28 March 2008

...Jika tidak Perlu

...Jika tidak perlu.

Kau pernah berkata padaku, bahwa hidup ini adalah berjuang. Berjuang melawan suratan takdir. Perjuangan tanpa akhir sepanjang perjalanan hidup. Sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, harus aku perjuangkan. Kemarin malam, aku bermimpi teramat indah. Langit bercahaya, gemerlap tanpa tersaingi bintang-bintang. Kemarin malam aku bermimpi tentang sebuah hidup yang terasa amat nyata, dimana kedamaian dan segenap keinginan selalu terpenuhi. Tapi, di tengah mimpi aku sadar, setiap keinginan yang selalu terpenuhi akan menyakiti orang lain. Maka begitu aku terbangun di pagi hariya, aku sadar bahwa harapanku yang tak terkabul bukan karena Tuhan tidak sanggup memberikannya, tapi karena rencana Tuhan ialah yang terbaik. Bukan hanya untukku tapi juga untuk orang-orang di sekelilingku. Begitu juga dirimu.
Aku tidak cemburu dengan siluet yang sanggup hadir dan tidak jika enggan. Aku memang mencintai bayangan itu. Berharap banyak pada sosok yang semakin menua itu. Cinta yang tak terbendung dan tak terukur apa hanya selaksa atau seluas jagat raya. Cinta karena jasad, dan diri ini berasal darinya. Mana bisa dihilangkan begitu saja? Mana bisa berpaling saat dia melakukan kesalahan? Walaupun itu merejamku hingga ke sel terkecil. Mungkin dia tidak pernah sadar, mungkin dia tidak pernah bermaksud. Tapi ini sudah terjadi.
Kau pernah berkata padaku, jika menurutku ini tidak perlu terjadi, maka aku harus memperjuangkannya. Menurutku ini tentu sangat tidak perlu terjadi. Tapi, bagaimana menurutnya? Aku ingin membahagiakannya...
Memberikan sisa hidupku yang juga memang pemberiannya. Sekian puluh tahun menjadi tanggungannya, aku ingin sedikit merasakan deritanya. Derita yang pernah ia rasakan ketika membesarkanku. Aku ingin memberikan kebahagiaan walaupun sejumput dari dosa yang terlanjur terlahir sejak kuditimangnya. Aku ingin membahagiakannya. Tapi, jika yang dikehendaki seperti ini, bagaimana mungkin aku sanggup?
Dunia semakin tua.
Bumi semakin tua dan semakin rapuh. Bencana terjadi dimana-mana. Bumi butuh manusia untuk menyelamatkannya. Bukan hanya manusia yang berlindung dan selalu mengharapkan kebaikan bumi. Kini manusia harus semakin sadar, bumi telah rapuh. Semakin mendekat dengan matahari, untuk terbakar. Bagaimana mungkin gejolak alam bisa dibendung? Yang benar, katamu ialah mengikuti gejala alam, jangan menentangnya.
Waktu membawa dunia pada ketuaan, tapi kau tetap berkata bahwa kita tidak perlu melawannya. Menyatukan diri dengan alam dan sekali lagi tidak menentangnya, seperti aliran zen. Ketidaksetujuan tidak selalu harus berakhir dengan perlawanan. Masih banyak cara untuk menunjukkannya. Dan waktu yang akan menjawab.
Aku harus bagaimana? Bahkan airmata inipun telah kering. Otak menjadi buntu memikirkan hal tak berpangkal dan tak berujung. Mata dan tubuh lemah. Surut dibawah jejak-jejak doa. Kembali padanya.
Harusnya di saat seperti ini ada kau yang bisa membantuku, setidaknya biarkan aku bermain dengan pikiranmu, agar aku tidak terkecoh dengan pikiran-pikiranku sendiri yang sedang kalut. Harusnya, sahabat tidak pernah berdusta, tidak pernah meninggalkan kekasihnya, harusnya sahabat selalu bisa merasa...
Tidak diam seperti terbelenggu.
Tidak bertanya jika sudah tahu.
Tidak lari jika tidak perlu.


18sept07,10;30 (selasa)

5 comments:

RheindRheind said...

nicee!! ya mau nulis ttg diriku gak??rela kok jadi bahannmu,,gmn mau gak??

goresan pena said...

hehe, boleh aja.ide cerita send by email aja...simply_ya@yahoo.com
eh, tapi...ga tentang kamu yang dikejar2 secret admirer mu itu ?
atau ttg kamu yang ditinggal nikah pacarmu? wah, boleh juga....hahahah, aku sampe' lupa kalo' itu rahasia...

Arief Firhanusa said...

Puisi yang panjang. Melelahkan.

goresan pena said...

ini bukan puisi mas...entah apa namanya...hanya sebuah tulisan untuk ayah...

Anonymous said...

ya, bukan puisi ?
emm....tulisan hati....
sepertinya itu menurutku.

hai, sist....aku mengalun terbawa coretanmu. ya,ya...bumi makin tua.