05 April 2009

Dimensi Relativities (Masih Tentang Mimpi)

(.)

Lari Belia…lari…! Ujung layang itu masih jauh dan kau harus mengejarnya..
Lantas aku melhat di arah langit, dimana ekor layangan semakin tergolek di sambut udara. Ahhh…wajah udaraku tercerabut di sana. Kala kulihat biru menjadi abu-abu. Dan kala ku picingkan mata untuk menghalau mentari yang kuasa.

Ujung layang-layang menukik. Berpasang-pasang kaki mendahuluiku untuk merebut tali gelasan putus itu. kaki ku tersepak tak sengaja, pasti. tetapi cukup kuat membuatku terjungkal. akh... ini yang selalu kukesalkan. kenapa tenaga anak laki-laki lebih kuat dari anak perempuan sepertiku?

dan sial!
kaki ini tak bisa bergerak. terkilir, mungkin.

kuputuskan duduk saja. duduk di jerami akar ilalang kering sisa bakaran matahari, bukan api. tapi, sebagian masih hijau. pohon cengkodok berbunga ungu dengan putik manis kulahap saja. emosi selalu membuatku lapar. masih kurang puas, kugeragas buah letop (baca dengan e pepet) yang merambat, yang masih hijau tak sedap. yang sudah kuning menuju oranye, amboi...sedap nian.

anak-anak laki itu masih terus memburu. Dayat, Ali, Maryono, Edlin, Dedi, Lerry dan akh..adikku Ari yang masih kencur itu!

aku mengumpat lagi, sembari menggulung paralon berdiameter selingkaran pertemuan antara dua jari tengah dan jempol kanan kiri. yang aku umpat adalah benang gelasanku yang ternyata masih saja belum kokoh. padahal mengerjakannya tak cukup sehari. aku perlu mengamplas, lantas mencampur canai dan menjemurnya. tapi, tenagaku! masih saja kalah menyentak saat adu layangan. masalah 'saok-menyaok' aku kalah!

kubaringkan kepala pada ilalang setengah lembab. beberapa lembar mengoresi pipi. kusapu dengan tangan, ada sedikit darah. tapi tak sakit. hanya tergores. lantas, pandangku jauh pada arah layangan yang tadi kuterbangkan.

layangan itu makin oleng dipermainkan angin. angin! bukan udara. karena angin yang punya kekuatan, angin yang mampu merubuhkan bahkan meniup pepohonan. sementara udara, merangsek dalam energi, pada gelombang yang nyaris soliton.

layang yang mereka perebutkan itu punyaku! dan nanti akan menjadi milik siapapun yang mendapatkannya. aku harus ikhlas! entah dimulai darimana kesepakatan ini. padahal, layangan yang besarnya separuh badanku itu, setengah mati merengak pada Ayah aku minta dibikinkan. tapi ayah selalu saja menolak, dengan alasan aku pasti bisa bikin sendiri.

"intinya hanya satu! ukur dulu tali terajuk!" begitu pesannya. keadaan setimbang lah, yang membuat layangan bisa mulus mengudara.

aku mengamat layangan bercap angka 23 itu menukik dengan derajat yang semakin tajam. entah siapa nanti yang mendapatkannya, semoga tak perlu sampai memanjat pagar rumah Pak Toga. alamak...galak nian!

ahhh...mataku lebih asyik menatap batang-batang cermai bergoyang disenggol angin. dan, langit..demikian luas.

(...)

kutatap lekat udara yg tercerabut.
Dzat ku yang agung...bagaimana kau bisa melukiskan langit itu? bagaimana caraMu menyapukan kuasMu? aliran apa yang kau pilih? realis? akh...tidak... atau abstrak? mungkin yang terakhir..

selalu saja aku menemukan gradasi di tiap langitMu. selalu saja aku menemukan elemen warna yang tidak pelangi, tapi kadang berganti-ganti. Dzat ku, bagaimana caranya Kau meletak warna dan memainkkannya?

lantas, desau angin di pohon pisang di hadapanku ini, dari mana ia berbunyi?ceritakan padaku, Dzat... agar aku mengerti tiap letik suara adalah melodi. di kunci mana Kau biasa memainkkannya? ajari aku..

(..)

kini, pada pukul 02.02 menutur pengaturan ponselku, aku berjingkat keluar sekejap untuk menatap guratan tanganMu, aku mencari-cari selaksa energi yang tumpah-ruah kala semua manusia rata-rata terlelap. aku mencari aura-aura yang berjalan-jalan di bawa udara. bukan angin yang membawanya, melainkan udara. ingat, Udara dan angin berbeda!

lantas, kenapa harus malam ini Kau tuliskan tentang mimpi? kenapa tidak kemarin atau berminggu-minggu lalu? lantas mengapa harus malam ini?

baiklah...aku akan bercerita tentang mimpiku, kendati itu tak penting untukmu. mungkin justeru yang Kau nanti adalah cerita mimpi sesiapalain. mimpilah bersamaku, aku mengajak!

aku ingin bermimpi tentang sebuah padang pasir yang dialiri dengan sungai yang jernih dan ikan-ikan yang berlompatan riang. aku ingin oase-oase. aku juga ingin padang ilalang bisa tumbuh disana. aku ingin desau angin tak terlalu kentara, sehingga pasir tak garang beterbangan.

itu mimpiku!

(...)

aku kembali pada langit malam ini. ada sebuah sketsa disana. sketsa udara yang tersampir.samar! mataku terlalu buram untuk melihatnya. udara itu berbingkai kaca pula. lantas, Dzat, aku ingin bertanya lagi... apa yang sanggup menghadirkan udara menjadi bentuk demikian?

ahh...tak ada suara jawaban.

(.)

"teteh, pulang yuk..." Ari menghampiri. aku tak menjawab, hanya menunjuk kaki, dimana terkilir. lalu si kecil Ary mencoba menarik tangan serta memapahku. "pelan-pelan," katanya sok tua. sampai di rumah, ayah menyambutku.
"mana layanganmu, Belia?".
"putus!" jawabku singkat. Ayah kemudian tak mengindahkanku, ia lebih peduli pada Cuplis si kutilang terpenjara.
tapi, kau lega sudah pulang kerumah. meski tadi tertatih saat dipapah Ary. meski ayah acuh padaku, meski Ibu belum pulang kerja, meski Niar lebih asyik memancing ulat tanah di samping pekarangan.

hhh...pulang ke rumah, seharusnya nyaman! setauku begitu...
dan layang-layangku? akh.... sudah lupa tuh!

(..)

seharusnya, aku menempatkan udara seperi layangan itu. tak ada perjanjian, hanya semacam kesepakatan tak tertulis saja yang mensahkah layangan itu menjadi milik siapapun yang pertama mendapatkannya. hak nya pula untuk mengurus layangan itu, atau menghancurkan beramai-ramain. atau hanya mengambil kerangkanya saja.

tapi akh... apakah keikhlasan butuh sebuah kesepakatan?

Dzat...
dimana udara ku?
ataukah ia senantiasa ada, tetapi aku yang mati rasa? bukan...bukan karena udara tak ada, bukan... mungkin klep jantungku...yah, mungkin.

tapi malam ini, di 02.28. aku menitipkan ruhku pada udara.
dan langit, hanya masalah batas pandang!

.......................................

(.) memori, refleksi
(..) masa kini
(...) dimensi relativities
(oya, penulisan menggunakan . ini hanya mencontoh seorang sahabat saja. pinjem yah wahyu...)

14 comments:

Elistadyon said...

Betul coy

Nyante Aza Lae said...

keikhlasan butuh kesepakatan....
*membaca dengan mengeja berulang-ulang*

Kabasaran Soultan said...

hmmm ....
seharusnya, aku menempatkan udara seperi layangan itu. tak ada perjanjian, hanya semacam kesepakatan tak tertulis saja yang mensahkah layangan itu menjadi milik siapapun yang pertama mendapatkannya. hak nya pula untuk mengurus layangan itu, atau menghancurkan beramai-ramain. atau hanya mengambil kerangkanya saja.

tapi akh... apakah keikhlasan butuh sebuah kesepakatan?
Dimensi kekinian ya Hez.
sepertinya ada penghakiman diri disana. Seharusnya begini bukan begitu, boleh lawan tidak, moral lawan amoral, begini dosa, begitu tidak. Inilah salah satu uniquenya machluk yang bernama homo sapiens itu ya. satu-satunya machluk yang selalu punya kecenderungan untuk menghakimi " diri " atau bukan " diri ". Tapi apapun itu ternyata "keunique"kan ini telah berhasil membuat kita "sintas" sampai saat ini.
Dalam ilmu biologi genetika ternyata "keberbudayaan" kita ini adalah bagian dari kiat si kecil " Gen " dalam rangka menggiring "inang"nya ( kita ) untuk melakukan reproduksi tentu saja dengan iming-iming yang namanya rasa ( cinta , benci, dendam, rindu ect ).

Dzat...
dimana udara ku?
ataukah ia senantiasa ada, tetapi aku yang mati rasa? bukan...bukan karena udara tak ada, bukan... mungkin klep jantungku...yah, mungkin.
Hmm. dimensi relativitas ya ...
at least sesuai dengan apa yang disebut orang dengan " taruhan pascal" , emang ngak ada ruginya kita para homo sapiens selalu memasang taruhan ini.

Prosa yang sangat kaya makna Hez...
minimal bisa nyasarain aku menjadi jaka sembung bawa golok khan ?.
he-he-he

Ajeng said...

Waduh mbak..Prosamu membuatku harus berulang-ulang membacanya. Keren,tapi perlu perenungan nih. Ato emang sayanya yg Loading Lambat ya? Hehehe...

Anonymous said...

Hehehehe memang aku hobi menggunakan titik ya.. (lupa..) Tp gpp.. GOOD!

any way.. thanks a lot

wahyu

Rakha said...

Cerita soal layangan,coba baca Kite Runner-nya Khaled Hossemi deh..

anakilang said...

@Rakha: Wuuiih.... emang tu film bagus bngt. ga jauh beda sama novel nya. Film nya sesuai banget dengan imajinasiqu ketika membacanya..

Mesti di baca di saat yang tenang dan sunyi nih kayaknya...

Arief Firhanusa said...

Kali ini saya lelah membacanya, Hes, entah mengapa. Saya seperti merasuk dalam rimba belantara dengan gemuruh amuk yang amat sunyi ...

goenoeng said...

hmm...enak sekali, mengayun sekali, nyaman sekali... wooo, banyak 'sekali'nya ya ? hehehe...
tapi itulah, aku sangat menikmatinya. apalagi di bagian relativitas-nya.

kayaknya aku nggak akan komen yang lain, karena pembaca bebas menafsirkan toh :P ? ijinkan kutafsirkan merunut versiku, belia.
21.21 , masih pagi...

Lia Marpaung said...

ada yang bisa jelaskan kenapa kita bermimpi ? sekedar hayalan dan kerinduan yang tak tersalurkan, atau kah ada makna lain ?

goresan pena said...

@ Elistadyon: he, betul apanya yah? hihi...btw, terima kasih, sudah 'main' ke rumahku...:)

@ Mas Kurnia: itu dia mas.. aku pun masih membacanya berulang-ulang dan menggugatnya..:)

@ Pak Kabasaran: ooowww, jadi si gen yah pak, yang kuranbg kerjaan bikin 'rasa' yang nano-nano kayak gini?
hehe, hebatnya, kadang rasa itu campur aduk tanpa punya sejengkal jeda pun..

di tulisan ini saya hanya ingin bercerita tentang mimpi, mimpi yang saya sangat impikan..
mungkin bisa terlihat dari kontradiksi-kontradiksi yang saya tulis di pengaruhi alam bawah sadar saya. terus terang, saat saya berhenti menulis, saya pun kaget dengan tulisan ini..
mungkin Bapak bisa bantu saya menjawab. ikhlas itu apa sih Pak?
saya mengulang-ulang tiap larik kata itu, berkali-kali... hingga blank sesaat. ah, bukankah itu tak lebih dari sebuah definisi akan rasa? apa bedanya jika huruf-huruf vokal dan konsonannya saya bolak balik dan acak?
yang saya tahu hanya rasa!
begini rasanya, begini...
hem...:)
Pak, jika memang benar prosa ini bermakna, maka tak lah.. bapak tersasar.. karena apa saja bebas untuk ditafsir di sini...he, deal?

@ Ajeng: wehh... tenang..tenang... santai... nggak usah dipikirin apa yang kutulis, dinikmati ajah... hehe...
karena aku sendiri pun menulisnya dalam keadaan di bawah ambang sadar... hehe...

@ Uda Rakha: seeeppp....!

@ Dai sang anakilang: tuh...Uda, ada yang menyepakati...:)
hehe...kalo' baca di tempat sunyi gitu, jangan lupa siapin obat nyamuk...banyak nyamuk biasanya... halahh... malah ga nyambung blas... :)
ayo Dai, kapan maen ke yk?

@ Mas Arief: duh... maaf mas, membuat mas Arief lelah. tapi, setelah tak baca lagi tulisan ini, emang capek juga sih bacanya, lantaran panjangnya kelewat. but, terima kasih mas.. sudha bersedia membaca. :)
hem, seperti itu yah, yang tergambar? yahh, begitu juga boleh kok...:)

@ Mas Goe: hem..
boleh tau tafsirannya seperti apa? sepertinya perlu kita bahas di forum tentang ini...:)

@ Mbak Lia: wah...ada peer nih..
hem, ada yang bisa bantu saya menjawab?
kalau say menjawab, hem..bisa jadi.. dan boleh jadi. tapi, mimpi, tak selalu harus 'mimpi' kan?

goresan pena said...

@ wahyu:

wahyu,

bolehkah merasakan hati ini dengan senyuman? :)

terima kasih.

Kabasaran Soultan said...

Ikhlas ya Hez.
Menurutku ia bukan sebuah definisi rasa namun ia adalah sebuah kiat yang entah siapa yang menciptanya yang tujuannya tiada lain untuk "menyamankan" sang rasa dari sesuatu keadaan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan artinya ia dicipta untuk menyasarkan rasa dari keadaan yang sejujurnya.
atawa :
Ikhlas adalah kiat dari pihak diluar "diri" untuk mendapatkan sesuatu yang berpotensi mendatangkan rasa tak nyaman dari "diri" menjadi / disasarkan ke arah sesuatu yang memang seharusnya dilakukan " diri ".
Intinya ikhlas adalah suatu kiat untuk mengalihkan rasa.
Entahlah.....

Anonymous said...

Good brief and this mail helped me alot in my college assignement. Thank you on your information.