08 April 2008

Sudah Hampir Separuh Jalan

Sudah Hampir Separuh Perjalanan

Bagaimana jika kita lari saja? Lari dan lari terus…! Jangan sekali-kali menoleh ke belakang. Lari… dan bergerak cepat. Kala waktu sudah menyadarkan kita akan kepenatan, mari kita beristirahat sejenak. Biarkan kaki-kaki kita meregang. Biarkan saja terkulai sementara, biarkan kaki-kaki mencari energi sendiri. Agar nanti kita dapat kembali berlari dengan kaki-kaki yang telah terisi energi. Mata-mata kaki yang akan menuntun untuk kembali berlari. Menunjukkan arah kemanapun yang akan kita jelajahi. Biarkan saja hanya mata kaki. Biar hanya keduanya yang bekerja untuk kita. Biarkan mata batin dan mata yang tertempel di kepala tak dapat melihat. Biarkan semua buta. Biar hanya mata kaki yang bekerja. Dlamakan. Biarka saja jalan-jalan terjal di depan ini kita rentas, kita bakar aral-aral. Tak peduli pekik semua orang, toh kita pun tak memekakkan gendang telinga semua orang. Sekali lagi jangan melihat ke belakang. Aku, kau…dan mata kaki kita yang akan menuntun, untuk terus lari. Lari…. Bergerak cepat.
“kemana kita akan pergi?”
“tidak peduli kemana, yang pasti adalah melangkah. Kau dan aku. Hanya kita berdua”
“iya. Kemanapun, aku akan mengikuti. Setelah ini, sepenuhnya aku akan menjadi milikmu”
“kau akan kujaga, hingga hayatku. Aku berjanji”
Sebuah ciuman bisa menjadi sebuah janji yang tak terucap, tapi untuk melakukannya pun tidak bisa di mana saja. Seakan ada seribu mata-mata yang mengawasi. Kecuali mata kaki. Padahal mata-mata yang menempel di kepala dan mata batin sudah dilumpuhkan. Tapi, mengapa tidak bisa? Padahal hanya sebuah ciuman? Yang biasanya begitu mudah di kala ada jeda.
“tunggu di sini”
“hendak kemana kau?aku tidak mau sendiri?”
“tidak, aku tidak akan pergi jauh. Aku hanya melihat keadaan sekitar. Apa sudah aman”
“jangan tinggalkan aku”
“tidak, kekasihku. Hanya sekejap saja”
Wanita itu mengangguk. Mengiyakan. Walau separuh hatinya bertaruh dengan kecemasan di atas rata-rata. Kekhawatiran. Sungguhkah akan demikian seperti janji sebelumnya? Tapi, dia sudah pertaruhkan hidupnya, tidak ada alasan untuk tidak mempercayai.
“kau lapar?”
“saat ini tidak”
“tapi kita harus makan. Seberapapun yang masuk ke perut kita. Energi kita tidak boleh habis sebelum waktunya. Mari kita cari semampu kita”
Hanya sebuah anggukan. Itu cukup sebagai jawaban. Apalagi yang bisa dilakukan?
Tidak banyak yang bisa dilakukan. Para pengembara mungkin sudah mengepung seisi kota. Mungkin juga para pedagang sudah memenuhi hutan-hutan. Mereka biasanya bertukar keberadaan untuk sesuatu keadaan yang tidak lazim terjadi. Wanita-wanita bercadar hitam sudah mondar mandir di depan kedua pasang kekasih itu. Bukannya wanita-wanita bercadar itu tidak tahu. Justru mereka sangat mengerti. Mereka memahami dengan pemahaman yang tak berkesudahan. Mereka justru didera kecemasan yang bukan-bukan. Kekhawatiran yang sama dengan pengharapan mereka di tiap malam-malam panjang mereka dengan kesendirian. Ini bukan mengenai kebencian. Ini bukan mengenai rasa iri. Ini hanya sekedar keinginan yang mampu mereka lumat habis, dikungkung dan kemudian mereka samarkan dalam cadar-cadar mereka. Membuat janji yang menurut mereka sebaiknya tidk diingkari. Walau tiap malam, kadang mereka pun mengimpikan mengalami seperti sepasang kekasih itu. Mereka ingin juga merasakan sebuah perjuangan untuk sebuah cinta. Walaupun tanpa janji apa-apa. Mana ada pelarian yang mampu menjanjikan kebahagiaan?
Dalam relung hati wanita-wanita bercadar itu semakin gelisah. Cepatlah pergi! Cepatlah bergerak..! jangan tunggu amarah penduduk semakin memuncak. Jangan biarkan mereka menemukan kalian!
Tapi itu tidak disampaikannya. Tapi, peringatan-peringatan itu tidak pernah terucap. Sehingga sepasang kekasih yang sedang beristirahat itu tidak pernah mendengar. Dalam degup jantung mereka, yang ada hanya rasa cinta. Yang ada hanya keinginan bersama. Yang ada hanya ingin melampiaskan seluruh kerinduan dengan segera. Mereka tidak terlalu peduli. Bahkan jika harus direjam sekalipun.
Wanita-wanita bercadar itu masih mondar-mandir. Ada sekitar 6 orang. Tapi tidak satupun bersuara. Tapi tidak satupun melontarkan peringatan. Tidak ada satupun yang menegur sepasang kekasih itu. Mereka hanya mondar-mandir mengekspresikan kecemasan mereka. Mereka cemas, karena mereka merasakan ketakutan itu. Mereka diam-diam juga menginginkan akhir yang bahagia bagi pelarian itu. Seperti mimpi-mimpi mereka yang tak pernah berani mereka impikan sebelumnya. Yang mereka tahu sebelum kajadian tak lazim ini, mereka adalah kekasih Tuhan. Yang akan mengabdikan hidupnya untuk Tuhan, semata.
Tapi untk seorang pria, mungkin akan menjadi suatu pemikiran yang benar-benar pembaharuan. Itu mimpi-mimpi mereka, mimpi yang tak sanggup mereka impikan sebelumnya, karena sama saja dengan mengkhianati sumpah mereka. Padahal, siapa yang tahu jalan pikiran setiap kepala? Tuhan yang tahu! Jadi tidak perlu berdusta padanya.
Wanita pertama diantara lima lainnya, semakin tidak sabar. Jika mereka bersuara, jika mereka mengeluarkan sepatah kata saja, hukumannya ialah pasrah terbakar api yang begitu besar. Atau terpanggang dalam bejana dengan rambut terurai. Itu hukuman untuk seseorang yang telah membantu seorang pria yang melarikan istri orang lain.
Dengan penuh keberanian, ia menyerahkan kepada sepasang kekasih itu beberapa buah apel dalam keranjang yang telah dikumpulkannya dengan susah payah ketika melewati hutan di tepi sungai tadi. Wanita itu membuka cadar untuk pertama kalinya.
“aku sudah berkhianat. Tapi hendaklah apa yang kulakukan tidak akan kalian sia-siakan. Carilah sisa-sisa kebahagiaan yang nantinya akan membahagiakanku. Cepatlah bergerak, jangan kalian manjakan kaki-kaki kalian. Biarkan mata hati yang menuntunmu, bukan mata kaki, karena mata kaki dapat lelah sewaktu-waktu. Cepatlah bergerak”
Sepasang kekasih itu saling pandang dengan tatapan takjub. Ini sebuah keajaiban. Wanita bercadar itu meneruskan, sambil menatap kedua kekasih itu. Hingga pada wajah sang wanita.
“jika kau menghendaki sesuatu yang kau yakini, kau harus memperjuangkannya. Alam yang akan melihat kesungguhanmu. Dan jika kau sudah sampai di titik itu, seluruh alam semesta ini akan gotong royong dan serta merta akan membantu mwujudkan keinginanmu. Percayalah!”
Sang wanita hanya menjawab dengan airmata berlinang. Wanita bercadar lalu berbisik pelan di telinganya.
“rahimmu, adalah kebahagiaan yang kutitipkan untuk hari esok. Isilah dengan cinta. Lalu lahirkan keturunan yang banyak, yang dapat kau ceritakan tentang kisahmu. Jika kau masih mengingatku, sampaikanlah pada mereka, masih ada aku yang berharap kebahagian darimu, yang tidak bisa kulakukan, karena ketakutanku. Kuatkanlah diri kalian.”
Setelah merasa cukup banyak yang disampaikan, wanita bercadar hitam itu menatap lima lainnya. Dan yang tersirat dari wajah mereka adalah ketakutan yang sudah berpangkat tak terhingga.
“ayolah, bergerak cepat!” teriaknya. Seketika itu, cadar yang selama ini selalu menutupi wajahnya terhempas ke tanah berumput. Tidak lama, cunduk berukir yang menjadi senjata untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan, telah membelah nadi di pergelangan tangan sebelah kirinya. Cadar itu masih berwarna hitam, tapi basah. Hanya rumput-rumput di bawahnya yang tersiram hujan berwarna merah dan amis. Semua berteriak tertahan. Semua begitu tiba-tiba.
“ini hanya masalahku dengan Tuhan, jangan kalian hiraukan! Cepat bergesas. Pergi! Jangan buat aku menjadi sia-sia”
Bergetar bibir sang wanita.
“bagaimana aku bisa pergi?”
Lengan kekasihnya segera merangkul dengan teguh. Seakan menyesali kekasihnya melihat kejadian yang begitu memilukan ini. Dia berbisik lembut.
“ini yang diinginkannya, pengorbanannya untuk kita, tidak semestinya kita sia-siakan. Ayolah…”
Kaki-kaki menjadi seperti tertanam ribuan tahun. Mata kaki menjadi lemah dan lelah seketika. Betul…! Mata kaki ini mudah sekali lelah. Rangkulan itu yang membuat keduanya menjadi kuat. Rangkulan itu yang membangunkan keyakinan kembali. Mereka sudah melangkah, perlahan. Air mata masih terus mengalir. Tapi mereka sudah sepakat, tidak ingin melihat ke belakang. Yang masih melihat mereka, ialah sepasang mata yang semakin melemah, di ujung nyawanya, ia sempatkan tersenyum. Mungkin, kekasihnya sudah mulai memanggilnya, dan suara-suara malaikat sudah terdengar ingin mengajaknya. Akhirnya….. mungkin, memang mimpi-mimpi rahasianya selama ini adalah untuk pertemuan yang seperti ini. Siapa yang tahu?
Perjalanan ini belum selesai. Masih sangat jauh. Kota Pzuzi masih terlihat. Mereka harus terus berjalan ke arah barat, lalu melalui bukit kecil dan berjalan beberapa hari di sepanjang sungai Ruams. Masih jauh. Apakah kaki-kaki mereka akan sanggup?
Mentari tadi sudah naik. Dan sekarang sudah semakin condong ke barat. Hari sebentar lagi gelap. Mereka masih di tengah hutan. Tidak ada perdu-perdu. Yang ada ialah pohon-pohon yang menjulang tinggi. Pohon-pohon yang tidak akan sanggup dirangkul kecuali dengan minimal tiga orang. Suara-suara binatang malam semakin membuat hutan begitu menyeramkan. Tapi, tak sedikitpun pasangan kekasih itu merasa ngeri. Yang mereka rasakan hanya cinta yang membara. Cinta yang tak sanggup mereka jabarkan. Cinta yang tak sanggup mereka uraikan.
“kau takut, sayang?”
“tidak”
“apakah alam ini cukup bersahabat?”
“entahlah, aku tidak yakin. Tidak pernah aku di hutan saat malam seperti ini. Seharusnya ini menakutkan. Tapi, entah kemana perginya rasa takut itu. Hilang tanpa aku sadari. Yang aku tahu saat ini hanya dirimu. Bersamamu, dalam dekapanmu”
“kemarilah, mendekatlah padaku. Aku akan selalu mendekapmu. Tidurlah sayang, di pelukanku”
Pohon-pohon tinggi membuat rembulan yang matang hanya terlihat samar-samar cahayanya. Tapi itu sudah cukup bagi mereka. Mereka masih bisa saling menatap. Mata mereka berpadu tanpa mereka sempat berpikir, mata mereka yang berbicara. Saling merasakan perasaan yang menyelimuti. Mata mereka yang menuntun dengan lugas. Dan di bawah sinar bulan, saat mata tidak mampu lagi berkata-kata. Udara mengalirkan sebuah kehangatan, saat kedua bibir mereka bertemu. Saat mereka mendapati udara panas semakin mendesak keluar. Saat kata-kata tak lagi dapat berfungsi, biarlah bibir keduanya yang menyatukan, biarkan mereka berdua menikmatinya. Bibir yang lembut, yang biasanya hanya memanggil nama masing-masing.. biarkan sentuhan-sentuhan itu menawarkan sedikit kerinduan mereka. Biarkan mata-mata tertutup rapat, mereka tidak perlu melihat. Mereka wajib buta saat ini. Biar hanya sentuhan-sentuhan itu yang menentukan kemanapun mereka sanggup membawanya. Biarlah, degup jantung berhenti berdetak. Biar hanya kecupan hangat, lalu sebuah ciuman panjang yang tak berkesudahan yang mewakili asa itu. Biarkan hanya itu. Biarkan sinar bulan yang temaram yang mengantarkan mereka pada pagi yang seperti masih panjang. Yang mungkin tak terpikirkan. Biarkan malam ini menjadi milik mereka. Biarkan, saat mereka mulai membuka mata mereka, yang mereka lihat adalah pasangan mereka. Mata yang rasanya baru sedetik mereka pejamkan. Lalu, jika mereka masih ingin mengulangi kecupan-kecupan itu, jangan dihalangi. Biarkan saja…biar mengalir. Biar mereka rasakan, indahnya sebuah kebersamaan.

Di kota Pzuzi.
Dewan kota sudah di padati penduduk. Masing-masing melaporkan kepada ketua dewan yang saat itu duduk di kursi berbantal sutra dengan warna yang mencolok, berwarna gold. Duduk di ujung utara lapangan yang sangat luas. Masing-masing melapurkan rentetan kejadian setelah Lucarsa membawa lari Gissele. Dewan kota menjadi berang. Bagaimana tidak, anak semata wayangnya. Yang tidak lain tidak bukan yang merupakan suami Gissele harus menanggung malu sebesar ini. Bagaimana aib ini dapat ditanggung seorang pemimpin seperti dirinya. Sementara seseorang yang sedang terpuruk karena ditinggal cintanya itu, hanya bisa nanar menatap dinding-dinding kejayaan semu yang telah dibangunnya. Semua dirampas begitu saja, semua diambil begitu saja. Dia telah dikhianati. Dikhianati dengan cintanya. Telah sedemikian butakah mata-mata yang ia miliki, sehingga ia tidak sadar akan kehadiran cinta yang selalu dipupuk Gissele? Bukankah ia telah merantainya denga segala kejayaan yang tidak semua pria bisa berikan?sungguh demikian mudahkah melupakan semua kenangan indah yang pernah mereka hadapi dan rasakan? Sedemikian sanggupkah seorang Gissele untuk mengingkari kodratnya. Begitu kuatkah cinta lamanya mengubur masa depannya??
Masa depan….
Masa depan untuk siapa?
Mungkin bagi Gissele, masa depan ialah bersama pria yang membawanya sekarang ini.
Ini adalah luka. Luka yang menganga lebar, tidak akan sembuh dengan seribu jahitan. Luka yang telah bernanah. Kalau perlu, potong saja kaki yang terluka itu! Tidak perlu sampai jantung yang ditikam. Tanpa satu kaki, manusia masih dapat hidup. Ya! Habisi pembuat luka itu. Potong segera, agar tidak membusuk dan menjalar hingga ke bagian lain.
Dengan bibir yang bergetar, pria yang terluka itu. Maju ke atas podium. Mata kaki yang meyakinkannya. Pandangannya menyapu segenap penduduk di kota Pzuzi.
“ini adalah buah dari orang tua yang tidak becus mendidik anak. Dan ini akan menjadi pengajaran bagi kita. Luka harus dibayar dengan kewajaran yang semestinya. Tidak ada alasan untuk membiarkan semua yang berhubungan dengan ini hidup. Seret semua keluarga Bertolomia ke sini. Dan sebagian dari kalian, persiapkanlah bejana dengan api besar. Di dewan kota ini, kalian semua akan menjadi saksi. Ini bukan sebuah hukuman, tapi ini hanya penebusan dosa, dan kita telah membantu mereka”
Tanpa menunggu perintah lagi, mereka segera bubar dan membagi diri dengan tugas masing-masing. Padahal tidak ada yang mengkomando mereka.

Di sudut kota Pzuzi
Keluarga Bertolomia tengah terpaku di bawah altar. Mereka suami istri tidak henti-hentinya menyesali dan mengutuk tindakan putri mereka. Betapa konyol dan memalukannya. Mereka pun tak henti-hentinya menyalahkan diri mereka. Pun jika mereka dapat menggantikan hukuman untuk menggantikan kesalahan anaknya, mereka akan bersedia. Tapi, mana mereka menyadari apa yang akan mereka alami beberapa saat berikutnya.
Sebagian penduduk sudah berkumpul di depan rumah keluarga Bertolomia. Mereka berteriak-teriak seperti orang kesurupan yang sudah seabad tidak mengenal Tuhan. Mereka memaki dan mencaci Bertolomia tua. Memaksa Bertolomia dan keluarganya untuk keluar. Baru saja kedua suami istri senja itu melangkahkan kaki dari pintu, tangan-tangan kasar telah menyeret mereka. Menjauhkan mereka beberapa kaki dari rumah. Dan tidak seberapa lama, obor-obor di tangan penduduk telah berpindah ke rumah Bertolomia yang sudah didiaminya puluhan tahun. Betapa itu sangat menghancurkan jiwa raganya. Betapa itu sangat meluluhlantakkan harga dirinya. Bangunan yang seumur hidup diabdikan untuk membuatnya, untuk membangunnya, yang ia pikir bisa ia wariskan pada keturunannya melalui Gissele, habis terjilat api. Api yang berkobar hingga menjilati langit. Membumbung tinggi dengan panas seperti di samping matahari. Api yang perlahan merobohkan tiang-tiang penyangga yang dulunya satu persatu dia tanam dengan bantuan beberapa orang saja.
Akhirnya, kaki Bertolomia hanya terkulai. Sementara istrinya sudah pingsan. Lalu, mereka pun masih tidak menyadari apa yang akan mereka hadapi beberapa waktu lagi. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan oleh nenek moyangnya sekalipun. Di antara kelemahan hati, tubuh yang luruh dan pikiran yang tak lagi sadar sepenuhnya, mereka suami istri itu diseret ke balai kota.
Saat tiba di balai kota, yang mereka lihat adalah, sebuah bejana besar, dengan api yang tidak kalah besar dengan yang telah membakar rumah mereka. Di saat itu, mereka sudah tidak lagi dapat menduga, yang mereka lakukan adalah pasrah. Seraya menyebut nama Tuhan. Entahlah…mungkin Tuhan yang keseratus. Yang jelas, Tuhan manapun, tidak akan bisa menyelamatkan mereka saat itu. Itu pasti. Karena tidak ada lagi mukjizat yang ajaib seperti yang di rasakan nabi-nabi.
Dan, mereka tidak perlu menunggu lama untuk terpanggang di dalam bejana itu. Suara gemeretak kayu bakar, mengalahkah raungan kesakitan mereka. Entah berapa lama, hingga mereka terdiam. Dan yang anehnya, penduduk kota Pzuzi yang katanya sangat mengenal Tuhan dan selalu dekat dengan Tuhan itu, sangat menikmati prosesi tersebut.

`
Pagi menembus batas pohon-pohon tinggi. Menyadarkan kedua kekasih yang sempat terlelap dari malam panjang mereka. Gissele yang pertama kali bangun. Tubuhnya berkeringat. Wajahnya pucat, matanya menyiratkan ketakutan.
“ibuku…”
“kau bermimpi?”
“ini sangat nyata. Ini sangat nyata! Mereka membakar rumahku. Mereka membakar semua, dan kedua orang tuaku mereka masukkan ke dalam bejana. Mereka panggang di sana”
“itu hanya mimpi, sayang..”
“tidak..ini sangat nyata”
“sudahlah itu mungkin hanya ketakutanmu. Kau tidak ragu dengan yang kita jalani sekarang ini kan?”
“sedikitpun tidak. Tapi….”
“sudahlah, Clouns sudah terlihat. Tidak sampai setengah hari, kita akan sampai di sana”
Lalu mereka berjalan lagi. Lucarsa masih merangkul Gissele, hanya itulah kekuatan yang bisa dibaginya. Walau hatinya kadang juga terguncang. Terguncang saat memikirkan batas kebenaran dan sekat kesalahan. Memikirkan apakah memang harus berakhir dengan pelarian seperti sekarang ini. Tidak sedikitpun ia ingin memberi kesulitan untuk orang yang sangat dicintainya itu. Untuk seorang wanita yang sedang diperjuangkannya itu. Tidak terbersit sedikitpun untuk menyakiti. Tidak. Sudah terlihat sedikit jalan terang. Tapi, benarkah?
Clouns adalah kota yang tidak terlalu besar. Masih merupakan tetangga Pzuzi. Sebenarnya, jika mengunakan kuda, jalan yang ditempuh untuk ke sini tidak lah selama ini. Hanya setengah hari. Begitu sampai di pinggir kota, Lucarsa mendatangi sebuah kedai yang terlihat sepi. Hanya ada dua pengunjung disana. Sementara Gissele masih menunggu di batas perdu, tidak jauh dari situ. Hanya berjarak 10 meter. Gissele meluruskan kakinya yang mulai keram. Sebentar lagi… katanya menenangkan hati.
Di kedai itu, Lucarsa hanya termenung. Terdiam dan terpaku bagai dihantam sejuta bongkahan es. Apa yang didengarnya dari pembicaraan kedua orang itu sungguh tidak masuk akal. Semua nya tiba-tiba dan akal sehatnya tidak mampu membayangkan atau menganggap berita itu benar.
Keluarga Bertolomia di bantai di bejana terpanggang, sementara rumahnya di bakar habis, dan mereka berdua tengah di cari oleh siapapun dan dimanapun.
Bagaimana bisa membelikan sepotong roti dan secangkir minuman hangat untuk kekasihnya? Bagaimana bisa? Pastilah orang-orang itu akan mengenali mereka. Mereka yang merupakan orang asing di kota Clouns. Bagaimana mungkin? Lucarsa berjalan memutar ke belakang kedai. Di situ ada sebuah ladang kecil dan ada sumber mataair yang bisa dia pergunakan untuk mencuci muka. Keinginannya adalah menghapus perkataan demi perkataan yang dibicarakan kedua orang tadi. Ia ingin menyangkal. Ah, betapa ini sangat kebetulan dengan mimpi Gissele. Bagaimana mengatakan hal ini pada orang yang paling dicintainya itu? Bagaimana mungkin mengatakannya dengan bibirnya sendiri? Atau membiarkan kekasihnya itu tahu dari orang-orang dua itu? Itu lebih tidak bijaksana lagi. Semua berputar-putar seperti gasing di kepala Lucarsa. Ini gila!
Tidak pernah ia membayangkan akan separah ini kejadiannya. Yang dia tahu, hanya ingin merebut kembali cintanya, cinta di masa kecilnya yang hilang direnggut ‘kebetulan’. Beribu penyesalan berkumandang penuh pekik di telinganya. Kenapa tidak sedari dulu dia datang? Kenapa malah dipertemukan kembali setelah kekasihnya itu menjadi milik orang lain? Dan kenapa perasaan itu masih tetap ada? Dan kenapa perasaan itu mengalir sedemikian derasnya dengan datangnya pertemuan pada jeda-jeda yang tersedia? Mengapa masih menginginkan suatu kebersamaan yang lebih dari sebelumnya? Kenapa?
Kenapa tidak mempertimbangkan hal-hal lain sebelumnya? Walau itu sempat terlintas, tapi tak pernah sedikipun terbersit akan seperti ini. Ini sangat tragis dan mengerikan.
Lalu, dia berlutut dengan derai air mata tertahan.
“Tuhan…..”

Kekasihnya telah menunggu dengan sebuah senyuman. Senyuman yang selalu diingatnya. Getir dia berkata.
“mari kita sewa kuda. Kita harus pergi dari sini”
“hendak kemana? Mengapa begitu tiba-tiba?”
“tidak. Semua berjalan sesuai rencana, hanya ada sesuatu yang tertinggal di Pzuzi. Kita harus kembali”
“kembali? Mengapa? Mengapa setelah sejauh ini? Ada apa? Apa yang tertinggal sehingga kita wajib kembali?apa aku boleh memilih untuk tidak kesana lagi?”
“suatu saat nanti boleh, tapi sekarang, kita harus kembali. Hanya sebentar saja”
“sebentar saja? Untuk hal apa ini?”
“ayolah, kita cari kuda yang bisa kita sewa dan nanti kuceritakan di jalan”
Akhirnya, Gissele hanya bisa mengangguk.

Sudah hampir separuh perjalanan. Tapi tidak sepatah katapun terucap dari bibir Lucarsa. Yang berbicara terus menerus malah Gissele. Lucarsa hanya memperhatikan diam-diam. Menatap mata kekasihnya yang berbinar-binar tersapu sinar matahari pagi. Senyumnya serta keceriaannya yang selalu dirindukannya. Serta bibir itu… yang tadi malam di lumatnya. Ahhh, mengapa demikian sulit? Ia hanya mendengar saja. Mendengar kekasihnya itu berceloteh.
“aku menyayangimu, kau tahu?”
Lucarsa hanya mengangguk. Tentu saja.
“kau ingat, waktu kecil, kita juga pernah seperti ini. Berkuda berdua dan melarikan diri saat kedua orang tua kita mencari. Apakah kau melupakan itu? Aku tidak pernah. Karena engkau adalah pangeran bagiku. Aku tuan putrinya kan? Kau ingat dengan bunga-bunga plastik yang tumbuh di dekat bukit? Yang dulu kau ambilkan untukku, antai kau tahu, bunga itu masih ada. Karena ternyata bunga itu bisa awet dan utuh belasan tahun. Aku menyimpannya, dan diam-diam berharap suatu saat kau kembali. Dan kini, harapanku terwujud. Kau telah kembali. Ahhh…betapa bahagianya.betapa bahagia, akhirnya aku bisa hidup dan menghabiskannya hidup ini dengan mu. Aku mencintaimu, sungguh. Aku yakin kau juga akan begitu. Selalu menyayangiku. Mencintaiku tanpa batas. Ya kan?”
Sekali lagi Lucarsa mengangguk. Tapi kali ini sambil menelan ludah. Pahit.
Sementara Gissele menenggelamkan wajahnya pada dada kekasihnya. Tempat teraman dan ternyaman yang dirasanya. Tempat dimana keyakinannya bernaung.
Sudah hampir sampai. Lucarsa tiba-tiba menghentikan laju kudanya. Kuda yang cukup kokoh itu berderik karena terkejut. Mungkin dia merasa kini sudah waktunya.
“kita harus turun. Ada sesuatu yang harus aku sampaikan. Sesuatu yang sebenarnya tidak ingin aku sampaikan. Turunlah sayang”
Gissele mengikuti.
Setelah kuda ditambatkan, keduanya duduk di bawah pohon ek yang terlihat sudah cukup tua. Daun-daunnya bahkan berguguran di sekitar.
“aku mencintaimu, kau tahu itu. Dan itu tidak perlu kau ragukan”
Gissele hanya mengangguk.
“terdengar seperti hendak mengucapkan selamat tinggal” gumam Gissele.
“bukan. Bukan itu maksudku”
Pandangnya lurus ke depan, walau yang dimatanya yang terlihat tidak lebih dari bayang-bayang yang mulai kabur, yang tidak tampak cukup jelas.
“ada yang harus kusampaikan. Dan ini sangat berat. Aku tahu ini menyenangkan bagi kita. Tapi ini pun sangat menyakitkan untuk kita berdua. Kita harus jujur dengan semua ini. Kita harus jujur. Walau ini menyakitkan. Beribu kali aku ingin mengingkari semua ini merupakan suatu kesalahan. Aku yakinkan kita benar karena mengikuti kata hati. Tapi, adakah memang benar ini adalah kata hati kita?”
“mengapa baru sekarang kau katakan itu? Setelah keyakinan itu membuncah dan aku merelakan semua yang kumiliki kutinggalkan”
“aku tidak tahu. Maaf…”
“kau ingin kita berpisah disini?”
“tidak..kau jangan salah faham, justru karena aku ingin terus bersamamu, maka aku utarakan ini. Aku ingin hidup damai bersamamu”
“lantas, kenapa kita harus kembali? Kau pasti berdusta dengan yang kau katakan bahwa ada sesuatu yang tertinggal”
“tidak. Aku tidak berdusta. Memang yang tertingal itu ada. Yang tertinggal itu adalah sesuatu yang harus kita tuntaskan. Kita hadapi dengan dada terbuka”
“apa maksudmu…?”
“sayang… sekarang ini, kita telah menjadi buronan, dan daging serta bagian-bagian tubuh kita telah dihalalkan untuk para kanibal. Seluruh penduduk kota sedang mencari kita”
“itu sudah pernah terbayang oleh kita. Maka cepatlah kita pergi dari sini, sebelum malam memperlambat langkah kita. Tidakkah kau membayangkan kebahagiaan kita kelak? Di pangkuanku ada anak-anak yang akan memanggilmu Ayah.. ah, betapa indahnya”
“Gissele kekasihku… aku selalu membayangkan itu. Kebahagiaan itu..seandainya…”
“ada apa ini sebenarnya? Pasti ada yang kau sembunyikan. Katakan padaku”
“Gissele, hm.. mimpimu tadi malam… kini telah menjadi sebuah kenyataan”
“mimpiku yang mana?”

“oh….tidak!! maksudmu orang tuaku? Mak..sud..mu, orang tua..ku??”
Tergagap. Dan Lucarsa hanya mengangguk.
Gissele jatuh pingsan.
Tangan itu didekapnya, diciumi berkali-kali. Wajah yang membeku itupun demikian. Ditatapnya lekat-lekat. Bagaimana bisa meninggalkan wanita yang begitu dicintainya itu? Bagaimana mungkin, mengkhianati takdir ini? Bagaimana bisa membiarkan wanita ini menghadapi semua sendirian? Bagaimana dirinya sanggup membuat kekasihnya merasakan penderitaan seperti ini? Betapa egois dirinya membiarkan ini terjadi, membiarkan kekasihnya kehilangan segala kebahaggiaan yang pernah dirasa dan di milikinya. Seandainya saat itu dia tak datang..seandainya waktu tidak mempertemukan mereka kembali. Seandainya tidak ada perasaan yang kuat seperti sekarang. Seperti yang mereka rasakan. Betapa dorongan kasih sayang telah kabur dengan nafsu yang menyesatkan. Tuhan!! Betapa skenariomu ini sangat indah!! Betapa hebat!!
Gissele sudah siuman. Tapi kepalanya masih terasa berat. Tapi cepat ia menguasai diri. Dengan teguh, ia berujar mantap
“sudah saat nya kita pergi. Ayo kita lari, tidak sepantasnya pengorbanan orang-orang untuk kita, kita sia-siakan”
“sayang, kita tidak akan lari, walau kita akan beranjak pergi sebentar lagi”
“apa maksudmu?”
“kita akan kembali ke Pzuzi. Kita harus hadapi ini dengan hati yang kokoh. Segala resiko akan kita hadapi, dan aku akan memintamu dengan sungguh-sungguh. Sebagai seorang pria. Dimana pilihan ada di tanganmu. Kita akan kembali, dan kita buktikan bahwa cinta kita memang murni. Kita bukan pengecut, sayang. Aku akan dengan lantang memintamu, menjadikanmu milikku. Apapun resikonya”
Gissele hanya menelan ludahnya, merasakan kegetiran dari setiap kata-kata yang terlontar dari bibir kekasihnya. Airmatanya tak terbendung, sebuah keharuan yang memuncak. Inilah kebahagiaan itu. Inilah letak kebahagiaan itu. Tak terasakah? Kebahagiaan tidak selalu hadir pada hasil akhir, kebahagiaan datang di saat-saat seperti ini, di saat perjalanan yang panjang seperti ini. Di persinggahan yang tak terbayangkan, di antara kejutan-kejutan manis dalam hidup. Diantara beribu pilihan dalam keranjang kehidupan manusia. Inilah letak kebahagiaan. Saat air mata tidak hanya bermakna kesedihan, saat tawa tidak cukup untuk menggambarkan suatu kepuasan, saat bibir tak lagi berucap apa-apa. Saat doa dilafazkan dengan rasa syukur yang mendalam. Itulah kebahagiaan. Dan Gissele telah memilikinya. Dan ia yakin dengan keyakinan di atas rata-rata, ia tidak salah pilih kali ini. Tuhan yang berkehendak, sekali lagi. Menyelamatkan dirinya dari ketidakmenentuan masa depan. Inilah rahasianya. Inilah kebahagiaan itu
“ayo kita kembali” ajaknya mantap.
“terima kasih atas pengertianmu”
Kemudian, kuda mereka membelah jalan dengan segera, secepat kemampuan kaki-kaki tangguh itu bekerja. Tujuan mereka hanya satu. Mengahadapi siapapun di balai kota. Menghadapi dengan dada yang membusung, memperbaiki nama baik kedua orang tua yang sudah tiada.



Dewan kota masih dipadati orang-orang yang bergerombol. Penuh sesak. Bejana besar masih memerah dijilat api. Di dalamnya, terdapat dua mayat yang telah masak. Dan siap untuk menjadi santapan para kanibal. Seekor kuda membelah kerumunan itu menjadi dua. Dengan laju secepat angin, tidak ada yang menghalangi. Mereka semua masih terpana. Kuda itu berhenti, tepat di depan podium dewan kota.
“ini aku, Lucarsa kembali”
Seluruh penduduk bersuara riuh. Ketua dewan kota turun dari singgasananya.
“pencundang!” umpatnya.
“aku datang mengakui dosa! Tapi aku ingin memperbaikinya. Aku ingin meminta Gissele dengan caraku. Biarkan dia pergi. Biarkan dia memilih. Biarkan dia mengatakan apa yang dikehendakinya”
“mulutmu bau kotoran kuda! Tidak pantas kau berkata demikian. Hukuman mati pun terlalu mudah untukmu”
“aku akan hidup. Untuk itulah aku ke sini”
“nyalimu sangat besar, anak muda. Tapi tidak dengan keberuntunganmu. Kau tetap akan mati, apapun yang kau katakan”
Gissele menyela.
“biarkan aku pergi, mengikutinya.ijikanlah.. ikhlaskanlah..”
“ini bukan masalah keikhlasan! Ini masalah harga diri. Pun seandainya kau mati di makan harimau, tidak ada yang akan menangisimu di sini. Tapi kau telah menginjak-injak martabat penduduk di sini. Kau lah perempuan yang di kutuk itu. Kau lah yang membunuh kedua orang tuamu. Bukan kami. Kau yang menyulut api untuk membakar rumah mu sendiri. Itu kau!! Tak sadarkah kau? Tak malukah kau pada kaca? Lalu dengan enteng kau minta keikhlasan untuk membiarkanmu pergi? Kau pikir kami ini apa? Manusia tidak tahu balas budi”
“aku memang salah…..” ujar Gissele datar…hambar.
“aku tidak mau memperlama ini. Tangkap lelaki itu, bawa kandang harimau ke sini. Dan tepat di hadapan kalian semua penduduk kota, akan kalian lihat, tubuh pecundang ini di pecundangi dengan harimau buas itu. Sementara untuk wanita jalang ini, biarkan dia membunuh dirinya sendiri. Dudukkan ia tepat di hadapan kandang, agar ia dapat melihat pemandangan yang takkan dilupakannya hingga mati. Lalu berikan belati padanya. Biar dia sendiri yang membunuh dirinya. Tidak ada yang sudi menyentuh sehelai rambutnya, apalagi tubuhnya yang kotor dan nista itu”
Seperti biasa, persiapan tidak begitu lama. Secepat mungkin Lucarsa di masukkan ke dalam kandang dengan 3 ekor harimau di dalamnya. Harimau yang tentu saja sudah sangat lapar. Di depan mata kepalanya sendiri, Gissele menyaksikan tubuh kekasihnya mulai tercabik-cabik. Tapi ia tidak meronta, Gissele pun tidak menangis atau meraung, semua dilihat dengan ketenangan luar biasa. Inilah harga untuk sebuah cinta. Ini bukanlah sebuah penghinaan. Iniah keutuhan dari kebahagiaan yang lebih besar lagi. Ini bukan pengorbanan. Tapi ini adalah kebahagiaan itu. Ini pembuktian. Lucarsa berlutut sambil menatap mata kekasihnya, seakan meyakinkan. Aku selalu mencintaimu…selalu, biarlah begini..biarlah, ini tidak membunuh cinta kita. Ini lah cinta kita. Gissele terhenyak, menyaksikan bagian-bagian tubuh kekasihnya terhabisi. Telinganya tidak lagi utuh, jari-jari, lengan..mata….hingga yang teronggok hanya berupa daging sisa. Belati di genggamannya bergetar. Ingin ia segera mengakhiri, mana bisa rasa mual ini ditahannya lagi. Tapi tidak, dia harus kuat. Nafasnya memburu. Sesuatu di dalamnya ingin pecah. Perlahan ia bangkit. Gerakannya membuat mata penduduk langsung tertuju padanya.
“kalian… beruntunglah kalian tidak pernah di posisi ini! Beruntunglah kalian tidak pernah merasakan ini!! Aku bukan kalian! Aku bukan kalian yang memilih diam-diam bercumbu saat suami-suami kalian pergi ke ladang! Aku bukan kalian yang menutupi tubuh mu dengan rok rok panjang, padahal rok itu telanjang! Dan aku tidak akan mati! Tidak akan! Aku bukan pengecut seperti kalian. Aku tidak akan mati dengan belati ini! Asal kalian tahu, mati tidak menyelesaikan apapun. Aku akan menghadapi kalian! Apapun yang akan kalian lakukan, lakukanlah. Aku yang akan menghadapinya. Aku sadar sepenuhnya kesalahanku sebelumnya. Tapi, kalian salah jika beranggapan aku akan bunuh diri. Memang butuh keberanian untuk merobek leher sendiri, tapi, itu tidak butuh keberanian lebih. Keberanian yang dibutuhkan ialah keberanian untuk hidup. Untuk mengakui dosa-dosa dan mengahadapi hari esok. Untuk menghadapi konsekwensi dari dosa-dosa yang kuperbuat. Aku akan hidup. Untuk mempertanggungjawabkan ini. Aku akan memikul semuanya. Aku akan hidup”
Mata-mata itu terpaku. Terporos menatap wanita yang sepertinya sangat lemah tetapi menyimpan kekuatan yang maha dasyat.
Angin membawa aroma darah sampai ke tubuh-tubuh mereka. Tapi, tidak sedikitpun mereka merasakan kengerian itu. Tapi sekarang, mereka menyadari, betapa sungguh biadab nya mereka. Betapa mereka begitu bernyali, menjadi pembunuh.
Terkadang, penyesalan memang selalu datang di akhir kesempatan, tetapi itu semua tidak berarti membunuh kesempatan untuk memperbaikinya.
Sebuah cerita telah lewat, dan akan tergantikan dengan cerita lain, suatu saat nanti.
28 Maret 2008
1.58 PM

0 comments: