30 October 2009

This Is It

aku rindu alegro...

untuk menenangkan hati.


2114421147

28 October 2009

Titik Balik

hari ini, sejumlah pertanyaan retorik terlontar kembali
padamu negeri, aku kembali...
mempertanyakan gelora yang nyaris mati!

hari ini, kami tak jadi apa-apa kecuali bilangan
angka-angka pengisi kolom-kolom statistik
suri, sekarat dalam distorsi

hari ini, wujud kami bertentang silang
persenyawaan nisbi menggugat, mendobrak.

sungguhkah kami peduli hari ini?
sungguhkah kami peduli negeri ini?
dan sungguhkah kami peduli nasib kami sendiri?

---

gemetar kubalik halaman-halaman masa lalu
dan kita menyepakati itu bernama sejarah!
nomenklatur.

adakah sejarah mengantarkan kita pada titik berarti, hai anak muda?
adakah gejolak menjadi matang, tanpa pikir panjang, hai putra putri...

gemetar kutatap bumi yang demikian asing
lantas kita menyepakati itu modernisasi!
neoliberalisme.

pada sebuah titik balik,
aku memulai pada bayang sendiri dalam cermin
menjelajah nilai, senoyong, menggeledah identitas diri
dimana yang disebut satu tak pernah menjadi satu!

apa itu, bahasa, bangsa, tanah air?
satu yang menjadi haram atas nama nusantara.

aku berdiri menantang di atas langit kemerdekaan
adakah bumi yang kupijak ini, masih perlu diperjuangkan?

Pontianak,
28 Oktober 2009

13 October 2009

...lelatu...

apa yang kubanggakan dari rasa sedih yang melangut?
seperti malam yang bergeser pelan-pelan,
seperti udara yang menyimpan air

sedih selalu saja mampu mengamankan keluh,
dan keluh belaka selalu melahirkan anakan-anakan kesedihan baru

apa yang kubanggakan dari rasa marah yang membelenggu?
ia seperti kutu partenogenetik di pokok jeruk sambal,
parasit hati, jiwa, yang berbiak membentuk penyakit dalam hitungan detik

bukankah rasa adalah ketunggalan yang independen?
lantas kuasa?
tak lebih semata bentukan, karsa!

Akh, dzat...
perkara hidup serupa percik bunga api.

06 October 2009

Mel...

bibirmu terus saja mengoceh,
aku mengalah, diam.
menyimak katamu.

sumpah, Mel...
hanya kau yang sanggup membuatku iri begini

ingat kau 7, 8 tahun lalu?
kau tanyakan tentang mimpi...

kukatakan dengan jelas dan tanpa ragu,
sejak kulihat anak-anak babi berjalan tenang di ruas-ruas jalan utama,
sejak kulihat sekolah misionaris yang mengalungkan gambar Tri Sutrisno di era millenium
sejak pamanku bercerita tak ada lagi siluk sisik emas di kampung istrinya
sejak aku tahu beragam species anggrek hutan sekarung goni hanya dihargakan seratus ribu oleh tauke Malaysia

sejak itu, kukatakan dengan jelas...
aku akan jadi guru, Mel...
guru di dusun-dusun Dayak terpencil.

tapi hari itu tak juga datang, karena perkara pilihan hidup

dan kemarin kau datang dengan celoteh tak berkesudahan,
tanganmu berkali-kali menyeka wajah,
hitam betul rupamu sekarang, Mel
tapi kau tetap manis, Sayang...

ini yang meluncur dari mulutmu.

"kau tahu, Ya...
betapa hebatnya menjadi guru. Bukan aku meremehkan, tapi tak perlu kau lihat guru di kota-kota yang banyak liburnya itu. Suatu saat, kau ikutlah bersamaku. berangkat kita pukul 4 subuh, pakai motor saja, setelah itu, kita titip hingga Batulayang. Kita lanjutkan dengan bis, dan kita masih memerlukan sampan untuk menyeberang, sekitar 20 menit, habis itu kita susuri tanah merah tak kurang dua kilo, sampai di sana, sudah ada ojek yang akan mengantar kita ke atas, mengitari pokok-pokok sawit. Barulah kau akan bertemu dengan 14 murid-muridku! haha... kau masih takut ular? tenang, ular akan tunduk padamu, Ya... karena ia tahu ada pekerjaan hebat ditanggungmu. Kau tahu, ada dua pekerjaan yang sangat dihormati di sini, seorang mantri dan tentu saja guru"

akh, kaukah itu, Mel...
perempuan yang menangis saat KKN karena harus mandi berkemban di parit sempit,
perempuan yang sungguh dekat dengan dunia malam,
perempuan yang tak pernah luput dari make-up dan belanja
perempuan yang enggan berjalan kaki dan enggan bersapa panas matahari?

hei, angin apa yang membawamu ke selatan, Puan?

kau seperti mengejekku, Mel...
mempertanyakan dengan dagelan, apa yang kubuat selama ini?
masihkah mimpi sekedar bercokol jadi bunga tidur?

dan kau menutup dengan sempurna lelucon itu,
"he, Dewa Matahari alias Ra... ataukah Surya, sama saja! masih ingin kau menjadi guru?"

Pontianak,
4 Oktober 2009
01.58 AM