22 May 2009

Dlamakan (Tidak di Angin, Serata Bumi)

(…)

Mata-mata, mata yang kujelajahi satu persatu. Mata penuh airmata dari mata-mata mereka. Isak demi isak tertahan dari wajah-wajah mereka. Dinding-dinding pemantul emosi, cermin-cermin perigi di tiap lensa yang memakainya. Aku menatapnya satu persatu dalam hukum pertentangan. Sesekali seseorang menjawil kakiku, mengingatkan aku tak boleh begitu. Tapi maaf, kali itu aku tak bisa membiarkan mataku berpuasa menikmati pemandangan sejarah hidup diriku sendiri. Akan kurekam sampai detil terkecil semampu amygdala mampu menopangnya.

Emosiku meluap seperti plastik terbakar, aromanya kental menyerbu penciuman.Ppijar-pijar bohlam dalam hatiku berlecutan. Aku menikmati sensasi kesenduan yang teramat dalam. Hatiku sunyi, kendati tak sepi. Tapi, liris demi liris suara yang menggema dari ujung mikrofon semakin menyudutkanku. Aku seakan terlempar ke suatu siku tiga sisi, dimana aku terpojok seketika. Lantunan ayat suci, pantun demi pantun datang sambut, sawiran beras kuning, aroma sedap malam dan berkelompok-kelompok anyelir semakin membawaku ke suatu tempat yang nyana, aku sendiri tak mengenalnya.

Lalu aku kembali pada mata-mata mereka, kucoba tembus satu persatu. Tentu tak sepenuhnya berhasil. Peduli setan, aku hanya ingin mengamati mata ayah ibuku. Itu jauh lebih penting. Akh, Ma.. Pa.. bahagiakah kalian? jika ya.. maka, akupun bahagia.

Seseorang mengucap ijab atas namaku. Kelak menjadi seseorang berjudul suami, ayah atas anakku. Akh, anak kami, maksudku..

(..)

Kau telah melemparkanku hingga aku terduduk di tepi tebing ini. Lantas kau menyibak tubuhku yang berlumur lumpur. Dulu, kau selamatkan aku dari banjir besar, dulu kau yang menghalau gerimis di sisa perjalanan. Sayapmu teguh melingkariku, elang.. membawaku menelusuri savanna, mencari oase untuk kita minum bersama. Dulu kau yang menyelamatkanku, membawa sebagian tubuhku yang sepertiga tercerabut. Lihat.. helai daunku sudah tak ada lagi. Kuingat beberapa terjatuh saat kita terbang menjelajahi Bermuda dan tersangkut di arus waktu. Gerbang kekinian dan masa lampau.

Kemudian kini, baru saja berdetik lalu, kelopak demi kelopakku gugur, lelah ia menerpa angin yang begitu kencang di tengah perjalanan. Satu persatu berlepasan, satu yang terakhir tadi tersobek kuku-kukumu. cakarmu mencengkeramku terlalu kencang. Akh, lihatlah.. habis sudah.. tubuhku hanya bersisa sebatang dengan duri dan putik tanpa kelopak. Setelah itu kau lemparkan dengan kasar aku di tebing ini.

(.)

Kujulurkan kakiku menghadap tirta, menyambangi bayang-bayang yang berpedar di biasnya. Lalu menyibaknya dengan sentuhan lembut jemari. Betul saja, getaran kecil membuatnya membentuk lingkaran-lingkaran, lantas habislah bergoyang pantulan wajahku. Apa aku melompat saja? lantas hilang ditelan gelap telaga? jurang curam takkan meninggalkan sisa, tak kan ada jejakku yang bisa ditelusuri. Ya, benar! melompat saja! toh tak ada lagi yang bisa dipertahankan, toh, tak ada lagi yang musti diperjuangkan. Untuk apa?

Tapi tunggu!

Wajah-wajah itu..

Akh, wajah-wajah mereka. Wajah-wajah doa yang datang memberi salam dan tabik. Wajah-wajah penuh harap yang menggugah penggalan-penggalan waktu. Duh, Gusti... itukah wajahku? itukah? mengapa aku seperti tak mengenali? itukah mimik, raut, guratku? itukah?? lantas.. siapa yang bercermin ini? siapa yang berpantulan ini? seribu bayang cerimin retak dengan wajah luka. Akh, milik siapa ini? wajah siapa ini? wajah siapa, mereka? wajah apa itu?

Apakah itu dan ini adalah satu? Apakah itu adalah, ataukah wajahku semata?

Aku pening, keseimbanganku berbalik berlawan setimbang. Tolongg... berat badanku masih terhanyut terbujuk gravitasi. Inti bumi menarikku cepat ke dasar jurang. "Save me...!," teriakku, tercekat.

(..)

Tuhan!!
Pekikku tertahan.

Nafasku tergesa. Suara kecil yang sangat kukenal, menyadarkan, mengembalikanku pada dunia.

"Ma.. kakak haus," rengeknya dengan mata setengah terpejam. Kupeluk ia, menyatakan aku selalu akan bersamanya, meneguhkan, aku masih hidup dan harus hidup. Seperti apapun, bagaimanapun. Tanpa atau dengan. Bisa atau sekedar mampu.

(.)

Mata-mata yang kuamati dulu melintas lagi. Mata dengan bibir merapal doa. Doa mengenai kebahagiaan. Kebahagiaan untukku. Untuk hidupku. Wajah-wajah sendu, wajah-wajah penuh amarah, wajah-wajah suka.. semua hadir. Aku tau mereka berpetak-petak.

Bukankah doa itu adalah kebahagiaan? jika ya.. ijinkan aku melangkah, meski melukai wajah-wajah itu.

"Mah, bukankah dirimu pernah berkata, kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu? Maka, ijinkan aku menoreh luka pada wajamu, sekali ini.. maaf, demi kebahagiaanku. Bukankah kebahagiaanku kelak pun jadi kebahagiaanmu? biar aku ciptakan jalanku sendiri. Biar kutulis dengan tintaku sendiri, bolehkah.. Untuk kali ini? sembah sujudku, Mah..".


Jogja, 22’2009 May
16:26

8 comments:

Erik-22598 said...

Ikutilah apa yang menurut kata hati lebih baik. Semoga itu merupakan keputusan terbaik dan lebih banyak membawa kebaikan bagi semua pihak

Dexter said...

Hai...setiap manusia menemukan masa untuk 'dlamakan' selesaikan dan nikmati perihal itu...

Semoga sehat selalu ya...

elistadyon said...

kok melankolis banget ya

goenoeng said...

kalo menurutku, istilah yang lebih sip markusip dan top markotop, adalah 'gedhibal'. tidak di angin, tidak rata tanah, di bawah dlamakan. seperti yang dibilang oleh panjenenganipun Pak Kika, adakalanya manusia memang merasakan hal seperti itu. tidak terkecuali aku. mungkin saja perasaan itu bukan dari anggapan orang, melainkan 'merasa' sendiri.
mmm... terus apa ya ? embuhlah, kayaknya aku mulai ngaco, mending aku berenti komen dulu daripada semakin ngawur. hehehe...

eh, tapi... aku merasa tulisan ini bukan tentang dlamakan, tapi berbicara tentang 'menentang gravitasi'.
lho kan ? wis ah.

Ahmad flamboyant said...

lakukanlah semuanya sesuai apa kata hati.....
saya mengamini saja apa kata2 teman diatas

Kabasaran Soultan said...

Hmmmmm ..... Segitu dahsyatkah ?.

Ada kepala tempatnya akal letaknya di atas.
Ada dada tempatnya hati letaknya ditengah.
Ada perut dan dibawahnya tempatnya dorongan letaknya dibawah.
Sepanjang setiap keputusan diambil sesuai dengan urutannya maka tentu yang keluar atasnya sesuai dengan hukum besi semesta.

Ngak nyambung yak ?.


sekali lagi Hez.. tulisan ini amat dahsyat mudah2an ini bukan suasana yang menggambarkan keadaan hati sang penulis.

Tabik

Lia Marpaung said...

aku merasa terusik pada kalimat : "bukankah doa itu adalah kebahagiaan ?"

seringkali kita mencari mencari-cari kebahagiaan hingga bermil-mil jauhnya....namun dalam tulisan ini, aku menyadari, bahkan dalam diam dan doa, seharusnya kitapun dapat bertemu dengan kebahagiaan...

Unknown said...

Dlama atau Llama?