tunas baru dan begitulah siklusnya dari generasi ke generasi. Dia tidak pernah hilang, dia selalu ada, mungkin secara physic dia telah tergantikan namun kesejatiannya tetap ada ,tetap terbawa , tetap abadi.

Terima kasih nenek ( biasa kupanggil “ AKAK” ), engkau telah tunjukkan aku perspektif lain tentang makna hidup meskipun perlu puluhan tahun bagiku untuk memahaminya.



btw : ada i dan o di warungku
ditungggu komennya

djoko wahjuadi said...

...tanpa kusadari, aku merenung dan terhanyut bersama tulisan ini...kesadaran anak manusia, ttg makna hari kemarin...lega rasanya duduk disini...

suwung said...

aku juga benci komentar disini tapi biarlah sudah komentar pantang menyerah deh diriku wakakakaka
just kiding

DM said...

Mengapa mesti membencinya? Bukankah mestinya lega, karena telah menyadari posisi antara? Antara pertama dengan ketiga. Antara di mana yang kedua sebagai 'saya'.

Tak banyak orang yang berani mengakui hal seperti itu. Seperti 'saya'.

anakilang said...

pengampunan hanya memberikan sedikit ruang untuk membenci.