02 November 2009

Bukan Karpet Turki

Lantas aku katakan bahwa aku bukan manusia.

Pelita-pelita dari batang bambu beruas tiga sepanjang satu depa, tertancap dengan deret perspektif sepanjang mata memandang. Jalan ini jalan berbatu yang belum lagi mengenal aspal. Masih kurasa runcing tumpulnya batu-batu cokelat merah yang tidak rata, ada juga yang sudah mulai tergerus beberapa sepeda motor yang melalui serta beberapa kali gerobak sapi hulu hilir membawa rumput melewati surau itu.

Dua tiga anak berlarian diantara bedug yang terduduk di pojok selasar surau. Beberapa lelaki bersarung berdatangan dengan sebilah obor yang kemudian mereka matikan dan parkir di tepian para-para, berdekatan dengan penyimpanan alas kaki. Mereka mengantre wudhu di pancuran yang memang hanya satu-satunya sembari mendecak langit malam itu.

sesungguhnya setiap waktu adalah sama.
batasan, hanyalah ulah manusia.
ada akhir dan ada mula.
hanya untuk membuatnya tak bosan berkelana di dunia
(jam dua belas lebih sedikit)
.

Langit itu cerah, membiru di pekatnya hitam. Warna yang beranjak mengakhiri kesudahan hari untuk melabuhkannya pada masa berjudul malam. Ada bulan yang meminjam paksa energi matahari untuk dipamerkannya, guna merajai bintang-bintang yang memang berdikari.

...

Sementara aku tetap di sini..

Sementara aku tetap di sini, tak bergerak tak beranjak. Sejauh yang kuingat sudah puluhan purnama aku termaktub di sini. Hanya beberapa penggal waktu aku bisa mencecap udara segar luar dan mencumbui matahari yang memang membakar. Tapi tak pernah lama, barangkali sebulan sekali saja sudah termasuk beruntung aku.

Keberuntungan itu yang aku tunggu, tentu saja. Saat aku bisa melihat wajah-wajah tanpa teka-teki. Saat aku bisa menyapa semilir angin, saat aku dibentangkan di para-para sisi surau, bersebelahan dengan jejeran sabut kelapa sisa produksi kopra Mak Jenab. Saat debu-debuku dikebas-kebas olehnya, sementara sudah 31 purnama ia yang mengurusi surau sejak ditinggal suami. Termasuklah mengurusi aku, si karpet yang terbentang sepanjang masa. Selama masih bisa berjaga.

Siang ini aku baru selesai di jemurnya. Dikebas-kebas, menggusur debu yang mulai menempel lagi. Daki di selip-selip uliran tubuhku memang sudah demikian dekil. Dan sekarang aku lebih cemerlang, penuh percaya diri untuk diciumi wajah-wajah dengan rapalan yang terdengar bisik-bisik Aha.. hari ini hari jum’at di paruh purnama Ramadhan.

Malam Ramadhan dan siang jum’at nyaris seragam. Surau penuh, surau padat. Hanya siang ini tak ada perempuan, kecuali Mak Jaenab yang sibuk memilah buah kelapa.

Aku terbiasa mendengar suara-suara, bahkan yang tak terdengar sekalipun. Hai.. betapa suara itu begitu indah.. suara itu tengah bercakap dengan dirinya. Sebentar.. aku masih lamat, menyimaknya.. ya..ya.. itu dia..aku dengar.. demikian ia berucap:

siang itu,
aku datang
ke rumah tuhan
bedug berdentam,
dada terhantam
hanya menengok, aku
suasana di sana masih sama
penuh gumam dan bisik-bisik doa
ah, itu bukan urusanku
aku datang, hanya ingin menengok tuhan
sekedar memastikan, apakah dia baik-baik saja
soalnya, sudah beberapa waktu kukirim pesan
tapi belum juga dijawab
apakah dia sedang sibuk ?
entahlah
hari itu, saat kutengok
ternyata dia sedang tak di rumah

(Menengok Tuhan)

Akhh.. ada sesiapa di situ, apakah ia mencariNya? Rasanya semua yang absen hari ini juga hanya mencari Tuhan. Atau sekedar mengisi daftar hadir, menandatanganinya. Tapi, tak ada yang hendak bertemu aku. Tak ada yang berniat ke sini, karena rindu hendak menciumku, hendak memberiku tetesan bening untuk dahagaku. Tidak ada yang memperdulikan. Padahal, jika tak ada aku, tentu lantai dingin ini tak lah nyaman untuk di sujudi.

Kuamat-amat di atas permukaanku yang terhampar. Yah, aku memang bukan karpet buatan Negara Timur-Tengah sana yang konon harganya sangat mahal. Menjadi mahal karena sebuah filosifi dalam pembuatannya dimana tiap-tiap orang akan melafalkan dendang suci Al-Quran dalam pengerjaannya dan dalam rapalan itu tersisip doa untuk si pemakai kelak. Aih, tetapi, bukankah setiap pekerjaan apapun sebetulnya juga adalah sebuah ikhtiar?

Aku masih ingat saat seorang pemuda membawaku ke sini kira-kira 3 tahun yang lalu, sebelum aku terpajang menjadi kebanggaan surau ini. Pemuda itu adalah seorang pengurus masjid dari sebuah masjid agung di kota besar. Belum cukup lama aku tergelar di sana sebetulnya, baru beberapa bilangan tahun. Hanya saja, tak pernah sekalipun aku diangin-anginkan seperti di surau ini. Jangankan menatap sinar matahari, mencium bau udara saja tidak sempat. Hanya sebuah sedotan debu berjudul vacuum cleaner yang senantiasa menggosok-gosokku.

Alat itu memang membuatku bersih, tak berdebu. Hanya saja, aku terus menjadi kumal, aku terus menjadi apek lantaran tak pernah bersua matahari. Angin yang kuhirup juga ala kadarnya, hanya sebatas jika ada yang tersampir dari pintu yang terbuka lebar.

Di masjid agung itu, aku mendapat kehidupan yang jauh berbeda dengan di surau. Di surau, tiap-tiap orang datang untuk bertemu-Nya, sama sebetulnya. Hanya aktifitas saja yang membeda. Di surau, bapak-bapak tua lebih dominan, ibu-ibu dan perempuan hanya datang saat jamaah maghrib dan subuh demi keseharian. Sementara pemuda, betul-betul hanya datang kesana untuk mempersiapkan segala keperluan sholat jamaah dan kegiatan hari raya.

Berbeda betul dengan kegiatan di mesjid agung. Setiap hari ada saja musafir yang entah dari mana. Bisa lokal, bisa juga dari luar kota bahkan negeri. Mereka datang tidak hanya untuk sholat berjama’ah di lima waktu. Mereka sering melakukannya sendiri-sendiri, kendati sebetulnya jika dikumpul bisa untuk berjamaah. Lantas, seusai itu, laki-laki akan menepikan dirinya di pinggir, di bawah desau-desau kipas yang berputar dari dinding atas, demi menghilangkan hawa panas, barulah kemudian berleyeh-leyeh di salah sebuah pilar. Ada pula yang langsung terlelap dan menangkupkan koran ke wajahnya. Ada juga yang sibuk dengan telepon genggam, dan lain lagi.

Di sudut belakang, perempuan-perempuan lebih beragam lagi aksinya. Ada yang berdandan, mulai dari memasang alis yang sedikit pudar karena wudhu, hingga sapuan bedak, dan terakhir lipstick. Ada pula yang sibuk bertelpon sambil cekikik kecil, mungkin mengatur volume suara, agar tidak mengganggu yang masih sholat. Ada juga yang mengobrol sembari melipat-lipat mukena yang telah mereka pergunakan. Tetapi, pun ada yang lamat-lamat menggumamkan ayat suci.

Sementara aku lebih sibuk mengatur hidungku. Ada aroma wewangi dari dalam masjid, juga godaan bebau makanan dari luar. Kibasan sate di bara api, terbawa angin masuk ke dalam mesjid dan mengalihkan khusyukku atas suara hati orang-orang yang masih bergerak-gerak dalam ritme antara berdiri rukuk, sujud. Akhh, ada pula aroma bolu pandan yang, hemm.. andai aku memiliki liur, maka meneteslah telah.

Kiranya di pelataran mesjid agung ini tentu banyak sekali penjual-penjual makanan, dan apakah hanya makanan? Sebentar, aku perlu mengintip sedikit dari celah kaca di kotak bedak perempuan ini. Waww… ternyata ramai sekali di luar. Ada pedagang sepatu. Ya! Sepatu.. pedagang buku, pedagang VCD yang kemungkinan besar bajakan, ada pula pedagang pakaian anak berbandrol Rp. 7.000,-. Pedagang makanan berderet-deret lebih ke pinggir mendekati pepohonan. Di sebelah utara itu, lebih banyak pedagang pernik-pernik segala rupa. Pin, bros dan aksesoris remaja lain. Ada pula aneka kalung gelang monel, titanium, perak dan besi tempa.

Tapi aku lebih tergelitik dengan cakap-cakap seorang lelaki bercelana kain hitam dengan kemeja batik bunga kenanga menjuntai-juntai sebagai coraknya. Bercakap ia barangkali dengan Nya, barangkali dengan dirinya sendiri.

apa kabar hari ini, Tuhan ?
kuharap Engkau masih tersenyum
dan menunda waktu kiamat
sekedar memberiku kesempatan
untuk berdoa lebih banyak
dan membuktikan kesungguhan

saat ini,
kabarku di bumi baik-baik saja
masih menapaki jalan dan takdir
berbekal segenggam janjiku dan janjiMu
: tertulis itu di nadi

hari ini, aku masih berdoa yang sama
semoga Kau masih mau menambahkan
dan menulis di buku nasibku, kata bahagia
dan menyisihkan sedikit ruang di rumahMu

apa kabarMu, Tuhan ?

hari ini, kumulai dengan sebatang rokok dan secangkir kopi
dan senandung di tengah pelukan kabut yang Kau kirim
dinginnya sungguh menentramkan, terima kasih
itu akan menjadi lukisan terindah sepanjang hari
menjadi kenangan di balik senyuman matahari

Tentu jauh berbeda dengan di surau. Dimana-mana yang kutemui saat aku dijemur di luar tak lain adalah tumpukan kelapa. Lantas, aroma yang kucium ya aroma kopra. Apalagi?
Di surau ini banyak jendela dipasang. Sebetulnya aku tak kekurangan sinar. Hanya saja, halaman yang masih bertanah lempung ini, jika siang maka debunya kerap masuk ke dalam. Untung aku bukan manusia, jadi tak perlu kuatir alergi debu dan bersin-bersin.

Pernah sebetulnya dulu, sang Pemuda yang membawaku ke surau ini, mengajakku ke sebuah mushola kecil di suatu pusat pertokoan di Ibu Kota. Waw... bukan main besarnya toko itu, Mal orang banyak menyebutnya. Semua serba gemerlap. Siang dan malam selalu berlampu. Tak pernah rasanya tak memakai energi di tempat itu.

Dari mulai pertama sang Pemuda mengajakku masuk, aku sudah tertakjub-takjub. Waktu itu, aku baru digulungnya dari masjid agung. Aku memang lebih ramping dibanding teman-teman, jadi, jika dilipat maka besarku hanya seperti sebungkus bad cover. Dibawanya aku masuk, dan kemudian ia berbincang dengan seorang perempuan berdandan rapi dengan rambut terangkat. Tidak hanya rambut ternyata, roknya juga terangkat sedikit di atas lutut. Sang Pemuda ternyata menawarkan menjualku, sebagai karpet yang tak lagi dipakai di mesjid agung untuk moshola di pertokoan ini.

Sudah bisa terbayang olehku, jika pertokoan ini begini besar dan megahnya, sudah barang tentu mosholanya pun akan begitu. Asri, besar, megah, bersih dan wangi. Alam khayalku sudah membayangkan tempat seperti itu. tawar menawar berlangsung, tak lama aku dibawa ke mushola.

Tetapi betapa terperanjatnya aku, mendapati sebuah ruangan yang nyaris kutuduh kumuh. Ruangan itu berada di sudut parkiran kendaraan bermotor. Tempat wudhu berlumut, sebuah cermin bertulis “Sudah rapikah anda?” terpajang dengan noda-noda yang sepertinya sulit hilang. Sementara ruangan mushola sendiri, tidak lebih besar dari sepertiga lapangan basket. Tidak ada pembatas untuk jemaah lelaki dan perempuan. Tempat ini sempit, sangat berbanding terbalik dengan kemegahan sebuah pertokoan. Hatiku ciut.

Syukurlah, aku terhibur dengan kebutuhan orang-orang yang datang kemari. Walau untuk sholat berjamaah mereka harus membuat beberapa sesi, mereka tetap tak surut semangat. Mereka yang datang adalah para pekerja pertokoan dan beberapa pengunjung yang tak lena dengan lampu-lampu pijar di pertokoan.

Menghadap-Nya memang sebuah ritual. Aku mendengar bisik-bisik hati. Dari yang termiris hingga yang terkocak. Sebetulnya sama saja dimanapun aku berada. Dimanapun aku tergelar.

pintu langit tetap buka
duapuluh empat jam sehari penuh
sampai akhir jaman
kau bisa mengeluh
atau berdoa sampai kau bosan
sambil kau tulis permohonanmu
di setiap lembar kertas
sampai di ujung sobekan terakhir di bumi
(Mari Berdoa)

Mau surau, mau mesjid agung, mau mushola sebuah mal, intinya aku hanya pelengkap kenyamanan para pendoa. Ada atau tidak ada aku, mereka masih memiliki sajadah. Akh, entah juga sampai kapan aku akan tetap di surau ini, dan di asuh Mak Jenab? Sang pemuda pembawaku sudah tak pernah tampak lagi. Memang waktu aku dibawa kemari, sebagian tubuhku sudah sobek. Lapuk termakan waktu. Yah, aku memang bukan karpet Turki, yang semakin tua semakin yahud. Kulongok melihat judulku, tertera di situ, made in China.


Jogjakarta,
May 2009
(Sajak dalam Prosa ini adalah milik Mas Goenoeng Moelyo)

3 comments:

koelit ketjil said...

seorang bocah menunduk khusuk, berupaya berkomunikasi dengan Tuhan-nya. dagunya terangkat, bibirnya mulai terbuka.
pertanyaan dikontarkan

'Tuhan Apa AgamaMu?'

menunduk kembali bocah itu sambil mengusap-usap rambut-rambut panjang di dagunya. menyadari keterlambatannya

Kabasaran Soultan said...

Yang aku heran...
Ya.
Yang aku heran !
Dimanapun aku berada kulihat orang-orang silih berganti baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama ...
memanggil-manggil sebuah "NAMA" .
Hanya sekedar memanggil ...
Hanya sekedar meracau ...
Tanpa mereka tahu siapa yang mereka panggil.
tanpa mereka peduli siapa yang mereka seru.

Tuhan kah ?.
Hantu kah ?.

jual mesin las said...

nice info, thanks