29 April 2009

BATAS : Pertemuan Kedua (this is my pray)

Aku terdiam, terpaku, terisolasi dalam pikir, lebih tepatnya. Aku hening dalam gerak, tetapi pikirku terus berupaya menggapai-gapai jawaban. Bagaimana bisa kutolak mata itu? bagaimana bisa aku mengemohkan tatapan mata itu? bagaimana bisa aku tidak berusaha berpaling saat harus bertatapan dengan mata itu? seandainya memang bertemu..

Membawa pulang, membujuk jiwa yang sudah lamat-lamat memunggungi diri, ternyata masih saja tak melahirkan kebosanan. Entah, mungkin memori dan imaji lebih kompak berkomplot untuk memerangi logika. Sementara si aku ini, masih terbengong-bengong di himpitan rasa, menikmati sensasi mau, mau. Atau mau, tapi akh..mau.

Tidak ada yang kejam kupikir saat andai-andai itu lebih menguasai, hanya batas-batas yang dicipta orang perorang saja yang menjadikannya terlihat tak pantas. Aha! Batas.. bukankah batas sesuatu apapun itu sesungguhnya sendirilah yang menyusun? Tidak ada sebuah koridor yang pasti untuk orang lain. Betapa egoisnya jika memasakan batasan kita pada seseorang. Betapa egoisnya saat senantiasa menyandingkan batas-batas kepantasan milik kita pada seseorang lain. Akhh.. itu yang namanya kejam, tapi, sekali lagi, itu menurutku.

Matahari telah masuk di sore menjelang petang yang lebih mendekati maghrib. Aku duduk di bawah pohon-pohon tua melankolis dan seketika teringat, akan pantulan cahaya saat bertahun-tahun lewat aku duduk di tepi kapal, menyeberangi lautan Kalimantan menuju Barat Jawa. Aku terhipnotis pantulan matahari yang berbias-bias warna-warni tiap pergantian jam. Di jam 10 pagi atau jam 5 sore adalah masa-masa favoritku. Di ujung-ujung batas yang terlihat seakan menjadi garis antara langit dan bumi, terbentang garis toska setengah melengkung. Berdiam di sisi kapal, melarikan diri dari jangkauan orang tua dan berhadapan langsung dengan laut lepas, amboy.. nikmat sungguh kentara. Lantas, berlecutanlah rindu-rindu yang meranggas membuat gatal bilik-bilik hati. Entah pada apa, entah pada siapa, entah bagaimana. Hanya rindu saja.

Begini, pernah mendengar suatu lagu tertentu lantas tanpa mengerti benar sebab, diri seakan terlempar jauh pada arus suatu masa yang sulit sekali dikenali meski kita masih menyimpan memori di korteks? Kalau pernah, maka bisalah membayangkan yang kurasakan. Bukankah ada getar-getar aneh yang meletup-letup? Yang membuat bagian di bawah pundak depan seperti mengkerut-kerut? Akh.. lagu-lagu lama biasanya yang mampu membuat sensasi demikian. Yang membuat kita jauh terdampar di suatu memori, lantas sumber kenangan itu bercerai-cerai menjadi kepingan-kepingan visi absurd yang rumit.

Nah, kembali ke masalah batas. Apa itu batas? Mencari arti di buku besar bahasa Indonesia? Well, ide bagus. Kendati aku lebih senang pendefinisian ala ku sendiri. Sesuatu yang kalian sebut ‘daun’ bisa saja kusebut itu ‘paku’. Jangan heran, boleh saja menurutku. Ini hanya masalah penyebutan dan pendifinisian yang lebih tepatnya sekedar kesepakatan sepihak oleh orang-orang yang membakukan ‘daun’ adalah lembar-lembar hijau dari tanaman yang bisa berubah menguning, kemerahan bahkan kecoklatan untuk yang tua. Tetapi bisa saja itu kusebut ‘paku’, sama seperti manusia-manusia dibelahan dunia lain yang memiliki julukan berbeda untuk benda yang sama.

Intelejensia manusia yang menyiksa, kupikir. Bagaimana kemapanan Tuhan mencipta keberagaman menjadi demikian sulit, atau lebih tepat dibilang unik? Aha..
Seperti saat aku menulis ini. Aku berada di jejeran tetua-tetua desa yang berceloteh lamat-lamat takjim penuh kehati-hatian, dan kupikir aku akan mengerti sepatah bahasa yang digunakan. Tetapi tuturnya yang lambat dan kental monarki lokal, membuatku mengernyit lebih lama. Terdengar seperti sayup lullaby yang masyuk bagai lakon-lakon pewayangan di tvri jaman ku masih sekolah dasar.

Jadi, aku seakan terdudukkan di suatu titik dimana aku dipaksa menyadari aku telah menerima kenyataan itu. itulah batas, batas toleransiku akan perbedaan. Batas dimana aku memang tidak mau membaurkan si aku ini pada mereka. Mungkin egois. Tapi itu memang egoku. Ego untuk tetap mempertahankan bahasa tanah ku dibesarkan ketimbang harus memaksa diri untuk mencampuradukkan keseparuhmengertianku pada yang tak benar-benar kufahami. Atau aku justru hanya mencontek sana-sini untuk menjalin si aku yang baru?
Entah.

Teman, aku pun masih mendebat si aku ini..

Terserahlah konsep-konsep batas yang tak jelas itu. tapi, rasanya aku tak bisa tinggal diam tanpa menyandingkannya dengan batas sebuah perasaan. Sayangnya, perasaanku ini hidup, jauh lebih kekal dari yang kusadari. Matanya tajam nyalang saat aku menyentilnya sedikit saja, saat kusinggung sensasi membicarakan ‘perasaan’, seperti ketika pertama kali merasakan getaran seksual pada lawan jenis. Rasanya aneh, kan? Atau justru nikmat? Kolaborasi keduanya, mungkin.

Perasaan mungkin membelenggu, tetapi aku membebaskannya. Aku ikuti kemana ia pergi, aku turut membawa ransel perbekalan saat ia mengajakku menjelajah, dan aku amini saat dia membujukku untuk mengembara. Berpetualang, mencari. Terlihat membosankan untuk sebagian orang, tapi tidak aku. Sama halnya seperti menanti sesuatu, akh.. betapa syahdunya berada dibatas-batas penantian. Betapa serunya bergelut dengan angan-angan. Dan aku tidak perlu takut untuk terjerembab ataupun kecewa jika angan tidak kesampaian, karena aku memiliki bekal yang senantiasa kubawa dalam ranselku. Bekal itu ialah batas. Dan batasan itu adalah sekat-sekat yang aku sendiri yang me’masak’nya, dan pasak-pasak itu tertancap dengan ukuran dan luasan berbeda jika dibanding dengan pasak-pasak jejiwa lain. Yeah! Batas itu hanya aku sendiri yang tau. Batas itu sesungguhnya, si aku itu tadi.

Lantas, dimana aku menempatkan logika masa lalu, masa kini (kendati semu) dan masa depan dalam lapak hatiku yang akhh.. sampai sekarangpun tak pernah kulihat hatiku sendiri. Yang senantiasa kulihat dalam jangka waktu tertentu, hanyalah angka-angka hasil uji untuk derajat-derajat pengukuran tertentu di hati, yang itupun tak bisa langsung terbaca olehku, harus melalui jasa seseorang. 

Aku juga tidak pernah mengukur, seberapa terlonjaknya jantungku, saat aku menemukan sensasi-sensasi yang berbeda yang mencipta desir halus, degup kencang atau datar. Yang aku tahu, hanya garis-garis gelombang seperti hasil arsir deteksi gempa yang itupun, baru kulihat saat serangan itu datang dan aku harus berlari cepat mengukurnya. Atau hanya terdiam, menunggu semua itu pergi sendiri.

Aku pun tak sua mengira-ngira bagaimana kerja otakku berlompatan kesana-kemari, maju-mundur mengenali setiap stimulant yang datang, atau saat aku terlempar jauh ke suatu masa, tapi di detik kemudian sudah bisa sampai di saat ini. Bagaimana mungkin aku bisa membayangkan sebuah prosessor super canggih yang bisa mengantarkan si aku bergerak dalam skala waktu yang sangat terbatas. Aku tak pernah mengetahuinya. Yang kutahu hanya garis tinggi rendah seperti sandi rumput yang mewakili rasa, tenang atau sakit.

Aku ingin hidup!

Itu saja, dan biar aku yang mengetahui dan menyimpan batas itu. Tak perlu aku dibayang-bayangi rasa takut. Aku akan siap, untuk suatu masa, dan biar aku yang menentukan batas itu.

..

Akh.. Aku melayang mengenang Basquiat, Kurt Cobain, Chairil Anwar, Jimmi Hendrix, Jim Morrison dan masih banyak lagi dengan 27nya.

..

Jadi, pertemukanlah aku dengannya, kumohon.. (aku mengakui sebagai hamba loh.. dan aku mengakui di titik tak berdayaku, he.. toss dulu dong, Tuhan..
Kita kan sahabat.. :P )

Piss…!!

25 April 2009

"jagadtri : ini yang kedua"

Anggap saja berbicara pada tangan sendiri. Anggap saja tidak ada suara yang pernah terlontar dari tim mulut saya. Anggap saja gemerigi, lidah, langit-langit, pita suara, kerongkongan dan bibir tak pernah bersekutu. Anggap saja saya berbicara mengawang pada angin yang kejam memilu sebelum hujan lebat.
Anggap saja demikian.

Jagadtri. Pernah suatu ketika saya menulis mengenai tiga jagad yang pastinya dilakoni oleh kita. Dan ini adalah yang kedua.

Belakangan ini, terus terang saja, saya over sentimental. Entah karena apa. Mendadak, saja saya merasa iba dengan dedaunan. Entah daun waru atau sekedar selembar angsana. Mendadak saya merasa angin terlalu kejam menggigit dalam kesunyian.

Belakangan ini, saya dihantui suara-suara yang aneh. Suara yang tak mau pergi meski saya sudah berkali-kali mencoba mengusirnya. Ada seringai dan ejekan yang tetap tak enyahkendati saya prakarsai dengan rapalan-rapalan suci.

Seperti yang saya tulis, pada jeda, jarak : antara.

Tiba-tiba saja, tanpa ada hujan yang menghujam, tanpa ada gelegar petir, tanpa ada angin kencang saya mendengar suara itu. Suara yang sesungguhnya tak bermuasal darimana-mana, hanya dari hati yang diusung berarak ke pusat saraf.

Jagad pertama adalah kehidupan di rahim ibu, jagad ketiga adalah di alam kubur (entah setelahnya..). Dan jagad kedua? Inilah hidup! Yang saya nikmati ini. Ternyata hidup ini tak lebih dari sebuah jeda yang cukup panjang, sebuah jarak yang terlalui semenjak keluar dari vagina ibu menuju peti kubur. Ternyata, hidup ini hanyalah antara. Dan saya tak lebih dari itu.
Itulah mengapa saya menyebut, saya : antara.

Tiba-tiba saja saya tersentil. Mendadak saya membayangkan sekujur mayat tanpa saya berada di depan makam. Sesungguhnya, hingga detik ini, tak pernah sekalipun saya melihat mayat. Saya masih ingat tatapan aneh Biyan (seorang teman) tatkala saya masih berdiam di studio sementara almarhum kakek hendak dimakamkan. Saya membaca dia berkata demikian “manusia apa ini,” dalam tatap matanya.

Harus saya akui, saya takut dengan kematian. Mungkin bekal saya belum cukup. Ataukah saya takut neraka? Aha.. entah..

saya pernah menertawai mas Arief saat beliau menulis 'Suara Kematian' di blognya, tapi dasyat, kali ini saya sendiri yang mengalami. Dan begitulah, semua terlintas dengan cepat. Kesalahan serta permainan di masa lalu, terbayang wajah-wajah mereka yang menangis, tangan-tangan yang terkepal geram, mata-mata yang menyorot dendam, semua terbayang begitu saja.

Akh... saya benci menulis ini. Tapi saya harus menulisnya. Saya harus mengakuinya. Sebelum terlambat, sebelum semuanya tidak lagi dapat tertulis.

Saya ingin meminta maaf, pada siapa saja. Pada semuanya. Maaf. Maaf.

Sering saya bertaya, apa yang telah saya kerjakan selama ini? Apa yang saya inginkan sesungguhnya?

(to be continued..)

21 April 2009

..jarak, jeda : antara..

mendadak, angin berhenti bergerak
seketika, waktu seakan lenyap
saya tersentil, tiba-tiba sentimentil

lembar-lembar tua angsana bergulir lamat-lamat
puring bergradasi coklat merah
menari lembut, amat gemulai

saya duduk
mematut lensa, canggung
memori terseret
mengenang bedhaya dalam suatu sketsa

ada sesuatu menyapa, memanggil..
di sela celah-celah terobos cahaya
ada sesuatu mengajak, membujuk..
menggandeng ingatan
menjelajah di tepi-tepi batas suatu masa,
mengembara..

saya bawa hati yang berlomba di desir-desir darah,
untuk satu persatu mengenali, mengakrab-i
saya tuntun jiwa mencecap riak-riak sensasi kekinian
untuk perlahan memahami, menyelami

ada jeda,
serta sejumlah pertanyaan retorik
bergumpal, bergulung, bergumul
pada kabut antara
(seperti biasa)
manakala diri terseret gelombang masa lampau
lantas tersampir angin kekinian

di suatu ambang
tersekat larik

saya, adalah jarak
saya, adalah jeda
saya : antara.

16 April 2009

bukan peran ; ini laku

aku, kau
bukan peran, ini laku
bukan sebagai ; tapi adalah!

aku, kau
bukan peran, ini laku
bukan menjadi ; tapi telah!

bukan peran, ini laku..; puan!
bukan peran, ini laku..; bung!!

aku, kau
dan kita bukan topeng
atau perigi

;

terlalu pagi merampas bahagianya
terlalu dini menampar wajah tawanya.

(aha!
16 april 2009)

12 April 2009

untuk patjar merah ; udara

masih ingat perisai amanagappa yang aneh itu, patjar merah?

...
di balik bingkai tebal matanya, aku memang selalu merindukan mata itu. mata yang tidak pernah kutatap langsung. matanya yang terlihat lelah, tapi tidak sebenarnya.

kukatakan, karena dialah aku masih hidup! memang benar, begitulah kenyataannya.
dalam hidupku, ternyata yang kusadari, adalah kebutuhanku akan dia.

tahukah...
dengan ketidaksengajaannya, dia lah yang memperkenalkanku pada pram, pada choelo, pada upasara, pada dr.lecter, pada burung hong, pada pandora, pada tan malaka, pada kesederhanaan, pada kehidupan, pada persahabatan, pada sebuah bentuk yang mampu berubah, pada lady of dream kitaro, pada pacar merah, pada sapardi, hingga aku menemukan sebuah lagu ;hutan kelabu,dan banyak lagi...

dia yang mengenalkanku pada semua yang kuketahui sekarang ini.

semua yang kumiliki saat ini,
yang sekarang menjadi milikmu!

karena dialah aku masih hidup!
aku menantikan pertemuan kedua.

biar aku tulis dengan lugas, di sini;

aku ingin bertemu sekali lagi dengannya. aku ingin pertemuan yang kedua, setelah 7 tahun belum terjadi, setelah aku sempat membangun tiang harapan di 5 tahun lalu.

aku ingin melepaskan bingkai kaca tebal yang selalu menutupi matanya. aku ingin menembus jauh ke dalam matanya. aku ingin membacanya.. aku ingin kembali bersahabat dengannya.

tahu kenapa aku ingin bertemu dia?

hanya satu hal...aku ingin mengucapkan terima kasih.

aku ingin berterima kasih. dulu dia pernah berkata : "biar persahabatan yang ada mencari bentuknya sendiri"

dia juga pernah bercerita di lima tahun lalu...

mengenai perempuan pertama yang diturunkan ke bumi, menurut mitologi yunani. pandora.

..

lucu dan ironis... sesuatu yang sudah coba dijelaskannya padaku 5 tahun lalu, baru bisa kufahami sekarang. itulah ...

aku pun masih bertanya-tanya, mengapa harus ada jarak waktu diantara kami, mengapa harus ada perbedaan usia di antara kami, mengapa harus ada perbedaan pengalaman di antara kami.

aku tersengal mengejar kemampuannya, tapi, aku justru jungkir balik.

aku faham.

dialah semangatku! dia lah yang membuat ku hidup. dia hingga kini, selalu menjadi sahabat ku. selalu menjadi pendampingku. dengan caranya. dengan caranya, tak pernah berwujud benar-benar bersamaku. itulah dia; sahabatku, udaraku.

jadi, mengertikah kenapa aku ingin pertemuan kedua itu?
mengertikah kenapa aku ingin membuka bingkai kaca tebal penutup matanya?
mengertikah?

aku hanya ingin berterima kasih. itu saja!

dan dia ; perisai amanagappa

------

pertemuan kedua..

bukan hanya sekedar aku ingin bertemu dia.
tapi aku ingin bertemu diriku sendiri, sama seperti suryomentaram..

yang pergi menjelajahi kehidupan, demi untuk menemukan dirinya sendiri.
menemukan dirinya sendiri.

mudah untuk sebagian orang, sulit untuk sebagian lainnya. aku yang terakhir.

aku ingin bersahabat dengan diriku. mencoba memahami diriku.

aku tengah berlari-lari kecil, tak ingin terlambat keluar. aku berlari di dalam labirin. jalan berputar, penuh jalan-jalan buntu menyesatkan.

beri waktu, untuk pertemuan kedua itu. saat aku bisa mengucapkan 'terima kasih' dan mungkin aku akan mendapati diriku sendiri. diriku yang kucari selama ini. dia pernah berkata; "aku hanya cermin wajahmu"

maka biarkan aku bertemu, mencarinya..untuk melihat pantulanku.

---

tulisan ini adalah penggalan dari tulisan yang pernah saya posting sebelumnya, Pandora:Pertemuan Kedua
http://soerjahrhezra.blogspot.com/2008/09/pandora-pertemuan-kedua.html

dan, terimakasih Wahyu... untuk apa saja :)
yang senantiasa membuat tertawa, terharu, menangis ... dan bahagia.
senantiasalah menjadi udara.

10 April 2009

narasi daun waru 2

dedaun yang sama,
tapi kita lihat berbeda
lelembar yang sama,
tapi sudut pandang yang membeda

gegurat yang berbeda,
tapi apa bedanya?
benar!
benar!!

daun waru berbentuk hati,
seperti yang kutulis..
aku meraba guratnya
lantas menyandingkannya pada gurat telapak tanganku.

aku terpekur menatap satu-satu gurat itu,
beda!
sama seperti telapak tangan kita kan?
"memang beda, tapi apa bedanya?"

aku diam, tak berbantah.
kau benar.

takdir, jawabku kemudian.
"apa takdir kita yang menentukan?"
ahhh, aku diam lagi. lagi..

aku meyakini jalanhidup ini sebuah pilihankebolehjadian,
tapi aku dangkal, kala mendapati pertanyaanmu,

:ataukah jalanhidup ialah suratan?

[aku membawa airmataku dalam, diam].

....................

ket: mungkin boleh membaca juga versi sebelumnya,
http://soerjahrhezra.blogspot.com/2009/03/teka-teki-narasi-daun-waru.html,
dan http://goenoeng.com/?p=216

05 April 2009

Dimensi Relativities (Masih Tentang Mimpi)

(.)

Lari Belia…lari…! Ujung layang itu masih jauh dan kau harus mengejarnya..
Lantas aku melhat di arah langit, dimana ekor layangan semakin tergolek di sambut udara. Ahhh…wajah udaraku tercerabut di sana. Kala kulihat biru menjadi abu-abu. Dan kala ku picingkan mata untuk menghalau mentari yang kuasa.

Ujung layang-layang menukik. Berpasang-pasang kaki mendahuluiku untuk merebut tali gelasan putus itu. kaki ku tersepak tak sengaja, pasti. tetapi cukup kuat membuatku terjungkal. akh... ini yang selalu kukesalkan. kenapa tenaga anak laki-laki lebih kuat dari anak perempuan sepertiku?

dan sial!
kaki ini tak bisa bergerak. terkilir, mungkin.

kuputuskan duduk saja. duduk di jerami akar ilalang kering sisa bakaran matahari, bukan api. tapi, sebagian masih hijau. pohon cengkodok berbunga ungu dengan putik manis kulahap saja. emosi selalu membuatku lapar. masih kurang puas, kugeragas buah letop (baca dengan e pepet) yang merambat, yang masih hijau tak sedap. yang sudah kuning menuju oranye, amboi...sedap nian.

anak-anak laki itu masih terus memburu. Dayat, Ali, Maryono, Edlin, Dedi, Lerry dan akh..adikku Ari yang masih kencur itu!

aku mengumpat lagi, sembari menggulung paralon berdiameter selingkaran pertemuan antara dua jari tengah dan jempol kanan kiri. yang aku umpat adalah benang gelasanku yang ternyata masih saja belum kokoh. padahal mengerjakannya tak cukup sehari. aku perlu mengamplas, lantas mencampur canai dan menjemurnya. tapi, tenagaku! masih saja kalah menyentak saat adu layangan. masalah 'saok-menyaok' aku kalah!

kubaringkan kepala pada ilalang setengah lembab. beberapa lembar mengoresi pipi. kusapu dengan tangan, ada sedikit darah. tapi tak sakit. hanya tergores. lantas, pandangku jauh pada arah layangan yang tadi kuterbangkan.

layangan itu makin oleng dipermainkan angin. angin! bukan udara. karena angin yang punya kekuatan, angin yang mampu merubuhkan bahkan meniup pepohonan. sementara udara, merangsek dalam energi, pada gelombang yang nyaris soliton.

layang yang mereka perebutkan itu punyaku! dan nanti akan menjadi milik siapapun yang mendapatkannya. aku harus ikhlas! entah dimulai darimana kesepakatan ini. padahal, layangan yang besarnya separuh badanku itu, setengah mati merengak pada Ayah aku minta dibikinkan. tapi ayah selalu saja menolak, dengan alasan aku pasti bisa bikin sendiri.

"intinya hanya satu! ukur dulu tali terajuk!" begitu pesannya. keadaan setimbang lah, yang membuat layangan bisa mulus mengudara.

aku mengamat layangan bercap angka 23 itu menukik dengan derajat yang semakin tajam. entah siapa nanti yang mendapatkannya, semoga tak perlu sampai memanjat pagar rumah Pak Toga. alamak...galak nian!

ahhh...mataku lebih asyik menatap batang-batang cermai bergoyang disenggol angin. dan, langit..demikian luas.

(...)

kutatap lekat udara yg tercerabut.
Dzat ku yang agung...bagaimana kau bisa melukiskan langit itu? bagaimana caraMu menyapukan kuasMu? aliran apa yang kau pilih? realis? akh...tidak... atau abstrak? mungkin yang terakhir..

selalu saja aku menemukan gradasi di tiap langitMu. selalu saja aku menemukan elemen warna yang tidak pelangi, tapi kadang berganti-ganti. Dzat ku, bagaimana caranya Kau meletak warna dan memainkkannya?

lantas, desau angin di pohon pisang di hadapanku ini, dari mana ia berbunyi?ceritakan padaku, Dzat... agar aku mengerti tiap letik suara adalah melodi. di kunci mana Kau biasa memainkkannya? ajari aku..

(..)

kini, pada pukul 02.02 menutur pengaturan ponselku, aku berjingkat keluar sekejap untuk menatap guratan tanganMu, aku mencari-cari selaksa energi yang tumpah-ruah kala semua manusia rata-rata terlelap. aku mencari aura-aura yang berjalan-jalan di bawa udara. bukan angin yang membawanya, melainkan udara. ingat, Udara dan angin berbeda!

lantas, kenapa harus malam ini Kau tuliskan tentang mimpi? kenapa tidak kemarin atau berminggu-minggu lalu? lantas mengapa harus malam ini?

baiklah...aku akan bercerita tentang mimpiku, kendati itu tak penting untukmu. mungkin justeru yang Kau nanti adalah cerita mimpi sesiapalain. mimpilah bersamaku, aku mengajak!

aku ingin bermimpi tentang sebuah padang pasir yang dialiri dengan sungai yang jernih dan ikan-ikan yang berlompatan riang. aku ingin oase-oase. aku juga ingin padang ilalang bisa tumbuh disana. aku ingin desau angin tak terlalu kentara, sehingga pasir tak garang beterbangan.

itu mimpiku!

(...)

aku kembali pada langit malam ini. ada sebuah sketsa disana. sketsa udara yang tersampir.samar! mataku terlalu buram untuk melihatnya. udara itu berbingkai kaca pula. lantas, Dzat, aku ingin bertanya lagi... apa yang sanggup menghadirkan udara menjadi bentuk demikian?

ahh...tak ada suara jawaban.

(.)

"teteh, pulang yuk..." Ari menghampiri. aku tak menjawab, hanya menunjuk kaki, dimana terkilir. lalu si kecil Ary mencoba menarik tangan serta memapahku. "pelan-pelan," katanya sok tua. sampai di rumah, ayah menyambutku.
"mana layanganmu, Belia?".
"putus!" jawabku singkat. Ayah kemudian tak mengindahkanku, ia lebih peduli pada Cuplis si kutilang terpenjara.
tapi, kau lega sudah pulang kerumah. meski tadi tertatih saat dipapah Ary. meski ayah acuh padaku, meski Ibu belum pulang kerja, meski Niar lebih asyik memancing ulat tanah di samping pekarangan.

hhh...pulang ke rumah, seharusnya nyaman! setauku begitu...
dan layang-layangku? akh.... sudah lupa tuh!

(..)

seharusnya, aku menempatkan udara seperi layangan itu. tak ada perjanjian, hanya semacam kesepakatan tak tertulis saja yang mensahkah layangan itu menjadi milik siapapun yang pertama mendapatkannya. hak nya pula untuk mengurus layangan itu, atau menghancurkan beramai-ramain. atau hanya mengambil kerangkanya saja.

tapi akh... apakah keikhlasan butuh sebuah kesepakatan?

Dzat...
dimana udara ku?
ataukah ia senantiasa ada, tetapi aku yang mati rasa? bukan...bukan karena udara tak ada, bukan... mungkin klep jantungku...yah, mungkin.

tapi malam ini, di 02.28. aku menitipkan ruhku pada udara.
dan langit, hanya masalah batas pandang!

.......................................

(.) memori, refleksi
(..) masa kini
(...) dimensi relativities
(oya, penulisan menggunakan . ini hanya mencontoh seorang sahabat saja. pinjem yah wahyu...)

..jiwa : rangkum proses..

ada sembilu,
sedang mengadu..

bercerita tentang beku..

sembilu mengadu tak wujud di adu!

jiwa bukan benda!
tapi rasa..
yang melompat dari energi dan massa

: hingga nanti.

04 April 2009

Chalisha S. Sachykirana


sama seperti yang mama tulis setahun lalu...

selamat ulang tahun ke tiga, sayang...
anakku,
ada hal yang tidak dapat aku ceritakan seluruhnya, dan aku mohon maaf
dan jika ini berkaitan dengan suatu keutuhan, aku tidak dapat berjanji
anakku,
sebuah kebahagiaan dapat kau rasakan pada senyum dan tawa orang yang kau cintai
dan aku telah merasakan kebahagiaan itu pada senyummu,
dan semoga kau pun dapat merasakan hal yang sama pada setiap senyumku
selamat ulang tahun ketiga, anakku sayang..

untuk 4 april 2009
Jogjakarta

03 April 2009

..menanti mimpi..

Aku terseret jauh. Berputar dalam terowongan pekat yang tanpa cahaya. Berputar lagi dan lagi. Tersedot arus yang melemparku jauh ke batas rongga. Kutarik nafas dalam dan enggan menghembuskannya lagi.

Dalam diam dan ketidaksadaran yang sepenggal, sebuah pertanyaan menggelayut sempurna, tepat di bibir rasa, tanpa pernah terlontar menjadi kata-kata:

Inikah?? Inikah??? Inikah yang kucari? Inikah??

Bagaimana aku bisa membantahnya? Atau yang lebih tepat, bagaimana aku sanggup membantahnya?? Begitu…

Suara itu datang dan berbisik lekat. Seperti ia senantiasa menemaniku, seperti ia selalu bersamaku. Imaji membentuknya dalam sebalut mimpi. Ahhh… betapa senyum ini ada.. betapa senyum ini ada.. dalam tiada sekalipun.

Mimpi!

Manakala hati dan isi kepala susah bersahabat, maka kemudian aku membelai angan, memanjakan nya untuk masuk saja tanpa perlu pikir panjang. Aku ingin matahari lebih pengertian. Aku ingin ia undur diri segera, aku rindu malam.

Dan aku ingin tidur cepat malam ini.. besok malam juga.. lusa juga… dan nanti…
Aku ingin pertemuan, sebuah mimpi.

Hingga keberanian berani menapak. Hingga keberanian berani berpijak.

Dan Dzat ku yang agung… aku ingin pulang… ke tempat semestinya..