18 February 2009

Lansia: Mereka Menamai



Mereka menyebutnya Lansia
Matanya seperti mata ikan setelah 3 hari diangkut dari sungai
Ia menarik gerobak berjejal isi
Besi rongsok, Koran bekas, kompor minyak rusak, beberapa lipat karung goni, entah apalagi
Semua saling sikut mencari tempat
Ia menarik lebih kuat, beringsut ke tepi
Dua kali goyang, beru gerobak menurut
Sedan merah marun, mulus melaju setelah diberi jalan
Sementara ia, menatap jauh...jauh... pada debu tertinggal

Bajunya itu seharusnya putih,
Tapi diberi efek cokelat oleh debu
Ditambah kekuningan keringat yang selalu saja mengalir
"keringat, tandanya sehat"
Beberapa coreng cemoreng hitam,
Dari jelaga karbon kompor
Baju dengan perpaduan warna berseni tinggi itu,
Sekali lagi menyeka keringat di keningnya
Lantas ia menatap jauh...jauh... pada debu tertinggal

Ia harus menggoyangmlagi gerobaknya
Untuk eksis di jalan utama
Dan mereka, menyebutnya Lansia

(thx Adit...utk gambar yang keren banget...,makasih dah dipinjemin)

6 comments:

Kabasaran Soultan said...

Bagiku dia bukanlah lansia
Dia adalah lelaki perkasa
yang berdiri tegak diatas kaki2nya
Merdeka memerintah ayun langkahnya

Bagiku dia bukanlah lansia
Dia adalah manusia luar biasa
Alam raya adalah singgasananya
tanah kasurnya dan langit kelambunya

Lia Marpaung said...
This comment has been removed by the author.
Lia Marpaung said...

seringkali hati terenyuh saat melihat seorang bapak dan ibu tua yang harus jalan tertatih-tatih menjajagakan dagangan atau sekedar jasanya....seringkali kita lupa...mereka dahulu adalah pahlawan keluarga, juga manusia perkasa....namun mengapa, saat senja usia tiba, kesepian menjadi sahabat sejati mereka, kehadiran mereka seringkali terlupakan oleh kita, kecuali menjelang hari raya tiba..??? dan sejujurnya, berapa banyak dari kita yang mengakui kehadiran mereka menjadi "beban" bagi kita?

akankah mereka dapat kembali merasakan langit biru dan hangatnya persahabatan seperti saat usia belia masih digenggam ?

Arief Firhanusa said...

Saya menikmati betul batang tubuh tulisan yang detail merekam dan mendeskripsikan.

Tapi, sis, saya tak setuju dengan judulnya. Umpama saya, mungkin judulnya: "Jejak-jejak Keriput", atau "Tatkala Matahari Lelah", atau "Pada Debu Tertinggal".

Hehe, itu cuma sepotong kritik aja loh. Tapi jujur kali ini judulmu menggangguku.

Anonymous said...

Dia menyisakan contoh perjuangan hidup.

goresan pena said...

Kabasaran: mereka adalah cermin diri kita, untuk tahun2 depan... bukankah begitu Pak?

Mbak Lia: saya rasa bisa Mbak...mungkin untuk itulah kemudian mereka berdagang dengan tertatih...mereka terhibur dengan para pelanggannya..

Mas Arief: itu dia mas... saya ini memang perlu banyak belajar dari Mas Arief. hehe, iya yah...kenapa nggak terpikir menggunakan judul-judul itu yah?
tetapi, ada kisah dibaliknya...

saat kejadian, mobil saya persis di belakang mobil merah marun itu. saya bersama 3 teman lain. saya berhenti agak lama, menunggu Pak tua menggoyang gerobak. teman2 bertanya, kok berhenti, napa to? dan mereka serentak mengatakan "ooo...lansia toh..."
entahlah, saya seperti miris mendengar kalimat itu..
jadi, ya saya kasi judul aja sebagaimana adanya...
kembali saya ingat apa yang mas arief pernah sampaikan.."menulis dengan jujur" hehe...

aniwe, thx yah mas..

* Mas Erik: dan dia masih akan terus berjuang. adakah perjuangan pernah berhenti?