27 September 2009

Manusa Diarcapada (Bag.1)

Maka pagi tidak lagi terlalu dingin. Kabut atau halimun mengelilingi pemandangan sekitar. Bulir-bulir uap mengepul di atas Ranu Kumbolo. Lelaki itu melepas penutup kepala rajutnya. Ia hempaskan, persis seperti tubuh yang sudah terlebih dulu tertambat di bebatu.

Berpeluh dan sarat emosi yang di bawanya dalam tubuh lelah. Tidak sekedar tubuh sebetulnya, jiwa! Kelelahan jiwa betul-betul seperti penyakit mematikan yang siap mengganjar nyawa. Belum lagi kalau sudah berkonspirasi dengan putus asa, lengkap sudah!

Matanya belum lagi terpejam sejak berjam-jam lalu setelah sampai, seperti tak rela dihajar kantuk. Tetapi telinganya tetap awas, dan tangannya bekerja tak henti. Terus saja menggaruk kepala. Lupa ia sudah berapa lama tak berkeramas, alhasil luka-luka kecil mengerak di kepala dan membuatnya asyik mengutili.

Lelaki itu tak sempat berpikir apa-apa, saat aktifitasnya demikian masyuk mengutili kulit kepala. Seperti seorang yang tengah ekstase, nikmat dalam dunianya sendiri.

Sementara kabut beranjak menipis, hembusan matahari pagi mampu mencipta tembusan sinar yang luar biasa di permukaan danau. Lelaki itu tersadar, faham di mana diri serta tubuhnya berada. Ia berdiri, menantang landscape di hadapannya, meneropong matahari dengan kedua mata terpicing tanpa alat bantu, lalu melepas tangan dari kepala. Lelaki itu, Manusa Diarcapada.

---

"ini hanya masalah kebiasaan, seharusnya kau bisa faham!"
"apa yang harus difahami dari sebuah kebiasaan buruk?"
"buruk di matamu, tapi tidak di mata orang lain, Tyan!"
"kukatakan sekarang, kau yang harus faham, mengerti membedakan mana buruk mana benar"
"aku bukan anak kecil!!"
"kau memang bukan anak kecil, Diar! kau anak lelaki satu-satunya, pengganti Bapak"
"lantas apa? kenapa kau sebut-sebut itu?"
"kau harus sadar Diar, kami butuh kau! Ibu juga aku"
"tapi aku butuh diriku sendiri juga"
"di situ masalahnya, kebiasaanmu bepergian tak berkabar membuat kami cemas"
"akhhh... hanya persoal sepele, kau dan Ibupun kuyakin faham. Aku perlu bebas"
"kau egois Diar.. kau egois! lupa kau dengan janjimu pada Almarhum Bapak"
"ckk!!"

dan berakhir dengan Diar meninggalkan Tyan.

Hidup memang seperti permainan. Kadang seperti memancing ikan berjam-jam tanpa hasil, kadang pula seperti menjaringnya dengan jala besar sehingga ikan-ikan kecil akan lolos darinya. Banyak dari kesempatan hidup terbuang sia-sia. Dia memahami itu. Setelah Bapak mangkat, mutlak ia menjadi kepala rumah tangga di usianya yang relatif mudah, belum lagi 20.

Kakaknya Tyan hanya berselisih tak sampai 20 purnama. Tyan kuliah di semester akhir pendidikan guru ketika Bapak meninggal. Sementara Ibu sehari-hari hanya beraktifitas di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurusi bunga-bunga angrek yang tertanam rapi di halaman samping rumah.

Bapak seorang pekerja di sebuah percetakan, bergaji tak seberapa tetapi selalu pintar menyisihkan untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Bapak dulu pernah bercita-cita menjadi wartawan, seorang jurnalis, tetapi menamatkan SMA saja saat itu Bapak kepayahan, sehingga Bapak urung dan memilih menjadi buruh sebelum akhirnya menikah dengan Ibu.

Tetapi diam-diam Bapak selalu menulis, mengetik di waktu-waktu yang terjadwal rapi. Ibu sangat mengetahui itu, menjadi sesuatu yang sangat dikagumi Ibu manakala Bapak terlihat begitu tekun di atas mesin tik-nya yang dibeli di emper barang bekas di bilangan Malioboro beberapa waktu lalu.

Bapak senang betul bekerja di percetakan. Pekerjaannya tidak berhubungan dengan cetak mencetak atau tulis menulis. Bapak bertugas membersihkan kantor, menyediakan kopi dan siap di suruh ini itu. Office Boy, nama tenar pekerjaan itu sekarang. tapi rasanya Bapak tak pantas dipanggil Boy.

Yang membuatnya senang ialah ia dapat membawa pulang kertas-kertas bekas yang salah satu sisinya masih kosong belum tercoret tinta. Berharga betul bagi Bapak sehelai kertas saja. Karena dengan itu, maka ia akan memiliki modal menulis di rumah. Dan ia bisa menenggelamkan diri mewujud apa saja, tanpa ia harus mengingat siapa dirinya. Maka ia akan kemasukan jin tinta dan hanyut dalam tak tuk irama mesin tik yang selalu bergeser antara minor dan mayor.

---

Dua tahun setelah kepulangan Bapak ke Rahmatullah, Tyan mampu menyelesaikan studi strata satunya, tetapi masih lagi belum mendapat pekerjaan. Ibu lagi-lagi hanya mampu mengurusi angrek-angrek yang lambat laun mulai ia lupa nama dan jenis. kehilangan Bapak, membuat ia merasa kehilangan sebagian anggota tubuhnya. Punya kaki, tangan, mata, telinga, lubang hidung, tetapi hanya satu. Ibu seperti lumpuh dan lebih banyak melamun. Kehilangan daya untuk bangkit.

Berulangkali Tyan membujuk Ibu untuk berwirausaha. Tetapi selalu saja gagal. Sudah berkali-kali dicoba, dari membuat jajan pasar yang dititipkan ke warung-warung, membuat opak dari ketela, membuat kerajinan tangan dari wol hingga berjualan tanaman, khususnya angrek yang sangat lihai digarap Ibu, semuanya gagal.

Selalu mentok pada pengaturan keuangan. Selalu akan lebih besar pasak dari tiang. Ibu tidak bisa mengelola, dan menjalankan usahapun seperti setengah hati. Kadang Tyan menyesal terhadap Bapak yang sedari dulu tidak pernah membiarkan Ibu bekerja selain mengurusi rumah. Inilah salah satu efek resiko kehidupan dimana Ibu tidak siap menghadapinya, tetapi Tyan menyadari.

Satu-satunya yang bisa menyelamatkan keluarga mereka adalah Tyan harus bekerja. Apapun itu, Tyan bertekad untuk bisa menghasilkan rupiah demi rupiah. Berapapun jumlahnya, akan ia kejar.

---

Di tanah Kalimantan.

Escavator seri terbaru seharga milyaran rupiah melenggang sombong. Sebentar lagi ia akan bekerja untuk mengeruk tanah di sini. Mesin senso yang terlebih dahulu didayakan. Diar mengamati dari pojok, dimana bangunan temporer dari papan kasar dibangun untuk keperluan developer.

Baru beberapa jam ia datang, menumpang kapal Lawit yang membutuhkan waktu lebih dua hari dari Semarang. Sebuah pertemuan tak terduga dengan seorang Bapak di pelabuhan yang kemudian mendamparkannya ke sini.

Sang Bapak, Rusdi nama beliau, mencangkleng cangkir kopi dengan jari manisnya. Asap mengepul dari rokok kretek yang membuat bibirnya membiru. Warung tegal itu menyediakan kopi panas yang sudah butir kopinya sudah bercampur jagung, tentu tak sedap, kecuali bagi mereka yang tak pernah membandingkan rerasa kopi lain. Warung tegal ini tak pernah terlihat berjejal pembeli, semua yang datang, lantas buru-buru pergi. Pemilik warung tidak menyediakan piring, tetapi ia menyediakan pincuk daun pisang, kadangpula daun jati. Ia hanya mau menyiapkan beberapa cangkir saja, itupun terbuat dari seng setinggi ibu jari.

Diar datang tergopoh, memesan sepincuk rames seharga seribulimaratus. Untuk membayarpun ia memerlukan diri merogoh sejadi-jadinya semua saku di celana panjang dekilnya. Cepat ia menghabiskan isi pincuk.

Rupanya ini menarik perhatian Pak Rusdi yang sedari tadi terlampau santai menikmati kopi.

"hai anak muda, kenapa kau buru-buru?" dialegnya sangat kental Melayu.
Merasa tidak kenal, maka Diar menunjuk dadanya dulu sebelum menjawab, hampir tersedak.
Dengan mulut masih penuh nasi dan sambal teri pedas, ia memaksakan menjawab.
"mencari orang, Pak.."
tentu suara yang keluar sangat tidak jelas. Pedanya sambal teri membuat Diar spontan memuntahkan apa yang dikunyahnya. Ia tersedak. Roman wajahnya tersirat bingung. Pemilik warung menyodorkan secangkir air putih, ditambahi dengan satu kata, "gratis". Ada semburat senyum di wajah Diar.

Pak Rusdi tergelak tertawa.
"untuk minum air putih pun kau takut bayar?" katanya tanpa bermaksud meleceh.
Diar merasakan wajahnya memanas, merah, sebuah kutukan atas rasa malu.
"duduk sini, anak muda.. hebat betul kau, dari mana kau segopoh ini?" tanya Pak Rusdi ramah, ditepuk-tepuknya bangku panjang di sisi duduknya.
"Saya dari Jogja, Pak... saya mengantar motor dan saya harus memasukkan ke dalam, akan di kirim ke Kalimantan" Diar mencoba menjelaskan.
"kau yang mengurus ekspedisinya?" Pak Rusdi tertarik.
"oh, bukan.. bukan saya, Pak.. saya hanya buruh. Sayang hanya mengantar saja, nanti saja harus bertemu Pak Rusdi yang katanya akan menerima motor ini. Katanya, ini milik kemenakan Pak Rusdi itu" Pak Rusdi lantas tertawa tergelak mendengar pemaparan Diar.
"jadi kau yang membawa motor si Luki?" Pak Rusdi seperti baru menemukan mentimun emas, sumringah dan terus menepuk-nepuk punggung Diar. Sakit sebetulnya, tapi Diar tentu tak punya nyali berterus terang.

Dari situ, Diar tahu kalau Pak Rusdi ialah seorang pemegang proyek pembangunan sebuah Rumah Sakit di sebuah daerah di Kalimantan. Seperti kebanyakan Melayu, Pak Rusdi berbicara panjang lebar mengenai perang tender yang akhirnya ia menangkan.

Mungkin karena senang sejak awal pembawaan Diar, maka Pak Rusdi tanpa basa-basi mengajak Diar turut bersamanya. Tentu setelah mendengar penjelasan Diar, bahwa kuliahnya terkatung-katung sejak Bapak meninggal dan ia kerja serabutan, apa saja dikerjakannya demi memperoleh uang, menyambung hidup.

Pengalaman pahit Diar, membuat Pak Rusdi mau tak mau berkaca pada masa mudanya yang juga jauh dari kata nyaman.

"kau butuh kerja?ikut aku! kau akan belajar bekerja, mulailah menjadi kuli, buruh, sambil amat-amati pekerjaan yang lain. Jangan mengeluh" tembak Pak Rusdi.
"saya sangat butuh kerja, Pak" Diar menjawab polos.
"kau ikut aku, kugaji kau empatpuluhribu perhari, tapi itu tergantung usahamu, kalau kau kulihat bekerja keras, aku tak segan menambah. Kalau kau mau, segera kucarikan tiket dan kau berangkat bersamaku, beberapa jam lagi"
Diar tak sempat berpikir apalagi menimbang. Yang ada di pikirannya ialah sumber penghasilan. Ia tak sempat juga memikirkan bagaimana hidup sebelum serta setelahnya. Kebutuhan akan uang menjadikannya silaf dengan hal lain. Ia ingin berpenghasilan. dan ada pintu ke arah sana.
"baik, Pak" jawabnya mantap.

---

Suara escavator yang baru di uji coba membangunkannya dari lamunan. Belum dua jam ia berada di area itu, tapi masih sempat ia dan beberapa pekerja memakan buah bernama langsat dan rambai, serta berebutan memakan manggis dari pohonnya, sekarang, pohon-pohon itu sudah rebah di tanah.

Diar menjadi sadar sesadar-sadarnya di mana ia kini berada. Jauh dari rumah, jauh dari orang-orang yang dikenalnya. Ia benar-benar terdampar. Tapi terik matahari Khatulistiwa seperti mengingatkannya kembali bahwa inilah pintu yang akan membawanya pada rupiah.

(Bersambung)

5 comments:

Anto said...

apakah ini novelx mbak ?
apa judul novelx ? sdh terbit ?

Kabasaran Soultan said...

Ngak sabar nunggu lanjutannya nih..
As usual Hez... Kisahnya menarik, bahasanya unique ( Hezra banget deh ).

Selvi said...

Kesulitan apa pun pasti ada jalan keluarnya

Ligx said...

Inilah ciri khas menulis hezra,, jdi ga sbar bunggu kelajutannya,,, hiks

Erik said...

Ditunggu kelanjutannya