25 January 2009

Aigle, Elang!

Siapa yang kau cari?
Lady of dream?
Atau bayang dalam cerminan?

Mimpiku yang dulu,
Sinar harapan yang sirna ditelah badai
Kuingin teman yang mampu
Yakinkan hati
Berjuang bersama melewati jalan ini

Sesuatu mendera; aku di sini

……..

Mencarimu…

Satu hal yang kusadari kemudian dan kelak kan kusyukuri, aku masih hidup.

Pagi itu, gerimis terus saja turun, tidak menyisakan waktu untuk mentari meninggi. Waktu meninggalkannya, beranjak menjadi sore. Dan pada sore berlembayung itu, entah berapa tahun silam, aku nyaris lupa… kau membawaku.

Kau mencengkeram erat tubuhku, yang kau pautkan pada sela kuku-kuku mu. Bukankah kua hendak menyelamatkanku? Bukankah kau hendak melarikan aku dari gerimis tak berujung itu?

Tapi, cengkeramanmu terlampau kuat, sementara angina terus saja merobek kelopak-kelopakku. Kau lihatlah, aku tak lagi berwujud mawar seperti yang pertama kau cabut cerabut, dulu… lihatlah.. kelopakku berguguran dan tangkaiku sudah tak berduri lagi. Lantas yang kau bawa ini apa? Siapa? Sekali lagi, hanya raga yang kosong..

Apa yang kau selamatkan?

Hai elang, kuku cakarmu terlampau menyakitkan untuk tubuhku yang kecil ini. Cengkeramanmu terlampau kaku hingga membuatku membeku. Jatuhkan saja aku, elang… aku tak butuh bantuanmu.

Seketika, dengan angkuh kau mendudukkan ku di tebing itu. kau lempar paksa.

“angkuh!!” begitu ucapmu.

Aku bukan angkuh. Aku hanya tak mampu bertahan lebih lama. Aku hanya tak kuasa dalam cengkeraman. Aku hanya tak kuasa menyaksikan tubuhku perlahan menuju mati. Sadarkah kau?

Kau memang menyelamatkanku dari gerimis yang mendatangkan banjir itu. tapi, kemana hendak kau membawaku? Kemana? Dimana tujuan itu? untuk apa jika yang kau bawa kemudian hanya tinggal sisa? Untuk apa jika kemudian semua yang ada justru tak tersisa?



Aku terlupa, seharusnya sedari awal kutegaskan, aku menanti phoenix. Aku menanti sebuah kesetiaan yang seharusnya. Aku menanti burung hong yang hanya sekali kawin dan akan meneruskan hidupnya hanya untukku, menikmati sisa hidup berdua dalam gua.

Aku terlupa, sebagaimana yang kuketahui tentang sebuah kebiasaan. Aku menanti phoenix terbang merentas langit dengan sayap-sayap barunya. Setelah sayap lama nya terbakar menjadi abu dan melahirkan semangat baru…

Ah.. phoenix dengan ekor menjuntai yang kutunggu, kekasihku… dimana engkau berada?

Bukankah kau pernah mengatakan padaku, sinarku telah mencairkan salju yang mengurung semangatmu? Bukankah hatimu yang membeku itu sudah meleleh dan mampu bangkit kembali?

Aku merindukanmu….

Persetan semua yang ada sekarang! Persetan apa saja yang melingkariku, aku rindu, hanya rindu. Rindu padamu yang tak jua terwujud!

Aku rindu wahyu…! Dan persetan semua itu! persetan juga dirimu yang tak pernah mau tau…!

….

Masihkah dapat kuraba sekeping hatimu yang dulu pernah kau titipkan padaku? Aku akan menjelajahinya dengan perlahan dan aku akan meneliti dengan seksama. Aku hanya mencari ruang ku dulu.

Aku hanya ingin mengetahui di mana bilik ku dulu, dimana kau menempatkanku, sebelum ruang itu menjadi ruang tak berpintu tak berjendela yang katamu siapapun boleh datang dan pergi sesuka hati.

Bukankah dulu, kau yang mempigura ku di situ? Ruang termerah hatimu kah?

Aku ingin menjamah hatimu. Aku ingin mengusapnya perlahan, kemudian mengikhlaskanmu. Aku hanya ingin membagi rindu.

….

Pulangkan aku!

Sudahlah elang, yang kau hasilkan hanya lelahmu, maka kembalikan aku. Pada bumi. Kubur aku. Sudah… satukan aku dengan ibu pertiwi. Sudah, sesungguhnya aku pun telah mati. Jasadku sebentar lagi akan layu menguning.

Aku tak berbunga lagi, kelopak-kelopaknya berjatuhan selama di perjalanan. Duriku terlepas dalam badai. Sudah, kubur aku sekarang juga.

Aku lelah, lelah melampaui perjalanan ini. Atau kau biarkan saja aku terbawa, tetapi api semangatku padam.

Biar aku bersatu dengan tanah, siapa tahu ibu bumi masih bersedia menyusui ku dengan air tanah sehingga dapatlah aku berakar dan melahirkan tunas baru.

Hanya saja, jika kau masih bersikukuh membawaku. Yang kau bawa ini, tak lebih dari mayat hidup.

Pulangkan aku!

Dan kau pun akan bebas menjalani hidupmu. Maafkan aku, elang… yang kutunggu phoenix, bukan dirimu!

….

Setelah jauh merentas menjelajah mencari jalan pulang sendiri, aku bertemu phoenix. Tapi apa yang kemudian dia katakan padaku?

“pulanglah… yang kau cari bukan diriku, melainkan angan mu sendiri. Aku hanyalah cermin hatimu. Please, ikhlaskan…”

Apa ini? Apa ini?? Apa ini???

Tuhan memutarbalikkan dunia. Aku pusing…..

…..

Jogja, 25 Jan 2009
23.53 malam
(menghkayal lagi…bersama Sapardi Djoko Damono: Aku Ingin)

13 comments:

Nyante Aza Lae said...

dalem banget mbak...yang penting jangan pusing n DIA gak boleh disalah2in yaah....

Anonymous said...

Hemm... memberi cinta namun berharap cinta balasan dari manusia memang akan sering menyakitkan. Karena seringkali justru tidak seperti yang kita harapkan yang kita peroleh.

Lakukanlah segala sesuatunya dengan cinta, namun dengan cinta yang sederhana.

Anonymous said...

...seperti biasanya...sajak-sajakmu mengaduk-aduk emosiku...sedih, marah, pasrah bercampur menjadi satu...

Anonymous said...

Jangan pusing. Dunia masih seperti biasanya.

Meita Win said...

Akh...Sapardi memang luarbiasa yah?! :) dari 2 paragraf bisa jadi tulisan indah seperti ini...

keren!

dan Jogja? Menambah suasana syahdu...

*salam kenal*

Arief Firhanusa said...

Hm, membacanya saya merasa diombang-ambingkan ketidakpastian. Ada sesuatu yang menderu, kemudian terhempas ke tanah, dan bergulingan di debu.

Ada yang terasa nelangsa ...

YAYAN said...

huhuhu..jd sedih nih..capek ya non.. suabar ya..

Kabasaran Soultan said...

kadang manusia susah bedakan antara ego, harga diri, keputusasaan, frustrasi ...akankah gado-gado rasa tersebut selalu dan selalu ada ?

Anonymous said...

hmm...rasanya seperti mencerminkan perasaanku saat ini, hez.
atau baru musim perasaan itu ya, saat ini ?
ck...entahlah...

Anonymous said...

eh, iya. lupa nanya. kamu sehat2 saja kan ?

Anonymous said...

si Dianya sipa sih hahahaha tahu enggak dia yah
salam sukses dan sehat selalu untuk sampean mbak

goresan pena said...

* Mas Kurnia: hehe...enggak menyalahan siapa2 kok Bang.. apalagi Tuhan.. hanya heran aja, dunia bisa seakan2 terbalik...

* Mas Erik: saya sepakat. tetapi selama kita hidup, bukankah kita wajib masih memiiki harapan?

* Pak Djoko: hehe...Pak, kita masih human, dan kita beruntung masih memiliki rasa itu. ya kan Pak?

* Ullyanov: saya nggak pusing kok..namanya saja mengkhayal...jadi catarsist saja. tapi, apakah benar dunia masih seperti biasa? mari kita lihat lebih dekat...

* SiMungil: hallo... salam kenal juga..
yah, begitulah sapardi. hanya saja, tulisan ini tidak terinspirasi dari tulisan sapardi. hanya saja, sewaktu saya menulisnya, saya ditemani oleh sajak sapardi yang dijadikan lagu oleh sahabatnya di utan kayu...

* mas Arif; nelangsa... begitulah mas... kala sesuatu bernama 'harapan' itu hanya tampak seperti angan-angan...

* Mata Hati; trima kasih.. yeah...i'll try...hm, gimana nggak capek...wong tadi abis ngangkut air dari sumur 12 ember...hehehe...enggak ding, becanda...

* Kabasaran: saya rasa selalu ada. kalau sudah tidak ada, berarti kita mati rasa. bukankah begitu?

* Mas Goe: oya mas? wah.... saya jadi spechless mau koment apa...he...
alhamdulillah, sudah lebih baik... sudah bisa nge-net bentar-bentar...

* Mas Totok: Dia yang teranalogi itu adalah harapan dan suara-suara kecil di dalam diri saya sendiri Mas, tidak ada siapapun yang lain. kalaupun ada, saya yakin dia tahu. akan selalu tahu..
hehe...trima kasih yah mas...

goresan pena said...

* Mas Kurnia: hehe...enggak menyalahan siapa2 kok Bang.. apalagi Tuhan.. hanya heran aja, dunia bisa seakan2 terbalik...

* Mas Erik: saya sepakat. tetapi selama kita hidup, bukankah kita wajib masih memiiki harapan?

* Pak Djoko: hehe...Pak, kita masih human, dan kita beruntung masih memiliki rasa itu. ya kan Pak?

* Ullyanov: saya nggak pusing kok..namanya saja mengkhayal...jadi catarsist saja. tapi, apakah benar dunia masih seperti biasa? mari kita lihat lebih dekat...

* SiMungil: hallo... salam kenal juga..
yah, begitulah sapardi. hanya saja, tulisan ini tidak terinspirasi dari tulisan sapardi. hanya saja, sewaktu saya menulisnya, saya ditemani oleh sajak sapardi yang dijadikan lagu oleh sahabatnya di utan kayu...

* mas Arif; nelangsa... begitulah mas... kala sesuatu bernama 'harapan' itu hanya tampak seperti angan-angan...

* Mata Hati; trima kasih.. yeah...i'll try...hm, gimana nggak capek...wong tadi abis ngangkut air dari sumur 12 ember...hehehe...enggak ding, becanda...

* Kabasaran: saya rasa selalu ada. kalau sudah tidak ada, berarti kita mati rasa. bukankah begitu?

* Mas Goe: oya mas? wah.... saya jadi spechless mau koment apa...he...
alhamdulillah, sudah lebih baik... sudah bisa nge-net bentar-bentar...

* Mas Totok: Dia yang teranalogi itu adalah harapan dan suara-suara kecil di dalam diri saya sendiri Mas, tidak ada siapapun yang lain. kalaupun ada, saya yakin dia tahu. akan selalu tahu..
hehe...trima kasih yah mas...