25 January 2009

Aigle, Elang!

Siapa yang kau cari?
Lady of dream?
Atau bayang dalam cerminan?

Mimpiku yang dulu,
Sinar harapan yang sirna ditelah badai
Kuingin teman yang mampu
Yakinkan hati
Berjuang bersama melewati jalan ini

Sesuatu mendera; aku di sini

……..

Mencarimu…

Satu hal yang kusadari kemudian dan kelak kan kusyukuri, aku masih hidup.

Pagi itu, gerimis terus saja turun, tidak menyisakan waktu untuk mentari meninggi. Waktu meninggalkannya, beranjak menjadi sore. Dan pada sore berlembayung itu, entah berapa tahun silam, aku nyaris lupa… kau membawaku.

Kau mencengkeram erat tubuhku, yang kau pautkan pada sela kuku-kuku mu. Bukankah kua hendak menyelamatkanku? Bukankah kau hendak melarikan aku dari gerimis tak berujung itu?

Tapi, cengkeramanmu terlampau kuat, sementara angina terus saja merobek kelopak-kelopakku. Kau lihatlah, aku tak lagi berwujud mawar seperti yang pertama kau cabut cerabut, dulu… lihatlah.. kelopakku berguguran dan tangkaiku sudah tak berduri lagi. Lantas yang kau bawa ini apa? Siapa? Sekali lagi, hanya raga yang kosong..

Apa yang kau selamatkan?

Hai elang, kuku cakarmu terlampau menyakitkan untuk tubuhku yang kecil ini. Cengkeramanmu terlampau kaku hingga membuatku membeku. Jatuhkan saja aku, elang… aku tak butuh bantuanmu.

Seketika, dengan angkuh kau mendudukkan ku di tebing itu. kau lempar paksa.

“angkuh!!” begitu ucapmu.

Aku bukan angkuh. Aku hanya tak mampu bertahan lebih lama. Aku hanya tak kuasa dalam cengkeraman. Aku hanya tak kuasa menyaksikan tubuhku perlahan menuju mati. Sadarkah kau?

Kau memang menyelamatkanku dari gerimis yang mendatangkan banjir itu. tapi, kemana hendak kau membawaku? Kemana? Dimana tujuan itu? untuk apa jika yang kau bawa kemudian hanya tinggal sisa? Untuk apa jika kemudian semua yang ada justru tak tersisa?



Aku terlupa, seharusnya sedari awal kutegaskan, aku menanti phoenix. Aku menanti sebuah kesetiaan yang seharusnya. Aku menanti burung hong yang hanya sekali kawin dan akan meneruskan hidupnya hanya untukku, menikmati sisa hidup berdua dalam gua.

Aku terlupa, sebagaimana yang kuketahui tentang sebuah kebiasaan. Aku menanti phoenix terbang merentas langit dengan sayap-sayap barunya. Setelah sayap lama nya terbakar menjadi abu dan melahirkan semangat baru…

Ah.. phoenix dengan ekor menjuntai yang kutunggu, kekasihku… dimana engkau berada?

Bukankah kau pernah mengatakan padaku, sinarku telah mencairkan salju yang mengurung semangatmu? Bukankah hatimu yang membeku itu sudah meleleh dan mampu bangkit kembali?

Aku merindukanmu….

Persetan semua yang ada sekarang! Persetan apa saja yang melingkariku, aku rindu, hanya rindu. Rindu padamu yang tak jua terwujud!

Aku rindu wahyu…! Dan persetan semua itu! persetan juga dirimu yang tak pernah mau tau…!

….

Masihkah dapat kuraba sekeping hatimu yang dulu pernah kau titipkan padaku? Aku akan menjelajahinya dengan perlahan dan aku akan meneliti dengan seksama. Aku hanya mencari ruang ku dulu.

Aku hanya ingin mengetahui di mana bilik ku dulu, dimana kau menempatkanku, sebelum ruang itu menjadi ruang tak berpintu tak berjendela yang katamu siapapun boleh datang dan pergi sesuka hati.

Bukankah dulu, kau yang mempigura ku di situ? Ruang termerah hatimu kah?

Aku ingin menjamah hatimu. Aku ingin mengusapnya perlahan, kemudian mengikhlaskanmu. Aku hanya ingin membagi rindu.

….

Pulangkan aku!

Sudahlah elang, yang kau hasilkan hanya lelahmu, maka kembalikan aku. Pada bumi. Kubur aku. Sudah… satukan aku dengan ibu pertiwi. Sudah, sesungguhnya aku pun telah mati. Jasadku sebentar lagi akan layu menguning.

Aku tak berbunga lagi, kelopak-kelopaknya berjatuhan selama di perjalanan. Duriku terlepas dalam badai. Sudah, kubur aku sekarang juga.

Aku lelah, lelah melampaui perjalanan ini. Atau kau biarkan saja aku terbawa, tetapi api semangatku padam.

Biar aku bersatu dengan tanah, siapa tahu ibu bumi masih bersedia menyusui ku dengan air tanah sehingga dapatlah aku berakar dan melahirkan tunas baru.

Hanya saja, jika kau masih bersikukuh membawaku. Yang kau bawa ini, tak lebih dari mayat hidup.

Pulangkan aku!

Dan kau pun akan bebas menjalani hidupmu. Maafkan aku, elang… yang kutunggu phoenix, bukan dirimu!

….

Setelah jauh merentas menjelajah mencari jalan pulang sendiri, aku bertemu phoenix. Tapi apa yang kemudian dia katakan padaku?

“pulanglah… yang kau cari bukan diriku, melainkan angan mu sendiri. Aku hanyalah cermin hatimu. Please, ikhlaskan…”

Apa ini? Apa ini?? Apa ini???

Tuhan memutarbalikkan dunia. Aku pusing…..

…..

Jogja, 25 Jan 2009
23.53 malam
(menghkayal lagi…bersama Sapardi Djoko Damono: Aku Ingin)

24 January 2009

Karma

Langit menyimpan dendamnya,
dalam waktu lama
dan menertawakan aku
saat berairmata

Ini biji luka,
tak sadar telah kusemai dulu.

16 January 2009

Fokus Jauh (Refleksi)- repost

Bahagialah selamanya..

Mentariku..

Kekasihku..


Aku tahu ini tidak akan lama lagi. Aku tahu ini akan tuntas beberapa saat lagi. Kala kesadaran telah memuncak dan kenyataan kalahkan ego yang sebelmnya menguasai, maka tamatlah cerita dari sepenggal harapan yang sepertinya masih berupa mimpi. Aku masih saja berfantasi, membiarkan khayalanku mengembara kemanapun ia dituntun kendali pikiran dg liar.

Aku tahu ini akan tuntas, walau aku tidak ingin. Aku masih ingin berada di tempat ternyaman ini. Sudah cukup. Semua sudah kuperoleh di sini. Gelembung ini ckp untuk menghidupiku. Justru diluar terlampau memabukkan, udara telah terkontaminasi, tiada yang semurni di sini, dalam gelembung kosong yang berisi aku.

Jangan sadarkan aku,Tuhan…

Dalam tiap sujud selalu kucoba untuk lari dari realita. Tapi kemudian malam itu, gelembung kosong itu memilih untuk mengeluarkanku, meskipun ia harus terpecah, meskipun ia tak tahu apa yang kan kualami di luar sana.

Selalu ia yakinkan, ku kan selalu berbahagia dengan udara yang melimpah, sinar matahari yang tiada berkesudahan.

Tapi dia lupa.. masih ada malam yang begitu menakutkan, begitu dingin… hm, tidak seperti dalam gelembung tersebut.

Tapi kembali dia yakinkan, masih selalu ada bulan, yang jika cahayanya tidak mencukupi, akan ditambah dengan sejuta bintang yang berkelip riang. Yang akan mengusir semua kegundahan yang berani menyerang.

Tapi dia lupa, malam tak selamanya cerah, hujan melunturkan cahaya bulan, menenggelamkan bintang-bintang dalam malam yang kelam.

Seandainya berada dalam gelembung, aku tidak akan tersentuh tetes hujan, akan selalu hangat di dalam.

Tapi lagi dia yakinkan, hujan akan mengahapus semua keraguan, hujan akan membawa pagi yang jauh lebih cerah, lebih menyenangkan, lebih menjanjikan. Pagi berpelangi.

Tapi dia lupa..
pada pelangi-lah rajapala mencuri selendang bidadari, kebahagiaan yang diperoleh dengan ketegangan dan keberanian.

Aku coba katakan, kebahagiaan perlu perjuangan, jika kau kehendaki. Dia berguman pelan, semua bisa membuatmu bahagia, mentariku.

Aku diam. Dalam hati kuberkata lirih, lebih ditjukan untuk diri sendiri.

Icarus berjuang merentas langit, menggapai mentari, pemimpi yang berhasil memiliki sekejap keindahan langit tinggi. Walau itu harus dibayar mahal dengan nyawanya, sayap yang terbakar matahari dan tubuh yang terhempas di laut luas.

Hhhhhh……
Nafas belum lagi usai.
Ruh ini masih menggantung di gorong-gorong tenggorokan. Ruh yang berisi penuh namamu. Akan kupahat namamu, dalam pusara hatiku, kata PADI.

Aku akan selalu mencintaimu, sampai batas waktu yang aku sendiri tidak tahu kapan akan berakhir. Hingga nafas ini tuntas. Setelah kau menunaikan janjimu.

(...)

Kamar yang serba putih. Horden hijau. Aku tak menghiraukan.

Yang kusadar, aku harus berjuang, menyelamatkan diriku sendiri dan anak yang akan kulahirkan. Segala kumandang yang lazimnya aku hafal, kulafazkan berkali-kali, berulang-ulang untuk mengusir rasa sakit yang maha dasyat.

Dasyat! Karena semua wanita yang beruntung yang pernah merasakannya. Hanya wanita yang beruntung yang sanggup melewatinya.

Dan yang lebih dasyat, backsound di ruang bersalin ini! Lady of Dream nya Kitaro.

Bagaimana mungkin dokter yang akan membantu persalinanku ini bertindak konyol. Aku sudah bilang saat konsultasi, jangan putar lagu itu lagi. Aku sudah muak. Tapi kenapa dia malah menggoda amarahku? Ini tidak membuat relaks, prof....

Ini malah membuat terowongan memoriku bekerja aktif. Hormon progesteronku berontak. Memicu kontraksi semakin mepet, semakin singkat jeda nya. Kontraksi semakin kuat, dua bidan di sisi kanan kiriku.

Sakit.

Aku lelah, aku mengantuk. Berkali-kali gagal mengeluarkan bayi di rahimku. Semakin sakit, sementara tungkai ini sudah lelah, nafas ini sudah terbata-bata, aku lelah. Tenaga ini sudah banyak terkuras. Tapi bidan di sisiku kembali menyadarkan.
”ibu tidak boleh tidur, berbahaya.. ayo bu, kita coba sekali lagi”
aku harus berkata apa? Ini salah mu Prof...
dia berkata, dengan tenang.
”kalau sekali ini kita gagal, kita coba vacum”
hei.. apa aku masih punya pilihan? Aku pasrah, pun seandainya aku meninggal di sini, aku sudah pasrah.

Aku coba sekuat-kuat kemampuan yang masih tersisa, aku yakinkan semua baik-baik saja, aku percayakan anakku juga segera ingin keluar dan ingin melihat wajah ibunya.

Aku kerahkan semua indera untuk bekerja maksimal, aku tutup semua pintu-pintu ketakutan dan keraguan, aku lafazkan dengan tenang asma Allah. Hingga suara tangis itu terpecah dan menggema.

Pukul 06.10. Chalisha Sahira Sachykirana.

Bayi mungil itu anakku, bibirnya terbuka lebar, menangis dengan sangat kencang, tubuhnya berlumuran darah. Aku tak kuasa, hingga aku terseret ke alam bawah sadarku. Sebelum aku tercampak jauh, kucari sekeliling, dimana suamiku? Kucari semampu mata dan linuwih ku yang tersisa, tidak ada.

(.)

Aku meninggalkanmu.
Tanpa sempat kuberi kesempatan untuk merasakan saat-saat bersama. Aku tidak pantas untukmu. Saat itu aku belum pernah mencintai seseorang dengan semestinya, aku hanya mengikuti kata hati tanpa tahu aturan main yang seharusnya.

Aku mengenal wajah-wajah yang datang silih berganti. Yang datang dan memang aku persiapkan untuk pergi suatu saat nanti. Di saat aku mulai tidak mengerti dengan aturan main yang mereka tetapkan. Hati dan jiwa ini masih belum mampu menerima sesuatu yang tulus, dari jiwa lain yang tulus, dari kau yang telah bermetamorfosis.

Hati ini masih belum mampu membedakan mana yang angkuh hati, mana yang terbakar cemburu. Sebenarnya, hati ini masih ragu. Ragu akan perasaanmu,dan aku meraba dengan salah, seperti membaca koran terbalik. Aku yang justru jungkir balik.

Tapi, angkuh hati yang menyebabkan aku selalu dapat memanipulasi setiap rasa yang datang dan pergi. Aku jago nya. Munafik. Aku akui, tapi aku tidak mengaku padamu.

(..)

Suatu ketika, dalam gerimis yang cukup panjang, di tengah badai yang baru saja usai, di saat mawar masih merindukan heilena yang tidak begitu silau, sepasang kupu-kupu membawa pesan dalam sekeranjang buah-buah ranum.

”aku akan membawamu terbebas dari gerimis yang akan membuat helai kelopakmu perlahan berjatuhan”

tanpa aku sempat menjawab, aku seakan diseret. Pergi. Hanya bisa menatap helaian-helaian yang telah terjatuh. Aku pergi meninggalkan badai, meninggalkan gerimis, tapi yang membawaku itu tetap tak mampu melindungiku dari badai dan gerimis, dari tetes hujan.

Aku ingin sebuah gelembung, dengan tatapan mata yang hangat dan mantap. Aku ingin dia.

Tapi aku bercanda. Dia sudah pergi, tak peduli ku lagi.

Aku pergi. Meninggalkan taman rahasia yang mulai terkubur banjir. Aku pergi,melepaskan helaian-helaian dan duri-duri yang sudah berlepasan. Jadi, yang kau bawa ini siapa? Apa?

Hanya sebuah raga yang kosong.

Sebuah mimpi yang terbeli. Mimpi terbebas dari gerimis yang tak berkesudahan. Rumput-rumput bergoyang, melambai.. memberi salam terakhir. Aku pergi, cinta lama... aku pergi sahabat-sahabat. Maaf jika aku sellalu menysahakan kalian. Maaf yang tak terucap. Karena ego selalu menguasai diri.

Aku tinggalkan semua kenangan yang di masa datang kuyakin mampu bangkitkan kembali gejolak hati. Aku pergi mengiringi sayap bidadari. Terbang di sisinya yang menjadi sandaran kini. Kemudian merajut kenyataan yg datang tanpa terlalu disadari.

(.)

Aku berdiri di tengah telaga. Berdiri dengan kaki terbuka,menghadap tirta. Sunyi memandangi bayang-bayang diri yang bergoyang disapu riak.

Memandangi sosok-sosok yang dikenali,wajah-wajah yang telah datang dan pergi. Lalu datang kembali.

Tidak semuanya mampu mengulas suatu memori. Tidak semuanya mampu menguak.mereka berputar-putar seperti jarum jam mengitari angka.

Hanya beberapa yang sanggup mengembalikan asa. Asa yang pernah datang, memberi hidup lalu sirna ditelan badai.mimpi-mimpi indah yang terangkai lalu habis di lumat hujan besar. Walau mimpi tidak begitu saja berakhir ketika kita terjaga. Wajah yang termangu,tidak mau beranjak dari hadapanku.

Dengan cahaya matanya yang tenang, yang penuh keraguan, yang selalu mengundang tanya, yang selalu bersedia ada,dimanapun aku berada.wajah itu harus aku singkirkan.

Aku hanya mawar yang nantinya akan menoreh luka pada tubuhnya.duri ku terlampau menyakitkan buat jari-jarinya yang indah.

Aku memilih pergi. Tak mengacuhkan bayang pada banyu biru itu. Aku siap beranjak, sebelum melangkah.. sempat kulihat dia menjelma menjadi sebuah gelembung, mencoba menghampiriku,mencoba meraih aku. Tapi aku memilih pergi. Tak ingin menggurat luka yang lebih dalam lagi. Walau aku ingin kesana,merasakan hangat di dalamnya. Tapi aku memilih pergi.


------

Pagi hari datang. Sinar mentari masuk melalui celah berlubang.
aku harus mulai terjaga, sadar sepenuhnya, dimana tujuan itu tertambat, hanya Tuhan yang dapat diajak bicara. bukan siapa-siapa. dimana keangkuhan luruh dengan sendirinya. dimana tidak lagi ada yang menjadi sia-sia.

13 January 2009

Bicaralah, dengan Jemarimu

berbicaralah dengan jemarimu..

rantangkan,
dan kan kulihat
guratan-guratan rahasia hidupmu

aku yakin,
di sana ada energi
yang tentu bisa kau bagi

berbicaralah dengan jemarimu,

ada bahasa yang bisa kucerna
ada makna yang senantiasa ada

genggam jemariku,
seperti waktu itu..
saat kita menuruni bukit pinus
dan hanya punggung mu yang terlihat

suara dalam genggam jemarimu,
ada kepercayaan diriku,
genggamanmu..
mengendalikan emosiku,
menyatakan kita setara, mampu, bisa..
selama bersama!

bicaralah..
hanya dengan jemarimu

ini aku,
yang merasa ada
dalam genggam jemarimu, sahabat.

(sepenggal lagu michael jackson:
hold me, like the river Jordan
and i will then say to thee
you are my friend
carry me, like you are my brother
love me like a father
will you be there
weary, tell me will you hold me
when wrong will you skold me
when lost will you find me)

08 January 2009

Refleksi 2001-2009

Hari yang membahagiakan...
Teman-teman... masih ingatkah Tsunami Aceh? Ingat pasti... tapi saya tak yakin, ingatan kita sama mirisnya seperti 4 tahun lalu. tentu tak sesegar dulu..

Beberapa hari lalu, sahabat saya berkata: "buatkan aku puisi, refleksi Aceh. Untuk perform pembukaan pameran foto mas Amigo"

Saya tersenyum, tak yakin mampu.

Tapi, tentu saja saya tetap garap.

Sampai lah hari ini, narasi yang saya buat mereka tampilkan. Hanya untuk kalangan kampus, memang. Tapi, ada yang menarik.

Ini masalah apresiasi dan bentuk penghargaan atas apresiasi itu sendiri.

Sayang, saya terlambat menyaksikan, karena terlampau asyik dengan kopi di kantin kampus sebelah. Terlambat 10menitan.

Hmm...
Kampus sudah ramai, teman-teman, pengajar, bahkan ada anak2 SMA berseragam pula. Padahal mereka perform spontanitas dan nggak ada woro-woro.

Saya lebih tertarik memperhatikan mata tiap-tiap penonton. Tak ada satupun yang meledek, yang 'ngece' yah..semua menikmati. Meskipun yang ditampilkan teatrikal.Yang tentu tidak semua orang dapat faham. Jauh berbeda dengan atmosfer di kampung halaman dulu...

.....

Saya teringat sewaktu masih kuliah di Pertanian dulu.

Pernah suatu ketika, saya salah mengumpulan tugas. Ahhh...ingat benar saya dengan kejadian itu.

Jadi ceritanya, dapat tugas membuat paper dengan tema "fotosintesis".

Saya membuat dua versi. Yang pertama adalah yang saya peruntukkan untuk tugas, sementara yang kedua, ialah untuk koleksi pribadi. Tentunya dengan penulisan berbeda. Kalau yang untuk tugas, tentu saja seperti biasa. Nah, yang untuk koleksi pribadi itu, saya tulis dalam tiga paradigma, antara pertanian, politik dan psikologi.

Yah..namanya saja remaja baru berusia 18, yang masih bau kencur dan lagi semangat-semangatnya berorganisasi di lembaga swadaya di tambah rasa sok idealis lagi... komplit.

Kedua tulisan itu saya copy ke disket (heiiii... jaman dulu belum ada flashdisk kali'), lantas saya meminta tolong salah seorang teman untuk nge print.

Sialnya, yang dprint salah dan saya tak sempat mengkoreksi. Langsung saja dikumpul.

alhasil...

Saat ujian, nama saya dipanggil kencang oleh seorang dosen, berjilbab pula. Lantas di katai seperti ini, di depan kurang lebih 100 mahasiswa yang sedang ujian.

"kawan kamu ini tidak waras! gila kali dia..." sambil tertawa melecehkan. tanpa saat itu saya tahu kesalahan saya.

Marah, tentu saja. Tapi mau apa? bayangkan saja, perkataan itu keluar dari mulut seorang dosen dan notabene dia perempuan pula!

Ahh, bahkan sampai saat ini saja jika mengenangnya, masih nyesek.

Lantas, datanglah saya menghadap beliau ke ruangannya.

"Ibu, saya yang disebut gila tadi di kelas Bu.. apa saya berbuat salah?"

dia tidak menjawab. Melainkan melemparkan paper tepat di hadapan wajah saya.

"ini apa namanya kalau bukan gila? (masih dengan tawa melecehkan), hah..sok-sok an.. pasti ini aktifis-aktifis yang sok idealis ya kan? ngapain kuliah di pertanian?"

Saya baru sadar, ternyata benar. Memang teman saya itu salah print dan pastilah keliru mengumpulkan.

wah, masalah marah, tentu lah saya juga termakan emosi. kesal bukan main.

mbok yah di tanya baik-baik. Pastilah takkan serunyam itu..

Setelah saya jelaskan duduk perkara sebenarnya dan itu bukan karena kesengajaan, tetap tak satu kata maaf pun keluar dari bibir ibu itu!

hhh...

.....

Tapi, ini yang menjadi pemikiran saya.
Kalau seseorang dengan label pendidik saja tidak bisa mengajarkan cara menghargai. Bagaimana mungkin ia bisa menciptakan manusia-manusia yang juga bisa menghargai orang lain?

Saya percaya, kalau tiap orang terlahir sudah sangat berharga, dan tak perlu diharga-harga kan lagi oleh orang lain. Tak perlu penghargaan dari orang lain, karena kita sudah begitu berharga.

Tapi satu hal. Apresiasi terhadap apapun karya orang lain. Itu adalah mutlak perlu. Karena setiap individu adalah insan yang berbeda, yang punya kepekaan yang tidak sama. Mungkin hukum relativitas einstein bisa dipakai.. (halahhhh...).

.....

Saya bayangkan jika perform teman-teman itu dilakukan di tempat kuliah pertama saya. hahaha... saya jamin, yang akan mereka dapatkan ialah ejekan, bahkan mungkin cemoohan. Saya jamin!

.....

Ahhh, seharusnya dari dulu saya sudah ke sini. Mungkin tempat saya adalah di sini. Di mana orang-orang masih bisa memberi ruang untuk orang lain.



NB: trims untuk kamandanu... terima kasih berbagi dengan ku, sahabat...

05 January 2009

Diam adalah sikap!!




Diam, bukan ketidakmampuan.
diam adalah mau!

Mau membungkam keinginan,
mau menunda berkejap hasrat.

Diam adalah suara,
yang tak bersuara.

04 January 2009

"maafkan aku, Romo"



anggap ini sayembara;
jika yang menemukan perempuan,
maka akan kuanggap dia sebagai saudaraku..
jika yang menemukan pria,
akupun akan menganggapnya saudaraku.

hehehe....
(semoga saja, gelang itu masih jodohku. amin)

01 January 2009

Lingga Yoni

Diam kau, laki-laki!

perempuan itu rekanmu,
bukan milikmu!!!

010109

Sachy, Silla dan Dinda

sebuah senyuman di awal tahun..

sudah online dari beberapa jam lalu, jalan sana, jalan sini...
awal tahun. sebenarnya tak berniat posting. hanya saja... saya seperti punya hutang..ingin menulis tentang anak-anakku yang lain... selain sachy. tiba-tiba teringat..

baru setengah jam lalu sachy bangun tidur, minum segelas air putih dan makan sebuah pisang. lantas sachy mengajak ke depan rumah..maklum, di depan rumah itu ada balai RW dan juga lapangan badminton. lumayan untuk bermain.

lantas, teman2 sachy (2,5 tahun)datang. Silla (6tahun) dan Dinda (2tahun), mereka tinggal di sebelah rumah. mereka inilah anak-anak saya yang lain.

ini yang sachy seru kan pada mereka "ayo teman-temanku... kita ke kebun binatang!!" sontak saya kaget dan tersenyum kembali (karena kejadian seperti ini juga pernah terjadi sebelumnya). kalimat ajakannya itu loh.."ayo teman-temanku.."

mungkin ada baiknya saya review kejadian beberapa waktu lalu tentang 'kebun binatang'.

sachy juga berseru begitu waktu itu. lantas, Silla bertanya
"dimana Sas?"
"ada kok..di sana.." katanya sambil menunjuk ke arah lapangan badminton yang di pinggir2nya ditanami beberapa jenis bunga-bungaan.
tiba di TKP, Silla nanyain lagi:
"mana Sas kebun binatangnya?"
dan anakku itu dengan polos dan lugunya bilang kayak gini:

"ya ini kebun binatang nya... nah...itu... ada kupu-kupu, ada semut.. ada belalang.. ada capung, nah..itu ada ulat juga.."

dan aku yang mendengar dari kejauhan tertawa terpingkal...saat itu sedang menerima telepon...

maka sejak itulah lapangan badminton lebih akrab di sapa kebun binatang oleh ketiga anak saya itu. entah dari mana Sachy dapat ide menemukan kebun binatang di situ. padahal sekalipun sachy tak pernah ke kebun binatang.

----------

Silla dan Dinda ini kakak adik. tinggal bersama eyangnya, dengan seorang pengasuh yang sudah ikut keluarga mereka lebih 30 tahun, dengan alasan yang saya tidak peduli dan tak mau tahu..(he... kan emang bukan urusan saya).

kedua anak ini memanggil saya dengan sebutan Mama, persis seperti Sachy. kiranya, mereka tentu merindukan figur mama yang sudah setahun lebih tak bersama mereka.

suatu hari, saya pulang beraktifitas dan seperti biasa.. Sachy menghambur keluar menyambut mama nya dengan nyanyian khas "mama datang... mama datang...hore..hore.. mama datang...!"

lantas, Sachy menyambut tangan kanan saya dengan ciuman.

saya mendapat bonus, Silla Dinda keluar dari rumah dengan teriakan yang sama dan menyerbu saya juga, mereka bergantian mencium tangan. kemudian saya menciumi sachy...kangen je..hehe.. trus, bergantian Dinda. saya terlupa mencium si sulung, Silla. dan dengan wajahnya yang polos, dia berkata miris:
"mama.. aku juga mau di cium..."

ya ampun... aku tercekat dan tiba2 sedih...haru...

------------

sekarang ini, mereka sedang bermain bersama.. nonton tweenis. Silla baring-baring, Dinda dorong2 kursi, sementara sachy nyenyi2 gak jelas... puter-puter..

dari lagu "head, n shoulder knees n toes...bla..bla..bla..."
sampe' ke lagu "idolaaa cilik....idola kita semua..."
lompat-lompat kodok..dan sekarang nyanyi satu kalimat yang diulang2 terus: "terima kasih...mama....!"(lagu afgan itu loh..)

sementara dinda dan silla sambil disuapi mbak surip. mbak surip ini sambil menggendong adik sepupu mereka Caca, yang masih berumur 2bulan. sambil menggendong dan menyuapi, Mbak Surip bercerita ke pada saya. posisi saya duduk memangku laptop. (hehe..gak tau dia kalau lagi digosipin...di blog).
"dulu... saya inget, waktu papa nya Silla dan Dinda sebesar Dinda, mama nya Caca yah sebesar caca gini. jadi kalau menyuapi papanya itu, sambil gendong mama Caca"
matanya berkaca-kaca terseret arus memori.

--------

nah, sekarang gantian... mbak Ida yang ngambek...karena dicuekin Sachy...

--------

giliran saya sekarang teriak...

"Sas...sebaiknya turun aja Nak... nggak usah naik-naik tangga...berbahaya..."

oke... waktunya turun tangan...

------------

oya teman-teman... met tahun baru...
dan terima kasih udah baca fragmen dan tulisan gak jelas di awal tahun ini....

better life for 2009!!!